Anda di halaman 1dari 14

A.

Hipertensi

1. Definisi

Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pembuluh

darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat

sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan.Hipertensi sering kali disebut sebagai

pembunuh gelap (silent killer), karena termasuk penyakit yang mematikan tanpa

disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya

(Antou, 2014).

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik

≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Arif, 2009).

2. Etiologi

Sebagian besar kasus tekanan darah tinggi tidak dapat disembuhkan. Keadaan

tersebut berasal dari suatu kecenderungan genetik yang bercampur dengan faktor-faktor

risiko seperti stress, kegemukan, terlalu banyak makan garam, kurang gerak badan dan

penyumbatan pembuluh darah. Ini disebut hipertensi esensial. Kalau seseorang

mempunyai sejarah hipertensi keluarga dan mengidap hipertensi ringan, kemungkinan

hipertensi berkembang lebih hebat dapat dikurangi dengan cara memberi perhatian

khusus terhadap faktor-faktor risiko tersebut. Untuk kasus-kasus yang lebih berat,

diperlukan pengobatan untuk mengontrol tekanan darah. Jenis lain dari hipertensi

dikenal sebagai hipertensi sekunder, yaitu kenaikan tekanan darah yang kronis terjadi

akibat penyakit lain, seperti kerusakan ginjal, tumor, saraf, renovaskuler dan lain-lain

(Hamid, 2014).

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu (Arif,

2009) :
a. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak di ketahui penyebabnya,

disebut juga hipertensi idiopatik sebnayak 95% kasus. Banyak faktor yang

mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf

simpatis, sistem reninangiotensin, defek dalam sekresi Na, peningkatan Na dan

Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko, seperti obesitas,

alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi perimer biasanya timbul pada

usia 30-50 tahun.

b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal sebanyak 5% kasus. Penyebab

spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi

vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Chusing,

feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan

kehamilan, dan lain lain.

3. Klasifikasi hipertensi

Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC VII adalah klasifikasi untuk orang dewasa

umur ≥ 18 tahun. Menurut JNC VII, definisi hipertensi adalah jika didapatkan tekanan

darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Penentuan

klasifikasi ini berdasarkan rata-rata 2 kali pengukuran tekanan darah pada posisi duduk.

Tabel II.1 : Klasifikasi tekanan darah (JNC VII)

Klasifikasi Tekanan Tekanan Tekanan Darah

Darah Darah Sistolik Diastolik

(mmHg) (mmHg)

Normal < 120 Dan < 80

Prehipertensi 120-139 Atau 80-89


Hipertensi Stage 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi Stage 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

Dasar pemeriksaan adanya kategori prehipertensi dalam klasifikasi tersebut karena

pasien dengan prehipertensi beresiko untuk mengalami progresi menjadi hipertensi, dan

mereka dengan tekanan darah 130-139/80-89 mmHg beresiko dua kali lebih besar

untuk menjadi hipertensi dibanding dengan yang tekanan darahnya lebih rendah

(Tjokroprawiro et al., 2007).

Ada beberapa istilah khusus (Tjokroprawiro et al., 2007) :

a. White coat hypertension

Dimana tekanan darah selama menjalankan aktivitas harian dalam batas normal,

tetapi bila di periksa di klinik termasuk hipertensi. Terjadi pada semua umur, tetapi

paling sering terjadi pada wanita muda kurus.

b. Persistent hypertension (sustained hypertension)

Dimana tekanan darah meningkat (hipertensi), baik diukur di klinik maupun di

luar klinik. Walaupun sama-sama meningkat, seringkali tekanan darah di klinik

lebih tinggi dari pada di luar klinik

c. Isolated systolic hypertension

Berdasarkan world health organization international society of hypertension

(WHO-ISH) dan JNC VI, adalah bila tekanan darah sistol ≥ 140 mmHg dan tekanan

darah diastol < 90 mmHg. Prevalensinya meningkat berdasarkan usia, dan


mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mengalami serangan jantung dan stroke

dibandingkan mereka dengan tekanan darah diastol yang meningkat.

d. Accelerated malignant hypertension (AMH)

Istilah untuk hipertensi diastolik berat (biasanya tekanan darah diastol > 120

mmHg), menunjukkan adanya retinopati hipertensi Keith-Wagener (K-W).

4. Faktor resiko hipertensi

Faktor risiko yang relevan terhadap mekanisme terjadinya hipertensi primer adalah

sebagai berikut:

a. Genetik

Hipertensi primer bersifat diturunkan atau bersifat genetik. Individu dengan

riwayat keluarga hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita

hipertensi primer daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat

hipertensi (Hapsari, 2010).

b. Jenis kelamin

Hipertensi primer lebih jarang ditemukan pada perempuan pra menopause

dibanding pria karena pengaruh hormon. Wanita yang belum mengalami

menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan

kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi

merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek

perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada

usia premenopause (Hapsari, 2010).

c. Usia

Insidensi hipertensi primer meningkat seiring dengan pertambahan usia. 50-60

% pasien dengan umur lebih dari 60 tahun memiliki tekanan darah lebih dari 140/90

mmHg (Hapsari, 2010).


d. Obesitas

Obesitas dapat meningkatkan kejadian hipertensi primer. Hal ini disebabkan

lemak dapat menimbulkan sumbatan pada pembuluh darah sehingga dapat

meningkatkan tekanan darah (Hapsari, 2010).

e. Asupan garam yang tinggi

Asupan garam yang tinggi dapat meningkatkan sekresi hormon natriuretik.

Hormon tersebut menghambat aktivitas sel pompa natrium dan mempunyai efek

penekanan pada sistem pengeluaran natrium sehingga terjadi peningkatan volume

plasma yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah (Hapsari, 2010).

f. Hiperaktivitas simpatis pada hipertensi primer

Sekresi katekolamin yang meningkat akan memacu produksi renin

menyebabkan konstriksi arteriol dan vena serta meningkatkan curah jantung

(Hapsari, 2010).

g. Aktivitas Fisik

Tekanan darah dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Tekanan darah akan lebih tinggi

pada saat melakukan aktivitas fisik dan lebih rendah ketika beristirahat. Aktivitas

fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya.

Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme

untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi

untuk mengantarkan zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan

sisa-sisa dari tubuh. Seseorang dengan aktivitas fisik yang kurang, memiliki

kecenderungan 30%-50% terkena hipertensi daripada mereka yang aktif (Aisyiyah,

2009).
h. Konsumsi alkohol

Kebiasaan konsumsi alkohol harus dihilangkan untuk menghindari peningkatan

tekanan darah. Jika dibandingkan dengan orang yang bukan peminum alkohol,

maka terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal tingginya tekanan darah.

Konsumsi alkohol 3 kali per hari dapat menjadi pencetus meningkatnya tekanan

darah, dan berhubungan dengan peningkatan 3 mmHg. Konsumsi alkohol

seharusnya kurang dari 2 kali per hari (24 oz bir, 10 oz wine, atau 2 oz whiskey

murni) pada laki-laki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi

perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak

lebih dari 1 kali minum per hari. Namun akan lebih baik jika konsumsi alkohol tidak

dilakukan (Aisyiyah, 2009).

i. Minum Kopi

Kopi yang mengandung kafein yang dapat meningkatkan debar jantung dan

naiknya tekanan darah. Kafein merupakan salah satu zat yang terdapat dalam kopi

yang meningkatkan pelepasan hormon norepinefrin yang akan menyebabkan

vasokontriksi dan membatasi aliran darah. Selain itu, kafein dalam kopi juga

menstimulasi pelepasan hormon katekolamin dan kartisol yang akan memobilitasi

metabolisme trigliserida menjadi asam lemak bebas pada saat beraktivitas fisik

tetapi justru dapat menambah penyimpanan trigliserida pada keadaan kurang

aktivitas fisik. Kafein ini bekerja secara langsung pada jaringan adiposa dan

berinteraksi dengan reseptor untuk melepaskan asam lemak bebas (Tatiyana, R.

2011).

Kafein mempunyai sifat antagonis endogenus adenosin, sehingga dapat

menyebabkan vasokontriksi dan peningkatan resistensi pembuluh darah tepi.


Namun dosis yang digunakan dapat mempengaruhi efek peningkatan tekanan

darah. Seseorang yang biasa minum kopi dengan dosis kecil mempunyai adaptasi

yang rendah terhadap efek kafein daripada orang yang biasa mengkonsumsinya

dengan dosis besar (Aisyiyah, 2009).

Minum kopi berbahaya bagi penderita hipertensi karena senyawa kafein bisa

menyebabkan tekanan darah meningkat tajam. Cara kerja kafein dalam tubuh

dengan mengambil alih reseptor adinosin dalam sel saraf yang yang akan memicu

produksi hormon adrenalin dan menyebabkan peningkatan tekanan darah, sekresi

asam lambung, dan aktivitas otot, serta perangsang hati untuk melepaskan senyawa

gula dalam aliran darah untuk menghasilkan energi ekstra (Rismayanti dan

Mannan, 2012 ).

j. Kebiasaan Merokok

Asap rokok memiliki kemampuan menarik sel darah merah lebih kuat dari

kemampuan menarik oksigen, sehingga dapat menurunkan kapasitas sel darah

merah pembawa oksigen ke jantung dan jaringan lainnya. Salah satu kandungan

rokok yaitu nikotin dapat mengganggu sistem saraf simpatis yang mengakibatkan

meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan, nikotin

dalam kandungan rokok juga dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung,

tekanan darah, dan kebutuhan oksigen jantung, merangsang pelepasan adrenalin,

serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf,

otak, dan banyak bagian tubuh lainnya (Aisyiyah, 2009).

k. Stress

Stress dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang mengatur fungsi saraf

dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan

pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan garam. Pada saat stress, sekresi
katekolamin semakin meningkat sehingga renin, angiotensin, dan aldosteron yang

dihasilkan juga semakin meningkat. Peningkatan sekresi hormon tersebut

berdampak pada peningkatan tekanan darah (Aisyiyah, 2009).

5. Patogenesis

Ginjal dapat meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut

renin, enzim ini memicu pembentukan hormon angiotensin I (Sitepu,2012), kemudian

dengan adanya Angiotensin I Converting Enzyme (ACE) diubah menjadi angiotensin

II. Hormon angiotensin II ini dapat memicu pelepasan hormon aldosteron. Stimulasi

sekresi aldosteron dari korteks adrenal dapat menurunkan ekskresi NaCl (garam)

dengan cara mereabsorbsinya dari tubulus ginjal. Meningkatnya konsentrasi NaCl di

pembuluh darah akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan

ekstraseluler yang pada akhirnya akan meningkatkan volume serta tekanan darah (Jafar,

2010).

Selain itu, hormon angiotensin II dapat meningkatkan sekresi hormon ADH yang

merangsang rasa haus sehingga urin yang dikeluarkan menjadi sedikit, lebih pekat dan

terjadi peningkatan osmolalitas. Kekentalan pada urin mengakibatkan tertariknya

cairan intraseluler ke ekstraseluler. Pada akhirnya akan meningkatkan volume serta

tekanan darah (Jafar, 2010).

Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi

dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiacoutput/CO) dan dukungan dari

arteri (peripheral resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah

ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi

sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai

dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan periferal. Selengkapnya dapat

dilihat pada Gambar 1. Patofisiologi hipertensi (Jafar, 2010).


6. Gejala klinis

Hipertensi tidak memberi gejala klinis yang spesifik. Umumnya gejala yang

dikeluhkan berkaitan dengan :

a. Peningkatan tekanan darah: sakit kepala (pada hipertensi berat), paling sering

di daerah oksipital dan dikeluhkan pada saat bangun pagi, selanjutnya

berkurang secara spontan setelah beberapa jam, dizziness, palpitasi, dan mudah

lelah (Tjokroprawiro et al., 2007).

b. Gangguan vaskuler: epistaksis, hematuria, pengelihatan kabur karena

perubahan di retina, episode kelemahan atau dizziness oleh karena transient

cerebral ischemia, angina pektoris, sesak karena gagal jantung (Tjokroprawiro

et al., 2007).
c. Penyakit yang mendasari: pada hiperaldosteronisme primer didapatkan poliuria,

polidipsi, kelemahan otot karena hipokalemia, pada sindroma Cushing

didapatkan peningkatan berat badan dan emosi labil, pada feokromositoma bisa

didapatkan sakit kepala episodik, palpitasi, diaforesis, postural dizziness

(Tjokroprawiro et al., 2007).

d. Riwayat hipertensi pada keluarga disertai riwayat peningkatan tekanan darah

secara intermiten menunjang adanya hipertensi esensial (Konthen et al., 2008).

e. Hipertensi sekunder sring terjadi pada umur < 35 tahun atau > 55 tahun

(Konthen et al., 2008).

f. Riwayat infeksi saluran kemih berulang bisa dikaitkan dengan pielonefritis

kronis (Konthen et al., 2008).

g. Nokturia dan polidipsi mengesankan gngguan ginjal dan endokrin (Konthen et

al., 2008).

h. Adanya beberapa gejala seperti angina pektoris, gejala insufisiensi serebral,

gagal jantung kongensif menggambarkan adanya kelainan vaskuler yang

progresif kearah kondisi yang membahayakan (Konthen et al., 2008).

i. Adanya faktor resiko seperti merokok, diabetes mellitus, dislipidemia, riwayat

keluarga yang meninggal dalam usia relatif muda karena penyakit

kardiovaskuler (Konthen et al., 2008).

j. Gaya hidup seperti diet, aktivitas fisik, pekerjaan, tingkat pendidikan dan lain-

lain (Konthen et al., 2008).

7. Diagnosis

Diagnosis hipertensi tidak dapat di tegakkan dalam satu kali pengukuran, hanya

dapat ditetapkan setelah dua atau tiga kali melakukan pengukuran pada kunjungan yang

berbeda. Kecuali terdapat kenaikan yang tinggi atau dengan gejala-gejala klinis
tertentu. Pengukuran tekanan darah dapat di lakukan dalam keadaan posisi pasien

duduk bersadar, setelah beristirahat selama 5 menit, dengan ukuran pembungkus lengan

yang sesuai (menutupi 80% lengan). Tensimeter dengan air raksa. Anamnesis yang

dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya, riwayat dengan gejala

penyakit-penyakit yang berkaitan seperti jantung koroner, gagal jantung, penyakit

kardiovaskuler, dan lainnya (Arif, 2009).

Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dua kali atau lebih

dengan jarak 2 menit, kemudian diperiksa ulang pada lengan kontralateral. Dilakukan

pemeriksaan funduskopi untuk mengetahui adanya retinopati hipertensif, pemeriksan

leher untuk mencari bising karotis, pembesaran vena, atau kelenjar tiroid. Dicari tanda-

tanda gangguan irama dan denyut jantung pembesaran ukuran, bising, derap, dan bunyi

jantung ketiga atau empat (Arif, 2009).

Pemeriksaan dada perlu dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan pada jantung

seperti left ventricular hypertrophy (LVH) dan gagal jantung, kelainan pada paru

seperti rales, adanya bising ektrakardiak dan kolorektal (coarctation aorta).

Pemeriksaan abdomen juga tidak kalah penting dilakukan untuk mengetahui adanya

bising pada sisi kanan/kiri garis tengah, di atas umbilicus kemungkinan adanya

penyempitan arteri renalis (Renal Artery Stenosis), adanya pembesaran ginjal karena

polikistik ginjal, massa pada ginjal. Perlu dilakukan palpasi denyut arteri femoralis, bila

menurun dan atau terlambat dibandingkan arteri radialis maka tekanan darah pada kaki

harus di ukur (Tjokroprawiro et al., 2009).

Pada pemeriksaan laboratorium maupun penunjang masih di dapatkan perbedaan

pendapat mengenai seberapa jauh/luas pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan

pada pasien hipertensi, khususnya hipertensi sekunder atau subset dari hipertensi
esensial, tetapi secara umum sebelum memulai terapi perlu dilakukan pemeriksaan

dasar yang meliputi (Konthen et al., 2008) :

a. Urin lengkap

b. Darah lengkap

c. Gula darah

d. BUN kreatinin serum (K, Na, Ca, P)

e. Profil lipid

f. Elektrokardiogram (EKG)

g. Foto dada

Dapat di lengkapi juga dengan pemeriksaan :

a. Ekskresi albumin urin

b. Rasio albumin/kreatinin

8. Terapi

Pengobatan hipertensi tidak hanya berdasarkan pada derajat tekanan darah, tetapi

juga mempertimbangkan terdapatnya faktor resiko, kardiovaskuler (Konthen, 2008) :

a. Target tekanan darah

Tujuan utama terapi JNC VII memberikan terapi antihipertensi untuk

kesehatan masyarakat adalah untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas

penyakit kardiovaskuler dan ginjal. Target secara umum adalah < 140/90 mmHg

oleh karena dihubungkan dengan penurunan komplikasi penyakit kardiovaskuler,

dan < 130/80 mmHg jika didapatkan diabetes dan penyakit ginjal.

b. Modifikasi kebiasaan hidup

Modifikasi kebiasaan hidup dilakukan pada setiap penderita hipertensi,

meskipun cara ini tidak dapat dilakukan sebagai cara tunggal untuk setiap derajat

hipertensi, akan tetapi bermanfaat dalam menurunkan tekanan darah, memberikan


efek obat antihipertensi dan cukup potensial dalam menurunkan faktor resiko

kardiovaskuler, disamping murah dan efek sampingnya minimal. Modifikasi

kebiasaan hidup untuk pencegahan dan penatalaksanaan hipertensi adalah sebagai

berikut:

1) Menurunkan berat badan (indeks masa tubuh diusahakan 18,5-24,9 kg/m2)

diperkirakan menurunkan tekanan darah sistolik 5-20 mmHg/10kg

penurunan berat badan

2) Diet dengan asupan cukup kalium dan kalsium dengan mengkonsusmsi

makanan kaya buah, sayur, rendah lemak hewani, dan mengurangi asam

lemak jenuh diharapkan menurunkan tekanan darah sistolik 8-14 mmHg

3) Mengurangi konsumsi natrium tidak lebih dari 100mmol/hari (6 gram

NaCl), diharapkan menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg

4) Meningkatkan aktivitas fisik misalnya dengan berjalan minimal 30

menit/hari diharapkan menurunkan tekanan darah sistolik 4-9 mmHg

5) Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol

c. Pengobatan farmakologi

Menurut JNC VII, uji klinik dengan menggunakan berbagai obat penurun

tekanan darah termasuk penghambat-ACE (angiotensin converting enzyme

inhibitor=ACEI). Antagonis angiotensin (angiotensin receptor blockers=ARB),

antagonis Ca (Ca channel blockers=CCB), penyakit beta (beta blockers=BBs) dan

diuretik golongan thiazida, ternyata semuanya dapat menurunkan komplikasi

hipertensi. Diuretik golongan thiazida terbukti dapat digunakan untuk prevensi

komplikasi kardiovaskuler pada penderita hipertensi, meningkatkan efikasi obat

antihipertensi yang lain dan harganya lebih terjangkau, sehingga diuretik golongan

thiazida dianjurkan sebagai pengobatan awal hipertensi, sebagai obat tunggal atau
kombinasi dengan kelas obat yang lain, kecuali jika ada indikasi untuk

menggunakan obat kelas lain sebagai pengobatan awal.

Anda mungkin juga menyukai