Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikterus Neonatorum

Ikterus neonatorum adalah akumulasi bilirubin yang berlebihan dalam darah yang

ditandai dengan jaundice pada kulit, sklera, mukosa dan urin (Mitayani, 2009). Ikterus terjadi

ketika bilirubin disimpan di dalam jaringan subkutan dan terlihat ketika tingkat serum bilirubin

melebihi enam mg/dL (Mansjoer, 2000). Ikterus disebabkan oleh proses normal terjadi pada

25% sampai 50% dari semua bayi yang baru lahir cukup bulan yang sehat (Deslidel, 2012).

Peningkatan kadar bilirubin lebih sering terjadi pada bayi kurang dari 38 minggu masa gestasi

(American Academy of Pediatrics, 2004).

Ikterus dibedakan berdasarkan tanda-tanda yang muncul pada neonatus.

Ikterus fisiologi akan muncul pada hari kedua dan ketiga pasca lahir dan terlihat jelas pada hari

ke-5 sampai ke-6 (Saputra, 2014). Kadar bilirubin indirek neonatus cukup bulan tidak melebihi

10 mg/dl, peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi lima mg/dl per hari dengan kadar

bilirubin direk tidak melebihi satu mg/dl. Ikterus tidak terbukti terkait dengan keadaan

patologis dan menghilang pada 10 hari pertama (Arief, 2009). Ikterus patologi terjadi dalam

24 jam pertama segera setelah lahir dan menetap setelah dua minggu pertama, kadar bilirubin

pada neonatus cukup bulan >10 mg/dl atau >12,5 mg/dl pada neonatus kurang bulan, bilirubin

meningkat >5 mg/dl per hari, kadar bilirubin direk melebihi satu mg/dl dan mempunyai

hubungan dengan proses hemolitik (Arief, 2009).

Breastfeeding jaundice dan breastmilk jaundice merupakan peningkatan kadar

bilirubin yang berkaitan dengan pemberian ASI. Breastfeeding jaundice muncul pada bayi

yang mendapat ASI eksklusif yang terjadi pada hari ke-2 atau ke-3 disaat produksi air susu ibu
sedikit. Neonatus kehilangan berat badan/dehidrasi, frekuensi menyusu yang tidak adekuat,

hambatan ekskresi bilirubin hepatik serta adanya gangguan reabsorpsi bilirubin di usus (IDAI,

2013). Peningkatan sirkulasi enterohepatik mengakibatkan meningkatnya jumlah bilirubin tak

terkonjugasi yang berakhir pada keadaan hiperbilirubinemia pada neonatus (IDAI, 2013).

Breastmilk jaundice merupakan kadar bilirubin indirek yang meningkat dengan kadar 25

sampai 30 mg/dl pada minggu ke-2 sampai ke-3. Hal ini disebabkan oleh terhambatnya uridin

diphosphoglucuronic acid glukuronil transferase oleh hasil metabolisme progesteron yaitu

pregnan-3-alpha 20 beta-diol yang terdapat di dalam air susu ibu (IDAI, 2013). Breastmilk

jaundice tidak terjadi pada hari pertama sampai ke-5 kehidupan karena peningkatan

penyerapan bilirubin dalam usus tidak terjadi sampai adanya transisi dari kolostrum menjadi

ASI matur (Arias, 1964).

Penentuan derajat ikterus menurut pembagian zona tubuh oleh Kramer (1969) yaitu

Kramer I ikterus di daerah kepala dengan perkiraan bilirubin total ± 5-7 mg/dl, Kramer II di

daerah dada sampai pusat dengan bilirubin total ± 7-10 mg/dl, Kramer III mulai perut dibawah

pusat sampai dengan lutut dengan bilirubin total ± 10-13 mg/dl, Kramer IV bagian lengan

sampai dengan pergelangan tangan, tungkai bawah sampai dengan pergelangan kaki dengan

bilirubin total ± 13-17 mg/dl, dan Kramer V sampai dengan telapak tangan dan telapak kaki

dengan bilirubin total >17 mg/dl.


Sumber : Kramer, 1969
Gambar 2.1
Penentuan Derajat Ikterus Menurut Pembagian Zona Tubuh Oleh Kramer

2.1.1 Bilirubin

Bilirubin adalah produk samping pemecahan protein yang mengandung heme

dalam sel darah merah pada sistem retikuloendotelial yang terbagi menjadi dua bentuk

yaitu bilirubin tak terkonjugasi dan terkonjugasi (Haws, 2007). Heme merupakan hasil

hemolisis eritrosit dan protein heme lainnya seperti sitokrom, mioglobin, peroksidase dan

katalase. Usia hidup eritrosit pada neonatus lebih pendek berkisar 80-90 hari dibandingkan

orang dewasa yaitu 120 hari, sehingga bilirubin diproduksi dua kali lebih tinggi pada

neonatus (Klaus, 1993).

Proses metabolisme bilirubin terdiri dari produksi, transpotasi, konjugasi dan

ekskresi, dimana sebagian besar produksi bilirubin berasal dari eritrosit yang rusak. Heme

dikonversi menjadi bilirubin tak terkonjugasi kemudian berikatan dengan albumin dan

dibawa ke hati kemudian dikonjugasi oleh asam glukuronat pada reaksi yang dikatalisasi

oleh glukuronil transferase. Bilirubin terkonjugasi disekresikan ke traktus bilier untuk

diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Pada bayi baru lahir yang ususnya bebas dari
bakteri, pembentukan sterkobilin tidak terjadi, namun usus bayi mengandung banyak beta

glukuronidase yang menghidrolisis bilirubin glukoronid menjadi bilirubin indirek dan akan

direabsorpsi kembali melalui siklus enterohepatik ke aliran darah (Mansjoer, 2000).

2.1.2 Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum (hasil

pemeriksaan laboratorium) yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati

bilirubin (Mansjoer, 2000). Hiperbilirubinemia apabila kadar bilirubun serum total >5

mg/dL. Faktor terjadinya hiperbilirubinemia yaitu (1) proses fisiologis pada bayi baru lahir

terutama bayi prematur, selama minggu pertama kehidupan terjadi peningkatan kadar

bilirubin indirek serum. Kompensasi tekanan partial oksigen yang rendah, umur sel darah

merah pendek dan peningkatan resirkulasi enterohepatik dari bilirubin mengakibatkan

volume sel darah merah meningkat. Organ hati yang belum sempurna menyebabkan

kurangnya serapan hati sebagai dampak penurunan konsentrasi protein pengikat bilirubin

dan rendahnya aktivitas glukoronil transferase menyebabkan konjugasi berkurang. (2)

Meningkatnya kadar bilirubin indirek diakibatkan oleh peningkatan produksi disertai

peningkatan pemecahan sel darah merah yang berlebihan. Hemolisis dapat disebabkan oleh

inkompatibilitas golongan darah: rhesus, ABO, kegagalan enzim pada sel darah merah,

abnormalitas struktur membran sel darah merah, infeksi (bakteri, virus, dan protozoa). (3)

Kelainan serapan oleh hati, (4) kegagalan konjugasi karena defisiensi kongenital enzim

glukuronil transferase, inhibisi enzim glukoronil transferase (pengaruh obat). (5)

Peningkatan hemolisis dan peningkatan beban jalur degradasi bilirubin akibat dari

sekuestrasi sel darah merah yang berasal dari sefal hematoma perdarahan saluran cerna,

serta (6) siklus enterohepatik (Haws, 2007).


2.1.3 Dampak hiperbilirubinemia

Ensefalopati bilirubin adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin

indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nikleus, subtalamus

hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar vertikel IV. Secara klinis dapat berupa

mata berputar, letargi, kejang, tidak mau menghisap, malas minum, tonus otot meningkat

dan leher kaku serta apabila berlanjut dapat menyebabkan ketulian nada tinggi, gangguan

bicara dan retardasi mental (Mansjoer, 2000).

2.1.4 Tata laksana hiperbilirubinemia

Pemberian ASI secara dini pada neonatus dapat mengurangi terjadinya ikterus

fisiologis. Adanya dorongan gerakan usus dan mempercepat pengeluaran mekonium

sehingga enterohepatik bilirubin berkurang. Tata laksana pada neonatus dengan

hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi adalah pemberian fototerapi dengan pencahayaan

lampu dengan jarak antara 10-50 cm. Fototerapi dianjurkan apabila kadar bilirubin serum

total > 12 mg/dl pada neonatus usia 25-48 jam pasca lahir, dan wajib dilaksanakan apabila

kadar bilirubin serum total 15 mg/dl. Transfusi tukar dianjurkan apabila fototerapi yang

sudah dilaksanakan selama 2 x 24 jam tidak dapat menurunkan kadar bilirubin serum total

menjadi kurang dari 20 mg/dl. Pemeriksaan laboratorium ke arah penyakit hemolisis

dilakukan apabila kadar bilirubin serum total lebih dari 15 mg/dl pada usia 25-48 jam pasca

kelahiran. Pengobatan dengan intravena imun globulin pada bayi dengan isoimunisasi Rh

atau ABO dapat mengurangi tindakan transfusi tukar. Intravena imun globulin telah

digunakan untuk kondisi imunologi dalam beberapa tahun terakhir. Kebutuhan untuk

transfusi tukar dapat dikurangi dengan intravena imun globulin (Klaus, 1993).
2.2 Cara Persalinan

Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada

kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala,

tanpa komplikasi baik ibu maupun janin (Hidayat, 2010). Perabdominam (bedah sesar) suatu

cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan

perut (Mochtar, 2006). Ibu yang melahirkan spontan berisiko terjadinya trauma lahir pada

neonatus yang mengakibatkan pemecahan eritrosit sehingga meningkatkan

bilirubin tak terkonjugasi. Memar dan sefal hematoma merupakan bentuk umum dari

perdarahan ekstravaskuler pada neonatus yang terjadi pada jaringan periosteum (sub

periosteal) karena tekanan jalan lahir pada persalinan normal yang dapat menyebabkan

hiperbilirubinemia. Sefal hematoma terjadi sangat lambat sehingga tidak nampak adanya

edema dan eritema pada kulit kepala (Rukiyah, 2013). Kejadian trauma pada neonatus dapat

berkurang dengan dilakukannya tindakan bedah sesar namun berisiko pada ibu (Manuaba,

2007).

Ibu yang melahirkan dengan bedah sesar merupakan salah satu faktor yang

berhubungan dengan penundaan menyusui sehingga meningkatkan kadar bilirubin. Penundaan

menyusui dapat memperlambat pengeluaran mekonium sehingga meningkatkan siklus

enterohepatik pada usus (Osborn,1984). Osborn mendapatkan hasil bahwa cara persalinan

berhubungan dengan asupan nutrisi pada neonatus dimana ibu yang mengalami operasi bedah

sesar sebagian besar mampu memulai menyusui bayi rata-rata lebih dari empat sampai 24 jam

sehingga neonatus diberikan asupan tambahan sampai ibu mampu menyusui (Osborn, 1984).

Neonatus yang lahir melalui bedah sesar tidak melewati jalan lahir ibu, sehingga tidak

mendapatkan bakteri menguntungkan yang berpengaruh pada proses pematangan sistem daya
tahan tubuh (Tazami, 2013). Penelitian cross sectional dilakukan oleh (Garosi, 2016) di Iran

dengan menggunakan 455 sampel rekam medis dan hasil wawancara mendapatkan hasil, dari

255 neonatus dengan ikterus, sebanyak 69,8% ibu dengan persalinan bedah sesar dan 30,2%

ibu dengan persalinan spontan. Berbeda dengan penelitian kasus kontrol dengan sampel 80

neonatus matur yang dilakukan oleh (Sareharto & Wijayahadi, 2010) di Semarang bahwa tidak

ada hubungan antara cara persalinan dengan kadar bilirubin.

2.3 Inisiasi Menyusu Dini

Inisiasi menyusu dini atau permulaan menyusu dini adalah bayi mulai menyusu sendiri

segera setelah lahir (Roesli, 2012). Proses yang dilakukan yaitu bayi dikeringkan pada bagian

kepala dan badan kecuali bagian tangan yang terdapat lemak putih, tali pusat dipotong dan

diikat kemudian bayi ditengkurapkan di dada atau perut ibu. Proses ini dipertahankan

minimum satu jam atau setelah menyusu awal selesai. Prosedur invasif seperti tetes mata bayi,

suntikan vitamin K dan prosedur menimbang, mengukur serta cap bayi dapat dilakukan setelah

inisiasi menyusu dini (Roesli, 2012).

Manfaat inisiasi menyusu dini bagi bayi adalah melatih insting bayi, meningkatkan

kekebalan tubuh bayi, serta manfaat lain adalah mempercepat pengeluaran kolostrum (Roesli,

2012). Penurunan hormon prolaktin apabila inisiasi menyusu dini tidak dilakukan dapat

mengakibatkan produksi ASI kurang lancar dan ASI baru akan keluar pada hari ketiga atau

lebih (Purwanti, 2004). Hormon prolaktin dan oksitosin berperan dalam produksi ASI yang

dapat dirangsang dengan isapan bayi sehingga dapat merangsang pengeluaran ASI. Pemberian

ASI yang adekuat, tanpa diberi minuman tambahan dapat mengatasi breastfeeding jaundice

dimana bayi yang sehat dan lahir cukup bulan mempunyai cadangan energi serta cairan untuk
mempertahankan metabolisme selama tiga hari (IDAI, 2013). Menyusui yang tidak adekuat,

terutama di minggu pertama kehidupan bisa meningkatkan intensitas penyakit kuning

(Gartner, 2001). Ketidakcukupan ASI yang dikeluarkan dari payudara ibu dapat disebabkan

oleh kekeliruan dalam melakukan pemberian ASI untuk pertama kali (Purwanti, 2004).

Penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Saputra tahun 2016 mendapatkan hasil

kejadian ikterus lebih banyak terjadi pada kelompok yang tidak dilakukan inisiasi menyusu

dini. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Bilgin, 2013) dalam studi prospektif di

Turkey, tidak ada hubungan antara waktu menyusu pertama kali dengan peningkatan kadar

bilirubin pada neonatus.

2.4 Onset Keluar Kolostrum

Kolostrum adalah cairan pelindung yang kaya akan zat anti infeksi dan mengandung

tinggi protein yang keluar hari pertama sampai hari ke-4 atau ke-7 setelah melahirkan (Marmi,

2012). Komposisi kolostrum terdiri dari kadar karbohidrat dan rendah lemak dan protein

(gamma globulin). Kolostrum mengandung antibodi yang memberikan perlindungan bagi bayi

sampai umur enam bulan, lebih tinggi mineral terutama natrium kalium dan klorida. Kolostrum

memiliki kandungan vitamin yang larut dalam lemak, immunoglobulin Ig A, Ig G dan Ig M

dibandingkan dengan ASI matur, namun memiliki total energi lebih rendah. Jumlah kolostrum

masih terbatas karena masih dihambat oleh tingginya kadar estrogen (Marmi, 2012).

Kolostrum yang dikeluarkan saat pelaksanaan inisiasi menyusu dini mengandung

nutrisi yang membantu melapisi serta maturasi usus dan lambung. Kolostrum merupakan

cairan pencahar yang ideal untuk mempersiapkan saluran cerna bayi terhadap makanan yang

akan datang serta membersihkan zat yang tidak dibutuhkan dari usus neonatus. Kolostrum
sangat diperlukan untuk tumbuh kembang bayi, sebagai laksatif alami serta mencegah kuning

pada bayi baru lahir (Haryono, 2014).

Mekonium adalah tinja pertama bayi, berwarna jingga yang tersusun dari sel-sel epitel

yang mengalami deskuamasi, sel-sel epidermis serta lanugo yang ditelan bersama cairan

amnion. Sebanyak 90% neonatus mengeluarkan mekonium pada 24 jam pertama dan sisanya

dalam 36 jam. Mekonium akan berubah warna pada hari ke-3 atau ke-4, tergantung seberapa

dini pemberian susu dan susu apa yang digunakan. Semakin cepat usus bayi dirangsang

semakin cepat terjadi motilitas usus sehingga pengeluaran mekonium dapat lebih cepat.

Pengeluaran mekonium yang lebih cepat berdampak pada berkurangnya kejadian ikterus

(Bobak, 2005).

Penggunaan susu formula justru akan mengganggu perkembangan dan menyebabkan

kerusakan saluran pencernaan (Purwanti, 2004). Penelitian kohort yang dilakukan oleh

Suryandari (2015) mendapatkan hasil, terdapat perbedaan kejadian ikterus fisiologis pada bayi

baru lahir dengan pemberian kolostrum dini dan tidak diberi kolostrum secara dini dengan nilai

p<0,05 dimana bayi baru lahir normal yang tidak diberi kolostrum secara dini 13,5 kali lebih

besar mengalami ikterus fisiologis dibandingkan bayi yang diberikan kolostrum secara dini.

Bayi mengalami ikterus fisiologis tidak hanya tergantung pada proses pemberian

kolostrum namun juga dipengaruhi oleh pola menyusui sedini dan sesering mungkin (Arief,

2009). Jumlah bilirubin dalam darah bayi akan berkurang seiring diberikannya kolostrum yang

dapat mengatasi kekuningan, asalkan bayi tersebut disusui sesering mungkin (Prasetyono,

2012). Semakin sering bayi menyusu maka kemampuan stimulasi hormon dan kelenjar

payudara semakin sering sehingga produksi ASI semakin banyak (Marmi, 2012).
2.5 Frekuensi Menyusu Dalam 24 Jam

Prolaktin memengaruhi jumlah produksi ASI dan oksitosin berkaitan dengan proses

pengeluaran ASI. Prolaktin berkaitan dengan nutrisi ibu, semakin baik asupan nutrisinya maka

produksi yang dihasilkan juga banyak. Mengeluarkan ASI diperlukan hormon oksitosin yang

kerjanya dipengaruhi oleh proses hisapan bayi. Bayi yang menyusui dengan rentang frekuensi

yang optimal menjadikan bayi mampu menghadapi efek ikterus (Haryono, 2014). Rentang

frekuensi menyusu yang optimal adalah setiap dua jam sekali atau sesering mungkin sesuai

dengan keinginan bayi dimana lambung bayi akan kosong dalam waktu dua jam (Haryono,

2014). Frekuensi maksimal menyusu pada bayi adalah sesuai kemauan dan paling sedikit

delapan kali sehari (IDAI, 2013). Semakin sering puting dihisap oleh bayi semakin banyak

ASI yang dikeluarkan, bayi yang terus disusui secara adekuat dan teratur cenderung lebih awal

mengeluarkan mekonium dan mengalami kejadian ikterus fisiologis yang lebih rendah

(Marmi, 2012). Pemberian ASI yang tidak adekuat meningkatkan risiko dehidrasi akibat

menurunnya volume cairan, meningkatnya sirkulasi bilirubin enterohepatik akibat

menurunnya motilitas gastrointestinal. Bayi yang sehat dapat mengosongkan payudara dalam

waktu lima sampai tujuh menit dan dengan pemberian ASI tidak terjadwal dan sesuai

kebutuhan bayi dapat mencegah ikterus (Apriyulan, 2017). Studi prospekti yang dilakukan

oleh (Tazami, 2013) di Jambi mendapatkan hasil bahwa angka kejadian ikterus dengan

pemberian ASI yang kurang dari delapan kali per hari mempunyai resiko untuk terkena ikterus.

2.6 Faktor Yang Memengaruhi Kadar Bilirubin

Faktor lain yang memengaruhi meningkatnya kadar bilirubin diantaranya prematuritas

dimana peningkatan bilirubin indirek sering dialami oleh neonatus yang dilahirkan prematur
dengan BBLR. Immaturitas hepar dan saluran gastrointestinal yang terjadi pada BBLR

menyebabkan hiperbilirubinemia pada neonatus (Proverawati, 2010). Kondisi fisiologis yang

dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada neonatus yaitu sebagian besar sel darah merah

memiliki usia yang singkat dan terjadi peningkatan sirkulasi enterohepatik dan defisiensi

konjugasi bilirubin di hati.

Inkompatibilitas ABO adalah suatu keadaan umur sel darah merah neonatus yang

memendek akibat antibodi dari ibu. Inkompatibilitas ABO ditemukan pada bayi golongan

darah A atau B dan ibu golongan darah O. Kelompok ini memiliki risiko hiperbilirubinemia

dikarenakan adanya reaksi imun berdasarkan terjadinya hemolisis (Murray, 2007). Keadaan

hiperbilirubinemia cenderung lebih umum terjadi pada golongan darah O pada ibu atau dengan

Rh-negatif (Kaplan, 2001).

Risiko kejadian hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang

memiliki riwayat diabetes melitus. Pada usia 48-72 jam, 20-30% neonatus dengan ibu yang

memiliki riwayat diabetes melitus memiliki konsentrasi bilirubin indirek yang tinggi. Produksi

karbon monoksida meningkat, konsisten dengan meningkatnya katabolisme hemoglobin dan

produksi bilirubin. Kecenderungan terhadap hiperbilirubinemia sebagian disebabkan oleh

besarnya ukuran neonatus yang meningkatkan risiko trauma lahir sehingga resorpsi darah dari

sepal hematoma menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada neonatus dengan ibu diabetes melitus

juga terjadi polisitemia dan kecepatan penguraian normal massa sel darah merah yang

meningkat mengakibatkan beban bilirubin yang besar bagi hati untuk melakukan proses

konjugasi (Rudolph, 2006).

Asfiksia adalah keadaan hipoksia yang progresif karena akumulasi CO2 dan asidosis

(Deslidel, 2012). Asfiksia dibedakan menjadi tiga yaitu bayi normal dengan skor APGAR 7-
10 dimana bayi dianggap sehat dan hanya memerlukan perawatan rutin untuk bayi baru lahir,

asfiksia sedang dengan skor APGAR 4-6 dan asfiksia berat dengan skor APGAR 0-3 (Deslidel,

2012). Asfiksia merujuk pada kejadian hipoksia dan iskemia dimana kadar oksigen arteria yang

kurang dari normal serta aliran darah ke sel dan ke organ tidak mencukupi untuk

mempertahankan fungsi normalnya. Kondisi tersebut dapat mengurangi aktivitas transferase

di organ hati yang menyebabkan konjugasi berkurang (Behrman, 2000). Asfiksia berat dengan

skor APGAR 0-3 akan menghambat pelaksanaan inisiasi menyusu dini.

Enzim G6PD (Glukosa-6-Phospat Dehidrogenase) merupakan enzim yang terdapat

pada manusia yang berfungsi mencegah hemolitik sekaligus menjaga keutuhan sel darah

merah. Defisiensi G6PD merupakan kelainan enzim yang terkait kromosom sex yang

umumnya terjadi pada lelaki (Wang, 2014). Rendahnya aktivitas enzim G6PD pada sel darah

merah dengan aktivitas residual G6PD kurang dari 100 mengakibatkan terjadi peningkatan

hemolisis pada sel darah merah. Peningkatan hemolisis menyebabkan terjadinya peningkatan

produksi bilirubin.

Menurut WHO, preeklamsi ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada

preeklamsi lebih dari 140/90 mmHg dengan protein urin lebih dari 300 mg/L dalam 24 jam

(Klaus, 1993). Preeklamsi merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang berhubungan

dengan kelahiran prematur dan BBLR karena dapat mengganggu pertukaran gas dan

metabolisme pada janin dimana memperlambat pertumbuhan janin serta memperpendek usia

kehamilan ibu (Proverawati, 2010). Penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Asih tahun

2006 di Cilacap mendapatkan hasil sebanyak 59,1% ibu primigravida yang mengalami

preeklamsi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (p<0,05). Bayi lahir dengan berat

badan rendah dapat menimbulkan pneumonia, gangguan pernapasan, aspirasi karena kurang
sempurnanya reflek menelan, hiperbilirubinemia dan hipotermia yang memerlukan

penanganan khusus (Proverawati, 2010).

Paritas adalah status seorang wanita sehubungan dengan jumlah anak yang dilahirkan

(Hinchliff, 1999). Neonatus yang mengalami ikterus ditemukan pada ibu dengan paritas

pertama dibandingkan dengan paritas lebih dari satu, hal ini diakibatkan oleh trauma lahir

akibat jalan lahir yang digunakan untuk pertama kalinya (Klaus, 1993).

2.7 Hubungan antara Ikterus Fisiologis dengan Cara Persalinan dan Pemberian ASI

Cara persalinan secara spontan maupun secara tindakan memiliki pengaruh yang sama

terhadap ikterus neonatorum. Persalinan spontan dapat menimbulkan trauma lahir pada

neonatus salah satunya sefal hematoma yang dapat meningkatkan kadar bilirubin. Persalinan

dengan tindakan menghambat pelaksanaan inisiasi menyusu dini serta neonatus tidak

mendapatkan bakteri normal pada jalan lahir. Bakteri berfungsi untuk membantu proses

pencernaan neonatus sehingga terjadi penurunan siklus enterohepatik.

Pengeluaran mekonium yang lebih cepat berdampak pada berkurangnya kejadian

ikterus (Bobak, 2005). Pemberian kolostrum sering dan dini akan meningkatkan ekskresi

mekonium dan menurunkan kadar billirubin (Bobak, 2005). Proses menyusui dilanjutkan

delapan kali atau lebih dalam sehari dan ibu dianjurkan menyusui secara teratur dalam 24 jam.

Pada proses inisiasi menyusu dini terdapat fase bayi menjilat-jilat kulit ibu sehingga

memudahkan flora normal kulit ibu masuk ke pencernaan bayi. Bakteri berfungsi untuk

pengubahan bilirubin serta aktifitas enzim glukoronidase pada usus bayi. Apabila bakteri tidak

terdapat dalam usus maka terjadi peningkatan hidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi

bilirubin tak terkonjugasi dan masuk ke siklus enterohepatik. Kejadian ikterik neonatorum
berhubungan dengan peningkatan siklus enterohepatik yang disebabkan tertumpuknya

bilirubin pada gangguan pasase mekonium (Bobak, 2005). Bayi yang mendapat kolostrum

berperan sebagai laksatif alami (pencahar) yang membantu mendorong mekonium keluar dari

tubuh. Kolostrum mulai diproduksi pada akhir kehamilan dan tetap bertahan hingga empat hari

setelah kelahiran. Bilirubin yang dikeluarkan melalui mekonium menurunkan kadar bilirubin

serum yang menjadi penyebab ikterik (Bobak, 2005).

Anda mungkin juga menyukai