Anda di halaman 1dari 4

A.

Biografi dan Karya Ibnu Sina


Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali al-Husayn ibn Abdullah ibn
Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia lahir pada tahun 370 H/980 M di Afshana
(Kharmisin), sebuah kota kecil dekat Bukhara, sekarang wilayah
Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya bernama Abdullah, seorang
sarjana terhormat penganut Syiah Isma’illiyah, berasal dari Balkh
Khorasan, suatu kota yang termasyur di kalangan orang-orang Yunani
dengan nama Bakhtra. Ayahnya tinggal di Balkh, tetapi setelah beberapa
tahun lahirnya Ibnu Sina keluarganya pun pindah. Ibunya, bernama Astarah
berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afghanistan. Ada yang
menyebutkan ibunya sebagai orang yang berkebangsaan Persia, karena abad
ke-10 Masehi, wilayah Afghanistan ini termasuk daerah Persia.1
Ibnu Sina sejak usia muda telah menguasai beberapa disiplin ilmu,
seperti matematika, logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum dan lain
lainnya, bahkan dalam usia sepuluh tahun ia telah hafal Alqur’an
seluruhnya. Ketika ia berusia 17 tahun, dengan kepintarannya yang sangat
mengagumkan, ia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada pada
saat itu dan melebihi siapapun juga. Sehingga banyak orang yang ingin
berguru kepadanya. Dan juga kepandaiannya ini tidak pada teori saja
melainkan praktipun ia kuasai. Karena kepintarannya ini, ia diangkat
sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini terjadi setelah ia
berhasil mengobati Pangeran Nuh ibn Manshur, pada saat itu tidak ada
seorangpun yang dapat menyembuhkannya. Ia juga pernah diangkat
menjadi Menteri oleh Sultan Syams al-Daulah yang berkuasa di Hamdan ,
karena berhasil mengobati penyakitnya.2
Beliau ini memperoleh predikat seorang fisikawan pada usia 18 tahun
dan menemukan bahwa “kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun
menjengkelakan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat
memperoleh kemajuan, saya; saya menjadi dokter yang sangat baik dan

1
Fathor Rachman Utsman, “Tadris”, Jurnal Pendidikan Islam Vol. 5 No. 1, 2010, 38.
2
Sirajuddin, “Filsafat Islam”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 91-92.
mulai merawat para pasien, menggunakan obat-obat yang sesuai” Beliau
mempelajari ilmu kedokteran secara otodidak dan mendalam, hingga ia
dikenal sebagai seorang dokter professional dan termansyur pada
zamannya. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Ibnu Sina mempelajari
kedokteran ini dari Ali Abi Sahl al-Masity dan Abi Mansur al-Hasan ibn
Nur al-Qomary. 3
Dengan demikian, ilmu kedoteran yang ditekuninya mengalami
perkembangan yang luar biasa karena didukung oleh keluasan teori dan
praktik. Dia juga merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Diantara guru yang mendidiknya ialah Abu ‘Abd Allah al-Natili dan
Isma’il sang Zahid. Karena kecerdasan otaknya yang luar biasa ini ia dapat
menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan sempurna, bahkan
melebihi sang guru. Meskipun Ibnu Sina sempat kebingungan untuk
memenuhi hasrat belajarnya yang tak kunjung terpenuhi dari guru yang
telah ia temui, akhirnya ia dapat lebih banya belajar di perpustakaan istana,
Kutub Khana. Ia diberi kebebasan belajar disana karena keberhasilannya
menyembuhkan sang pangeran.
Beragam ilmu yang ia pelajari dan kuasai di perpustakaan, termasuk di
bidang filsafat. Namun, dalam mempelajari filsafat ini, terkadang ia
memperoleh kesulitan. Pada beberapa penyelidikan yang membingungkan,
dia meninggalkan buku-bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke
masjid dan terus shalat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan-
kesulitannya.
Kemudian Ibnu Sina secara tidak langsung berguru kepada al-Farabi,
bahkan dalam otobigorafinya disebutkan tentang utang budinya kepada
guru kedua ini. Hal ini terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami
Metafisika Aristoteles, sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir
hapal di luar kepala. Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil al-
Farabi. Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang

3
Fathor Rachman Utsman, …, 39.
filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis al-Farabi dan dibukakan
pintunya oleh al-Kindi.4
Sebagai pemikir yang inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu Sina
tidaklah terlepas dari cobaan yang menimpanya. Tatkala perpustakaan
istana terbakar, musuh-musuhnya menuduh Ibnu Sina yang membakarnya
supaya orang tidak bisa menguasai ilmu yang ada disana, kecuali Ibnu Sina
sendiri sehingga ia tidak tertandingi. Ia juga pernah dipenjarakan oleh putra
al-Syam al-daulah hanya karena meloloskan diri dari penjara dan lari ke
Isfahan kemudian disambut oleh Amirnya dengan kehormatan. Di kota ini
kemudian ia mengabdikan kiprahnya sebagai seorang intelektual muslim
yang disegani.5
Ibnu Sina wafat pada usia 58 tahun tepatnya pada tahun 1037 M di
Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Ia wafat ketika sedang
mengajar di sebuah sekolah.

4
Sirajuddin, …, 92-93.
5
Fathor Rachman Utsman, …, 40.

Anda mungkin juga menyukai