1
Fathor Rachman Utsman, “Tadris”, Jurnal Pendidikan Islam Vol. 5 No. 1, 2010, 38.
2
Sirajuddin, “Filsafat Islam”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 91-92.
mulai merawat para pasien, menggunakan obat-obat yang sesuai” Beliau
mempelajari ilmu kedokteran secara otodidak dan mendalam, hingga ia
dikenal sebagai seorang dokter professional dan termansyur pada
zamannya. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Ibnu Sina mempelajari
kedokteran ini dari Ali Abi Sahl al-Masity dan Abi Mansur al-Hasan ibn
Nur al-Qomary. 3
Dengan demikian, ilmu kedoteran yang ditekuninya mengalami
perkembangan yang luar biasa karena didukung oleh keluasan teori dan
praktik. Dia juga merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Diantara guru yang mendidiknya ialah Abu ‘Abd Allah al-Natili dan
Isma’il sang Zahid. Karena kecerdasan otaknya yang luar biasa ini ia dapat
menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan sempurna, bahkan
melebihi sang guru. Meskipun Ibnu Sina sempat kebingungan untuk
memenuhi hasrat belajarnya yang tak kunjung terpenuhi dari guru yang
telah ia temui, akhirnya ia dapat lebih banya belajar di perpustakaan istana,
Kutub Khana. Ia diberi kebebasan belajar disana karena keberhasilannya
menyembuhkan sang pangeran.
Beragam ilmu yang ia pelajari dan kuasai di perpustakaan, termasuk di
bidang filsafat. Namun, dalam mempelajari filsafat ini, terkadang ia
memperoleh kesulitan. Pada beberapa penyelidikan yang membingungkan,
dia meninggalkan buku-bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke
masjid dan terus shalat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan-
kesulitannya.
Kemudian Ibnu Sina secara tidak langsung berguru kepada al-Farabi,
bahkan dalam otobigorafinya disebutkan tentang utang budinya kepada
guru kedua ini. Hal ini terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami
Metafisika Aristoteles, sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir
hapal di luar kepala. Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil al-
Farabi. Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang
3
Fathor Rachman Utsman, …, 39.
filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis al-Farabi dan dibukakan
pintunya oleh al-Kindi.4
Sebagai pemikir yang inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu Sina
tidaklah terlepas dari cobaan yang menimpanya. Tatkala perpustakaan
istana terbakar, musuh-musuhnya menuduh Ibnu Sina yang membakarnya
supaya orang tidak bisa menguasai ilmu yang ada disana, kecuali Ibnu Sina
sendiri sehingga ia tidak tertandingi. Ia juga pernah dipenjarakan oleh putra
al-Syam al-daulah hanya karena meloloskan diri dari penjara dan lari ke
Isfahan kemudian disambut oleh Amirnya dengan kehormatan. Di kota ini
kemudian ia mengabdikan kiprahnya sebagai seorang intelektual muslim
yang disegani.5
Ibnu Sina wafat pada usia 58 tahun tepatnya pada tahun 1037 M di
Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Ia wafat ketika sedang
mengajar di sebuah sekolah.
4
Sirajuddin, …, 92-93.
5
Fathor Rachman Utsman, …, 40.