Anda di halaman 1dari 4

Mekanisme dan Tata Laksana Sakit Kepala Migren

RACIKAN UTAMA - Edisi Januari 2007 (Vol.6 No.6)

Migren bukanlah penyakit tertentu, melainkan sebuah sindrom rekuren yang dapat diiringi dengan
dengan tanda dan gejala lainnya, terutama gejala simpatis dan parasimpatis

Seorang wanita muda sering mengeluh kepalanya sering sakit, terutama di sebelah sisi. Rasa sakitnya
sangat hebat hingga dia ingin membenturkan kepalanya ke dinding karena tak tahu mau diapakan lagi.
Umumnya serangan seperti itu dia alami ketika menstruasi atau selepas minum kopi, namun tak jarang
juga ia dapati ketika berada di tempat yang ramai, sumpek, berisik. Biasanya Paramex atau Panadol
menjadi obat setia yang menemaninya di kala sakit. Namun saat ini sakitnya sudah tak tertahankan lagi,
sehingga dia pun memilih untuk berobat ke dokter.

Varian sakit kepala


Sakit kepala merupakan keluhan utama yang dirasakan sekitar 60-80% pasien penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan neurologi. Keluhan ini diduga sudah dirasakan sejak awal penciptaan manusia,
sejarah pertama mencatat bangsa Babylonia telah menyebutkan sakit kepala sejak 3000 tahun SM.
Seiring dengan kompleksnya kehidupan manusia, keluhan sakit kepala pun semakin meningkat. Studi
mengenai sakit kepala sangat terbatas, mengingat sakit kepala merupakan keluhan yang subyektif, tidak
ada parameter tertentu, dan studinya terbatas hanya pada manusia. Sakit kepala diduga merupakan
mekanisme protektif dari manusia untuk menghindari kerusakan otak akibat stres fungsional (terutama
stres psikologis) atau sebuah manifestasi dari infeksi patogen, terutama virus dan bakteri.

Mekanisme dasar bagi korteks serebri untuk menghindari kerusakan organ ialah dengan mengurangi
pasokan darah menuju otak, sehingga akan terjadi perubahan diameter pembuluh darah otak, yang
bermanifestasi sakit kepala akibat perubahan vaskular tersebut. Secara klinis, sakit kepala dibagi
menjadi dua kategori; sakit kepala primer dan sakit kepala sekunder. Sakit kepala primer terjadi tanpa
kerusakan organ (etiologi struktural), misalnya sakit kepala vaskular (migren), cluster headache,
tension headache, dan sakit kepala akibat penggunaan obat yang berlebih. Sedangkan sakit kepala
sekunder terjadi karena adanya kerusakan struktural atau organik.

Migren merupakan salah satu bentuk sakit kepala yang umumnya mengenai sisi tertentu, baik unilateral
maupun bilateral. Sebagian besar diduga terjadi akibat faktor vaskular, namun sampai saat ini
mekanismenya masih belum dapat dipahami dengan jelas. Migren bukanlah penyakit tertentu,
melainkan sebuah sindrom rekuren yang dapat diiringi dengan dengan tanda dan gejala lainnya,
terutama gejala simpatis dan parasimpatis. Kumpulan gejala ini dapat didahului dengan tanda tertentu,
dikenal dengan istilah ‘aura’, yang terjadi akibat defisit neurologis pada area tertentu di korteks.
Meskipun dapat didahului dengan aura, hanya 15-20% penderita migren yang mengalami gejala
pendahulu seperti ini. Sisanya, dikategorikan sebagai migren tanpa aura.

Neurovaskular dan neurokimia


Sejak tahun 1950-an, teori vaskular sangat populer untuk menerangkan patofisiologi migren.
Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam terjadinya migren dengan aura.
Pendapat ini diperkuat dengan adanya nyeri kepala disertai denyut yang sama dengan jantung.
Pembuluh darah yang mengalami konstriksi terutama terletak di perfier otak akibat aktivasi saraf
nosiseptif setempat. Teori ini dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh darah ekstrakranial
mengalami pelebaran sehingga akan teraba denyut jantung. Pelebaran ini akan menstimulasi orang
sadar yang diterjemahkan sebagai sakit kepala. Dalam keadaan yang demikian, vasokonstriktor
(misalnya golongan senyawa ergot) akan mengurangi sakit kepala, sedangkan vasodilator (misalnya
nitrogliserin) akan memperburuk sakit kepala.

Saat ini pemikiran para ahli mulai bergeser, dari yang tadinya migren akibat perubahan vaskular
semata, pemikiran meluas menjadi komponen saraf dan pembuluh darah sebagai pencetus migren.
Teori yang populer dengan istilah teori neurovaskular ini lebih komprehensif dan dianut oleh para
neurologist di dunia. Pada prinsipnya, pengidap migren yang sedang tidak mengalami serangan
mengalami hipereksitabilitas neuron pada korteks serebral, terutama di korteks oksipital, yang
diketahui dari studi rekaman MRI dan stimulasi magnetik transkranial. Hipereksitabilitas ini
menyebabkan pengidap migren menjadi rentan mendapat serangan, sebuah keadaan yang sama dengan
para pengidap epilepsi. Pendapat ini diperkuat fakta bahwa pada saat serangan migren, sering terjadi
alodinia (hipersensitif nyeri) kulit karena jalur trigeminotalamus ikut tersensitisasi saat episode migren.

Patofisiologi migren dengan aura juga telah diketahui dengan baik, dikenal dengan teori cortical
spreading depression (CSD). Aura terjadi karena terdapat eksitasi neuron di substansia nigra yang
menyebar dengan kecepatan 2-6 mm/menit. Penyebaran ini diikuti dengan gelombang supresi neuron
dengan pola yang sama sehingga membentuk irama vasodilatasi yang diikuti dengan vasokonstriksi.
Prinsip neurokimia CSD ialah pelepasan Kalium atau asam amino glutamat eksitatori dari jaringan
saraf sehingga terjadi depolarisasi dan pelepasan neurotransmitter lagi, depresi saraf pun menyebar.

CSD pada episode aura akan menstimulasi nervus trigeminalis nukleus kaudatus, memulai terjadinya
migren. Pada migren tanpa aura, kejadian kecil di neuron juga mungkin merangsang nukleus kaudalis
kemudian menginisiasi migren. Nervus trigeminalis yang teraktivasi akan menstimulasi pembuluh
kranial untuk dilatasi. Hasilnya, senyawa-senyawa neurokimia seperti calcitonin gene-related peptide
(CGRP) dan substansi P akan dikeluarkan, terjadilah ekstravasasi plasma. Kejadian ini akhirnya
menyebabkan vasodilatasi yang lebih hebat, terjadilah inflamasi steril neurogenik pada kompleks
trigeminovaskular. Selain CSD, migren juga terjadi akibat beberapa mekanisme lain, di antaranya
aktivasi batang otak bagian rostral, stimulasi dopaminergik, dan defisiensi magnesium di otak.
Mekanisme ini bermanifestasi pelepasan 5-hidroksitriptamin (5-HT) yang bersifat vasokonstriktor.
Pemberian antagonis dopamin, misalnya Proklorperazin, dan antagonis 5-HT, misalnya Sumatriptan
dapat menghilangkan migren dengan efektif.

Keturunan migren
Perbandingan penderita migren wanita dan laki-laki dewasa di dunia mendekati angka 3,5:1. Sebelum
pubertas, prevalensi migren relatif sama antara perempuan dan laki-laki, di atas usia 12 tahun,
prevalensinya meningkat lagi hingga puncaknya di usia 40-an, kecuali wanita perimenopause. Di atas
usia itu, perlahan-lahan menurun hingga prevalensinya rendah di kalangan lansia.

Migren merupakan penyakit yang diturunkan, secara autosom resesif. 70% pasien migren memiliki
riwayat penyakit serupa di keluarganya. Risiko untuk menurunkan migren meningkat empat kali lipat
pada penderita yang memiliki migren dengan aura. Pada migren dengan kelainan hemiplegia (Familial
Hemiplegic Migraine [FHM]) telah terbukti terdapat kelainan pada kromosom 19p13 atau mutasi pada
gen kanal kalsium (CACNL1A4) di lokus 1q. FHM juga berhubungan dengan cerebellar ataxia, sama-
sama di lokus 19p. Evidence-based juga menyebutkan bahwa kejadian migren meningkat pada
penyakit lain, misalnya kelainan mitokondria; Myopathy, Encephalopathy, Lactic Acidosis, and Stroke-
like episodes (MELAS), epilepsi, dislipoproteinemia familial, teleangiektasis hemoragik herediter,
sindrom Tourette, tremor esensial herediter, angiopati amiloid serebral herediter, stroke iskemik
(migren dengan aura merupakan faktor risikonya), depresi dan kecemasan, asma, patent foramen ovale,
dan stroke seara umum.

Diagnosis migren
Diagnosis migren ditegakkan berasarkan kriteria dari International Headache Society (IHS). Beberapa
pasien mengalami fase prodromal 48 jam sebelum sakit kepala. Fase ini meliputi iritabilitas, depresi,
atau hipereksitabilitas. Sakit yang dialami berdenyut-denyut, unilateral, namun bisa berubah letak
setiap episode migren. Durasi sakit berlangsung antara enam hingga dua puluh empat jam, saat itu
pasien lebih memilih untuk berdiam diri di tempat yang tenang dan gelap. Gejala penyerta juga kerap
muncul, berupa fotofobia, fonofobia, iritiabilita, mual, muntah, dan malaise.

Banyak hal yang dapat memicu timbulnya migren. Yang paling sering ialah makanan (cokelat, keju,
jeruk, tomat, bawang, MSG, aspartam, anggur merah, alkohol), perubahan hormon (menstruasi,
ovulasi, kontrasepsi oral, atau sulih hormon), cedera kepala, aktivitas fisik berlebih, fatigue, obat
(nitrogliserin, histamin, reserpin, hidralazin, ranitidin, estrogen), dan stres fisiologis. Selain pemicu,
migren klasik juga didahului aura termasuk di dalamnya gejala visual premonitor yang terjadi 60 menit
sebelum fase sakit kepala. Gejala ini termasuk kilatan cahaya (fotopsia), skotoma migren, pandangan
kabur, atau gejala nonvisual lainnya.

Pada pasien geriatri, rangkaian gejala mirip prodromal bisa terjadi sesudah episode migren. Gejala ini
merupakan gejala penyerta onset lambat pascamigren. Jika sakit kepala selalu terjadi di satu sisi,
kemungkinan terdapat lesi anatomis di sisi tersebut, karenanya butuh pemeriksaan penunjang untuk
menyingkirkan kemungkinan tersebut. Riwayat serangan tipikal berulang dan agen penyebab yang
selalu sama harus menjadi bahan yang tak boleh terlupakan saat anamnesis, sebab banyak pula
penyakit sekunder yang dapat menyerupai migren.

Varian migren
Bentuk migren paling umum ialah migren tanpa aura dan tanpa gejala penyerta. Namun selain itu
terdapat pula migren oftalmoplegik dengan manifestasi kelumpuhan otot ekstraokular. Umumnya akan
terjadi iskemia nervus optik dan retina sehingga menyebabkan kebutaan sebelah, papilledema, serta
perdarahan retina. Migren dengan gejala seperti ini disebut migren okular atau migren retina.

Migren juga dapat berlangsung kompleks hingga disertai defisit neurologis persisten, misalnya
paralisis. Jika migren terjadi di daerah vertebrobasiler, dapat terjadi gejala vertebrobasiler berupa
vertigo, pusing, bingung, disartria, kesemutan, dan inkoordinasi. Ada pula migren yang tak hilang
hingga lebih dari 72 jam, keadaan ini disebut status migrenosus, yang bisa menimbulkan komplikasi
jika tidak ditatalaksana dengan baik. Tak hanya di kepala, serangan yang disebut migren pun dapat
terjadi secara periodik sebagai nyeri abdomen yang tidak diiringi dengan sakit kepala (migren
abdominal).

Tata laksana
Beberapa tahap diperlukan dalam menangani migren. Tahap pertama ialah menegakkan diagnosis klinis
dengan kriteria HIS disertai pemeriksaan neurologis yang lengkap, dilanjutkan dengan menilai keadaan
umum dan hendaya pasien tersebut. Untuk kasus-kasus ringan, dapat diberikan asetaminofen, NSAIDs,
propoxyphene, atau kombinasi dari obat-obatan tersebut. Sedangkan pasien dengan hendaya menengah
membutuhkan obata-obatan spesifik untuk migren. Terdapat dua kategori obat tersebut; golongan
triptan (sumatriptan, rizatriptan, zolmitriptan, naratriptan, almotriptan, eletriptan, frovatriptan) dan
golongan alkaloid ergot (ergoramin dan dihidroergotamin). Obatan-obatan ini relatif tok-cer untuk
migren, namun tidak cocok untuk migren dengan komplikasi, karena penyebab sekunder migren masih
belum dapat disingkirkan.
Untuk kasus migren yang sangat berat, pemberian alkaloid ergot dan triptan dapat dikombinasikan dan
sebaiknya diberikan subkutan atau intravena, selain secara oral. Pasien migren berat dengan mual
muntah berlebihan sebaiknya diberikan proklorperazin, karena membantu mengurangi efek peristaltik.
Namun mengingat obat ini juga menyerap air, pasien kemungkinan akan dehidrasi, sebaiknya diberikan
hidrasi yang cukup. Sebenarnya sekitar 40% serangan tidak lagi respon terhadap triptan atau substansi
lainnya. Kalau serangan sudah mencapai status migrenosus dengan serangan lebih dari 72 jam,
penderita dapat dilarikan ke IGD untuk kemudian diberikan penenang dan pemantauan yang adekuat.
Untuk kasus yang sangat jarang sekali terjadi, penderita migren bisa jadi membutuhkan rawat inap
singkat.

Selain obat-obatan di atas, kunci penanganan migren ialah edukasi yang menyeluruh pada pasien
tersebut. Perlu dijelaskan bahwa migren merupakan penyakit kronik berulang yang dapat menyerang
siapa saja, kemungkinan besar faktor genetik berperan dalam transmisi penyakit ini. Yang perlu
ditegaskan ke pasien ialah hal-hal yang dapat mencetuskan migren untuk sebisa mungkin dihindari.
Pasien sering mangkir terutama untuk hal-hal yang kelihatannya sepele, seperti kurang tidur, fatigue,
makanan pedas, jeruk, cokelat, kopi, atau bisa jadi penggunaan obat tertentu, terutama pada geriatri,
yang bersifat vasodilator.

Pasien migren tidak boleh ditunggu untuk berkali-kali datang, kecuali kasusnya amat berat. Sehingga
pada pertemuan pertama dengan pasien migren sebaiknya dianjurkan untuk membuat buku harian yang
memuat catatan migren yang dia alami. Cara sangat murah dan mudah ini sangat membantu
menentukan faktor-faktor yang mungkin dapat menyebabkan migren. Minta pasien untuk
menuliskannya ke dalam buku, sehingga suatu saat dia lupa, catatan itu akan tetap ada. Anjurkan pasien
untuk membawa buku itu ketika kontrol lagi ke dokter, selain itu minta dia untuk menyebutkan ke
dokter manapun yang merawat dia, terutama dokter yang tidak merawat migren, untuk memberi tahu
riwayat penyakit migren yang dia miliki. Hal ini dapat membantu mencegah pemberian vasodilator
berlebih pada pasien yang memiliki riwayat migren.

Seiring bertambahnya usia, pasien yang telah menopause akan mengalami penurunan frekuensi
serangan migren secara signifikan. Sebaliknya, pasien-pasien wanita usia produktif perlu diterangkan
bahwa migren dapat terjadi akibat ketidak seimbangan kadar hormon, terutama estrogen. Dengan
demikian, jika pasien wanita tersebut mengalami episode migren saat dia mengkonsumsi kontrasepsi
hormonal, terutama pil secara berkala, sebaiknya dicoba untuk dihentikan kontrasepsinya dan alihkan
ke kontrasepsi yang lain, bisa dengan kondom atau kontrasepsi mekanik lainnya. Jika ternyata
membaik, kontrasepsi hormonal memang tidak cocok untuknya, sebaiknya perlu dipikirkan alat lain
yang bekerja secara mekanik. (Farid)

Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi Januari 2007 , Halaman: 19 (5223 hits)

Anda mungkin juga menyukai