Serlie
102016116
Pendahuluan
Obstruksi biliaris merupakan salah satu gangguan pada saluran empedu. Empedu
mensekresi eksokrin dari hati dan diproduksi terus-menerus oleh hepatosit. Empedu terdiri atas
kolesterol dan bilirubin dan garam empedu yang berfungsi membantu pencernaan lemak di usus.
Empedu yang disimpan di dalam kandung empedu akan masuk ke dalam usus melalui duktus
sistikus yang bergangung dengan duktus hepatikus dari hati dan membentuk duktus biliaris
communis (CBD). Perjalanan CBD menuju usus halus akan melewati caput pancreas, sebelum
akhirnya bermuara di ampulla vateri dan duodenum. Obstruksi biliatin ini adalah sumbatan pada
duktus (saluran) yang dilalui empedu dari hati menuju kandung empedu, atau dari kandung
empedu menuju usus kecil. Tanda dan gejala klinis utama yang terjadi adalah sebagai akibat
langsung dari kegagalan empedu diekskresikan ke tempat seharusnya ia berada. Mekanisme
klinis dari kolestasis ini terkait dengan obstruksi mekanik ataupun akibat gangguan faktor
metabolic didalam sel-sel hepar. Penyebab obstruksi mekanik dibagi lagi sebagai intrahepatic
dan ekstrahepatik. Sementara penyebab metabolic (intraseluler) merupakan penyebab yang lebih
kompleks. 1
Anamnesis
Pemeriksaan Penunjang
Bilirubin serum
Bilirubin berasal dari pemecahan sel darah merah yang dibawa ke hati dimana terjadi
konjugasi menjadi asam glukuronat. Bilirubin terkonjugasi disekresi dalam empedu dan
didegradasi dalam usus oleh bakteri membentuk urobilinogen. Urobilinogen ini sebagian
diekskresi dalam tinja dan sebagian lagi akan direabsorpsi dari usus dan diekskresikan
oleh ginjal. Ikteru bisa terdeteksi secara klinis bila kadar bilirubin >35 mmol/L/ pada
icterus obstruktif terutama terdiri atas bilirubin terkonjugasi. Meningkatnya bilirubin
biasanya disebabkan karena kegagalan hepatoselular, obstruksi bilier, hemolosis, dan
penyakit Gilbert.2
Tes Fungsi Hati
Tes fungsi hati bisa mengukur kemampuan hati untuk melakukan fungsi normal
(misalnya albumin serum untuk mengukur sintesis protein, waktu protombin untuk
mengukur kemampuan mensinesis faktor pembekua, bilirubin untuk mengukur konjugasi
dan ekskresi garam empedu), atau pengukuran enzim hati (alkali fosfatase, transaminase),
yang merupakan indicator kerusakan sel hati.2 Tes ini menunjukkan adanya peningkatan
aminotransferase, namun jarang mencapai hingga 500IU. Kondisi ini diikuti dengan
meningkatnya kadar bilirubin total, alkaline fosfatase dan GGT (bentuk obstruktif).
Apabila tes kimia hepar normal, dugaan obstruksi bilier rendah. Penanda utama adanya
obstruksi bilier adalah didapatkannya peningkatan pada serum bilirubin dan alkalin
posfatase (AP). Hiperbilirubinemia terkonjugasi bersamaan dengan peningkatan kadar
AP mengindikasikan dugaan obstruksi bilier. Kadar AP yang 3x lebih tinggi dari batas
normal merupakan kondisi spesifik obstruksi biliaris atau penyakit hepar infiltrative.3
USG Hati
Cara ini dapat membantu menegakkan diagnosis klinis, karena dapat menunjukkan
abnormalitas hati fokal seperti metastasis, abses hati, atau kelainan vascular. Bisa
menemukan tanda-tanda obstruksi bilier (dilatasi duktus biliaris) dan penyebab icterus
(batu empedu, kanker pancreas) bisa juga tidak nampak kelainan.4 Pemeriksaan ini
termasuk salah satu dari yang paling akurat untuk mengetahui kolelitiasis dengan
sensitifitas dan spesifisitas 99%. Sensitifitasnya juga tinggi dalam mendeteksi dilatasi
bilier yaitu 90%. Namun demikian, gambaran ini kurang menentukan level obstruksi
(sensitifitas 64%)atau etiologi (57%) atau untuk koledokolitiasis (32%). Pada obstruksi
intra hepatic bilier ditandai oleh tanda “double track” dan “too many tubes” yang
disebabkan oleh dilatasi duktus bilier paralel ke pecabangan vena portal.
Keuntungan dari pemeriksaan ini yaitu biaya yang tidak mahal, non invasive,
tindakannya mudah dan cepat dilakukan. Tetapi, harus memiliki teknik dan pengalaman
dalam menginterpretasikan hasilnya karena bisa saja gambaran ini terganggu oleh adanya
gas dari usus.5
ERCP
Jika ada tanda-tanda obstruksi bilier, ERCP merupakan tes definitif untuk menentukan
apakah obstruktsi terjadi intraluminal (batu empedu pada duktus biliaris komunis (CBD))
atau ekstraluminal (strikturmaligna dari karsinoma pancreas. Pemeriksaan ini juga bisa
mengurangi derajat obstruksi. Pemeriksaan ini menjadi modalitas dalam menentukan
diagnose kanker ampuler karena visualisasi langsung dan kemampuan biopsy lesi.
Pemeriksaan ini jarang dilakukan untuk kepentingan diagnostic dan biasanya dilakukan
hanya pada pasien intervensi berat. Adanya batu dan bersihan duktus terjadi pada 90%
kasus koledokolitiasis. ERCP juga meningkatkan dugaan klinis dan dapat menyelamatkan
nyawa. Dapat digunakan untuk paliasi non-bedah lesi bilier obstruktif melalui stenting
atau untuk mendapatkan jaringan demi kepentingan diagnosis. Komplikasi ERCP yaitu
pankreatitis yang bisa terjadi pada 1-7% pasien.4
Working Diagnosis
Etiologi
Sumbatan aliran empedu bisa terjadi karena faktor mekanis atau faktor metabolic di sel
hepar. Penyebab metabolik pada hambatan aliran empedu sangat komplek, dan patogenesisnya
saat ini belum bisa dijelaskan dengan jelas. Faktor mekanis dibagi menjadi obstruksi intrahepatal
dan ekstrahepatal. Obstruksi intrahepatic terjadi pada hepatosit atau membrane kanalikui biliaris.
Penyebabnya adalah penyakit hepatoseluler (viral hepatitis, drug-induced hepatitis). Kolestasis
karena obat, sirosis biliaris dan penyakit heapr karena alcohol. Penyakit hepatoseluler
mempengaruhi metabolisme bilirubin (uptake, konjugasi dan ekskresi). Etiologi obstruksi ekstra
hepatal dapat berasal dari intra luminer, intra mural dan ekstra luminer. Sumbatan intra luminer
karena kelainan yang terletak dalam lumen saluran empedu. Yang paling sering menyebabkan
obstruksi adalah batu empedu. Sumbatan ekstra luminer karena kelainan terletak diluar saluran
empedu yang menekan saluran tersebut dari luar sehingga menimbulkan gangguan aliran
empedu. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan hal ini antara lain pankreatitis, tumor kaput
pancreas, tumor vesika fellea atau metastasis tumor di daerah ligamentum hepatoduodenale.6
Penyebab utama obtruksi biliaris pada dewasa yaitu manifestasi dari gangguan seperti,
batu empedu yang berdampak pada duktus empedu, striktur duktus empedu (trauma,
pembedahan, instrumentasi, pankreatitis kronis, kolangitis sklerosis primer, kolangitis pyogenik
rekuren, kolangitis berhubungan dengan AIDS), kondisi maligna (karsinoma pankreatik,
karsinoma duodenal atau ampula, kolangiokarsinoma, dan metastasis), dan dampak dari
pengaruh parasit (ascaris, clonorchis, fasciola) yang menyerang pasien kolangiopati
berhubungan dengan AIDS dan sistik choledochal.1,5
Epidemiologi
Insiden obstruksi bilier yang terjadi di Amerika Serkat didapatkan sekitar 5 kasus
per 1000 orang dan batu empedu merupakan penyebab paling umum obstruksi bilier.6
Berdasarkan ras, orang Hispanik dan Eropa utara memiliki risiko lebih tinggi batu empedu
dibanding orang Asia dan Afrika. Sedangkan jika dilihat berdasarkan jenis kelamin Perempuan
lebih sering daripada laki-laki yang menderita batu empedu dimana pada usia dekade 6
didapatkan 25% wanita Amerika memiliki batu empedu dan 50% wanita berusia 75 tahun
memiliki batu empedu. Sedangkan hanya 20% pria berusia 75 tahun memiliki batu empedu.6,8
Patogenesis
Obstruksi biliaris menghasilkan efek lokal pada duktus bilier yang mengakibatkan
gangguan fungsi hepatik yang pada akhirnya meluas hingga berujung pada efek sistemik.
Gangguan yang pertama kali terjadi adalah pada sistem hepatobilier. Hepatosit tersusun dalam
lapisan di sepanjang aliran darah dari portal ke vena sentral. Dalam lapisan ini, domain apikal
kecil dari hepatosit yang berdekatan membentuk lumen tubular yang disebut kanalikulus, yang
menjadi tempat utama pembentukan empedu. Setelah terbentuk di jaringan kanalikuler, empedu
mengalir ke duktuli kecil yang pada akhirnya menuju duktus yang lebih besar.Pada kondisi
obstruksi biiliaris, kanalikuli empedu terjadi dilatasi dan mikrovili menjadi terdistorsi dan
membengkak. Pasien yang telah lama mengalami obstruksi, maka akan terjadi proliferasi duktuli
bilier intrahepatik dengan peningkatan panjang dan liku dari kanalikuli. Sistem biliaris
normalnya memiliki tekanan yang rendah (5 hingga 10cm H2O). Namun, pada keadaan obstruksi
bilier sebagian atau lengkap, tekanan bilier bisa mendekati hingga 30cm H2O. Selagi tekanan
bilier meningkat, persimpangan yang rapat antara hepatosit dengan sel duktus bilier menjadi
terganggu, sehingga menghasilkan peningkatan permeabilitas duktus bilier dan kanalikuler.
Komposisi empedu dapat secara bebas refluks ke sinusoid hepar, menyebabkan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear ke dalam portal triad pada hepar. Respon inflamasi ini diikuti oleh peningkatan
fibrinogenesnis dengan deposisi dari serat retikulin, yang mengalami konversi menjadi kolagen
tipe I. Duktus bilier ekstrahepatik mengalami atrofi mukosa dan metaplasia squamosa, diikuti
dengan infiltrasi inflamasi dan fibrosis pada lapisan subepitel dari duktus bilier.9,10
Manifestasi Klinis
Berdasarkan tingkat keparahan ikterus akibat obstruksi, jenis obstruksi diklasifikasikan menjadi
4 tipe, antara lain:
Differential Diagnosis
Kolangitis
Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri pada cairan empedu di dalam saluran empedu. Kolangitis
terjadi akibat obstruksi aliran empedu tersering karena batu koledokus
Etiologi
Faktor dari dalam lumen saluran empedu misalnya batu koledukus atau askaris yang memasuki
koledokus
Faktor dari luar lumen saluran empedu misalnya karsinoma caput pankreas yang menekan duktus
koledokus atau dari dinding saluran empedu misalnya kolangio-karsinoma atau adanya striktur
saluran empedu. Striktur dapat juga terjadi pada pasca tindakan ERCP
Patofisiologi
Adanya hambatan dari aliran cairan empedu akan menimbulkan statis cairan empedu,
kolonisasi bakteri dan pertumbuhan kuman yang berlebihan. Kuman-kuman ini berasal dari flora
duodenum yang masuk melalui sfingter oddi, dapat juga dari penyebaran limfogen dari kandung
empedu yang meradang, penyebaran ke hati akibat sepsis atau melalui sirkulasi portal dari
bakteri usus. Karena tekanan yang tinggi dari saluran empedu yang tersumbat, kuman akan
kembali (refluks) ke dalam saluran limfe atau aliran darah dan selanjutnya mengakibatkan sepsis.
Kombinasi dari stagnasi, infeksi empedu dan peningkatan tekanan tersebut akan menimbulkan
keadaan yangs serius pada kolangitis supuratif.
Gejala klinis
Sering didapatkan nyeri kuadan kanan atas, ikterus dan disertai demmam menggigil. Gejala
ini disebut trias charcoat. Seringkali batu koledokus menimbulkan nyeri hebat di epigastrium
atau perut kanan atas yang bersifat kolik, menjalar ke belakang atau ke skapula kanan, kadang
nyeri dapat juga bersifat konstan. Pada kolangitis akut supuratif didapatkan trias charcot disertai
hipotensi, oliguria dan gangguan kesadaran. Apabla disertai dengn septisemia dan disorientasi,
kelima gejala ini disebut penta Reynolds.
Pemeriksaan laboratorium
- Leukositosis
- Hiperbilirubinemia (bila akibat batu, biasanya obstruksi parsial, bilirubin 2-4 mg/dl,
akibat neoplasma, obstruksi total dan bilirubin >10mg/dL)
- Peningkatan SGOT,SGPT,alkali fosfatase da gama GT serum
Pemeriksaan radiologi
- USG abdomen dapat membedakan kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik dengan
ketepatan 96% pada kasus-kasus denagn saluran empedu yang melebar.nmaun angka
deteksi untuk batu koledokus sangat rendah
- CT scan atau MRI dapat mendeteksi adanya massa sebagai penyebab terjadinya obstruksi
- Visualisasi langsung dari saluran empedu dapat dilakukan dengan cara ERCP
Penatalaksanaan
- Pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi gangguan elektrolit untuk memperbaiki
keadaan umum
- Terapi antibiotik parenteral. Mikroorganisme yang paling sering sebagai penyebab adalah
E.coli dan klebsiella, diikuti oleh streptococcus faecalis. Antibiotik yang banyak
direkomendasikan antara ain kombinasi sefalosporin dan metrodinazole, cefoperason,
piperacillin/tazobactam, kuinolon dan golongan penem.
- Drainase empedu yang adekuat. Dekompresi bilier dapat dilakukan melalui tindakan
endoskopi (ERCP) ataupun secara bedah.11
Kolesistitis Akut
Radang kandung empedu (kolesistitis akut) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung
empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. Hingga kini
patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas. Walaupun belum ada
data epidemiologis penduduk, insidens kolesistitis dan batu empedu di negara kita relatif lebih
rendah dibandingkan negara-negara barat.11,12
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut
adalah batu kandung empedu (90 %) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis
cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis
akut akalkulus). Bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, masih
belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan empedu,
kolestrol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu
diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. Kolesistitis akut akalkulus dapat timbul pada pasien
yang dirawat cukup lama dan mendapat nutrisi secara parenteral, pada sumbatan karena
keganasan kandung empedu, batu di saluran empedu atau merupakan salah satu komplikasi
penyakit lain seperti demam tifoid dan diabetes melitus.11,12
Keluhan agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan
atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar
ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung samapai 60 menit tanpa reda. Berat
ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan
sampai denga gangren atau perforasi kandung empedu. Pada kepustakaan barat sering dilaporkan
bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi
menurut Lesmana LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien-pasien di negara kita. Pada
pemeriksaan fisik teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal
(tanda Murphy). Ikterus dijumpai pada 20% kasus. Umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0
mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu
ekstra hepatik. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta kemungkinan
peninggian serum transaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat
disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empyema dan
perforasi kandung empedu perlu dipertimbangkan.11,12
Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan adalah mencari penyakit yang menyebabkan obstruksi
bilier dan mengobatinya. Jangan dilakukan tindakan bila diagnosis belum jelas, karena itu
dibutuhkan pemeriksaan yang lengkap untuk mengetahu isi stem bilier pada pasien.2
Terapi pengobatan bisa dicoba dengan pemberian garam empedu per oral selama 2 tahun.
Ursodeoxycholic acid (10 mg/kg/d) dapat menurunkan sekresi kolesterol. Hal ini
akan menurukan kandungan kolesterol dalam empedu. Pada 30-40% pasien, dapat
menghancurkan batu kolesterol secara bertahap. Namun, batu bisa terbentuk kembali
5 tahun kemudian bila obat dihentikan (50%).1
Extracorporeal shock-wave lithotripsy bisa digunakan sebagai terapi tambahan
pengobatan oral. Dengan meningkatkan rasio surface-to-volume pada batu, dapat
meningkatkan penghancuran batu terutama batu ukuran kecil. Kontraindikasi
pengobatan ini bila terjadi komplikasi dari batu empedu (cholecystitis,
choledocholelithiasis, pankreatitis), kehamilan, dan koagulopati atau pengobatan
antikoagulan (Resiko hematoma). Angka kekambuhan letotripsi mencapai 70%,
belum disetujui FDA, dan terbatas hanya dilakukan untuk penelitian.6
Bile acid–binding resins, cholestyramine (4 g) ataucolestipol (5 g), dilarutkan dalam
air atau jus 3 kali sehari diharapkan bias diminum untuk mengobati pruritus karena
obstruksi bilier. Defisiensi vitamin A, D, E dan K bias terjadi bila terdapat keluhan
steatorrhea, dan bias diperberat dengan penggunaan obat ini.6
Antihistamin dapat digunakan untuk pengobatan pruritus, terutama malam hari karena
juga terdapat efek sedatif. Opioid endogen diduga dapat meningkatkan gejala
pruritus, pemberian naloxone dan nalmefene meningkatkan gejala pruritus pada
beberapa pasien.6
Rifampin diketahui dapat digunakan sebagai terapi tambahan pengobatan kolestasis.
Dengan mengurangi flora normal dalam usus, dapat memperlambat konversi bilirubin
primer menjadi sekunder dan mengurangi jumlah serum bilirubin, kadar ALP, dan
pruritus pada pasien tertentu.6
Pembedahan terhadap batu
Setiap penderita dengan kolestasis ekstra hepatik merupakan indikasi pembedahan.
Sewaktu melakukan pembedahan sebaiknya dibuat kolangiografi intra operatif pada saat
awal pembedahan untuk lebih memastikan letak batu. Lebih baik lagi bila sebelum
operasi telah dilakukan pemeriksaan ERCP.
Pembedahan terhadap batu sebagai penyebab obstruksi, yang dapat dilakukan antara lain:
Kolesistektomi
Mengangkat kandung empedu beserta seluruh batu. Bila ditemukan dilatasi duktus
koledokus lebih dari 5 mm dilakukan eksplorasi duktus koledokus. Eksplorasi ke
saluran empedu dapat menggunakan “probe”, forseps batu atau “scoop”, selain itu
kalau memungkinkan dibantu dengan alat endoskop saluran empedu yang rigid atau
fleksibel. Semua batu dibuang sebersih mungkin. Kalau ada rongga abses dibuka dan
dibersihkan. Tindakan selanjutnya ialah mencegah batu rekuren dengan
menghilangkan sumber pembentuk batu antara lain dengan cara diet rendah kolesterol
menghindari penggunaan obat-obatan yang meningkatkan kolesterol, mencegah
infeksi saluran empedu.12
Sfingterotomi / papilotomi
Bila letak batu sudah pasti hanya dalam duktus koledokus, dapat dilakukan
sfingterotomi / papilotomi untuk mengeluarkan batunya. Cara ini dapat digunakan
setelah ERCP kemudian dilanjutkan dengan papilotomi. Tindakan ini digolongkan
sebagai “Surgical Endoscopy Treatment “ (SET).12
Komplikasi
Komplikasi kolestasis tergantung durasi dan intensitas jaundice Obstruksi bilier berat
menyebabkan kerusakan sel setelah kira-kira 1 bulan dan jika tidak segera diobati, bisa
menyebabkan sirosis bilier sekunder.Kolangitis akut merupakan komplikasi tersering bila terjadi
sumbatan pada CBD. Empedu normalnya steril, jika terdapat obstruksi, menyebabkan stasis dan
meningkatkan pertumbuhan kuman dalam empedu. Peningkatan tekanan CBD dapat
menyebabkan refluk empedu dan bakteremia, yang dapat menyebabkan syok septik dan
kematian. Untuk alasan ini, pengobatan medis antibiotika segera dilakukan, disamping dilakukan
tindakan untuk mengatasi obstruksi bilier.6
Pasien dengan obstruksi bilier yang akan operasi traktus biliaris akan mengalami gagal
ginjal akut karena garam empedu bersifat nefrotoksis, endotoksin, dan mediator inflamasi.Kolik
bilier yang terjadi lagi setelah kolesistektomu perlu dievaluasi lagi untuk kemungkinan batu
CBD. Malabsorbsi lemak dengan steatorrhea terjadi karena garam empedu tidak bisa mencapai
usus, sehingga menyebabkan defisiensi vitamin A, D, E dan K. Hal ini dapat menyebabkan
kelainan pembekuan darah (pemanjangan PT). Ikterus yang terjadi karena peningkatan kadar
bilirubin darah akan menyebabkan pruritus. Persisten kolestasi menyebabkan deposit kolesterol
di kulit (cutaneous xanthomatosis), tulang dan syaraf tepi.6
Prognosis
Bahaya yang akut adalah terjadinya infeksi saluran empedu (kolangitis akut), terutama
apabila terdapat nanah di dalam saluran empedu dengan tekanan tinggi seperti kolangitis
piogenik akut atau kolangitis supuratifa. Kematian terjadi akibat syok septic dan kegagalan
berbagai organ. Selain itu sebagai akibat obstruksi kronis dan atau kolangitis kronis yang
berlarut-larut pada akhirnya akan terjadi kegagalan faal hati akibat sirosis biliaris.6
Ikterus obstruksi yang tidak dapat dikoreksi baik secara medis kuratif maupun tindakan
pembedahan mempumnyai prognosis yang jelek diantaranya akan timbul sirosis biliaris. Bila
penyebabnya adalah tumor ganas mempunyai prognosis jelek. Penyebab meningkatnya
morbiditas dan mortalitas adalah :
a. Sepsis khususnya kolangitis yang menghancurkan parenkim hati.
b. “Hepatic failure” akibat obstruksi kronis saluran empedu.
c. “Renal failure”.
d. Perdarahan gastro intestinal.
Kesimpulan
Obstruksi biliatin ini adalah sumbatan pada duktus (saluran) yang dilalui empedu
dari hati menuju kandung empedu, atau dari kandung empedu menuju usus kecil. Gangguan
yang seringkali ditemukan menjadi penyebab obstruksi yaitu batu empedu, tumor, striktur, dan
pankreatitis. Respon langsung dari adanya obstruksi bilier adalah terjadinya hiperbilirubinemia.
Keadaan ini bermanifestasi menjadi jaundice. Gejala umum yang dialami yaitu, jaundice, warna
feses pucat, urine gelap, gatal, demam, dan nyeri pada perut kuadran kanan atas. Penegakkan
diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan lab yaitu tes fungsi hati, pemeriksaan radiologis, dan
endoskopi dengan pencitraan yang jelas. Pemeriksaan radiologi dan endoskopi meliputi USG,
CT Scan, MRI (MRCP), dan USG endoskopi. Penatalaksanaan terdiri dari terapi farmakologis
dan prosedur bedah invasif. Tujuan terapi adalah untuk menghilangkan batu atau sumbatan yang
menghalangi duktus bilier. Pasien yang telah dilakukan reseksi bedah bisa saja masih mengalami
gejala efek samping akibat obstruksi.a
Daftar Pustaka
1. http://www.medicinestuffs.com/2016/03/patofisiologi-obstruksi-bilier-empedu.html,
diakses 9 Juni 2019.
2. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Jakarta : Penerbit Erlangga. Ed.6.
2007. Hal.44
3. Upadhyay, R. (2010). Clinical Approach to Dilated Bile Duct. Medicine Update, 20, 477-
480.
5. Webb, W. R., Brant, W. E., & Major, N. M. (2015). Fundamentals of Body CT.
Philadelphia: Elsevier Saunders.
6. Bonheur, J.L. Biliary Obstruction. Medscape. 2015 March. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/187001.html. Diakses 11 Juni 2018
7. Silberman, H., & Silberman, A. W. (2010). Principles and Practice of Surgical
Oncology: Multidisciplinary Approach to Difficult Problems. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
8. Doherty, G. M. Billiary Tract in Current Surgical Diagnosis & Treatment 13thed. United
State of America: Mc Graw-Hill’s. 2010. p. 544-571
9. Jarnagin, R. W. (2012). Blumgart's Surgery of the Liver, Pancreas and Biliary Tract E-
Book. Philadelphia: Elsevier Saunders.
10. David Q, H. W., Brent, A. N., & Tetri, P. P. (2017). The Biliary System: Second Edition.
Mississippi: Morgan & Claypool Life Sciences.
11. Tanto C, Liwang f, Hanifati S, Pradita EA. Kapita selekta kedokteran. Edisi IV. Jakarta:
Media Aesculapius;2014.h. 215-6.
12. Missiroli, C., & Singh, A. (2013). Emergencies of the Biliary Tract. Emergency
Radiology, 11-25.