Anda di halaman 1dari 15

3.

1 Definisi HIV/AIDS
3.1.1 Pengertian HIV
Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau Human Immunodeficiency
Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang
kemudian berdampak pada penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga
menimbulkan satu penyakit yang disebut AIDS. HIV menyerang sel-sel darah
putih yang dimana sel-sel darah putih itu merupakan bagian dari sitem kekebalan
tubuh yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan penyakit.Manusia yang
terinfeksi HIV akan berpotensi sebagai pembawa (carrier) dan penularan virus
tersebut selama hidupnya.
3.1.2 Pengertian AIDS
AIDS (Aqquired Immune Deficiency syndrom) kumpulan gejala penyakit
spesifik yang disebabkan oleh rusaknya system kekebalan tubuh oleh virus HIV
(Komisi penangulangan AIDS Provinsi Maluku,2015).
HIV merusak sel darah putih yang berperan penting dalam menjaga kekebalan
tubuh. Dengan berkurangnya jumlah sel darah putih yang sehat, kekebalan tubuh
akan menurun. Dengan menurunnya kekebalan tubuh, penyakit yang ringan untuk
orang lain dapat menimbulkan kematian bagi orang yang terinfeksi HIV AIDS.

3.2 Penularan HIV AIDS


HIV/AIDS dapat ditularkan oleh seseorang yang terinfeksi HIV dan penderita AIDS.
Kemungkinan terbesar penularan berasal dari pengidap HIV masih terlihat sehat.
Cara penularan HIV AIDS diantaranya:
3.2.1 Hubungan Seks Tanpa Alat Pengaman (Kondom)
Berhubungan seks tanpa menggunakan kondom atau pengaman. Virus
HIV akan sangat mudah menular ketika seseorang dengan latar belakang
terkena virus HIV melakukan hubungan suami istri dengan pasangannya tanpa
menggunakan alat pengaman berupa kondom. Karena pertukaran cairan yang
terjadi ketika berhubungan seks akan menjadi penyebab utama virus itu bisa
berpindah dan menyebar.
3.2.2 Berbagi Alat Suntik dengan Orang yang Positif Mengidap HIV
Selain berhubungan seks tanpa alat pengaman adalah dengan cara
berbagi alat suntik dengan orang yang positif mengidap HIV, khususnya pada
para pengguna narkoba. Penularan melalui alat suntik ini dikarenakan ketika
memakai jarum yang bergantian maka cairan dalam tubuh orang yang positif
terkena HIV akan meyebar ke lawannya, hal ini sangat berbahaya karena
merupakan salah satu cara penularan HIV yang paling mudah terjadi.
3.2.3 Ibu Hamil Positif HIV Kepada Bayinya Selama Masa Kehamilan,
Persalinan.
Ibu yang mengidap HIV, menularkan virus melalui plasenta selama masa
kehamilan. Penularan bisa juga terjadi melalui pelukaan pada saat persalinan.
Resiko penularan dari ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada bayi yang
dikandungnya pada masa persalinan biasanya terjadi karena :
1. Adanya tekanan pada plasenta sehingga terjadi sedikit percampuran antara
darah ibu dengan darah (lebih sering terjadi jika plasenta mengalami
radang/infeksi)
2. Bayi terpapar lendir dan darah serviks pada saatmelewati jalan lahir atau
karena bayi kemungkinan terinfeksi akibat menelan darah dan lendir serviks
pada saat resustasi( saat kehamilan/barier plasenta 10%, proses melahirkan
60% dan pemberian ASI 30%)
Maka dari itu ibu hamil yang positif HIV berpotensi menularkan virus ini kepada
bayinya ketika persalinan, atau pun menyusui.
3.2.4 Melalui Transfusi darah
Salah satu penyebab penularan virus HIV selain dua contoh yang telah
dijelaskan adalah melalui transfusi darah, virus HIV dapat menyebar melalui
donor darah yang dilakukan oleh pendonor yang positif terkena virus HIV atau
bisa melalui transfusi darah yang sudah tercemar virus HIV.
3.2.5 Melakukan Seks Oral
Salah satu penyebab lain dari penyebaran virus HIV adalah dengan
cara melakukan hubungan seks dengan berbagai macam cara. melakukan seks
oral bisa menjadi penyebab tersebarnya virus HIV. Sex oral adalah suatu
aktivitas yang memberikan stimulasi atau rangsangan pada alat kelamin
pasangan dengan menggunakan mulut, ludah, gigi, atau lidah. Sex oral yang
dilakukan seseorang kepada wanita disebut dengan Cunnilingus, sedangkan
sex oral yang dilakukan seseorang kepada pria disebut dengan fellatio.
3.2.6 Terkena atau Tertukarnya Cairan Vagina atau Sperma
Cara Penularan AIDS selanjutnya adalah terkena atau bertukarnya
cairan vagina dan sperma. Biasanya dalam memilih toilet umum orang harus
berhati-hati karena jika saja secara tidak sengaja terkena cairan berupa sperma
dan cairan vagina bisa saja orang yang belum terinfeksi kemudian tertular.
Maka dari itu, kita semua harus berhati-hati dalam menjaga kesehatan. Selain
itu pula terjadinya hal ini kadang saat melakukan hubungan sexual yang akan
mengakibatkan terkenanya cairan vagina atau sperma.
3.2.7 ASI (Air Susu Ibu) Kepada Bayi
Jika dipikirkan kembali, seorang ibu pengidap penyakit HIV AIDS
yang sedang mengandung anaknya, anaknya bisa tertular virus yang sangat
mengerikan ini. Apalagi jika ibunya memberikan ASI kepada anaknya. Untuk
melindungi bayi dari infeksi AIDS maka ibu hamil tidak boleh memberikan
air susu ibu kepada bayi yang telah dilahirkan. Konsumsi beberapa jenis obat
pencegah HIV melindungi janin dari infeksi HIV dan AIDS.

3.3 Stadium HIV


Infeksi HIV memilikin 4 stadium sampai nantinya menjadi AIDS, yaitu
3.3.1 Stadium I
Ibu dengan HIV positif tidak akan menunjukkan gejala klinis yang berarti sehingga ibu
akan tampak sehat seperti orang normal dan mampu melakukan aktifitasnya seperti
biasa.
3.3.2 Stadium II
Sudah mulai menunjukkan gejala yang ringan seperti terjadi penurunan berat badan
kurang dari 10%,infeksi yang berulang pada saluran nafas san kulit.
3.3.3 Stadium III
Ibu dengan HIV sudah tampak lemah,gejala dan infeksi sudah mulai bermunculan
dan ibu akan mengalami penurunan berat badan yang lebih berat ,diare yang tidak
kunjung sembuh ,demam yang hilang timbul, dan mulai mengalami infeksi jamur
pada rongga mulut bahkan infeksi sudah menjalar sampai ke paru-paru.
3.3.4 Stadium IV
Pasien akan menjadi AIDS aktivitas akan banyak dilakukan di tempat tidur karena
kondisi dan keadaan sudah mulai lemah ,serta infeksi mulai bermunculan di mana-
mana dan cenderung berat.

3.4 Gejalan Infeksi HIV/AIDS


Gejala seseorang terkena infeksi HIV yaitu
3.4.1 Gejala HIV Fase Primer atau Akut
Banyak orang tidak mengalami gejala apapun setelah terinfeksi HIV. Sedangkan
sebagian lainnya mengalami gejala HIV yang mirip flu dalam satu atau dua
bulan setelah virus masuk ke dalam tubuh. Pada fase ini disebut sebagai infeksi
HIV primer atau akut, bisa berlangsung selama beberapa minggu. Tanda-tanda
dan gejala HIV primer atau akut antara lain:
1. Demam atau panas.
Menyerupai demam pada umumnya, yaitu suhu tubuh yang tinggi bisa
berkisaar antara 38-40 derajat selsius. Demam terjadi ketika tubuh
membentuk antibodi dalam melawan virus.
2. Sakit kepala.
Adalah efek dari timbulnya demam, ketika demam muncul maka disusul
dengan sakit kepala, namun gejala ini tidak selalu ada.
3. Nyeri otot.
Sakit atau pegal-pegal pada badan merupakan kondisi umum yang bisa
disebabkan oleh penyakit HIV tahap awal, bedakan dengan pegal-pegal
akibat kelelahan. Nyeri otot di sini dipengaruhi oleh kondisi tubuh yang
meriyang bersamaan dengan demam.
4. Ruam.
Memang ini ciri-ciri HIV yang tidak selalu ada dan kehadirannya pun
seringkali diabaikan lantaran ruam yang muncul hanya samar-samar, tidak
seperti pada campak yang tampak jelas.
5. Menggigil.
Ketika suhu tubuh naik tinggi dibanding dengan lingkungan atau suhu
ruangan, maka seseorang bisa mengalami menggigil.
6. Sakit tenggorokan.
Rasa mirip dengan ketika terkena radang tenggorokan. Sariawan pada Mulut
atau alat kelamin Pembesaran Kelenjar getah bening, terutama pada leher.

Meskipun gejala HIV primer ini mungkin cukup ringan, namun jumlah virus
dalam aliran darah (viral load) sangat tinggi. Sebagai akibatnya, infeksi HIV akan
menyebar lebih efisien selama infeksi primer daripada selama tahap berikutnya.
Gejala HIV akut ini biasanya hilang dengan sendirinya dalam beberapa minggu,
Namun virus masih tetap eksis dalam tubuh.
3.4.2 Gejala HIV Fase Laten
Setelah infeksi awal, seseorang mungkin tidak memiliki gejala apapun. Ini
disebut fase laten. Pada beberapa orang, pembengkakan kelenjar getah bening
tetap terjadi selama fase laten ini. Jika tidak, maka tidak ada tanda-tanda dan
gejala khusus. Perkembangan penyakit bervariasi antar individu dimana kondisi
ini dapat berlangsung dari beberapa bulan sampai lebih dari 10 tahun.
Selama periode ini, virus terus berkembang biak secara aktif dan menginfeksi
dan membunuh sel-sel sistem kekebalan tubuh. Padahal sistem kekebalan tubuh
kita berfungsi untuk melawan bakteri, virus, dan penyebab infeksi lainnya.
Sel-sel kekebalan tubuh yang diserang oleh virus HIV yaitu sel-sel yang
merupakan pejuang infeksi primer, yang disebut CD4+ atau sel T4.
3.4.3 Gejala Awal Infeksi HIV
Setelah sistem kekebalan tubuh melemah, seseorang yang terinfeksi HIV dapat
mengembangkan gejala berikut:
1. Lemah
2. Berat badan turun Demam dan sering berkeringat
3. Infeksi jamur persisten atau sering terjadi
4. Ruam kulit persisten atau kulit terkelupas
5. Kehilangan memori jangka pendek
6. Infeksi herpes pada mulut, genital, atau anus.
7. Berkembang menjadi AIDS, apabila tidak menerima pengobatan dalam
waktu sekitar 10 tahun.
3.4.4 Gejala AIDS
Tanda-tanda dan gejala AIDS yang merupakan tanda-tanda infeksi
oportunistik adalah sebagai berikut:
1. Keringat berlebihan di malam hari
2. Menggigil atau demam lebih tinggi dari 100 F (38 C) selama beberapa
minggu
3. Batuk, karena seringnya terkena peradangan atau infeksi di tenggorokan.
4. Sulit atau sakit saat menelan
5. Sesak napas, bisa terjadi akibat pneumonia atau paru-paru basah yang
sering disebabkan oleh mikoorganisme pneumocystic carinii.
6. Diare kronis, maksudnya adalah menderita diare yang lama meskipun telah
diobati namun tak kunjung sembuh.
7. Bintik-bintik putih Persistent atau lesi yang tidak biasa di lidah atau di
mulut (sariawan)
8. Sakit kepala
9. Kelelahan yang terus menerus
10. Penglihatan kabur dan terdistorsi
11. Berat badan turun drastis
12. Ruam kulit atau benjolan

Orang dengan AIDS rentan untuk juga terhadap berbagai kanker seperti sarkoma
Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Setelah diagnosis AIDS ditegakkan, rata-rata waktu survival diperkirakan 2-3
tahun.

3.5 Etiologi HIV AIDS


Dengan melihat tempat hidup HIV, tentunya bisa diketahui penularan HIV terjadi
karena adanya cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti hubungan seks dengan
pasangan yang mengidap HIV, jarum suntik dan alat-alat penusukan(tato dan penindik)
yang tercemar HIV dan ibu hmil yang mengidap HIV kepada janin atau bayi yang
disusui.
Ibu yang mengidap HIV apabila melahirkan bayi yang dilahirkan lebih mungkin
tertular HIV. Walaupun janin dalam kandungan dapat terinfeksi, sebagai besar penularan
terjadi waktu melahirkan atau menyusui. Sebab ASI (Air Susu Ibu) dari ibu yang yang
terinfeksi HIV juga mengadung virus HIV. Jadi dampaknya jika bayi menyusu pada ibu
yang terkena HIV, otomatis bayi tersebut tertular.
3.5.1 Prediksi Penularan Tanpa Pencegahan dari Ibu ke Bayinya
3.5.1.1 Selama kehamilan : 5-10%
3.5.1.2 Selama persalinan : 10-20%
3.5.1.3 Selama menyusui : 10-20%
3.5.2 Prediksi Penularan dari Ibu ke Bayinya
3.5.2.1 Selama kehamilan : 5-30%
3.5.2.2 Selama persalinan : 25-35%
3.5.2.3 Selama menyusui : 30-45%
3.5.3 Menyusui Bayi dari Ibu Positif HIV
Air susu ibu mengandung partikel nutrisi dan vitamin, sel-sel utuh, bakteri
komensal, antibodi, komplemen, komponen kimiawi yang berperan dalam
komunikasi antar sel, dan kuman penyakit dalam bentuk bakteri atau virus. Sel
yang berada dalam ASI memiliki konsentrasi 10.000 - 1.000.000 sel/mL, yang
meliputi sel epitel saluran ASI, makrofag dan limfosit. Makrofag adalah sel dalam
tubuh manusia yang berperan dalam memakan sel lain yang tidak berfungsi,
kuman, dan segala sesuatu yang dianggap akan membahayakan tubuh manusia.
Sedangkan sel limfosit adalah salah satu jenis sel leukosit yang berperan sebagai
konduktor respon imun tubuh terhadap benda asing atau dianggap asing.
Meskipun belum terbukti bahwa ASI yang ditanam di media tertentu mampu
memproduksi koloni virus HIV, akan tetapi DNA proviral pada ASI dapat
dideteksi dengan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction). Prevalens
terdeteksinya partikel DNA HIV pada ASI dari kelompok ibu hamil pengidap HIV
dalam 4 penelitian di Afrika berkisar antara 44 - 58%. Pada penelitian lain di
Kenya sel yang terinfeksi HIV memiliki kisaran 1/10.000 - 1/3 sel. Mereka yang
kadar sel terinfeksi HIV pada ASI sangat tinggi adalah ibu-ibu yang sudah pada
tahap stadium klinis HIV lanjut (ditandai dengan kadar sel CD4 sangat rendah) dan
defisiensi vitamin A.

3.6 Pencegahan HIV AIDS


HIV sering ditransmisikan melalui darah, sehingga usaha pencegahan dilakukan
dengan beberapa cara, antara lain : meskipun asimtomatik setiap individu yang terinfeksi
HIV dapat menularkan-nya kepada individu yang lain, sehingga dibutuhkan pemeriksaan
kesehatan rutin.
Individu yang terinfeksi dilarang untuk menjadi pendonor baik itu donor darah,
plasma, organ tubuh, jaringan, atau sperma.
Seluruh peralatan yang dapat berkontaminasi dengan darah seperti sikat gigi atau alat
cuku tidak boleh digunakan bersama.
Penderita HIV harus mengatakan kepada pihak medis bahwa mereka terinfeksi dan
bila membutuhkan perawatan kesehatan harus mendapatkan perawatan khusus sesuai
dengan prosedur penanganan penderita HIV untuk menghindari penularan kepada
oranglain.
Pemeriksaan antibodi HIV harus diberikan terhadap orang yang bertendensi
berkontak dengan penderita seropositif seperti pasangan seksual, orang yang sering
bertukar pakai jarum dan bayi yang dilahirkan dari seropositif.
3.6.1 Pencegahan HIV AIDS Pada Masa Kehamilan dan Persalinan
Strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu hamil ke janin yang
dikandungnya (masa antenatal) adalah dengan memberikan antiretroviral (ARV)
dan memperbaiki faktor risiko. Usaha ini memerlukan kerja sama antara dokter
ahli HIV dari kelompok kerja HIV/AIDS yang merawat ibu pada saat sebelum
hamil dan dokter kebidanan yang merawatnya pada saat hamil. Tujuan perawatan
saat kehamilan adalah untuk mempertahan kesehatan dan status nutrisi ibu, serta
mengobati ibu agar jumlah viral load tetap rendah sampai pada tingkat yang tidak
dapat dideteksi ( Setiawan, 2009: 491)
Anggota tim sebaiknya terdiri dari seorang pembina untuk ibu terinfeksi HIV,
dokter kebidanan, pekerja sosial, keluarga atau teman, dokter anak, dan perawat.
Dengan kerja sama yang baik maka faktor risiko yang terjadi dapat dihindari
sehingga penularan perinatal berkurang (Setiawan, 2009: 491).
Menurut I Made Setiawan (2009:491), tatalaksana untuk mengurangi penularan
vertikal dari ibu hamil dengan HIV ke bayi pada masa antenatal (hamil) adalah
sebagai berikut:
1. Konseling dan tes antibodi HIV terhadap Ibu
Petugas yang melakukan perawatan antenatal di puskesmas maupun di
tempat perawatan antenatal lain sebaiknya mulai mengadakan pengamatan
tentang kemungkinan adanya ibu hamil yang berisiko untuk menularkan
penyakit HIV kepada bayinya. Anamnesis yang dapat dilakukan antara lain
dengan menanyakan apakah ibu pemakai obat terlarang, perokok, mengadakan
hubungan seks bebas, dan lain-lainnya. Bila ditemukan kasus tersebut di atas,
harus dilakukan tindakan lebih lanjut.
Risiko penularan HIV secara vertikal dapat berkurang sampai 1-2%
dengan melakukan tata laksana yang baik pada ibu dan anak. Semua usaha
yang akan dilakukan sangat tergantung pada temuan pertama dari ibu-ibu yang
berisiko. Oleh karena itu, semua ibu usia subur yang akan hamil sebaiknya
diberi konseling HIV untuk mengetahui risiko, dan kalau bisa, sebaiknya
semua ibu hamil disarankan untuk melakukan tes HIV-1 sebagai bagian dari
perawatan antenatal, tanpa memperhatikan faktor risiko dan prevalensi HIV-1
di masyarakat. Akan tetapi, ibu hamil sering menolak untuk dilakukan tes
HIV, karena peraturan yang memaksa ibu hamil untuk dites HIV belum ada.
2. Pencatatan dan pemantauan ibu Hamil
Banyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa rencana. Ibu hamil sangat
jarang melakukan perawatan prenatal. Di samping itu, ibu-ibu ini sering
terlambat untuk melakukan perawatan prenatal. Kelompok ibu-ibu ini juga
sangat jarang melakukan konseling dan tes HIV pada waktu prenatal, sehingga
mereka tidak dapat dicatat dan dipantau dengan baik.
Catatan medis yang lengkap sangat perlu untuk ibu hamil terinfeksi
HIV termasuk catatan tentang kebiasaan yang meningkatkan risiko dan
keadaan sosial yang lain, pemeriksaan fisik yang lengkap, serta pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui status virologi dan imunologi. Pada saat
penderita datang pertama kali harus dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan ini akan digunakan sebagai data dasar untuk bahan banding
dalam melihat perkembangan penyakit selanjutnya. Pemeriksaan tersebut
adalah darah lengkap, urinalisis, tes fungsi ginjal dan hati, amylase, lipase,
gula darah puasa, VDRL, gambaran serologis hepatitis B dan C, subset sel T,
dan jumlah salinan RNA HIV.
Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauan ibu hamil
terinfeksi HIV sama dengan pemantauan ibu terinfeksi HIV tidak hamil.
Pemeriksaan jumlah sel T CD4+ dan kadar RNA HIV-1 harus dilakukan
setiap trimester (yaitu, setiap 3 - 4 bulan) yang berguna untuk menentukan
pemberian ARV dalam pengobatan penyakit HIV pada ibu. Bila fasilitas
pemeriksaan sel T CD4+ dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat ditentukan
berdasarkan kriteria gejala klinis yang muncul.
3. Pengobatan dan profilaksis antiretrovirus pada ibu terinfeksi HIV
Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi, maka ibu hamil
terinfeksi HIV harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus
(ARV). Tujuan pemberian ARV pada ibu hamil, di samping untuk mengobati
ibu, juga untuk mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin atau
neonatus. Ternyata ibu dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (<1000
salinan RNA/ml), akan menularkan HIV ke bayi hanya 22%, sedangkan ibu
dengan jumlah muatan virus banyak menularkan infeksi HIV pada bayi
sebanyak 60%. Jumlah virus dalam plasma ibu masih merupakan faktor
prediktor bebas yang paling kuat terjadinya penularan perinatal. Karena itu,
semua wanita hamil yang terinfeksi HIV harus diberi pengobatan
antiretrovirus (ARV) untuk mengurangi jumlah muatan virus.
Menurut Kementerian Kesehatan RI dalam Pedoman Nasional
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (2012:22), tujuan pemberian
ARV adalah sebagai berikut:
a. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
b. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan
dengan HIV
c. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
d. Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh, dan
e. Menekan replikasi virus secara maksimal.

Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV adalah dengan


memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang
dipakai harus dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien baru. Terapi
kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat. Obat ARV
harus diminum terus menerus secara teratur untuk menghindari timbulnya
resistensi. Diperlukan peran aktif pasien dan pendamping/keluarga dalam
terapi ARV. Disamping ARV, timbulnya infeksi oportunistik harus
mendapatkan perhatian dan tatalaksana yang sesuai (Kemenkes RI,2012: 22).

Pemilihan antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan


ibu yang tidak hamil. Yang harus diketahui dari ibu hamil terinfeksi HIV
adalah status penyakit HIV (beratnya penyakit AIDS ditentukan berdasarkan
hitung sel T CD4+, perkembangan infeksi ditentukan berdasarkan jumlah
muatan virus, antigen p24 atau RNA/DNA HIV di dalam plasma), riwayat
pengobatan antiretrovirus saat ini dan sebelumnya, usia kehamilan, dan
perawatan penunjang yang diperlukan seperti perawatan psikiater, nutrisi,
aktivitas seksual harus memakai kondom, dan lain-lain. ARV cukup aman
diberikan kepada ibu hamil. Obat ini tidak bersifat teratogenik pada manusia,
dan tidak bersifat lebih toksik pada ibu hamil dibandingkan dengan ibu tidak
hamil. Walaupun demikian, pemantauan jangka penwdek dan jangka panjang
tentang toksisitas dari paparan sampai penggunaan kombinasi ARV untuk
janin di dalam kandungan dan pada bayi adalah sangat penting, karena
keterbatasan informasi, dan data yang ada sering tidak sesuai (Setiawan,
2009: 492).
3.6.2 Pencegahan HIV AIDS Pada Masa Persalinan
Saat melahirkan ibu yanng positif HIV sebaiknya melahirkan lewat operasi caesar
saja karena lebih aman. Tetapi ibu hamil dengan HIV/ AIDS masih punya
kesempatan untuk melahirkan normal, yaitu melalui vagina.
Bila ibu hamil ingin melahirkan normal, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi
terlebih dahulu. Syaratnya antara lain:
1. Sudah minum obat antivirus sejak usia kehamilan 14 minggu atau kurang.
2. Kondisi viral load kurang dari 10.000 kopi/ml. Viral load sendiri yaitu jumlah
partikel virus dalam 1 ml atau 1 cc darah. Semakin banyak jumlah partikel
virus dalam darah berarti semakin tinggi risiko Anda untuk menularkan virus
dan mengalami komplikasi HIV.
Saat melahirkan normal, ibu bersalin dengan viral load yang tinggi
biasanya akan diberikan infus berisi obat zidovudine. Namun, rencana
persalinan Anda masih bisa berubah-ubah tergantung pada kondisi tubuh ibu
dan bayinya.
Menurut berbagai penelitian, kelahiran dengan operasi caesar memang bisa
menurunkan risiko penularan HIV/ AIDS dari ibu ke bayi saat persalinan.
Terutama jika viral load ibu menjelang persalinan terhitung tinggi.
Berdasarkan data yang diperoleh dari American College of Obstetricians and
Gynecologist, operasi sesar dianjurkan untuk dilakukan sebelum kehamilan
berusia 39 minggu. Sedangkan pada ibu hamil dengan HIV, dianjurkan untuk
melakukan operasi caesar saat kehamilan berusia 38 minggu.
Selain itu, pada operasi caesar bisa juga diberikan antibiotik untuk
mecegah infeksi pasca melahirkan pada ibu dengan HIV. Ini karena wanita
yang positif HIV punya kekebalan tubuh yang melemah sehingga lebih rentan
kena infeksi. Antibiotik ini dapat diberikan sebelum operasi dilakukan dan
sesudahnya.

3.7 Manifestasi Klinis HIV


Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host akibat
intervensi HIV. Manifestasi ini dapat merupakan gejala dan tanda infeksi virus akut,
keadaan asimptomatis berkepanjangan, hingga manifestasi AIDS berat. Manifestasi gejala
dan tanda dari HIV dapat dibagi menjadi 4 tahap.
3.7.1 Tahap infeksi akut
Pada tahap ini muncul gejala tetapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu
pertama setelah paparan HIV dapat berupa demam, rasa letih, nyeri otot dan sendi,
nyeri telan, dan pembesaran kelenjar getah bening di leher
3.7.2 Tahap asimptomatik
Pada tahap ini gejala dan keluhan hilang. Tahap ini berlangsung 6 minggu hingga
beberapa bulan bahkan tahun setelah infeksi. Pada stadium ini terjadi
perkembangan jumlah virus disertai makin berkurangnya jumlah sel CD-4. Pada
tahap ini aktivitas penderita masih normal
3.7.3 Tahap Simptomatis
Pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik dengan gradasi sedang samapi
berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai 10%, pada selaput mulut terjadi
sariawan berulang, terjadi peradangan pada sudut mulut, dapat juga ditemukan
infeksi bakteri pada saluran napas bagian atas namun penderita dapat melakukan
aktivitas meskipun terganggu. Penderita lebih banyak di tempat tidur meskipun
kurang 12 jam perhari dalam bulan terakhir
3.7.4 Tahap AIDS
Pasien dengan jumlah sel CD4 < 200 sel/ul merupakan pasien dikategorikan pada
tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS. Pada tahap ini terjadi penurunan berat
badan lebih dari 10%, diare lebih dari 1bulan, panas yang tidak diketahui
sebabnya lebih dari satu bulan, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia,
tuberkulosis paru dan pneumonia bakteri. Penderita berbaring di tempat tidur lebih
dari 12 jam dalam sehari selama sebulan terakhir

Hampir 90% kasus infeksi HIV pada anak disebabkan oleh transmisi perinatal.
Transmisi perinatal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen. Beberapa penelitian
melaporkan tingginya kasus terjadi akibat terpaparnya intrapartum terhadap darah
maternal seperti pada kasus episiotomi, laserasi vagina atau persalinan dengan forsep,
sekresi genital yang terinfeksi dan ASI. Frekuensi rata-rata transmisi vertikal dari ibu ke
anak dengan infeksi HIV mencapai 25-30%. Faktor lain yang meningkatkan resiko
transmisi ini, antara lain jenis HIV tipe 1, riwayat anak sebelumnya dengan infeksi
HIV, ibu dengan AIDS, lahir prematur, jumlah CD4 maternal rendah, viral load
maternal tinggi, korioamnionitis, persalinan pervaginam dan pasien HIV dengan
koinfeksi
Interpretasi kasus sering menjadi kendala karena pasien yang terinfeksi HIV adalah
karier asimptomatik dan mempunyai kondisi yang memungkinkan untuk memperburuk
kehamilannya. Kondisi tersebut termasuk ketergantungan obat, nutrisi buruk, akses
terbatas untuk perawatan prenatal, kemiskinan dan adanya penyakit menular seksual.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah bayi lahir prematur, premature rupture of
membran (PROM), berat bayi lahir rendah, anemia, restriksi pertumbuhan intrauterus,
kematian perinatal dan endometritis postpartum

3.8 Implikasi HIV AIDS


1. Bayi Lahir Prematur
Apabila infeksi HIV aids yang telah menyerang ibu menural kepada janin yang
dikandungnya akan dapat menyebabkan gangguan pada perkembangan janin.
Kelainan pada janin yang pastinya akan terpengaruh adalah penurunan daya tahan
tubuh sehingga tubuh mudah terserang berbagai macam infeksi baik bakteri maupun
virus. infeksi HIV pada bayi dapat menjadi penyebab janin cacat sejak dalam
kandungan.
2. Melemahnya Daya Tahan Ibu
Bagian pada tubuh manusia yang akan diserang apabila terjadi infeksi HIV
adalah imunitasnya. Kondisi ini apabila terjadi pada ibu hamil makan dapat
melemahkan daya tahan ibu. Dampak HIV Aids pada ibu hamil tersebut akan sangat
berpengaruh besar pada setiap proses kehamilan yang dijalani. Ibu akan mudah
terserang berbagai penyakit infeksi baik infeksi bakteri maupun infeksi virus lainnya
karena berkuranngnya kinerja pertahanan tubuh untuk menangkal bakteri dan virus
tersebut berkembang. Selain itu ibu hamil yang terinfeksi HIV Aids harus lebih
banyak mengkonsumsi nutrisi untuk asupan pada janinnya.
Dampak HIV Aids pada ibu hamil diatas memiliki resiko yang berbeda – beda.
Resiko terbesar yang terjadi apabila ibu terinfeksi HIV Aids adalah kondisi imunitas
dan fisik ibu sendiri. Sedangkan pada janin yang dikandungnya, resiko dampat HIV
Aids pada masa kehamilan cukup kecil bahkan penularan dari ibu kepada janin
hampir tidak pernah terjadi. Namun apabila kondisi ini tidak ditangani dengan baik,
dampak HIV Aids pada ibu hamil yang negatif tersebut dapat terjadi dan resikonya
bisa meningkat. Bagi wanita ibu yang telah mengetahui adanya infeksi HIV Aids pada
dirinya akan lebih mudah melakukan penanganan dan perawatan saat hamil
dibandingkan ibu yang tidak tahu bahwa dirinya terinfeksi HIV Aids.
3. Penularan HIV Aids pada Janin
Ibu hamil yang terinfeksi oleh HIV Aids dapat beresiko menularkan
infeksinya kepada janin yang dikandungnya. Resiko penularan HIV Aids pada ibu
hamil terhadap bayinya sangat kecil. Kondisi ini dikarenakan virus HIV tidak dapat
menembus plasenta dan selaput serta air ketuban yang membungkus janin pada rahim.
Apabila tidak ada kelainan pada bagian tersebut maka resiko penularan HIV Aids
pada janin sangat kecil kemungkinannya bahkan bisa jadi tidak akan terjadi. Resiko
penularan HIV Aids dari ibu hamil kepada janinnya dapat meningkat pada saat proses
persalinan.
3.9 Penanganan
3.9.1 Penanganan Umum
Setelah dilakukan diagnosa HIV, pengobatan dilakukan untuk memperlambat
tingkat replikasi virus. Berbagai macam obat diresepkan untuk mencapai tujuan
ini dan berbagai macam kombinasi obat-obatan terus diteliti. Untuk menemukan
obat penyembuhannya.
Pengobatan-pengobatan ini tentu saja memiliki efek samping, namun
demikian ternyata mereka benar-benar mampu memperlambat laju perkembangan
HIV didalam tubuh.
Pengobatan infeksi-infeksi appertunistik tergantung pada zat-zat khusus yang
dapat menginfeksi pasien, obat anti biotic dengan dosis tinggi dan obat-obatan anti
virus seringkali diberikan secara rutin untuk mencegah infeksi agar tidak menjalar
dan menjadi semakin parah.
3.9.2 Penanganan Khusus
Penanganan dilakukan sejak asuhan antenatal dan pengujian dilakukan atas
permintaan pasien dimana setelah proses konseling risiko PMS dan hubungannya
dengan HIV, yang bersangkutan memandang perlu pemeriksaan tersebut.
1. Upayakan ketersediaan uji serologic
2. Konseling spesifik bagi mereka yang tertular HIV, terutama yang
berkiatan dengan kehamilan da risiko yang dihadapi
Bagi golongan risiko tinggi tetapi hasil pengujian negative lakukan
konseling untuk upaya preventif (penggunaan kondom)
3. Berikan nutrisi dengan nilai gizi yang tinggi, atasi infeksi oportunistik
4. Lakukan terapi (AZT sesegera mungkin, terutama bila konsentrsi virus
(30.000-50.000) kopi RNA/Ml atau jika CD4 menurun secara dratis
Tatalaksana persalinan sesuai dengan pertimbangan kondisi yang dihadapi
(pervaginanm atau perabdominam, perhatikan prinsip pencegahan infeksi).

3.9.3 Rekomendasi pemberian ART untuk mengurangi transmisi perinatal


Situasi kehamilan Rekomendasi
1. Odha yang hamil menjalani pemeriksaan klinis,imunologis,dan virologi
standart.
2. Pertimbangan inisiasi dan penelitian ART sama dengan odha yang tidak hamil
dengan pertimbangan efek terhadap kehamilan.
Regimen AZT tiga bagian direkomendasikan setelah trimester pertama tanpa
memendang kadar hiv ibu.regimen kombinasi direkomendasikan pada odha
status klinis,imunologis,dan viroogisnya berat atau kadar HIV lebih dari 1000
kopi/mL.jika odha datang pada trimester pertama kehamilan,pemberian AZT
dapat di tunda sampai usia kehamilan 10-12 minggu.
3. Jika kehamilan diketahui setelah trimester pertama,tetapi ART sebelumnya
diteruskan,sebaiknya dengan menyertakan ZDV.jika kehamilan diketahui pada
terimester pertama,odha diberikan konseling tentang keuntungan dan resiko
ART pada trimester pertama.jika odha memilih menghentikan AZT selama
trimester pertama,semua obat harus dihentikan untuk kemudian diberikan
secara stimulant setelah trimester pertama untuk mencegah resisitensi
obat.tanpa mempertimbangkan regimen sebelumnya,AZT dianjurkan untuk
diberikan selama intrapartum

Anda mungkin juga menyukai