Anda di halaman 1dari 5

Gharib al-Qur’an _

Posted on November 25, 2013 by alkautsarkalebbi

BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara tentang Alqur’an memang bagai lautan yang tak bertepi, semakin jauh ia dikejar semakin
luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun Alqur’an dikaji dan diteliti, ia tidak pernah habis atau
basi, bahkan semakin kaya dan selalu aktual.Mungkin itulah salah satu mukjizat yang terpancar
dari kitabullah sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan pada Rasul-Nya, yaitu al-
Islam.
Aspek bacaan al-Qur’an atau qiraah dalam pengertian yang luas, bukan hanya sekedar melafalkan
huruf Arab dengan lancer, akan tetapi juga merupakan salah satu aspek kajian yang paling jarang
diperbincangkan, baik oleh kalangan santri maupun kaum terpelajar umumnya, padahal membaca
al-Qur’an tergolong ibadah mahdlah yang paling utama. Hal ini barang kali bisa dimengerti,
mengingat kurangnya buku rujukan yang mengupas tuntas ilmu qiraah dan minimnya guru al-
Qur’an yang memiliki kemampuan memadai. Antusiasme para “santri” dalam mempelajari dan
mencari dalil-dalil fiqh, baik dari al-Qur’an, hadis ataupun dari pendapat-pendapat ulama, ternyata
tidak diikuti oleh semangat mentashihkan bacaan atau mencari jawaban tentang apa dan
mengapa ada bacaan saktah, madd, ghunnah yang sama-sama wajib (kifayah) dipelajari bagi
kaum muslimin. Dari fenomena di atas perlu ditumbuhkan kembali semangat untuk mengkaji
aspek bacaan al-Qur’an yang masih “misteri” bagi kebanyakan orang sebagaimana
semangatnya anak-anak kecil di tempat-tempat pendidikan al-Qur’an untuk bisa “membaca”
dengan lancar.
Sebagai akibat dari kurangnya informasi yang memadai tentang bacaan al-Qur’an, bagi
kebanyakan orang, ilmu qiraah (yang dipersempit dengan ilmu tajwid) dianggap hanya
mempelajari makhraj dan sifat huruf, hukum nun atau mim mati dan tanwin, dan mad saja, lalu
mereka membaca al-Qur’an apa adanya sebagaimana yang terdapat dalam tulisan mushaf atau
rasm , padahal banyak kalimat yang cara bacanya tidak sama persis dengan tulisannya, seperti
bacaan imalah, tash-hil, isymam dan lain sebagainya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gharib al-Qur’an
Lafal gharaib berasal dari bahasa Arab, yakni jamak dari gharibah yang berarti asing
atau sulit pengertiannya. Apabila dihubungkan dengan Alqur’an maka yang dimaksudkan adalah
ayat-ayat Alqur’an yang yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir tidak dimengerti.[1]
Menurut Muchotob Hamzah Gharib al qur’an adalah Ilmu al Qur’an yang membahas mengenai arti
kata dari kata-kata yang ganjil dalam al Qur’an yang tidak biasa digunakan dalam percakapan
sehari-hari.
Banyak lafal dalam ayat-ayat Alqur’an yang aneh bacaannya. Maksud aneh adalah ada beberapa
bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca yang umum atau yang
biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab. Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan
Alqur’an yang mengandung kemukjizatan yang sangat tinggi, disinilah letak kehebatannya
sehingga kaum sastrawan tidak mampu menandinginya. Dari segi tulisan, mushaf yang kita terima
ini tidak ada masalah karena telah dipersatukan tulisannya oleh khalifah Usman.[2]
B. Macam-Macam Bacaan Gharib Dalam Alqur’an
1. Saktah

Menutut Hafs , saktah yaitu, berhenti sebentar, tanpa bernafas dengan niat melanjutkan bacaan.
Di dalam Al-Qur’an ada 4, yaitu: (1) Surah Kahfi: 1-2, (2) Surah Yasin: 52, (3) Surah Al-Qiyamah:
27, dan (4) Surah Al-Muthaffifin: 14. Berikut ini contoh-contoh saktah dalam sebuah ayat yang
lengkap:
‫ت‬
َ ‫صا َل َحا‬ ‫شدَيدًا مَ ن له ُد ْنهُ َويُبَش ََر ْال ُمؤْ مَ نَينَ الهذَينَ يَ ْع َملُونَ ال ه‬ ً ْ ‫} قَيِ ًما َليُنذ ََر بَأ‬1/18{ ‫َاب َولَ ْم يَجْ عَل لههُ ع َِوجَا‬
َ ‫سا‬ َ ‫ع ْب َد َه ْال َكت‬ َ ‫ْال َح ْم ُد َ ه‬
َ ‫ّلِل الهذَي أَنزَ َل‬
َ ‫علَى‬
‫سنًا‬َ َ‫ح‬ ‫ا‬ ‫ر‬
ً ْ‫ج‬ َ ‫أ‬ ‫م‬
ُْ‫ه‬ َ ‫ل‬ ‫ه‬
‫ن‬ َ ‫أ‬ {18/2}
َ‫سلُون‬ َ ‫صدَقَ ْال ُم ْر‬ َ ‫الرحْ َمنُ َو‬ َ ‫{ قَالُوا يَا َو ْيلَنَا َمن بَعَثَنَا مِ ن َّم ْرقَ ِدنَا َهذَا َما َو‬36/52}
‫ع َد ه‬
‫{ َوقَي َل َم ْن َراق‬75/27}
َ‫علَى قُلُوبَ َهم هما كَانُوا يَ ْك َسب ُون‬
َ َ‫{ ك َََّّل بَ ْل َران‬83/14}
2. Imalah
Yaitu, bacaannya condong miring dari harakat fathah ke kasrah, dan dari huruf alif ke ya’
(Kecenderungan fathah kepada kasrah sehingga seolah-olah dibaca re). Imalah hanya terdapat 1
kata dalam Al-Qur’an, Surah Huud ayat 41, Juz 12.
ٌ ُ‫ساهَا إَ هن َربَي لَغَف‬
‫ور هرحَ ي ٌم‬ َ ‫ار َكبُواْ فَي َها بَس َْم‬
َ ‫للا َمجْ َراهَا َو ُم ْر‬ ْ ‫{ َوقَا َل‬11/41}
3. Isymam

Yaitu, setelah mendengungkan (menggunahkan) nun kemudian bibirnya maju (monyong) dan
ditahan satu harakat. Isymam di dalam Al-Qur’an hanya ada 1, yaitu di Surah Yusuf ayat 11, Juz
12.
َ ‫ف َوإَنها لَهُ لَن‬
َ‫َاصحُون‬ َ ‫{ قَالُواْ يَا أَبَانَا َما لَكَ الَ ت َأ ْ َمنَّا‬12/11}
َ ُ‫علَى يُوس‬
4. Shod dibaca Sin
Yaitu, huruf Shad dalam sebuah kata dibaca Sin biasa. Oleh karena itu sebagian Mushaf menulis
sin kecil diatasnya, dibaca ‫ط‬ ُ ُ‫ َويَ ْبس‬dan ‫طة‬ َ ‫س‬ ْ َ‫ب‬
Bacaan ini di dalam Al-Qur’an terdapat di Surah Al-Baqarah ayat 245, Juz 2 dan di Surah Al-A’raf
ayat 69 Juz 8

.}245/2{ َ‫ط َو َإلَ ْي َه ت ُ ْر َجعُون‬ ُ ‫ص‬ ُ ‫ض َويَ ْب‬ ُ ‫َيرة ً َوللاُ يَ ْق َب‬َ ‫ضعَافًا َكث‬ ْ َ ‫ضا َعفَهُ لَهُ أ‬
َ ُ‫سنًا فَي‬َ ‫للا قَ ْرضًا َح‬
َ ‫ض‬ ُ ‫همن ذَا الهذَي يُ ْق َر‬
‫طةً فَا ْذ ُك ُرواْ آالء‬َ ‫ص‬ ْ َ‫ق ب‬ َ ْ
‫َل‬‫خ‬ ْ
‫ال‬ ‫َي‬ ‫ف‬ ‫م‬
ْ ُ
‫ك‬ ‫د‬
َ ‫ا‬ َ‫ز‬‫و‬َ ٍ ‫وح‬ ُ ‫ن‬ ‫م‬ ‫و‬َ
َْ َْ‫ق‬ ‫د‬
َ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫ن‬ َ‫م‬ ‫َاء‬ ‫ف‬َ ‫ل‬‫خ‬ُ ‫م‬ ُ
‫ك‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ج‬ ْ
‫ذ‬
ْ َ َ َ ُ َ ْ َ ‫إ‬ ْ ‫ا‬ ‫و‬‫ر‬ ُ
‫ك‬ ‫اذ‬ ‫و‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫َر‬‫ذ‬ ‫ُن‬ ‫ي‬‫ل‬َ ‫م‬
ْ ُ ‫ك‬‫ن‬‫م‬َ ‫ل‬ ‫ج‬ ‫ر‬ ‫ى‬ َ
ٍ ُ َ َ ْ َ‫ه‬‫ل‬ ‫ع‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ب‬‫ر‬ ‫ن‬‫م‬َ ‫ر‬ٌ ‫ع َج ْبت ُ ْم أَن َجاء ُك ْم‬
ْ
‫ك‬ ‫ذ‬
َ َ ‫أ َ َو‬
}69/7{ َ‫للا لَعَلهكُ ْم ت ُ ْف َلحُون‬
َ
5. Ba’ diidham ke Mim
Yaitu, Huruf Ba’-Mati (disukun) ketika bertemu Mim diidghamkan ke huruf Mim tersebut. Di dalam
Al-Qur’an hanya terdapat 1 kali, yaitu di Surah Huud ayat 42 Juz 12
َ‫اركَب َّمعَنَا َوالَ ت َ ُكن هم َع ْالكَاف ََرين‬ ْ ‫ي‬ َّ َ‫ال َونَا َدى نُو ٌح ا ْبنَهُ َو َكانَ فَي َم ْع َز ٍل يَا بُن‬ َ َ‫ج ك َْال َجب‬
ٍ ‫َي تَجْ َري َب َه ْم فَي َم ْو‬ َ ‫{ َوه‬11/42}
6. Sukun diganti Lam
Yaitu, lam alif (‫ )ال‬dibaca kasroh lam-nya , sedangkan kata ismun (‫ ) َا ْس ٌم‬hamzah-nya tidak dibaca.
Di dalam Al-Qur’an hanya terdapat di Surah Al-Hujuraat ayat 11 Juz 26.
‫س ُك ْم َو َال‬َ ُ‫سى أَن يَ ُك هن َخي ًْرا َم ْن ُه هن َو َال ت َْلمَ ُزوا أَنف‬ َ ‫ع‬
َ ‫ساء‬ َ َ‫ساء َمن ن‬ َ َ‫سى أَن يَ ُكونُوا َخي ًْرا َم ْن ُه ْم َو َال ن‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الهذَينَ آ َمنُوا َال يَ ْسخ َْر قَو ٌم َمن قَ ْو ٍم‬
َ ‫ع‬
‫ه‬ َ ُ ‫ه‬
َ‫ان َو َمن ل ْم يَتُبْ فَأ ْولئَكَ هُ ُم الظا َل ُمون‬ ْ
َ ‫سوقُ بَ ْع َد‬
َ ‫اْلي َم‬ ُ ْ
ُ ‫س ُم الف‬ْ ‫ْس ا ِال‬
َ ‫ب بِئ‬ ْ َ ْ
َ ‫{ تَنَابَ ُزوا بَاْللقَا‬49/11}
7. 3 (tiga) model bacaan
Yaitu, 3 (tiga) macam bacaan yang terjadi karena washal dan waqaf. Ketiga hukum bacaan
tersebut adalah :

a) Bila washal, Ra’-nya dibaca pendek keduanya.


b) Bila waqaf pada kalimat pertama, Ra’ dibaca panjang 1 alif / 2 harakat.
c) Bila Waqaf pada kalimat kedua, Ra’ kalimat pertama dibaca qasr (pendek) dan Ra’ kalimat
kedua dibaca sukun (mati).
3 (tiga) buah model bacaan asing ini hanya terdapat di Surah Al-Insaan ayat 15-16.

ً ‫ض ٍة قَد ُهروهَا ت َ ْقد‬


‫َيرا‬ َ ‫} قَ َو ِار‬15/76{ ‫يرا‬
‫ير مَن فَ ه‬ َ ‫َت قَ َو ِار‬ ٍ ‫ض ٍة َوأ َ ْك َوا‬
ْ ‫ب كَان‬ ‫علَ ْي َهم بَآ َنيَ ٍة َمن فَ ه‬
َ ‫اف‬
ُ ‫ط‬َ ُ‫{ َوي‬76/16}
8. Tashiil
Yaitu, Hamzah pertama dibaca tahqiq (jelas) dan pendek, sedangkan hamzah kedua dibaca
tashiil, yaitu meringankan bacaan antara Hamzah dan Alif. Di dalam Al-Qur’an hanya terdapat 1
kali, yaitu di Surah Fussilaat, ayat 44:

َ ‫ي ق ُ ْل ه َُو لَلهذَينَ آ َمنُوا ُهدًى َو َشفَاء َوالهذَينَ َال يُؤْ مَ نُونَ فَي آذَانَ َه ْم َو ْق ٌر َوه َُو‬
‫علَ ْي َه ْم‬ َ ‫ت آيَاتُهُ أَأ َ ْعجَمِ ي َو‬
ٌّ َ‫ع َرب‬ َ ُ ‫َولَ ْو َجعَ ْلنَاهُ قُ ْرآنًا أ َ ْع َجمَ يًّا لهقَالُوا لَ ْو َال ف‬
ْ َ‫صل‬
‫َان بَعَي ٍد‬ ‫ك‬
ٍ ‫ه‬ ‫م‬ ‫ن‬ َ‫م‬ َ‫ن‬‫و‬ ْ ‫د‬
َ ‫َا‬ ‫ن‬ُ ‫ي‬ َ‫َك‬ ‫ئ‬َ ‫ل‬‫و‬ ُ ‫أ‬
ْ ًَ ‫ى‬ ‫م‬ ‫ع‬ {41/44}[3]
C. Cara Menafsirkan Ayat-Ayat yang Gharib
Permasalahan ini menjadi persoalan yang sangat rumit, khususnya setelah Nabi SAW. wafat,
sebab saat beliau masih hidup semua permasalahan yang timbul langsung ditanyakan kepadanya.
Tentu tidak semua persoalan sosial dan kemasyarakatan serta keagamaan muncul saat beliau
masih hidup karena umur beliau relatif singkat, sementara pesoalan kemasyarakatan tersebut
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.

Namun Rasulullah sebelum wafat telah meninggalkan dua pusaka yang sangat ampuh dan
mujarab serta berharga, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Nabi menjamin barang siapa yang
berpedoman kepada keduanya niscaya dia tidak akan sesat selama-lamanya.
)‫سـنهـتَى (رواه الحكم‬ َ ‫اب‬
ُ ‫هللا َو‬ َ َ ‫ضـلُّ ْـوا بـَ ْعـ َدهُـ َما كَـتـ‬
َ َ ‫ْـن لَ ْن تـ‬
َ ‫تـ َ َركـْتُ فَـ ْي ُكـ ْم شَـيْـئ َـي‬
“Aku meninggalkan dua perkara pada diri kalian yang kalian tidak akan tersesat setelahnya yaitu
Kitab Allah dan Sunnahku”.

Hadits ini dikuatkan oleh firman Allah yang tertera pada surat al Nisa’ ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin)
di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
persoalan tersebut kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Secara teoritis kembali kepada al qur’an dan hadits boleh dikatakan tidak ada masalah, tetapi
problema muncul lagi dan terasa memberatkan pikiran ketika teori itu diterapkan untuk
memecahkan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat. Oleh karena hal itu cara yang digunakan
oleh ulama’ dalam memahami gharib al qur’an, dan ini disebut juga “Ahsana al
Thuruq” oleh sebagai ulama – adalah sebagi berikut:
1. Menafsirkan al qur’an dengan al qur’an
Contoh Surat al An’am ayat 82, kata ‫ ظلم‬dalam ayat tersebut jika diartikan secara tekstual maka
terasa membawa pemahaman yang asing dan tidak cocok dengan kenyataan sebab hampir tidak
ditemukan orang-orang yang beriman yang tidak pernah melakukan perbuatan dzalim sama
sekali. Jika begitu maka tidak ada orang mukmin yang hidupnya tentram dan tidak akan mendapat
petunjuk.
Oleh karena itu sahabat bertanya kepada Rasulullah, lalu Rasul menafsirkan
kata dzulm dengan syirk berdasarkan pada surat Luqman ayat 13:
“Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Dari penjelasan Nabi diatas dapat diketahui bahwa kata dzulm dalam surat al An’am
berarti syirk bukan ke-dzaliman biasa, dengan penjelasan itu selesailah persoalannya. Dan
berdasarkan penjelasan Nabi itulah maka surat al An’am ayat 82 diterjemahkan sebagai berikut
“orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman
(syirik) mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk”.[4]
2. Menafsirkan al qur’an dengan sunnah rasul.

As Sunnah adalah penjelas dari al qur’an, dimana al qur’an telah menjelaskan bahwa semua
hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:

ُ ‫أَالَ إنَي أ ُ ْو َتيْتُ القُرآنَ َومَ ثْلَهُ َمعَهُ يَ ْعنَي ال‬


َ‫سنهة‬

“Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa
dengannya” yaitu sunnah.
3. Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar(pendapat) sahabat.
Pendapat para sahabat lebih akurat dari pada lainnya dikarenakan mereka telah berkumpul
dengan Rasulullah dan mereka telah meminum air pertolongan beliau yang bersih. Mereka
menyaksikan wahyu dan turunnya, mereka tahu asbabun nuzul dari sebuah ayat maupun surat
dari al qur’an, mereka mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan keunggulan dalam hal
memahami secara benar dan selamat terhadap kalam Allah SWT. Bahkan menjadikan mereka
mampu menemukan rahasia-rahasia alqur’an lebih banyak dibanding siapapun orangnya.
4. Jika masih belum didapati pemecahannya maka sebagian ulama memeriksa pendapat tabi’in.

Diantara tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak jarang mereka
juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbat (penyimpulan) dan Istidlal (penalaran dalil) sendiri.
Tetapi yang harus menjadi pegangan dalam hal ini adalah penukilan yang shohih.
5. Melalui sya’ir

Walaupun sebagian besar ulama nahwu mengingkari cara yang kelima ini dalam menafsirkan ayat
yang gharib namun cobalah kita melepaskan diri dari perbedaan itu dan melihat penjelasan dari
Abu Bakar Ibnu Anbari yang berkata “telah banyak riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat dan
tabi’in berhujjah dengan sya’ir-syair dengan kata-kata yang asing bagi al qur’an dan
yang musykil (yang sulit)”.
Syai-syair itu bukanlah dijadikan sebagi dasar al qur’an untuk berhujjah melainkan dijadikan
sebagai penjelas dari huruf-huruf asing yang ada di al qur’an, karena Allah berfirman dalam surat
az Zukhruf ayat 3 “Sesungguhnya Kami menjadikan al qur’an dalam bahasa arab”.
Ibnu Abbas berkata “jika kalian bertanya kepadaku tentang sebuah kata asing di dalam alqur’an
maka carilah maknanya pada syair-syair. Sesungguhnya syair-syair itu adalah perbendaharaan
bangsa Arab”.
Contoh ketika Ibnu Abbas sedang duduk-duduk di halaman ka’bah, dia dikelilingi oleh sekelompok
kaum dan bertanya kepadanya tentang penafsiran beberapa ayat, diantaranya mereka bertanya
tentang tafsir ayat ‫ وابتغو اليه الوسيلة‬yang ada pada surat al Maidah ayat 35. Kata ‫ الوسيلة‬diartikan oleh
Ibnu Abbas dengan “kebutuhan”, kemudian dia mengambil dasar dari syair yang dikatakan oleh
Antarah yang berbunyi
‫ان يأخذوك تكحاي و تخضبي‬ ‫ان الرجال لهم اليك وسيلة‬

Sesungguhnya para laki-laki itu membutuhkanmu


Jika mereka hendak mengambilmu Maka pakailah celak dan semir.[5]
D. Faedah Mengetahui Gharib Alqur’an
Banyak faedah yang dapat dipetik dengan mengetahui dan mempelajari ayat-ayat yang gharibat
antara lain sebagai berikut:

1. Mengundang tumbuhnya penalaran ilmiah. Artinya, mempelajari ayat-ayat yang sulit dalam
pemahamannya itu akan melahirkan berbagai upaya guna memahaminya.
2. Mengambil perhatian umat. Dengan diketahuinya ke-gharib-an ayat-ayat Alqur’an, maka
terasa mendalam ketinggian bahasa yang dibawa oleh Alqur’an.
3. Memperoleh keyakinan eksistensi Alqur’an sebagai kalam ilahi. Dengan diketahui maksud
yang terkandung dalam ayat-ayat gharibat, maka akan diperoleh suatu pemahaman yang
mendalam dari ayat tersebut.[6]

BAB III
KESIMPULAN
Gharib al-Qur’an adalah ayat-ayat Alqur’an yang yang sukar pemahamannya sehingga hampir-
hampir tidak dimengerti. Banyak lafal dalam ayat-ayat Alqur’an yang aneh bacaannya. Maksud
aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai dengan kaidah aturan
membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab.

Macam-macam bacaan gharib alquran ada 8 macam, yaitu:


1. Saktah

2. Imalah
3. Isymam

4. Shod dibaca sin


5. Ba’ diidham ke Mim
6. Sukun diganti lam
7. 3 (tiga) model bacaan

8. Tashiil

Cara menafsirkan ayat-ayat yang gharib antara lain:


1. Menafsirkan al qur’an dengan al qur’an.
2. Menafsirkan al qur’an dengan sunnah rasul.

3. Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar(pendapat) sahabat.
4. Jika masih belum didapati pemecahannya maka sebagian ulama memeriksa pendapat
tabi’in.
5. Melalui sya’ir.

Salah satu faedah yang dapat dipetik dengan mengetahui dan mempelajari ayat-ayat yang
gharibat yaitu Memperoleh keyakinan eksistensi Alqur’an sebagai kalam ilahi. Dengan diketahui
maksud yang terkandung dalam ayat-ayat gharibat, maka akan diperoleh suatu pemahaman yang
mendalam dari ayat tersebut.

[1] Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. 1, hal.
267
[2] Abdul Majid Khan, Praktikum Qira’at, (Jakarta: Amzah, 2008), cet. 1, hal. 100
[3] www.scribd.com/doc/46455301/Gharib-Al-Qur-An
[4] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. 1,
h. 270
[5] hijausegarsaja.blogspot.com/2011/01/ghoribul-quran.html
[6] Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. 1, hal.
270-271

Anda mungkin juga menyukai