2
Eustress yaitu stres yang sangat berguna lantaran dapat membuat
tubuh menjadi lebih waspada. Eustres membuat tubuh dan pikiran
menjadi siap untuk menghadapi banyak tantangan, bahkan bisa tanpa
disadari. Tipe stres ini dapat membantu memberi kekuatan dan
menentukan keputusan, contohnya menemukan solusi untuk masalah.
Eustress merupakan jenis stres yang diakibatkan oleh hal-hal yang
menyenangkan. Sebagai contoh: perubahan peran setelah menikah,
kelahiran anak pertama, dan lain-lain.
3
1. Frustasi timbul akibat kegagalan dalam mencapai tujuan karena
ada aral melintang, misalnya apabila ada mahasiswa yang gagal
dalam mengikuti ujian osca dan tidak lulus. Frustasi ada yang
bersifat intrinsic (cacat badan dan kegagalan usaha) dan ekstrinsik
(kecelakaan, bencana alam, kematian orang yang dicintai,
kegoncangan ekonomi, pengangguran, perselingkuhan, dan lain-
lain).
2. Konflik timbul karena tidak bisa memilih antara dua atau lebih
macam-macam keinginan, kebutuhan atau tujuan. Ada 3 jenis
konflik, yaitu :
4
khawatir merusak kesehatannya tetapi ia tidak dapat
membayangkan sisa hidupnya kelak tanpa rokok.
Sumber stres dapat berasal dari dalam tubuh dan di luar tubuh, sumber
stres dapat berupa biologik/fisiologik, kimia, psikologik, sosial dan
spiritual, terjadinya stres karena stressor tersebut dirasakan dan
dipersepsikan oleh individu sebagai suatu ancaman sehingga
menimbulkan kecemasan yang merupakan tanda umum dan awal dari
gangguan kesehatan fisik dan psikologis contohnya:
5
insektisoda, pencemaran lingkungan, bahan-bahan kosmetika,
bahan-bahan pengawet, pewarna dan lain-lain.
4. Stressor sosial psikologik, yaitu labeling (penamaan) dan
prasangka, ketidakpuasan terhadap diri sendiri, kekejaman (aniaya,
perkosaan) konflik peran, percaya diri yang rendah, perubahan
ekonomi, emosi yang negatif, dan kehamilan.
5. Stressor spiritual; yaitu adanya persepsi negatif terhadap nilai-nilai
keTuhanan.
D. Aspek – Aspek
Pada saat seseorang mengalami stres ada dua aspek utama dari dampak
yang ditimbulkan akibat stres yang terjadi, yaitu aspek fisik dan aspek
psikologis (Sarafino, 1998) yaitu :
1. Aspek fisik
Berdampak pada menurunnya kondisi seseorang
pada saat stres sehingga orang tersebut mengalami sakit
pada organ tubuhnya, seperti sakit kepala, gangguan
pencernaan
2. Aspek psikologis
Terdiri dari gejala kognisi, gejala emosi, dan
gejala tingkah laku. Masing-masing gejala tersebut
mempengaruhi kondisi psikologis seseorang dan membuat
kondisi psikologisnya menjadi negatif, seperti
menurunnya daya ingat, merasa sedih dan menunda
pekerjaan. Hal ini dipengaruhi oleh berat atau ringannya
stres. Berat atau ringannya stres yang dialami seseorang
dapat dilihat dari dalam dan luar diri mereka yang
menjalani kegiatan akademik di kampus.
E. Penyebab Stress
1. Stressor psikologis
Stressor yang bersumber dari psikis, misalnya takut, khawatir,
cemas, marah kesepian dan lain-lain (Asiyah, 2010).
2. Stressor biologic
6
Berbagai penyakit infeksi, trauma fisik dengan kerusakan organ
biologic, mal nutrisi, kelelahan fisik, kekacauan fungsi biologic yang
kontinyu.
3. Stressor sosial budaya
Stressor yang bersumber dari kultural yang melatar belakangi
kehidupan seseorang, misalnya ekonomi, persaingan, diskriminasi,
perceraian, perubahan sosial yang cepat (Zuyina Luk Lukaningsih
dan Siti Bandiyah, 2011).
F. Dampak Stress
Menurut Powell (1983) stress dapat berdampak positif dan juga
bisa berdampak negative. Dampak positifnya yang mencakup pemuasn
kebutuhan dasar, kemampuan menangani masalah, juga inkulasi stress.
Sedangkan dampak negatifnya yang berupa gangguan fisik dan mental
serta dapat juga mempengaruhi perubahan tingkah laku individu.
G. Tanda Gejala Stress
Menurut pendapat Everly dan Giordano mengemukakan beberapa
gejala-gejala stres, menurut mereka akan mempunyai dampak pada
suasana hati, otot kerangka, dan organ-organ dalam tubuh, gejala-gejala
tersebut adalah :
1. Gejala-gejala suasana hati, yaitu menjadi overexcited, cemas,
merasa tidak pasti, sulit tidur pada malam hari, menjadi sangat
tidak enak dan gelisah, menjadi gugup.
7
Menurut pendapat Asiyah (2010) Gejala-gejala yang menandai kondisi
stress adalah sebagai berikut :
1. Gejala fisik berupa rasa lelah, susah tidur, nyeri kepala, otot kaku
dan tegang terutama pada leher/tengkuk, bahu, dan punggung
bawah, nyeri di dada, berdebar-debar, napas pendek, gangguan
lambung dan pencernaan, mual, gemetar, tangan dan kaki terasa
dingin, wajah terasa panas, berkeringat, sering flu, dan menstruasi
sering terganggu.
2. Gejala mental seperti berkurangnya konsentrasi dan daya ingat,
ragu-ragu, bingung, pikiran penuh atau kosong, kehilangan rasa
humor.
3. Gejala emosi dapat berupa cemas, depresi, putus asa, mudah
marah, ketakutan, frustrasi,tiba-tiba menangis, merasa tak
berdaya, menarik diri dari pergaulan, dan menghindari kegiatan
yang sebelumnya disenangi.
4. Gejala prilaku dapat berupa mondar-mandir, gelisah, menggigit
kuku, menggerak-gerakkan anggota badan atau jari, perubahan
pola makan, merokok, minum-minuman keras, menangis,
berteriak, mengumpat, bahkan melempar barang atau memukul
(Asiyah, 2010).
H. Bentuk Reaksi Individu Terhadap Stress
1) Fisiologis
Walter Canon memberikan deskripsi mengenai bagaimana
reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam. Ia
menyebut reaksi tersebut sebagai fight-or-fight response karena
respon fisiologis mempersiapkan individu dapat berespon dengan
cepat terhadap situasi yang mengancam. Akan tetapi bila aurosal
yang tinggi terus menerus muncul dapat membahayakan
kesehatan individu. Selye mempelajari akibat yang diperoleh bila
stresor terus menerus muncul. Ia kemudian mengemukakan
istilah general adaptation syndrome (GAS) yang terdiri dari
rangkaian tahapan reaksi fisiologis terhadap stresor.
8
a. Alarm Reaction
Tahapan pertama ini mirip dengan fight-or-fight response.Pada
tahap ini aurosal yang terjadi pada tubuh organisme terhadap
stresor. Tapi tubuh tidak dapat mempertahankan intensitas
aurosal dari alarm reaction dalam waktu yang sangat lama.
b. Stage of Resistance
Aurosal masih tinggi, tubuh masih terus bertahan untuk
melawann dan beradaptasi dengan stresor. Respon fisiologis
menurun, tetapi masih tetap lebih tinggi di bandingkan dengan
kondisi normal.
c. Stage of exhaustion
Respon fisiologis masih terus berlangsung. Hal ini dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh dan menguras energi
tubuh. Sehingga terjadi kelelahan pada tubuh. Stresor yang
2) Psikologis
a) Kognisi
Manurut Cohen Stres dapat melemahkan ingatan dan
perhatian dalam aktivitas kognitif. Stresor berupa kebisingan
dapat menyebabkan defisit kognitif pada anak-anak. Kognisi
juga dapat berpengauh dalam stres. Baum mengatakan bahwa
individu yang terus menerus memikirkan stresor dapat
menimbulkan stres yang lebih parah terhadap stresor.
b) Emosi
Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering
menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi
stres. Proses penilaian kognitif dapat mempengaruhi stres dan
pengalaman emosional. Reaksi emosional terhadap stres yaitu
rasa takut, phobia,kecemasan, depresi, perasaan sedih, dan
rasa marah.
9
c) Perilaku Sosial
Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain.
Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif.
Stres juga dapat mempegaruhi perilaku membantu pada
individu. Potensi respon perilaku yang hampir tak terbatas,
tergantung pada sifat dari peristiwa stres. aksi konfrontatif
terhadap stressor (fight) dan penarikan dari kejadian yang
mengancam merupakan (Flight) dua kategori umum respon
perilaku.
1. Kecemasan
Respons yang paling umum merupakan tanda bahaya yang
menyatakan diri dengan suatu penghayatan yang khas, yang sukar
digambarkan adalah emosi yang tidak menyenangkan dengan
istilah kuatir, tegang, prihatin, takut seperti jantung berdebar-
debar, keluar keringan dingin, mulut kering, tekanan darah tinggi
dan susah tidur.
2. Kemarahan dan agresi
Perasaan jengkel sebagai respons terhadap kecemasan
yang dirasakan sebagai ancaman. Merupakan reaksi umum lain
terhadap situasi stres yang mungkin dapat menyebabkan agresi.
3. Depresi
Keadaan yang ditandai dengan hilangnya gairah dan
semangat. Terkadang disertai rasa sedih
I. Tahapan Stress
Martaniah dkk, 1991(dalam Rumiani, 2006 ) menyebutkan bahwa stres
terjadi melalui tahapan :
a. Tahap 1
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan
biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut:
1. Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting)
10
2. Penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya
3. Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari
biasanya, namun tanpa disadari cadangan energi semakin
menipis.
b. Tahap 2
Dalam tahapan ini dampak/respon terhadap stresor yang
semula menyenangkan sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas
mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan
karena cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang
hari,karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat yang
dimaksud antara lain dengan tidur yang cukup, bermanfaat untuk
mengisi atau memulihkan cadangan energi yang mengalami
defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh
seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut:
1. Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya
merasa segar
2. Merasa mudah lelah sesudah makan siang
3. Lekas merasa lelah menjelang sore hari
4. Sering mengeluh lambung/perut tidak nyaman (bowel
discomfort)
5. Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-
debar)
6. Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang
7. Tidak bisa santai.
c. Tahap 3
Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam
pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan pada stres
tahap II, maka akan menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin
nyata dan mengganggu, yaitu:
1. Gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya
keluhan maag, buang air besar tidak teratur (diare)
2. Ketegangan otot-otot semakin terasa
11
3. Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional
semakin meningkat
4. Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk
mulai masuk tidur (early insomnia) atau terbangun tengah
malam dan sukar kembali tidur (middle insomnia) atau
bangun terlalu pagi atau dini hari dan tidak dapat kembali
tidur (late insomnia)
5. Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa akan jatuh dan
serasa mau pingsan). Pada tahapan ini seseorang sudah
harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh terapi,
atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh
memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna
menambah suplai energi yang mengalami defisit.
d. Tahap 4
Gejala stress tahap 4 akan muncul :
1. Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit
2. Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan
mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa
lebih sulit
3. Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan
kemampuan untuk merespons secara memadai (adequate)
4. Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin
sehari-hari
5. Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang
menegangkan. Seringkali menolak ajakan (negativism)
karena tiada semangat dan kegairaha
6. Daya konsentrasi daya ingat menurun
7. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak
dapat dijelaskan apa penyebabnya.
e. Tahap 5
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres
tahap 5, yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:
12
1. Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam
(physical dan psychological exhaustion)
f. Tahap 6
J. Teori
13
1) Stres Model Stimulus
Stres model stimulus menjadi terkenal pada tahun 1940 dan 1950
(Bartlett, 1998). Kemudian pada tahun 1960-an, para ahli psikologi
menjadi tertarik untuk mengkaji konsep stres yang ditinjau dari
pengalaman psikologis (Lyon, 2012). Sebenarnya, perkembangan
teori stres model stimulus berawal dari temuan para peneliti terhadap
prajurit militer yang sedang melaksanakan tugas perang (Bartlett,
1998). Tugas kemiliteran ini pun dianggap sebagai penyebab stres
yang menyebabkan semakin memburuknya kesehatan para militer
tersebut. Kondisi kesehatan yang memburuk itu disebabkan oleh
adanya rangsangan atau stimulus yang datang dari luar diri mereka.
Rangsangan tersebut merupakan situasi peperangan yang akan
dihadapi. Mereka membayangkan bahwa situasi peperangan yang
akan terjadi adalah sangat berbahaya. Alhasil, karena mereka banyak
memikirkan hal tersebut kesehatan mereka pun cenderung
memburuk.
Stres model stimulus merupakan model stres yang menjelaskan
bahwa stres itu adalah varibel bebas (independent) atau penyebab
manusia mengalami stres (Lyon, 2012). Atau dengan kata lain, stres
adalah situasi lingkungan yang seseorang rasakan begitu menekan
(Bartlett, 1998) dan individu tersebut hanya menerima secara
langsung rangsangan stres tanpa ada proses penilaian (Staal, 2004).
Penyebab-penyebab stres tersebut berperan dalam menentukan
seberapa banyak stres yang akan mungkin diterima. Oleh karena itu,
tekanan yang berasal dari situasi-situasi lingkungan bisa bertindak
sebagai penyebab dan penentu pada gangguan-ganguan kesehatan
apabila terjadi dalam kurun waktu yang sering dan dengan jumlah
yang berbahaya (Bartlett, 1998). Adapun situasi-situasi yang
memungkinkan menjadi pemicu terjadinya stres adalah beban kerja,
kepanasan, kedinginan, suara keributan, ruangan yang berbau
menyengat, cahaya yang terlalu terang, lingkungan yang kotor,
14
ventilasi yang tidak memadai, dan lain sebagainya (Staal, 2004;
Hariharan & Rath, 2008)
Bartlett (1998) menegaskan bahwa stres stimulus lebih
memfokuskan pada sumber-sumber stres dari pada aspek-aspek
lainnya. Sumber stres tersebut dikenal dengan istilah “stressor”.
Sebenarnya, stressor hanya memberikan rangsangan dan mendorong
sehingga terjadi stres pada seseorang. Stressor berperan sebagai
pemicu stres pada individu. Menurut Thoits (1994), sumber stres
(stressor) dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Life events (peristiwa-peristiwa kehidupan)
Life events (peristiwa-peristiwa kehidupan) berfokus
pada peranan perubahan-perubahan kehidupan yang begitu
banyak terjadi dalam waktu yang singkat sehingga
meningkatkan kerentanan pada penyakit (Lyon, 2012)
2. Chronic strain (ketegangan kronis)
Chronic strains (ketegangan kronis) merupakan
kesulitan-kesulitan yang konsisten atau berulang-ulang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketegangan kronis bisa
mempengaruhi terhadap kesehatan manusia termasuk fisik
maupun psikologis (Thoits, 1994).
3. Daily hassles (permasalahan-permasalahan sehari-hari).
Daily hassles (permasalah sehari-hari) adalah peristiwa-
peristiwa kecil yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
yang memerlukan tindakan penyesuaian dalam sehari saja
(Thoits, 1994). Misalnya, seseorang mengalami kesulitan-
kesulitan, dan kesulitan tersebut tidak berlanjut secara terus
menerus. Kesulitan yang dihadapi itupun bisa terselesaikan
dalam kurun waktu yang singkat. Ada beberapa contoh dari
permasalah sehari-hari, misalnya pendatang yang tidak
diharapkan, kemacatan berlalu lintas, berkomunikasi
dengan orang lain, tugas-tugas keseharian yang penting,
15
tenggat waktu yang tiba-tiba dan berargumentasi kepada
orang lain (Thoits, 1994; Serido, et al., 2004).
2) Stres Model Respons
16
Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana tubuh memberikan
respons terhadap sumber stress, Selye pun memperkenalkan sebuah
model stress. Adapun model stress yang diperkenalkan Selye adalah
General Adaptation Syndrome atau disingkat dengan istilah GAS
(Rice, 2011). Sesuai pada GAS ada tiga tahapan stres respons, yaitu :
17
Richard Lazarus dan Susan Folkman adalah tokoh yang terkenal
dalam mengem-bangkan teori stres model transaksional. Lazarus dan
Folkman (1984) menyatakan bahwa stres adalah hubungan antara
individu dengan lingkungannya yang dievaluasi oleh seseorang
sebagai tuntutan atau ketidakmampuan dalam mengahadapi situasi
yang membahayakan atau mengancam kesehatan.
18
4. Menghadapi tuntutan keadaan secara rasional
C. Macam – Macam
1. Adaptasi fisiologis
Adalah proses dimana respon tubuh terhadap stresor untuk
mempertahankan fungsi kehidupan, dirangsang oleh faktor eksternal
dan internal, respons dapat dari sebagian tubuh atau seluruh tubuh
serta setiap tahap perkembangan punya stresor tertentu.
Mekanisme fisiologis adaptasi berfungsi melalui umpan balik
negatif, yaitu suatu proses dimana mekanisme kontrol merasakan
suatu keadaan abnormal seperti penurunan suhu tubuh dan membuat
suatu respons adaptif seperti mulai mengigil untuk membangkitkan
panas tubuh.
Ketiga dari mekanisme utama yang digunakan dalam
menghadapi stressor dikontrol oleh medula oblongata, formasi
retikuler dan hipofisis. Riset klasik yang telah dilakukan oleh Hans
Selye (1946,1976) telah mengidentifikasi dua respons fisiologis
terhadap stres, yaitu:
a) LAS ( Lokal Adaptasion Syndrome)
Tubuh menghasilkan banyak respons setempat terhadap
stres, responnya berjangka pendek. Karakteristik dari LAS:
Respon yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua
System, Respons bersifat adaptif, diperlukan stresor untuk
menstimulasikannya, Respons bersifat jangka pendek dan tidak
terus menerus, Respons bersifat restorative.
b) GAS (General Adaptasion Syndrom)
Merupakan respons fisiologis dari seluruh tubuh terhadap
stres. Respons yang terlibat didalamnya adalah sistem saraf
otonom dan sistem endokrin. Di beberapa buku teks GAS sering
disamakan dengan Sistem Neuroendokrin. GAS diuraikan dalam
tiga tahapan berikut:
a. Fase alarm
19
Melibatkan pengerahan mekanisme pertahan dari tubuh
dan pikiran untuk menghadapi stresor seperti pengaktifan
hormone yang berakibat meningkatnya volume darah dan
akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Aktifitas
hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk
melakukan respons melawan atau menghindar. Respons
ini bisa berlangsung dari menit sampai jam. Bila stresor
menetap maka individu akan masuk kedalam fase
resistensi.
b. Fase resistensi (melawan)
Individu mencoba berbagai macam mekanisme
penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta
mengatur strategi. Tubuh berusaha menyeimbangkan
kondisi fisiologis sebelumnya kepada keadaan normal
dan tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab
stres. Bila teratasi, gejala stres menurun atau normal. Bila
gagal maka individu tersebut akan jatuh pada tahapan
terakhir dari GAS yaitu: Fase kehabisan tenaga.
c. Fase exhaustion (kelelehan)
Merupakan fase perpanjangan stres yang belum
dapat tertanggulangi pada fase sebelumnya. Tahap ini
cadangan energy telah menipis atau habis, akibatnya
tubuh tidak mampu lagi menghadapi stres.
Ketidakmampuan tubuh untukmempertahankan diri
terhadap stresor inilah yang akan berdampak pada
kematian individu tersebut.
2. Adaptasi psikologis
Perilaku adaptasi psikologi membantu kemampuan seseorang
untuk menghadapi stresor, diarahkan pada penatalaksanaan stres dan
didapatkan melalui pembelajaran dan pengalaman sejalan dengan
pengidentifikasian perilaku yang dapat diterima dan berhasil.
Perilaku adaptasi psikologi dapat konstruktif atau destruktif. Perilaku
20
konstruktif membantu individu menerima tantangan untuk
menyelesaikan konflik. Perilaku destruktif mempengaruhi orientasi
realitas, kemampuan pemecahan masalah, kepribadian dan situasi
yang sangat berat, kemampuan untuk berfungsi.
Perilaku adaptasi psikologis juga disebut sebagai mekanisme
koping. Mekanisme ini dapat berorientasi pada tugas, yang
mencakup penggunaan teknik pemecahan masalah secara langsung
untuk menghadapi ancaman atau dapat juga mekanisme pertahanan
ego, yang tujuannya adalah untuk mengatur distres emosional dan
dengan demikian memberikan perlindungan individu terhadap
ansietas dan stres. Mekanisme pertahanan ego adalah metode koping
terhadap stres secara tidak langsung.
A) Task oriented behavior
21
pendek dan biasanya tidak mengakibatkan gangguan
psikiatrik.Ada banyak mekanisme pertahanan ego, yaitu:
22
Pada setiap tahap perkembangan, seseorang biasanya
menghadapi tugas perkembangan dan menunjukkan karakteristik
perilaku dari tahap perkembangan tersebut. Stres yang berkepanjangan
dapat mengganggu atau menghambat kelancaran menyelesaikan tahap
perkembangan tersebut. Dalam bentuk ekstremstres yang terlalu
berkepanjangan dapat mengarah pada krisis pendewasaan.
Bayi atau anak kecil umumnya menghadapi stresor di rumah.
Jika diasuh dalam lingkungan yang responsive dan empati, mereka
mampu mengembangkan harga diri yang sehat dan pada akhirnya
belajar respons koping adaptif yang sehat (Haber et al, 2002) Anak-
anak usia sekolah biasanya mengembangkan rasa kecukupan. Mereka
mulai menyadari bahwa akumulasi pengetahuan dan penguasaan
keterampilan dapat membantu mereka mencapai tujuan, dan harga diri
berkembang melalui hubungan berteman dan saling berbagi diantara
teman. Pada tahap ini, stres ditunjukan oleh ketidakmampuan atau
ketidakinginan untuk mengembangkan hubungan berteman.
Remaja biasanya mengembangkan rasa identitas yang kuat
tetapi pada waktu yang bersamaan perlu diterima oleh teman sebaya.
Remaja dengan sistem pendukung sosial yang kuat menunjukkan
suatu peningkatan kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap
stresor, tetapi remaja tanpa sistem pendukung sosial sering
menunjukan peningkatan masalah psikososial (Dubos, 2002).
Dewasa muda berada dalam transisi dari pengalaman masa
remaja ke tanggung jawab orang dewasa. Konflik dapat berkembang
antara tanggung jawab pekerjaan dan keluarga. Stresor mencakup
konflik antara harapan dan realitas. Usia setengah baya biasanya
terlibat dalam membangun keluarga, menciptakan karier yang stabil
dan kemungkinan merawat orang tua mereka. Mereka biasanya dapat
mengontrol keinginan dan pada beberapa kasus menggantikan
kebutuhan pasangan, anak-anak, atau orang tua dari kebutuhan
mereka.
23
Usia lansia biasanya menghadapi adaptasi terhadap perubahan
dalam keluarga dan kemungkinan terhadap kematian dari
pasanganatau teman hidup. Usia dewasa tua juga harus menyesuaikan
terhadap perubahan penampilan fisik dan fungsi fisiologis.
4. Adaptasi sosial budaya
Mengkaji stresor dan sumber koping dalam dimensi social
mencakup penggalian tentang besaranya, tipe dan kualitas dari
interaksi sosial yang ada. Stresor pada keluarga dapat menimbulkan
efek disfungsi yang mempengaruhi klien atau keluarga secara
keseluruhan (Reis & Heppner, 2003).
5. Adaptasi spiritual
Orang menggunakan sumber spiritual untuk mengadaptasi
stress dalam banyak cara, tetapi stres dapat juga bermanifestasi dalam
dimensi spiritual. Stres yang berat dapat mengakibatkan kemarahan
pada Tuhan, atau individu mungkin memandang stresor sebagai
hukuman.
2.3 Koping Stress Keluarga
A. Definisi
Koping melibatkan upaya untuk mengelola situasi yang
membebani, memperluas usaha untuk memecahkan masalah-masalah
hidup, dan berusaha untuk mengatasi dan menguragi stres. Keberhasilan
dalam koping berkaitan dengan sejumlah karakteristik, termasuk
penghayatan mengenai kendali pribadi, emosi positif, dan sumber daya
personal (Folkman & Moskowitz, 2004). Meskipun demikian
keberhasilan dalam koping juga tergantung pada strategi-strategi yang
digunakan dan konteksnya (John W Santrock, 2007: 299).
Dalam pengkajian koping keluarga, komponen yang perlu dikaji
adalah koping internal dan eksternal yang diajarkan, apakah anggota
keluarga berbeda dalam cara-cara koping, strategi koping internal
keluarga, kelompok kepercayaan keluarga, penggunaan humor, self
evaluasi, penggunaan ungkapan, pengontrolan masalah pada keluarga,
pemecahan masalah secara bersama, fleksibilitas peran dalam keluarga.
24
Strategi koping eksternal: mencari informasi, memelihara hubungan
dengan masyarakat, dan mencari dukungan sosial. (Depkes RI, 2016).
B. Tipe – Tipe Strategi Koping
1. Strategi koping keluarga internal
a. Mengandalkan kelompok keluarga
Untuk mengatasi masalah/stresor yang dihadapinya,
keluarga seringkali melakukan upaya untuk menggali dan
mengandalkan sumber-surnber mereka sendiri. Keluarga
melakukan ini dengan membuat struktur dan organisasi yang
lebih besar dalam keluarga, yakni dengan membuat jadual dan
tugas rutinitas yang dipikul oleh setiap anggota keluarga yang
lebih ketat. Hal ini diharapkan setiap angota dapat lebih disiplin
dan taat. Dalam kondisi ini keluarga dapat mengontrolnya, jika
berhasil maka akan mencapai integrasi dan ikatan yang lebih
kuat. Burgess, 1979 dalam Friedman, 1998 mengatakan bahwa
strategi koping yang khas adalah disiplin diri dikalangan anggota
keluarga yang mengalami stres, mereka hams memelihara
ketenangan dan dapat memecahkan masalah karena mereka yang
bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan anak-anaknya
b. Penggunaan humor
Hott, 1977 dalam Friedman 1998, menunjukan bahwa
perasaan humor merupakan aset yang penting dalam keluarga
karena dapat memberikan perubahan bagi sikap-sikap keluarga
terhadap masalah-masalah dan perawatan kesehatan. Humor juga
diakui sebagai suatu cara bagi individu dan kelompok untuk
menghilangkan rasa cemas dan stres/tegang.
c. Musyawarah bersama (memelihara ikatan keluarga)
Suatu cara untuk membawa keluarga lebih dekat satu sama
lain dan memelihara serta mengatasi tingkat stres dan pikiran, ikut
serta dengan aktivitas setiap anggota keluarga merupakan cara
untuk menghasilkan suatu ikatan yang kuat dalam sebuah
keluarga. Cara untuk mengatasi masalah dalarn keluarga adalah:
25
adanya waktu untuk bersama-sama dalarn keluarga, saling
mengenal, membahas masalah bersama, makan malam bersama,
adanya kegatan yang menantang bersama keluarga, beribadah
bersama, bermain bersama, bercerita pada anak sebelum tidur,
menceritakan pengalaman pekerjaan maupun sekolah, tidak ada
jarak diantara anggota keluarga.
d. Mengontrol arti atau makna dari masalah : pembentukan
kembali kognitif dan penilain pasif
Salah satu cara untuk menemukan koping efektif adalah
menggunakan mekanisme mental dengan mengartikan masalah
yang dapat mengurangi atau menetralisir secara kognitif rangsang
berbahaya yang dialami dalam hidup. Menambah pengetahuan
keluarga merupakan cara yang paling efektif untuk mengetahui
stresor yaitu dengan keyakinan yang optimis dan penilaian yang
positip. Keluarga menggunakan strategi ini cenderung melihat
segi positip dari kejadian yang menyebabkan stres. (Folkman et
a1 1986, dalam Friedman, 1998).
e. Pemecahan masalah keluarga secara bersama-sama
Pemecahan masalah bersama dikalangan anggota keluarga
merupakan strategi koping keluarga yang telah dipelajari melalui
riset laboratorium oleh sekelompok peneliti keluarga. Pemecahan
masalah bersama dapat digambarkan sebagai suatu situasi dimana
keluarga dapat mendiskusikan masalah yang ada secara bersama-
sama oleh keluarga dengan mengupayakan dengan mencari solusi
atau jalan keluar atas dasar logika, mencapai suatu konsensus
tentang apa yang perlu dilakukan atas dasar petunjuk, persepsi
dan usulan dari anggota keluarga yang berbeda. (Straus, 1968,;
Reiss, 198 1; Chesler dan Barbarinm, 1987; Fifley, 1989,
Friedman, 1998).
f. Fleksibilitas peran
Adanya perubahan dalam kondisi dan situasi dalarn keluarga
yang setiap saat dapat berubah, fleksibilitas peran merupakan
26
suatu strategi koping yang kokoh untuk mengatasi suatu masalah
dalam keluarga. Davis dkk.(1986) pada keluarga yang berduka,
fleksibilitas peran adalah sebuah strategi koping fungsional yang
penting untuk membedakan tingkat berfimgsinya sebuah
keluarga.
g. Normalisasi
Salah satu strateg koping keluarga yang lain adalah
kecenderungan keluarga menormalkan keadaan sehingga keluarga
dapat melakukan koping terhadap sebuah stresor jangka panjang
yang dapat merusak kehidupan keluarga dan kegiatan rumah
tangga. Davis,1963; Knafl dan Deatrick, 1986 dalam Friedman,
1998 mengatakan bahwa "Normalisasi" merupakan cara untuk
mengkonseptualisasikan bagaimana keluarga mengelola ketidak
mampuan seorang anggota keluarga, sehingga dapat
menggambarkan respons keluarga terhadap sakit dan kecacatan.
Bila anak dalam anggota keluarga sakit, maka keluarga dapat
menormalkan situasi dengan meminimalkan situasi abnormalitas
dalam penampilan anak, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
biasa dan terus memelihara ikatan sosial.
2. Strategi koping keluarga eksternal
a. Mencari informasi
Keluarga yang mengalami stres memberikan respons secara
kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang
berubungan dengan stresor. Ini berfungsi untuk menambah rasa
memiliki kontrol terhadap situasi dan mengurani perasaan takut
terhadap orang yang tidak dikenal dan membantu keluarga
menilai stresor secara lebih akurat. Studi riset tentang
penggunaan upaya mencari informasi sebagai suatu strategi
koping keluarga dilakukan oleh Chesler dan Barbarin (1987)
dalam Friedman (1998) penelitian terhadap keluarga yang
mempunyai anak kanker, hasil riset menemukan upaya orang tua
27
mencari informasi untuk mengurangi ketidakpastian dan rasa
takut akan prognosis anak-anak mereka.
b. Memelihara hubungan aktif dengan komunitas
Kategori ini berbeda dengan koping yang menggunakan sistem
dukungan sosial dimana kategori ini merupakan suatu koping
keluarga yang berkesinambungan, jangka panjang dan bersifat
umum, bukan sebuah kategori yang dapat meningkatkan stresor
spesifik tertentu. Dalam ha1 ini anggota keluarga adalah
pemimpin keluarga dalam suatu kelompok, organisasi dan
kelompok komunitas.
c. Mencari dukungan social
Mencari sistem pendukung sosial dalam jaringan kerja sosial
keluarga merupakan strateg koping keluarga eksternal yang
utama. Sistem pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem
kekerabatan keluarga, kelompok profesional, para tokoh
masyarakat dan lain-lain yang didasarkan pada kepentingan
bersama.
d. Penggunaan jaringan dukungan social informal
Menurut Caplan (1974) dalam Friedman (1998), terdapat tiga
sumber umum dukungan sosial yaitu penggunaan jaringan
dukungan sosial informal, penggunaan sistem sosial formal, dan
penggunaan kelompok-kelompok mandiri. Tujuan dari
penggunaan jaringan sistem dukungan sosial informal, yang
biasanya diberikan oleh kerabat dekat atau tetangga dekat atau
tokoh masyarakat, memiliki dua tujuan utama koping: pertama,
sistem ini memberikan dukungan pemeliharaan dan emosional
bagi anggota keluarga. Dan yang kedua adalah bantuan yang
berorientasi pada tugas yang biasa dilakukan keluarga, misalnya
bantuan perawatan, melakukan tugas-tugas rumah tangga,
bantuan praktis pada saat kritis. (Hogue, 1977; Mac Elveen, 1
978 dalam Friedman, 1 998).
e. Penggunaan system-sistem social formal
28
Penggunaan sistem sosial formal dilakukan keluarga ketika
keluarga gaga1 untuk menangani masalahnya sendiri, maka
keluarga hams dipersiapkan untuk beralih kepada profesional
bayaran untuk memecahkan masalah (Howel, 1975). Sedangkan
penggunaan kelompok mandiri sebagai bentuk dukungan sosial
dilakukan melalui organisasi yang luas seperti perkumpulan-
perkumpulan yang berorientasi pada penyembuhan penyakit
misalnya perkumpulan penyakit Asma, Jantung, dll. (Katz dan
Bender, 1976 dalam Friedman 1998).
f. Mencari dukungan spiritual
Beberapa studi mengatakan keluarga berusaha mencari dan
mengandalkan dukungan spiritual anggota keluarga sebagai cara
keluarga untuk mengatasi masalah. Olson et a1 (1983), Friedrnan
(1985), Chsler dan Barbarinrn .(l987) mengatakan bahwa
Kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa diidentifikasikan oleh
anggota keluarga sebagai cara paling penting bagi keluarga
mengatasi suatu stresor yang berkaitan dengan kesehatan.
C. Faktor – Faktor
Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan
oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik/energi,
keyakinan/pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah,
keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi (Keliat, 2004).
1. Kesehatan Fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam
usaha mengatasi cemas individu dituntut untuk mengerahkan
tenaga yang cukup besar.
2. Keyakinan atau pandangan positif
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting,
seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang
mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan
(helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi koping
dengan tipe : problem-solving focused coping.
29
3. Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,
menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk
menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan
alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan
pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu
tindakan yang tepat.
4. Keterampilan sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan
bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai
sosial yang berlaku dimasyarakat.
5. Dukungan sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi
dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua,
anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat
sekitarnya.
6. Materi
Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang atau
layanan yang biasanya dapat dibeli.
30
Mekanisme koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki situasi
tetapi seseorang sering merasa lebih baik.
Menurut Stuart dan Sundeen (2007), secara garis besar strategi koping
dibagi menjadi dua yaitu :
1. Strategi Koping Adaptif.
Strategi koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan,
belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan
orang lain, berdoa, memecahkan masalah secara efektif, teknik
relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Kegunaan
koping adaptif membuat individu akan mencapai keadaan yang
seimbang antara tingkat fungsi dalam memelihara dan memperkuat
kesehatan fisik dan psikologi.
2. Strategi Koping Maladaptif.
Strategi koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak makan,
bekerja berlebihan, banyak tidur, menangis, menghindar dan
aktivitas destruktif. Mekanisme koping ini mencegah suatu konflik
dengan melakukan pengelakan terhadap solusi.
3. Nilai dan Fungsi afektif keluarga
Nilai-Nilai Keluarga
A. Definisi
Nilai merupakan suatu system sikap dan kepercayaan yang secara sadar atau tidak
mempersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai keluarga juga merupakan
suatu perkembangan norma dan peraturan.
B. Faktor yang mempengaruhi
1. Kelas sosial
2. Budaya
3. Latar belakang agama
4. Tahap perkembangan
5. Keadaan tidak nnormal
C. Perubahan Nilai dalam Keluarga
31
1. Berkembangnya kebudayaan materi
2. Tingkat penemuan dan inovasi teknologi
3. Perbaikan fasilitas, transportasi dan komunikasi
4. Meluasnya industrilisasi
5. Urbanisasi
B. Fungsi afektif
Fungsi afektif berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, yang
merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan
kebutuhan psiko sosial. Keberhasilan melaksanakan fungsi afektif tampak pada
kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh anggota keluarga. Tiap anggota keluarga
saling mempertahankan iklim yang positif. Hal tersebut dapat dipelajari dan
dikembangkan melalui interaksi dan hubungan dalam keluarga. Dengan demikian,
keluarga yang berhasil melaksanakan fungsi afektif, seluruh anggota keluarga dapat
mengembangkan konsep diri positif.
Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam melaksanakan fungsi afektif adalah
:
1. Saling mengasuh ; cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling mendukung
antar anggota keluarga, mendapatkan kasih sayang dan dukungan dari anggota
yang lain. Maka, kemampuan untuk memberikan kasih sayang akan meningkat,
yang pada akhirnya tercipta hubungan yang hangat dan saling mendukung.
Hubungan intim didalam keluarga merupakan modal besar dalam memberikan
hubungan dengan orang lain diluar keluarga / masyarakat
2. Saling menghargai; Bila anggota saling menghargai dan mengakui keberadaan
dan setiap hak anggota keluarga serta selalu mempertahankan iklim yang positif,
maka fungsi afektif akan tercapai.
3. Ikatan dan identifikasi ikatan keluarga dimulai sejak pasangan sepakat memulai
hidup baru. Ikatan anggota keluargadikembangkan melalui proses identifikasi
dan penyesuaian pada berbagai aspek kehidupan anggota keluarga. Orang tua
harus mengembangkan proses identifikasi yang positif sehingga anak-anak dapat
meniru tingkah laku yang positif dari kedua orang tuanya.
32
Fungsi afektif merupakan “sumber energi“ yang menentukan kebahagiaan keluarga.
Keretakan keluarga, kenakalan anak atau masalah keluarga, timbul karena fungsi afektif
di dalam keluarga tidak dapat terpenuhi.
33
DAFTAR PUSTAKA
34