Anda di halaman 1dari 7

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321051892

The Blind Faith of Talent Management

Article · November 2017

CITATIONS READS

0 162

1 author:

Bagus Adi Luthfi


University of Indonesia
2 PUBLICATIONS   7 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Managers and professionals in the contingent workforce View project

Islamic/Halal Marketing View project

All content following this page was uploaded by Bagus Adi Luthfi on 14 November 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


The Blind Faith of Talent Management

Oleh : Bagus Adi Luthfi, M.S.M

Talent Analytic Specialist Lembaga Management FEB UI

Sejak Ed Michaels, Helen Hanfield-Jones, dan Beth Axelrod menerbitkan buku “The War for Talents”
pada tahun 1997, konsep ini langsung meledak dan berbondong-bondong praktisi HR mencoba
mempraktikannya. Aktivitas pengelolaan SDM tradisional seperti perencanaan tenaga kerja,
rekrutmen, pengembangan, maupun strategi retensi terlihat usang. Dalam semalam, semua
mengaku tengah menjalankan “manajemen talenta”. Hingga saat ini, manajemen talenta juga masih
menyiratkan “sihirnya” untuk beberapa pihak yang menurut mereka mampu menjawab segala
permasalahan pengelolaan SDM yang kompetitif di era yang serba tidak pasti (Schuler et al., 2011).

Meskipun sudah menjadi istilah yang nge-pop, nyatanya definisi dari “manajemen talenta” ini sangat
beragam dari sisi praktis maupun publikasi. Sebagian menganggapnya sebagai kegiatan spesifik yang
dilakukan HR (suksesi organisasi), sebagian persis dengan konsep lama yang sering dilakukan HR
(strategic HR), dan sebagiannya tentu saja bagian “hard core” dari war for talent yakni terkait
dengan orang-orang berbakat yang menentukan kesuksesan organisasi (Ariss et al., 2014).
Fenomena management fad ini bukan sesuatu yang baru, karena semua orang punya
kecenderungan mengikuti “fashion terbaru” agar terlihat modern, meski sebagian besarnya lebih
seperti mitos, dongeng, maupun placebo.

Namun, semua pihak harus memberikan perhatian yang serius pada fenomena management
fad/fashion karena ilmu manajemen itu sendiri hadir untuk menghapus mitos, dongeng, takhayul
atau klaim (Drucker, 1998). Tulisan ini bermaksud untuk menyuguhkan beberapa fakta mengenai
“obat-obat ajaib” (dongeng, mitos, maupun placebo) yang diklaim menjadi kunci sukses dalam
manajemen talenta sekaligus bagaimana HR (baik praktisi dan akademisi) menemukan vitamin yang
benar dalam mengelola manusia. Hal ini menjadi penting, karena organisasi itu harus diperlakukan
seperti sebuah prototype yang tidak pernah final, sebagai konsekuensi dinamika lingkungan. Tidak
dibenarkan memperlakukan organisasi seperti tikus laboratorium yang bisa anda bunuh sewaktu-
waktu untuk mencoba formula-formula baru yang anda klaim sebagai “obat” dari permasalahan
yang anda hadapi.

1
Menilik Ulang Penggunaan “Obat Ajaib” dalam Manajemen Talenta

Permasalahan bisnis yang semakin kompleks yang membawa dampak pada pengelolaan pegawai di
organisasi seringkali memicu pembuatan keputusan yang buruk, hanya mengejar “hal-hal baru” dan
menebak-nebak “obat” apa yang bekerja untuk problem yang dihadapi. Sebagian pengelola
departemen HR mungkin juga membuat keputusan secara “autopilot” yang mempengaruhi
organisasi, pegawai, dan pelanggan mereka. Sebagian tidak mampu/tidak terbiasa mengumpulkan
bukti ilmiah yang tersedia mengenai isu-isu kunci yang berdampak pada pengelolaan SDM. Sebagian
lagi mengaku tidak punya waktu untuk membaca atau melakukan studi ilmiah mengenai suatu isu
yang relevan dengan pengelolaan SDM. Akibatnya, mereka lebih memilih mengutip/mengadopsi
mentah-mentah publikasi popular seperti laporan konsultan yang tentu saja dibuat untuk dijual
(Rynes, Giluk, dan Brown, 2007). Tentu saja, model “taklid buta” seperti ini tidak boleh diberikan
tempat dalam dunia profesional HR.

Beberapa “obat ajaib” terus berdatangan dan menjamur meskipun akses teknologi dan publikasi
ilmiah semakin terbuka. Dalam praktik talent management, yang paling populer adalah resep dari
Jack Welch yang bernama “vitality curve” yang dipublikasikan dalam bukunya yang berjudul
“Straight from the gut”. Konsep ini diadaptasi banyak organisasi yang menerapkan model
manajemen talenta dalam sistem penilaian dan review kinerja dimana output utamanya adalah
distribusi 20/70/10 (bell curve). Model ini diklaim sukses oleh GE sebagai perusahaan yang dibawahi
Jack Welch waktu itu, namun sebaliknya, gagal dan menjadi malapetaka untuk Ford.

Asumsi dasar dari model vitality curve adalah sistem penilaian di sekolah dimana setiap siswa akan
terdistribusi dalam beberapa golongan. Kesalahan mendasar asumsi ini adalah, bahwa hasil penilaian
siswa merupakan hasil kerja pribadi (kerjasama dalam ujian adalah dosa). Sementara itu, di tempat
kerja output atas suatu pekerjaan sangat dipengaruhi oleh hasil kerja orang lain (kerjasama).
Disamping itu, dalam dunia nyata model vitality curve ini juga terlihat hampir mustahil selain juga
sebagai sebuah praktik teori probabilitas yang buruk yang memecah belah pegawai sekaligus
merusak moral mereka (Kearns, 2009). Oleh karenanya, hasil review dari praktik menurut Schleicher
(2009) lebih banyak merusak dibandingkan memperbaiki kondisi organisasi. Sekaligus, model ini
tidak mampu menjawab apakah misi HR dalam manajemen talenta untuk merekrut orang-orang
yang gagal atau dengan kualitas rata-rata?

Obat ajaib lainnya yang bertahan lama di pasar menyangkut pengelolaan manajemen talenta adalah
instrumen yang bernama Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). Instrumen ini begitu populer di

2
kalangan praktisi HR sebagai alat untuk mengukur kepribadian seseorang. Beberapa korporasi
menggunakan sebagai alat pelengkap dalam kegiatan seleksi, penempatan, maupun membangun
tim. Bahkan, instrumen ini tercatat digunakan lebih dari 3.5 juta pengguna dalam satu tahun (Bajic,
2015). Sampai saat ini bahkan berkembang menjadi materi dasar pelatihan tentang bagaimana
“mengelola manusia”. Instrumen ini merupakan warisan dari Briggs bersaudara (mereka tidak
memiliki latar belakang maupun pendidikan di dunia psikologi) yang terinspirasi oleh pemikiran Jung
dan mereka lupa bahwa Jung memberikan eksepsi dari pemikirannya.

Anda tidak perlu pusing ketika alat test ini digunakan begitu banyak inkosistensi yang terjadi.
McCarly & Carskadon (1983) misalnya, melakukan test dan re-test selama 5 minggu dan menemukan
bahwa 50% peserta mendapatkan klasifiasi yang terus berbeda dalam satu atau lebih skala yang
berbeda. Apakah anda bisa mempercayai, seseorang akan berubah kepribadiannya dalam setiap
minggu?. Bahkan, David J. Pitenger (1993) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa MBTI gagal
memprediksi keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam pekerjaan. Lalu, bagaimana dengan
sebagian klaim bahwa alat ini mendatangkan kesuksesan dalam mengelola orang? Antonakis (2011)
memberikan jawaban atas pertanyaan ini bahwa, seri faktanya model MBTI ini mirip kerja para
cenayang dengan cara manipulasi psikologi (the barnum effect), tak ada satu pun bukti yang valid
bahwa instrumen ini berdampak positif bagi individu maupun organisasi. Dengan kata lain,
instrumen ini hanyalah placebo!

Kita juga tidak boleh melewatkan konsep employee engagement beserta resep terkenalnya bernama
Q12. Lawler (2013) misalnya menyebutkan bahwa ini sebenarnya konsep lama dalam kemasan baru
(old wine in a new bottle), tidak ada yang spesial dan sebaliknya justru banyak yang rancu. Lawler
merasa aneh dengan definisi konsep engagement. Dalam beberapa kasus, konsep yang dibahas dan
diukur terlihat seperti kepuasan kerja, dalam kasus lain didefinisikan dan diukur sebagai motivasi.
Hal yang sama juga temukan oleh Harter et al (2002) dimana konsep ini memiliki korelasi sebesar
0.91 dengan konsep kepuasan kerja dimana hal ini bermakna kedua konsep tersebut identik
(Schaufeli dan Bakker, 2010). Bahkan Le, et al (2007) juga mendapati konsep engagement ini
memiliki korelasi 0.8 dengan standar alat ukur komitmen organisasi.

Jika tidak ada sesuatu yang baru, hal ini bermakna bahwa konsep ini tidak ada gunanya dan
berlebihan. Kita ambil contoh misalnya dalam salah satu item kuesionernya terdapat pertanyaan;
“Do you have a best friend at work?” ini pertanyaan tak berguna, karena organisasi tidak punya
kewajiban untuk mencarikan anda teman yang baik. Dan kabar baiknya, sampai saat ini tidak ada
satu riset pun yang membuktikan bahwa konsep engagement ini berdampak pada kinerja, kecuali
hanya klaim yang tidak disertai oleh hasil penelitian jangka panjang (longitudinal) maupun konsep

3
employee engagement secara spesifik (Macy and Schneider, 2008; Shuck and Wollard, 2010;
Christian et al, 2011).

Begitu banyak varian “obat ajaib” yang diadaptasi ke dalam dunia praktik manajemen talenta yang
tidak dapat kita ulas habis disini (feedback 360 derajat, NLP, 10,000 Hour Rule, dan lain-lain) .
Sayangnya, pada saat yang sama banyak yang merasa “obat ajaib” yang beredar tadi adalah vitamin
yang dapat diminum setiap hari sebagai suplemen yang menurut mereka rasanya “manis”. Namun
mereka harus berhati-hati, karena bisa jadi vitamin yang mereka yakini tadi tak lebih dari placebo
yang dikemas secara menarik atau bahkan toxic yang dapat membunuh organisasi anda.

Apa yang perlu kita perbaiki ?

The greates enemy of knowledge is not ignorance, it is the illusion of knowledge begitu kata Stephen
Hawking. Dari apa yang telah diutarakan dalam tulisan sebelumnya kita menyadari bahwa praktik
manajemen talenta masih diliputi dengan berbagai macam konstruksi teori yang lemah yang bisa
kita sebut sebagai pseudo science. Banyak orang tertipu dengan berbagai macam konsep maupun
aplikasi yang secara empiris tidak memiliki dampak apapun atau justru menyesatkan. Untuk itu, hal
utama yang perlu diperhatikan bagi kalangan HR adalah mencari kebenaran dari konsepsi yang akan
diaplikasikan dalam organisasi. Namun, kita tidak boleh berkecil hati jika kebenaran yang kita
temukan justru berlawanan dengan konsepsi yang kita yakini atau tren yang tengah berkembang.
Sebagaimana yang dikatakan James A Garfield bahwa “The truth will set you free, but first it will
make you miserable”. Kita harus memahami bahwa yang kita butuhkan bersama adalah sesuatu
yang benar, bukan sesuatu yang baru.

Theory firts, then methods, not only methods begitu kata seorang ekonom bernama Angus Deaton.
Staw & Epstein (2003) bahkan memberikan pencerahan kepada kita bahwa dengan menerapkan
teknik-teknik manajemen populer tidak menjamin mendatangkan kinerja bisnis yang bagus. Suatu
metode hanya baik digunakan untuk memangun suatu hipotesis, dan kita harus bisa membadakan
antara konteks “penemuan” (seperti pengamatan, studi kasus, hasil laporan konsultan) dengan
konteks “pembenaran”. Untuk yang terakhir ini, kita perlu melakukan pengujian untuk
menyanggah/menerima hipotesis yang dihasilkan dari fase “penemuan”. Dengan demikian ketika
kita bermaksud menerapkan suatu sistem, instrumen, dan lain sebagainya kita harus memeriksa
betul keshahihan konsepsi yang akan kita aplikasikan berikut instrumennya. Kita tidak boleh sibuk
berkutat pada aksesori-aksesori hanya agar terlihat catchy dan modern. Hal ini (melakukan riset,

4
membaca jurnal ilmiah, menguji konsep, dan sebagainya) memang terkesan memakan waktu namun
ini sangat penting agar anda tidak salah memilih “obat”.

Daftar Pustaka

Antonakis, J. (2011). Predictors of leadership: The usual suspects and the suspect traits. Sage
Handbook of Leadership

Ariss et al. (2014). Talent management: Current theories and future research directions. Journal of
World Business, vol. 49, issue 2, pages 173-179

Bajic, E (2015). How The MBTI Can Help You Build A Stronger Company. Forbes.
https://www.forbes.com/sites/elenabajic/2015/09/28/how-the-mbti-can-help-you-build-a-stronger-
company/#142e355cd93c diakses 14 November 2017

Christian MS, Garza AS, Slaughter JE (2011). Work engagement: A quantitative review and test of its
relations with task and contextual performance. Personnel Psychology, Vol. 64, pp. 89-136

Drucker, P.E. (1998). On the profession of management. Boston, MA : Harvard Business School Press.

Lawler, E.E. (2012) Engagement and Performance: Old Wine in a New Bottle. Forbes.
https://www.forbes.com/sites/edwardlawler/2013/04/09/engagement-and-performance-old-wine-
in-a-new-bottle/#683e7402d1a8. diakses 14 November 2017

Macey WH, Schneider B (2008). The meaning of the employee engagement. Industrial and
Organisational Psychology: Perspectives on Science and Practice, Vol. 1, pp. 3-30

McCarley, N. G., & Carskadon, T. G. (1983). Test-retest reliabilities of scales and subscales of the
Myers-Briggs Type Indicator and of criteria for clinical interpretive hypotheses involving them.
Research in Psychological Type, 6, 24–36.

Paul Kearns (2009). HR Strategy: Creating Business Strategy with Human Capital. Butterwoth-
Heinneman

Pittenger, D.J. (1993). The Utility of the Myers-Briggs Type Indicator. Review of Educational Research
Vol. 63, No. 4, pp. 467-488

5
Sara L. Rynes, Tamara L. Giluk and Kenneth G. Brown (2007). The Very Separate Worlds of Academic
and Practitioner Periodicals in Human Resource Management: Implications for Evidence-Based
Management. The Academy of Management Journal Vol. 50, No. 5, pp. 987-1008

Schleicher, D.J., Bull, R.A. and Green, S.G. (2009). Rater reactions to forced distrubution rating
systems. Journal of Management, Vol 35, No 4. Pp 899–927

Schuler, R.S., Jackson, S.E. and Tarique, I. (2011). Global talent management and global talent
challenges: strategic opportunities for IHRM .Journal of World Business, Vol. 46, pp. 506-16.

Shuck B, Reio T (2011). The employee engagement landscape and HRD: How do we link theory and
scholarship to current practice?. Advances in Developing Human Resources, Vol. 13, pp. 419-428

Staw, B.M. & Epstein, L.D. (2003). What Bandwagons Bring: Effects of Popular Management
Techniques on Corporate Performance, Reputation, and CEO Pay. Administrative Science Quarterly,
Vol. 45, No. 3, pp. 523-536

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai