Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

JENIS-JENIS TES HIV/AIDS


Dosen Pengampu :Susi Lestari, S. ST, M. Kes

Disusun oleh kelompok :


 Herlina Tenga (A022817017)
 Rahma Alnodula (A022817037)
 Malimince Kogoya (A022817063)
 Demi Kogoya (A022817011)
 Agustina Yarona (A022817001)

D-III KEBIDANAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
JAYAPURA 2018/2019

i
Kata Pengantar

puji dan syukur terucap hanya pada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
kasih_Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah yang membahas tentang Jenis-jenis
tes HIV/AIDS
Kami mengucapkan terima kasih yang tiada tara kepada seluruh pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini, baik secara langsung maupun tidak.
Bila dalam penyampaian makalah ini ditemukan hal-hal yang tidak berkenan bagi
pembaca, dengan segala kerendahan hati kami mohon maaf yang setulusnya.
Kritik dan saran dari pembaca sebagai koreksi sangat kami harapkan untuk perbaikan
makalah ini kedepan. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan para
pembaca.

Sentani,25 februari

penulis

ii
Daftar Isi

Halaman Judul ................................................................................................................... i


Kata Pengantar .................................................................................................................. ii
Daftar isi............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar belakang ....................................................................................................... 1
B. Rumusan masala ................................................................................................... 1
C. Tujuan penulisan ................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)? ............................. 2
B. Pengertian Westren blot ........................................................................................ 9
C. Pengertian IFA .................................................................................................... 10
D. Pengertian PCR ................................................................................................... 11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ......................................................................................................... 16
B. Saran ................................................................................................................... 17
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 18

iii
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia yang


terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau
antigen dalam suatu sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang
medis, patologi tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri. Dalam pengertian
sederhana, sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan,
kemudian antibodi spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga akan berikatan
dengan antigennya.Western blot merupakan teknik untuk mendeteksi protein spesifik pada sampel
jaringan yang homogenat ataupun dari suatu ekstraksi berdasarkan kemampuan protein tersebut
berikatan dengan antibodi. Imunofluoresen adalah metode imunologi untuk mendeteksi
antibodidari berbagai kelas immunoglobulin dalam serum, cairan ludah, cairan otak
dengan cara mereaksikan antibody dan antigen spesifik dan anti-antibodi yang dilabel
denagan Fluoresence Isothiocyanat (FITC), sehingga terpancar sinar warna hijau atau
merah jika di label dengan Rodhamin. Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode
untuk amplifikasi (perbanyakan) primer oligonukleotida diarahkan secara enzimatik
urutan DNA spesifik.

B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian dari ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)?
2) Apa Pengertian Westren Blot?
3) Apa pengertian IFA?
4) Apa pengertian PCR

C. Tujuan penulisan
1) Unutk mengetahui pengertian Dari ELISA (enzyme-linked Immunosorbent
Assay?
2) Untuk mengetahui pengertian dari Westren blot.
3) Untuk mengetahui pengertian IFA
4) Untuk mengetahui pengertian PCR

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)


1. Pengertian
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia
yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran
antibodi atau antigen dalam suatu sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat
diagnostik dalam bidang medis, patologi tumbuhan, dan juga berbagai bidang
industri. Dalam pengertian sederhana, sejumlah antigen yang tidak dikenal
ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik dicucikan pada
permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini
terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi yang
dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi.
Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan spesifitas
untuk antigen tertentu. Sampel dengan jumlah antigen yang tidak diketahui
diimobilisasi pada suatu permukaan solid (biasanya berupa lempeng mikrotiter
polistirene), baik yang non-spesifik (melalui penyerapan pada permukaan) atau
spesifik (melalui penangkapan oleh antibodi lain yang spesifik untuk antigen
yang sama, disebut ‘sandwich’ ELISA). Setelah antigen diimobilisasi, antibodi
pendeteksi ditambahkan, membentuk kompleks dengan antigen. Antibodi
pendeteksi dapat berikatan juga dengan enzim, atau dapat dideteksi secara
langsung oleh antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim melalui
biokonjugasi. Di antara tiap tahap, plateharus dicuci dengan larutan deterjen
lembut untuk membuang kelebihan protein atau antibodi yang tidak terikat.
Setelah tahap pencucian terakhir, dalam plate ditambahkan substrat enzimatik
untuk memproduksi sinyal yang visibel, yang menunjukkan kuantitas antigen
dalam sampel.
2. Jenis-Jenis Metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
Dewasa ini, teknik ELISA telah berkembang menjadi berbagia macam jenis
teknik. Perkembangan ini didasari pada tujuan dari dilakukannya uji dengan
teknik ELISA tersebut sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal. Berikut ini
adalah beberapa macam teknik ELISA yang relatif sering digunakan, antara lain :
ELISA Direct, ELISA Indirect, ELISA Sandwich, dll.
a. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) DIRECT
Teknik ini seringkali digunakan untuk mendeteksi dan mengukur konsentrasi
antigen pada sampel ELISA direct menggunakan suatu antibody spesifik
(monoklonal) untuk mendetaksi keberadaan antigen yang diinginkan pada
sampel yang diuji. Pada ELISA direct, pertama microtiter diisi dengan sampel
yang mengandung antigen yang diinginkan, sehingga antigen tersebut dapat
menempel pada bagian dinding-dinding lubang microtiter, kemudian
microtiter dibilas untuk membuang antigen yang tidak menempel pda dinding
lubang microtiter. Lalu antibodi yang telah ditautkan dengan enzim signal
dimasukkan ke dalam lubang-lubang microtiter sehingga dapat berinteraksi
dengan antigen yang diinginkan, yang dilanjutkan dengan membilas microtiter

2
untuk membuang antibody tertaut enzim sign l yang tidak berinteraksi dengan
antigen. Lalu, ke dalam lubang-lubang microtiter tersebut ditambahkan
substrat yang dapat bereaksi dengan enzim signal, sehingga enzim yang tertaut
dengan antibodi yang telah berinteraksi dengan antigen yang diinginkan akan
berinteraksi dengan substrat dan menimbulkan signal dapat dideteksi.
Pendeteksian interaksi antara antibodi dengan antigen tersebut selanjutnya
dapat dihitung dengan menggunakan kolorimetri, chemiluminescent, atau
fluorescent end-point.
Kelemahan ELISA Direct :
1) Immunoreaktifitas antibodi kemungkinan akan berkurang akibat bertaut
dengan enzim.
2) Penautan enzim signal ke setiap antibodi menghabiskan waktu dan mahal.
3) Tidak memiliki fleksibilitas dalam pemilihan tautan enzim (label) dari
antibodi pada percobaan yang berbeda.
4) Amplifikasi signal hanya sedikit.
5) Larutan yang mengandung antigen yang diinginkan harus dimurnikan
sebelum digunakan untuk uji ELISA direct.
Kelebihan ELISA Direct :
1) Metodologi yang cepat karena hanya menggunakan 1 jenis antibody.
2) Kemungkinan terjadinya kegagalan dalam uji ELISA akibat reaksi silang
dengan antibody lain (antibody sekunder) dapat diminimalisasi.
b. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) INDIRECT
ELISA indirect yang dideteksi dan diukur konsentrasinya merupakan
antibody. ELISA indirect menggunakan suatu antigen spesifik (monoklonal)
serta antibody sekunder spesifik tertaut enzim signal untuk mendeteksi
keberadaan antibody yang diinginkan pada sampel yang diuji.
Tahap umum yang digunakan dalam indirect ELISA untuk
mendeterminasi konsentrasi antibodi dalam serum adalah:
1) Suatu antigen yang sudah dikenal dan diketahui konsentrasinya
ditempelkan pada permukaan lubang plate mikrotiter. Antigen tersebut
akan menempel pada permukaan plastik dengan cara adsorpsi. Sampel dari
konsentrasi antigen yang diketahui ini akan menetapkan kurva standar
yang digunakan untuk mengkalkulasi konsentrasi antigen dari suatu
sampel yang akan diuji.
2) Suatu larutan pekat dari protein non-interacting, seperti bovine serum
albumin (BSA) atau kasein, ditambahkan dalam semua
lubang platemikrotiter. Tahap ini dikenal sebagai blocking, karena protein
serum memblok adsorpsi non-spesifik dari protein lain ke plate.
3) Lubang plate mikrotiter atau permukaan lain kemudian dilapisi dengan
sampel serum dari antigen yang tidak diketahui, dilarutkan dalam buffer
yang sama dengan yang digunakan untuk antigen standar. Karena
imobilisasi antigen dalam tahap ini terjadi karena adsorpsi non-spesifik,
maka konsentrasi protein total harus sama dengan antigen standar.
4) Plate dicuci, dan antibodi pendeteksi yang spesifik untuk antigen yang
diuji dimasukkan dalam lubang. Antibodi ini hanya akan mengikat antigen

3
terimobilisasi pada permukaan lubang, bukan pada protein serum yang lain
atau protein yang terbloking.
5) Antibodi sekunder, yang akan mengikat sembarang antibodi pendeteksi,
ditambahkan dalam lubang. Antibodi sekunder ini akan berkonjugasi
menjadi enzim dengan substrat spesifik. Tahap ini bisa dilewati jika
antibodi pendeteksi berkonjugasi dengan enzim.
6) Plate dicuci untuk membuang kelebihan konjugat enzim-antibodi yang
tidak terikat.
7) Dimasukkan substrat yang akan diubah oleh enzim untuk mendapatkan
sinyal kromogenik/ fluorogenik/ elektrokimia.
8) Hasil dikuantifikasi dengan spektrofotometer, spektrofluorometer atau alat
optik/ elektrokimia lainnya.
Kelemahan ELISA indirect :
1) Membutuhkan waktu pengujian yang relative lebih lama daripada ELISA
direct karena ELISA indirect membutuhkan 2 kali waktu inkubasi yaitu
pada saat terjadi interaksi antara antigen spesifik dengan antibody yang
dinginkan dan antara antibody yang diinginkan dengan antibody sekunder
tertaut enzim signal, sedangkan pada ELISA direct hanya membutuhkan 1
kali waktu inkubasi yaitu pada saat terjadi interaksi antara antigen yang
diinginkan dengan antibody spesifik tertaut enzim signal.
Kelebihan ELISA indirect :
1) Terdapat berbagai macam variasi antibody sekunder yang terjual secar
komersial di pasar.
2) Immunoreaktifitas dari antibody yang diinginkan (target) tidak
terpengaruh oleh penautan enzim signal ke antibody sekunder karena
penautan dilakuka pada wadah berbeda.
3) Tingkat sensitivitas meningkat karena setiap antibody yag diinginkan
memiliki beberapa epitop yang bisa berinteraksi dengan antibody
sekunder.
c. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) SANDWICH
Teknik ELISA jenis ini menggunakan antibody primer spesifik untuk
menangkap antigen yang diinginkan dan antibody sekunder tertaut enzim
signal untuk mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan. Pada dasarnya,
prinsip kerja dari ELISA sandwich mirip dengan ELISA direct, hanya saja
pada ELISA sandwich, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu
dipurifikasi. Namun, karena antigen yang diinginkan tersebut harus dapat
berinteraksi dengan antibody primer spesifik dan antibody sekunder spesifik
tertaut enzim signal, maka teknik ELISA sandwich ini cenderung
dikhususkan pada antigen memiliki minimal 2 sisi antigenic (sisi interaksi
dengan antibodi) atau antigen yang bersifat multivalent seperti polisakarida
atau protein. Pada ELISA sandwich, antibody primer seringkali disebut
sebagai antibody penangkap, sedangkan antibody sekunder seringkali disebut
sebagai antibody penangkap, sedagkan antibody sekunder seringkali disebut
sebagai antibody deteksi.
Dalam pengaplikasiannya, ELISA sandwich lebih banyak
dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan antigen multivalent yang

4
kadarnya sangat rendah pada suatu larutan dengan tingkat kontaminasi tinggi.
Hal ini disebabkan ELISA sandwich memiliki tingkat sensitivitas tinggi
terhadap antigen yang diinginkan akibat keharusan dari antigen tersebut untuk
berinteraksi dengan kedua antibody.
Tahapan dalam Sandwich ELISA adalah sebagai berikut:
1) Disiapkan permukaan untuk mengikatkan antibodi ‘penangkap’
2) Semua non spesifik binding sites pada permukaan diblokir
3) Sampel berisi antigen dimasukkan dalam plate
4) Plate dicuci untuk membuang kelebihan antigen yang tidak terikat
5) Antibodi primer ditambahkan, supaya berikatan secara spesifik dengan
antigen
6) Antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim dimasukkan, yang akan
berikatan dengan antibodi primer
7) Plate dicuci, sehingga konjugat antibodi-enzim yang tidak terikat dapat
dibuang.
8) Ditambahkan reagen yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal
berwarna/ berfluoresensi/ elektrokimia
9) Diukur absorbansinya untuk menetukan kehadiran dan kuantitas dari
antigen
Dalam ELISA sandwich, terdapat beberapa faktor yng mempengaruhi
tingkat sensitivitas dari hasil pengujian, antara lain :
 Banyak molekul antibody penangkap yang berhasil menempel pada
dinding-dinding microtiter.
 Avinitas dari antibody penangkap dan antibody detector terhadap
antigen sebenarnya, teknik ELISA sandwich ini merupakan
pengembangan dari teknik ELISA terdahulu, yaitu ELISA direct.
Kelebihan teknik ELISA sandwich ini pada dasarnya berada pada tingkat
sensitivitasnya yang relatif lebih tinggi karena antigen yang diinginkan harus
dapat berinteraksi dengan dua jenis antibody, yaitu antibody penangkap dan
antibody detector, kemampuannya menguji sampel yang tidak murni, dan
mampu mengikat secara selektif antigen yang dikehendaki. Tanpa lapisan
pertama antibodi penangkap, semua jenis protein pada sampel (termasuk
protein serum) dapat diserap secara kompetitif oleh permukaan lempeng,
menurunkan kuantitas antigen yang terimobilisasi.
Namun demikian, teknik ELISA sandwich ini juga memiliki kelemahan,
yaitu teknik ini hanya dapat diaplikasikan untuk medeteksi antigen yang
bersifat multivalent serta sulitnya mencari dua jenis antibody yang dapat
berinteraksi antigen yang sama pada sisi antigenic yang berbeda (epitopnya
harus berbeda).
d. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) Biotin Sterptavidin (Jenis
ELISA Modern)
Pada perkembangan selanjutnya, teknik ELISA sandwich ini juga
dikembangkan untuk mendeteksi antibody dengan tingkat sensitivitas relatif
lebih tinggi. Teknik ini dikenal sebagai teknik ELISA penangkap antibody,
dimana prinsip kerjanya sama dengan ELISA sandwich, hanya saja yang

5
digunakan dalam teknik ini adalah antigen penangkap dan antigen detector
(antigen bertaut enzim signal, bersifat opsional apabila antibody yang
diinginkan tidak bertaut dengan enzim signal).
Contoh dari aplikasi teknik ini adalah teknik ELISA untuk mendeteksi
vitamin biotin yang bertaut dengan suatu antibody avidin dengan mengubah
antibody avidin menjadi antibody streptavidin, dimana satu molekul
streptavidin dapat mengikat empat molekul biotin (pengembangan dari ELISA
indirect), sehingga signal yang teramplifikasi menjadi semakin kuat akibat
interaksi antara biotin dengan enzim yang menjadi semakin banyak.
e. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) Multiplex
Teknik ELISA merupakan pengembangan teknik ELISA yang
ditujukan untuk pengujian secara simultan,sedangkan prinsip dasarnya mirip
dengan teknik ELISA terdahulu.
f. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) COMPETITIVE
Teknik ELISA jenis ini juga merupakan pengembangan teknik ELISA
terdahulu.Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menambahkan suatu
competitor ke dalam lubang mikrotiter.Teknik ELISA kompetitif ini dapat
diaplikasikan untuk mendeteksi keberadaan antigen atau antibody.
Pada pendeteksian antigen, pertama mikrotiter diisi antibody spesifik
yang dapat berinteraksi dengan antigen yang diinginkan maupun antigen
spesifik bertaut enzim signal, sehingga antibody spesifik tersebut dapat
menempel pada bagian dinding-dinding lubangmikrotiter. Lalu larutan yang
mengandung antigen spesifik yang telah ditautkan dengan enzim signal dan
larutan sampel yang mengandung antigen yang diinginkan dimasukkan ke
dalam lubang-lubang mikrotiter sehingga terjadi kompetisi antara antigen
spesifik bertaut enzim signal dengan antigen yang diinginkan untuk dapat
berinteraksi dengan antibody spesifik yang dilanjutkan dengan membilas
mikrotiter untuk membuang antigen spesifik tertaut enzim signal atau antigen
yang tidak berinteraksi dengan antibody spesifik.
Lalu kedalam lubang-lubang mikrotiter tersebut ditambahkan substrat
yang dapat bereaksi dengan enzim signal yang tertaut pada antigen spesifik,
sehingga enzim yang tertaut dengan antigen yang telah berinteraksi dengan
antibody spesifik akan bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang
dapat dideteksi. Pada proses pendeteksian ini, pendeteksian positif ditandai
oleh tidak adanya signak yang ditimbulkan, yang berarti bahwa antigen yang
diinginkan telah menang berkompetisi dengan antigen spesifik tertaut enzim
signal dan berinteraksi dengan antibody spesifik.
Sedangkan pada pendeteksian antibody, pertama mikrotiter diisi
antigen spesifik yang dapat berinteraksi dengan anti bodi yang diinginkan
maupun antibody spesifik tertaut enzim signal, sehingga antigen spesifik
tersebut dapat menempel pada bagian dinding-dinding mikrotiter, kemudian
mikrotiter dibilas untuk membuang antigen spesifik yang tidak menempel
pada dinding-dinding mikrotiter.
Lalu larutan yang mengandung antibody spesifik yang telah ditautkan
dengan enzim signal dan larutan sampel yang mengandung antibody yang
diinginkan dimasukkan ke dalam lubang-lubang mikrotiter, sehingga terjadi

6
kompetisi antara antibody spesifik tertaut enzim signal dengan antibody yang
diinginkan untuk dapatberinteraksi dengan antigen spesifik, yang dilanjutkan
dengan membilas mikrotiter untuk membuang antibody spesifik tertaut enzim
signal atau antibody yang tidak berinteraksi dengan antigen spesifik.
Lalu, kedalam lubang-lubang mikrotiter tersebut ditambahkan substrat
yang dapat bereaksi dengan enzim signal yang tertaut pada antibody spesifik,
sehingga enzim yang tertaut dengan antibody yang telah berinteraksi dengan
antigen spesifik akan bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang
dapat dideteksi. Pada proses pendeteksian ini, pendeteksian positif juga
ditandai oleh tidak adanya signal yang ditimbulkan, yang berarti antibody
yang diinginkan telah menang berkompetisi dengan antibody spesifik tertaut
enzim signal dan berinteraksi dengan antigen spesifik.
Kelebihan dari teknik ELISA kompetitif ini adalah tidak diperlukannya
purifikasi terhadap larutan sampel yang mengandung antibody atau antigen
yang diinginkan, tapi hasil yang diperoleh tetap memiliki tingkat sensitivitas
tinggi akibat sifat spesitifitas dari antibody dan antigen.
3. Prinsip Kerja ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
Prinsip dasar dari teknik ELISA ini secara simple dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Pertama antigen atau antibodi yang hendak diuji ditempelkan pada suatu
permukaan yang berupa microtiter. Penempelan tersebut dapat dilakukan melalui
dua cara, yaitu penempelan secara non spesifik dengan adsorbs ke permukaan
microtiter, dan penempelan secara spesifik dengan menggunakan antibody atau
antigen lain yang bersifat spesifik dengan antigen atau antibodi yang diuji (cara ini
digunakan pada teknik ELISA sandwich). Selanjutnya antibodi atau antigen
spesifik yang telah ditautkan dengan suatu enzim signal (disesuaikan dengan
sampel => bila sampel berupa antigen, maka digunakan antibodi spesifik ,
sedangkan bila sampel berupa antibodi, maka digunakan antigen spesifik)
dicampurkan ke atas permukaan tersebut, sehingga dapat terjadi interaksi antara
antibodi dengan antigen yang bersesuaian. Kemudian ke atas permukaan tersebut
dicampurkan suatau substrat yang dapat bereaksi dengan enzim signal. Pada saat
substrat tersebut dicampurkan ke permukaan, enzim yang bertaut dengan antibodi
atau antigen spesifik yang berinteraksi dengan antibodi atau antigen sampel akan
bereaksi dengan substrat dan menimbulkan suatu signal yang dapat dideteksi.
Pada ELISA flourescense misalnya, enzim yang tertaut dengan antibodi atau
antigen spesifik akan bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang
berupa pendaran flourescense.
4. Contoh Cara Kerja ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
Berikut ini adalah contoh langkah kerja beberapa macam teknik ELISA, yaitu:
a. Pendeteksian antibody dengan ELISA indirect:
1) Melapisi mikrotiter plate dengan antigen yang sudah dimurnikan
dengan membiarkan larutan berisi antigen menempel pada dinding/
permukaan selama 30-60 menit.
2) Membilas antigen yang tidak terikat dengan buffer.

7
3) Melapisi sisi-sisi tertentuyang mungkin tidak spesifik dilekati oleh
antigen dengan protein yang tidak berhubungan/ tidak spesifik (seperti
larutan susu bubuk).
4) Membilas protein yang tidak melekat.
5) Menambahkan sampel serum yang akan dideteksi antibodinya dan
membiarkan antibody spesifik untuk berikatan dengan antigen.
6) Membilas antibody yang tidak terikat.
7) Menambahkan anti-Ig yang akan berikatan pada daerah Fc pada
antibody yang spesifik (sebagai contoh, anti-rantai gamma manusia
yang berikatan dengan IgG manusia). Daerah Fc pada anti-Ig akan
berikatan secara kovalen dengan enzim.
8) Membilas kompleks antibody-enzim yang tidak terikat.
9) Menambahkan substrat chromogenic: substrat yang tidak berwarna
yang terikat ke enzim akan dikonversi menjadi produk.
10) Inkubasi sampai muncul warna, dan
11) Ukur dengan spectrometer. Jka semakin pekat warna yang dideteksi,
maka makin besar kadar antibody spesifik dalam sampel.
b. Pendeteksian antigen dengan ELISA sandwich:
1) Melapisi mikrotiter plate dengan antibodi yang sudah
dimurnikandimurnikan dengan membiarkan larutan berisi antigen
menempel pada dinding/ permukaan selama 30-60 menit.
2) Membilas antibodi yang tidak terikat dengan buffer.
3) Melapisi sisi-sisi tertentuyang mungkin tidak spesifik dilekati oleh
antigen dengan protein yang tidak berhubungan/ tidak spesifik (seperti
larutan susu bubuk).
4) Membilas protein yang tidak melekat.
5) Menambahkan sampel yang akan dideteksi antigennya dan
membiarkan antibodi untuk berikatan dengan antigen spesifik dari
sampel.
6) Membilas antigen yang tidak terikat.
7) Menambahkan antibody yang telah terlabeli dengan enzim dan bersifat
spesifik untuk epitope yang berbeda pada antigen sampel, sehingga
terbentuk sandwich.
8) Membilas antibody-enzim yang tidak terikat.
9) Menambahkan substrat chromogenic: substrat yang tidak berwarna
yang terikat ke enzim akan dikonversi menjadi produk.
10) Inkubasi sampai muncul warna.
11) Ukur dengan spektrofotometer. Jika semakin pekat warna yang
terdeteki, maka makin besar kadarantigen spesifi dalam sampel.
5. Kelebihan dan Kekurangan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
Teknik ELISA ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain :
a. Teknik pengerjaan relatif sederhana
b. Relatif ekonomis (karena jenis a antibodi yang digunakan hanya satu saja,
sehingga menghemat biaya untuk membeli banyak jenis antibodi)
c. Hasil memiliki tingkat sensitivitas yang cukup tinggi.

8
d. Dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen walaupun kadar
antigen tersebut sangat rendah (hal ini disebabkan sifat interaksi antara
antibodi atau antigen yang bersifat sangat spesifik)
e. Dapat digunakan dalam banyak macam pengujian.
Sedangkan kekurangan dari teknik ELISA antara lain :
a. Jenis antibodi yang dapat digunakan pada uji dengan teknik ELISA ini hanya
jenis antibodi monoklonal (antibodi yang hanya mengenali satu antigen).
b. Harga antibodi monoklonal relatif lebih mahal daripada antibodi poliklonal,
sehingga pengujian teknik ELISA ini membutuhkan biaya yang relatif mahal.
c. Pada beberapa macam teknik ELISA, dapat terjadi kesalahan pengujian akibat
kontrol negatif yang menunjukkan respons positif yang disebabkan
inefektivitas dari larutan blocking sehingga antibodi sekunder atau antigen
asing dapat berinteraksi dengan antibodi bertaut enzim signal dan
menimbulkan signal.
d. Reaksi antara enzim signal dan substrat berlangsung relatif cepat, sehingga
pembacaan harus dilakukan dengan cepat (pada perkembangannya, hal ini
dapat diatasi dengan memberikan larutan untuk menghentikan reaksi).

B. Westren Blot
1. Pengertian
Teknik ini pertama kali dibuat oleh W. Neal Burnette dan dinamai
western blot sebagai olok-olokan terhadap tekini southern blot yang pertama
kali ditemukan.
Western blot merupakan teknik untuk mendeteksi protein spesifik pada sampel
jaringan yang homogenat ataupun dari suatu ekstraksi berdasarkan kemampuan
protein tersebut berikatan dengan antibodi. Teknik ini menggunakan gel
elektroforesis untuk memisahkan protein berdasarkan panjang polipeptida atau
berdasarkan struktur 3D-nya. Protein tersebut kemudian ditransfer ke sebuah
membran, biasanya nitroselulosa atau PVDF, dimana mereka kemudian akan
dilacak dengan menggunakan antibodi yang spesifik kepada protein target.
Western blot dapat mendeteksi suatu protein dalam kombinasinya dengan sangat
banyak protein lain, dapat memberikan informasi mengenai ukuran dan ekspresi
protein tersebut.
Western blot adalah proses pemindahan protein dari gel hasil elektroforesis ke
membran. Membran ini dapat diperlakukan lebih fleksibel daripada gel sehingga
protein yang terblot pada membran dapat dideteksi dengan cara visual maupun
fluoresensi. Deteksi ekspresi protein pada organisme dilakukan dengan prinsip
imunologi menggunakan antibodi primer dan antibodi sekunder. Setelah pemberian
antibodi sekunder, deteksi dilakukan secara visual dengan pemberian kromogen
atau secara fluoresensi. Pada deteksi secara fluoresensi, reaksi antara antibodi
primer dengan antibodi sekunder akan memberikan hasil fluoresens yang
selanjutnya akan membakar film X-ray, deteksi ini dilakukan di kamar gelap.

9
2. Langkah-langkah dalam Western Blot
a. Menyiapkan sampel yang akan diteliti, apakah itu limfosit T atau fibroblas
ataupun sel darah tepi. Sampel harus dijaga tetap dingin.
b. Menyiapkan buffer agar pH dapat berada pada jangkauan yang stabil.
c. Menyiapkan antibodi yang akan digunakan sebagai pelacak

C. IFA atau indirect fluorescent antibody


1. Pengertian
Antibodi Fluorescent Teknik adalah alat diagnostik di
mana pewarnafluorescent ditambahkan ke jaringan yang mengandung anti
gen. Hasilnyamenyebabkan wilayah yang ditargetkan bersinar dengan sinar
ultravioletbila dilihat dengan mikroskop fluorescent.
Imunofluoresen adalah metode imunologi untuk mendeteksi antibodidari
berbagai kelas immunoglobulin dalam serum, cairan ludah, cairan otak dengan
cara mereaksikan antibody dan antigen spesifik dan anti-antibodi yang dilabel
denagan Fluoresence Isothiocyanat (FITC), sehingga terpancar sinar warna hijau
atau merah jika di label denganRodhamin. Tetapi dalam perkembangan sekarang
imunofluoresen banyak digunakan dalam penelitian untuk mendeteksi antigen
antigen atau antibody dalam mukosa usus, mukosa mulut, dan dalam jaringan,
urine, cairan mata.
Fluorescent Antibody Technique (FAT) untuk penggunaan didalam
mikrobiologi telah diperlihatkan pertama kali oleh Coons, at all pada tahun 1942.
sebelumnya telah diperkenelka penandaan protein antibodi dengan zat warna
yang dapat berfluoresensi. Fluoresensi merupakan pemancaran sinar oleh atom
atau molekul setelah terlebih dahulu disinari. Zat warna yang dapat befluoesensi
disebut fluorokrom. Pada dasarnya teknik fluoresen antibodi ini merupakan
kombinasi cara-cara imunologis dan pewarnaan. Adanya antigen akan
diperlihatkan dengan perantaraan antibodi yang telah disenyawakan dengan
fluorkrom.
Dan tes ini mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dalam bidang pemeriksaan
parasitologi dengan memakai tekhnik indirect fluorescent antibody test. Tes ini
berguna mendeteksi adanya antibody specific terhadap malaria atau pada keadaan
dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostic
sebab antibody baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes
serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah.
Pendeteksi antibody dan antigen yang perlu diperhatikan adalah fiksasi protein
spesifik dengan bahan kimia, sehingga diperlukan pemilihan yang tepat bahan
kima yang terbaik seperti Formaldehyde, aceton, methanol, dan
alcohol. Sehingga tidak merusak epitop dan paratope pada saat direaksikan untuk
ikatan komplek antigen dan antibody.
2. Regensia serta Alat dan Bahan yang digunakan dalam Metode FAT
(IFA)
Deckglass, objek glas, serum sampel, antigen dari sel kultur atau antigen dari
jaringan, Aceton, Feotal Calf Serum (FCS), Phospat Buffer Saline (PBS). Pinset,

10
Gelas Inkubator, Kotak inkubator, Inkubator 37oC, Konjugat Fragmen
immunoglobulin, Mikroskop Fluorescent, Rhodamin
3. Macam-macam Pemeriksaan Pemeriksaan FAT (IFA)
Metode FAT (IFA) dikenal ada 2 macam pemeriksaan yaitu :
a. Antibodi Fluorescent Teknik, Langsung
b. Antibodi Fluorescent Teknik, Langsung
Suatu bentuk teknik antibodi fluorescent yang biasa digunakan untuk
mendeteksi antibodi serum dan kompleks imun pada jaringan
danmikroorganisme dalam spesimen dari pasien
dengan penyakit menular. Teknik ini melibatkan pembentukan sebuah
kompleks antigen-antibodi yang diberi label dengan fluorescein-
conjugated anti-antibodi immunoglobulin. Atau melalui perantara antibody
yang kedua dalam produk pasar dikenal dengan Konjugat Imunoglobulin
Fragment.
4. Cara Pemeriksaan.
Direct Imunofluoresen (Deteksi Antigen)
1) Sel pada deck cover glass yang diinfeksi dengan virus difiksasi dengan
aceton-20oC selama 15 menit.
2) Cuci dengan PBS dan keringkan pada temperature ruangan sampai kering.
3) Masukan deck cover glass pada PBS yang mengandung 1%FCS dan biarkan
15 menit.
4) Siapkan serum sampel dan encerkan dengan PBS sesuai keperluan.
5) Teteskan 20µl serum sampel di atas glass obyek.
6) Taruh deck cover glass di atas sampel dengan bagian sel di bawah dan
letakkan dalam kotak dan kertas yang telah dibasahi dengan air.
7) Inkubasi pada incubator denagan temperatur 37oC selama 45 menit.
8) Cuci dengan PBS 1%FCS selama 15 Menit.
9) Siapkan Konjugat fragmen Imunoglobulin dengan pengenceran 1:100µl.
10) Teteskan Konjugat 20µl di atas glas obyek dan letakkan deck coverglass di
atasnya.
11) Inkubasi pada incubator dengan temperatur 37oC selama 15 menit
12) Cuci dengan PBS 1%FCS selama 15 menit dan selanjutnya angkatdeck cover
glass dan sentuhkan deck cpver glass pada kertas tissue agar airnya
berkurang, sehingga kering tapi basa.
13) Teteskan Glycerin 50% 20µl di atas glass obyek dan selanjutnyadeck cover
glass di taruh diatasnya dan langsung dilihat hasilnya dengan mikroskop
fluorescent pada pembesaran 40x. catatan preparat ini dapat disimpan pada
4oC sampai 2-3 minggu.

D. PCR test atau polymerase chainreaction


1. Prinsip Kerja
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode untuk amplifikasi
(perbanyakan) primer oligonukleotida diarahkan secara enzimatik urutan DNA
spesifik. Teknik ini mampu memperbanyak sebuah urutan 105-106-kali lipat dari
jumlah nanogram DNA template dalam latar belakang besar pada sequence yang
tidak relevan (misalnya dari total DNA genomik). Sebuah prasyarat untuk

11
memperbanyak urutan menggunakan PCR adalah memiliki pengetahuan, urutan
segmen unik yang mengapit DNA yang akan diamplifikasi, sehingga
oligonucleotides tertentu dapat diperoleh. Hal ini tidak perlu tahu apa-apa tentang
urutan intervening antara primer. Produk PCR diamplifikasi dari template DNA
menggunakan DNA polimerase stabil-panas dari Thermus aquaticus (Taq DNA
polimerase) dan menggunakan pengatur siklus termal otomatis (Perkin-
Elmer/Cetus) untuk menempatkan reaksi sampai 30 atau lebih siklus denaturasi,
anil primer, dan polimerisasi. Setelah amplifikasi dengan PCR, produk ini
dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamida dan secara langsung
divisualisasikan setelah pewarnaan dengan bromida etidium.
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu teknik perbanyakan
(amplifikasi) potongan DNA secara in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh
dua buah primer oligonukleotida. Primer yang digunakan sebagai pembatas daerah
yang diperbanyak adalah DNA untai tunggal yang urutannya komplemen dengan
DNA templatnya. Proses tersebut mirip dengan proses replikasi DNA secara in
vivo yang bersifat semi konservatif.
PCR memungkinkan adanya perbanyakan DNA antara dua primer, hanya di
dalam tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in vivo). Pada
proses PCR dibutuhkan DNA untai ganda yang berfungsi sebagai cetakan (templat)
yang mengandung DNA-target (yang akan diamplifikasi) untuk pembentukan
molekul DNA baru, enzim DNA polimerase, deoksinukleosida trifosfat (dNTP),
dan sepasang primer oligonukleotida. Pada kondisi tertentu, kedua primer akan
mengenali dan berikatan dengan untaian DNA komplemennya yang terletak pada
awal dan akhir fragmen DNA target, sehingga kedua primer tersebut akan
menyediakan gugus hidroksil bebas pada karbon 3’. Setelah kedua primer
menempel pada DNA templat, DNA polimerase mengkatalisis proses pemanjangan
kedua primer dengan menambahkan nukleotida yang komplemen dengan urutan
nukleotida templat. DNA polimerase mengkatalisis pembentukan ikatan
fosfodiester antara OH pada karbon 3’ dengan gugus 5’ fosfat dNTP yang
ditambahkan. Sehingga proses penambahan dNTP yang dikatalisis oleh enzim
DNA polimerase ini berlangsung dengan arah 5’→3’ dan disebut reaksi
polimerisasi. Enzim DNA polimerase hanya akan menambahkan dNTP yang
komplemen dengan nukleotida yang terdapat pada rantai DNA templat.
PCR melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga tahap
berurutan, yaitu pemisahan (denaturasi) rantai DNA templat, penempelan
(annealing) pasangan primer pada DNA target dan pemanjangan (extension)
primer atau reaksi polimerisasi yang dikaalisis oleh DNA polimerase
2. Kegunaan
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk:
a. amplifikasi urutan nukleotida.
b. menentukan kondisi urutan nukleotida suatu DNA yang mengalami mutasi.
c. bidang kedokteran forensik.
d. melacak asal-usul sesorang dengan membandingkan “finger print”.

12
3. Waktu yang Dibutuhkan
a. 1-2 hari
b. PCR: 3-6 jam atau semalam
c. Polyacrylamide gel electrophoresis using “Mighty-small II” gel apparatus:
2.5 hours poliakrilamid gel elektroforesis menggunakan “Mighty-small II”
bahan gel: 2,5 jam
d. Etidium bromide staining dan fotografi: 45 menit
4. Reagen Khusus
a. Pasangan primer oligonukleotida sintetik mengapit urutan yang akan
diamplifikasi
b. Buffer PCR 5X (250 mM KCl, 50 mM Tris-HCl pH 8,3, 7,5 mM MgCl2)
c. Campuran dari empat dNTP (dGTP, dATP, dTTP, dCTP) masing-masing
sebesar 2,5 mM (ultra murni DNTP set, Pharmacia # 27-2035-01). DNTP
campuran dibuat dengan volume 10 mM larutan dari masing-masing empat
dNTP terpisah yang digabung.
d. Taq DNA Polymerase (AmpliTaqTM, Perkin-Elmer/Cetus)
e. Minyak mineral ringan
f. Akrilamida (grade elektroforesis)
g. N, N’-Methylenebisacrylamide (grade elektroforesis, Ultra-Pure/BRL, #
5516UB)
h. Amonium persulfat (Ultra-Pure/BRL, # 5523UA)
i. TEMED (N, N, N’N ‘Tetramethylethylenediamine, Ultra-Murni / BRL, #
5524UB)
5. Peralatan Khusus
a. Mighty-small II SE-250 vertical gel electrophoresis unit (Hoefer)
b. Perkin-Elmer/Cetus Thermal Cycler
c. Sterile Thin-wall 0.5 ml Thermocycler microfuge tubes: (TC-5, Midwest
Scientific)
Komponen PCR lainnya:
a. Enzim DNA Polymerase
Dalam sejarahnya, PCR dilakukan dengan menggunakan Klenow fragment
DNA Polimerase I selama reaksi polimerisasinya. Enzime ini ternyata tidak
aktif secara termal selama proses denaturasi, sehingga peneliti harus
menambahkan enzim di setiap siklusnya. Selain itu, enzim ini hanya bisa
dipakai untuk perpanjangan 200 bp dan hasilnya menjadi kurang spesifik.
Untuk mengatasi kekurangan tersebut, dalam perkembangannya kemudian
dipakai enzim Taq DNA polymerase yang memiliki keaktifan pada suhu
tinggi. Oleh karenanya, penambahan enzim tidak perlu dilakukan di setiap
siklusnya, dan proses PCR dapat dilakukan dalam satu mesin
b. Primer

13
Primer merupakan oligonukleotida pendek rantai tunggal yang mempunyai
urutan komplemen dengan DNA templat yang akan diperbanyak. Panjang
primer berkisar antara 20-30 basa. Untuk merancang urutan primer, perlu
diketahui urutannukleotida pada awal dan akhir DNA target. Primer
oligonukleotida di sintesis menggunakan suatu alat yang disebut DNA
synthesizer.
c. Reagen lainnya
Selain enzim dan primer, terdapat juga komponen lain yang ikut
menentukan keberhasilan reaksi PCR. Komponen tersebut adalah dNTP
untuk reaksi polimerisasi, dan buffer yang mengandung MgCl2. Konsentrasi
ion Mg2+dalam campuran reaksi merupakan hal yang sangat kritis.
Konsentrasi ion Mg2+ ini sangat mempengaruhi proses primer annealing,
denaturasi, spesifisitas produk, aktivitas enzim dan fidelitas reaksi.
6. Tahapan PCR
a. Denaturasi
Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka menjadi dua
untai tunggal. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi
menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang
komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya
reaksi polimerisasi pada siklus yang sebelumnya. Denaturasi biasanya
dilakukan antara suhu 90 oC – 95 oC.
b. Penempelan primer
Pada tahap penempelan primer (annealing), primer akan menuju daerah
yang spesifik yang komplemen dengan urutan primer. Pada
proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk antara primer dengan
urutan komplemen pada template. Proses ini biasanya dilakukan pada suhu
50 oC – 60 oC. Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga
ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus
kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya, misalnya pada
72 oC.
c. Reaksi polimerisasi (extension)
Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi
pada suhu 72 oC. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami
perpanjangan pada sisi 3’nya dengan penambahan dNTP yang komplemen
dengan templat oleh DNA polimerase.
Jika siklus dilakukan berulang-ulang maka daerah yang dibatasi oleh
dua primer akan diamplifikasi secara eksponensial (disebut amplikon yang
berupa untai ganda), sehingga mencapai jumlah copy yang dapat
dirumuskan dengan (2n)x. Dimana n adalah jumlah siklus dan x adalah
jumlah awal molekul DNA. Jadi, seandainya ada 1 copy DNA sebelum
siklus berlangsung, setelah satu siklus, akan menjadi 2 copy, sesudah 2
siklus akan menjadi 4, sesudah 3 siklus akan menjadi 8 kopi dan
seterusnya. Sehingga perubahan ini akan berlangsung secara eksponensial.

14
PCR dengan menggunakan enzim Taq DNA polimerase pada akhir dari
setiap siklus akan menyebabkan penambahan satu nukleotida A pada ujung
3’ dari potongan DNA yang dihasilkan. Sehingga nantinya produk PCR ini
dapat di kloning dengan menggunakan vektor yang ditambahkan nukleotida
T pada ujung-ujung 5’-nya. Proses PCR dilakukan menggunakan suatu alat
yang disebut thermocycler.
7. Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (Rt-Pcr)
RT-PCR merupakan singkatan Reverse Transcription Polymerase Chain
Reaction. Seperti namanya, proses RT-PCR merupakan bagian dari proses PCR
biasa. Perbedaanya dengan PCR yang biasa, pada proses ini berlangsung satu
siklus tambahan yaitu adanya perubahan RNA menjadi cDNA
(complementary DNA) dengan menggunakan enzim Reverse Transkriptase.
Reverse Transcriptase adalah suatu enzim yang dapat mensintesa molekul DNA
secara in vitro menggunakan template RNA.
Seperti halnya PCR biasa, pada pengerjaan RT-PCR ini juga diperlukan DNA
Polimerase, primer, buffer, dan dNTP. Namun berbeda dengan PCR, templat yang
digunakan pada RT-PCR adalah RNA murni. Oleh karena primer juga dapat
menempel pada DNA selain pada RNA, maka DNA yang mengkontaminasi proses
ini harus dibuang. Untuk proses amplifikasi mRNA yang mempunyai poly(A) tail
pada ujung 3′, maka oligo dT, random heksamer, maupun primer spesifik untuk
gen tertentu dapat dimanfaatkan untuk memulai sintesa cDNA.
8. Metoda Deteksi Produk PCR
Produk PCR adalah segmen DNA (amplikon) yang berada dalam jumlah
jutaan copy, tetapi tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Oleh karena itu PCR
perlu diikuti dengan suatu tahap akhir yang bertujuan untuk memvisualisasikan
produk PCR serta sekaligus bertujuan untuk mengetahui ukuran produk PCR dan
mengetahui apakah produk yang dihasilkan adalah benar seperti yang diinginkan.
Salah satu metoda deteksi yang umum dilakukan adalah elektroforesis gen agarosa.

15
Bab III
Penutup

A. Kesimpulan

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia


yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran
antibodi atau antigen dalam suatu sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat
diagnostik dalam bidang medis, patologi tumbuhan, dan juga berbagai bidang
industri. Dalam pengertian sederhana, sejumlah antigen yang tidak dikenal
ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik dicucikan pada
permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat
dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi yang dapat
diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi.
Western blot adalah proses pemindahan protein dari gel hasil elektroforesis ke
membran. Membran ini dapat diperlakukan lebih fleksibel daripada gel sehingga
protein yang terblot pada membran dapat dideteksi dengan cara visual maupun
fluoresensi. Deteksi ekspresi protein pada organisme dilakukan dengan prinsip
imunologi menggunakan antibodi primer dan antibodi sekunder. Setelah pemberian
antibodi sekunder, deteksi dilakukan secara visual dengan pemberian kromogen atau
secara fluoresensi. Pada deteksi secara fluoresensi, reaksi antara antibodi primer
dengan antibodi sekunder akan memberikan hasil fluoresens yang selanjutnya akan
membakar film X-ray, deteksi ini dilakukan di kamar gelap.
Imunofluoresen adalah metode imunologi untuk mendeteksi antibodidari
berbagai kelas immunoglobulin dalam serum, cairan ludah, cairan otak dengan cara
mereaksikan antibody dan antigen spesifik dan anti-antibodi yang dilabel denagan
Fluoresence Isothiocyanat (FITC), sehingga terpancar sinar warna hijau atau merah
jika di label denganRodhamin. Tetapi dalam perkembangan sekarang imunofluoresen
banyak digunakan dalam penelitian untuk mendeteksi antigen antigen atau antibody
dalam mukosa usus, mukosa mulut, dan dalam jaringan, urine, cairan mata.
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode untuk amplifikasi
(perbanyakan) primer oligonukleotida diarahkan secara enzimatik urutan DNA
spesifik. Teknik ini mampu memperbanyak sebuah urutan 105-106-kali lipat dari
jumlah nanogram DNA template dalam latar belakang besar pada sequence yang tidak
relevan (misalnya dari total DNA genomik). Sebuah prasyarat untuk memperbanyak
urutan menggunakan PCR adalah memiliki pengetahuan, urutan segmen unik yang
mengapit DNA yang akan diamplifikasi, sehingga oligonucleotides tertentu dapat
diperoleh. Hal ini tidak perlu tahu apa-apa tentang urutan intervening antara primer

16
B. Saran
Semoga dangan adanya makalah ini para pembaca khususnya mahasiswa stikes
jayapura DIII kebidanan dapat memahami isi makalah ini dan dapat mengaplikasikanya
dalam kehidupan sehari – hari .kritik dan saran sangat kami harapkan guna
memperbaikai makalah kami kedepannya

17
Daftar pustaka
Brahmana k.1981.immunologi.serologi dan tata kerja Laboratorium.medan
Andrews AT.Electrophoresis theory, Thechniques, Biochemical and clinical
Application.clarendon press: “oxford’’1986.

18

Anda mungkin juga menyukai