Anda di halaman 1dari 5

1.

Estimasi Penyerapan Tenaga Kerja Formatted: Space After: 0 pt

Salah satu isu yang menjadi perhatian pengambil kebijakan adalah dampak pertumbuhan
ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja. Perekonomian yang tumbuh lebih tinggi
diharapkan akan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Islam dan Nazara (2000) melakukan
estimasi elastisitas tenaga kerja (employment elasticity), yaitu hubungan pertumbuhan
ekonomi (yang dilihat dari pertumbuhan GDP) dan employment. Indikator elastisitas tenaga
kerja ini mengukur perubahan jumlah tenaga kerja akibat dari perubahan GDP. Dengan kata
lain, jika perekonomian tumbuh 1%, berapa tambahan tenaga kerja yang akan tercipta. Hasil
estimasi Islam dan Nazara (2000) menunjukkan kenaikan 1% pertumbuhan ekonomi akan
meningkatkan tambahan 500 ribu tenaga kerja.
Hasil estimasi Bambang Wardoyo (Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
menunjukkan bahwa kenaikan 1% pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan kesempatan
kerja antara 400-700 ribu pada periode tahun 2007-2010. Namun pada tahun 2011-2012,
kenaikan 1% pertumbuhan ekonomi hanya menambah kesempatan kerja antara 180-226 ribu.
Menurunnya kemampuan penyerapan tenaga kerja disebabkan penopang laju pertumbuhan
ekonomi selama ini adalah sektor jasa (non-tradeble). Namun, tidak semua sektor tradable
mampu menyerap tenaga kerja. Sektor tradable seperti pertambangan kurang menyerap tenaga
kerja, karena ekspor yang dilakukan merupakan bahan mentah, tanpa ada proses pengolahan
lebih lanjut yang berpeluang menciptakan tambahan penyerapan tenaga kerja. Begitu pula
sektor pertanian, pertumbuhannya dibawah rata-rata, dengan mobilitas tenaga kerja relatif
tinggi dan sebagian besar bersifat informal. Meskipun sektor ini menyerap tenaga kerja,
terdapat banyak tenaga kerja setengah pengangguran karena sifat pekerjaan pertanian yang
musiman. Oleh sebab itu, yang menjadi harapan dalam menciptkan kesempatan kerja adalah
industri pengolahan. Ada kecenderungan laju pertumbuhan industri pengolahan mengalami
peningkatan dari 3,6% tahun 2008 menjadi 5,5% tahun 2013. Perkembangan indikator-
indikator ketenagakerjaan tersebut tidak lepas dari berbagai permasalahan yang perlu segera
diselesaikan terkait dengan ketenagakerjaan.
Tabel 1.1 Hasil Estimasi Tenaga Kerja yang Tercipta sebagai Dampak Pertumbuhan Ekonomi
Rata-Rata Kesempatan
Laju Pertumbuhan Tambahan
Tahun Kerja per 1%
Ekonomi Kesempatan Kerja
Pertumbuhan Ekonomi
2007 6,34 4.473.282 705.010
2008 6,01 2.622.533 436.092
2009 4,63 2.317.913 500.742
2010 6,20 3.337.104 538.657
2011 6,46 1.462.632 226.516
2012 6,22 1.137.755 182.805
Sumber: Wardoyo (2013) Formatted: Space After: 0 pt

2. Isu – Isu Ketenagakerjaan


Upah Minimum
Salah satu isu dalam ketenagakerjaan yang menjadi tTarik ukur antara pengusaha dan Formatted: Indent: Left: 0.25", Space After: 0 pt, Tab
stops: 0.25", Left + 0.5", Left + Not at 2.6"
buruh adalah upah. Upah adalah uang dan balas jasa lain yang dibayarkan sebagai pembalas
jasa atau sebagai pembayar atas tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.
Secara normatif, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003, upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.
Tiap tahun pengusaha selalu berhadapan dengan masalah pemberian upah minimum yang
layak diterima oleh buruh. Untuk menetapkan upah minimum, pemerintah daerah membentuk
Dewan Pengupahan Daerah (DPD) yang terdiri dari perwakilan buruh, pengusaha, akademisi,
dan pemerintah. Untuk menentukan upah minimum, Kementrian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi mengeluarkan surat Keputusan Menteri mengenai ukuran Kebutuhan Hidup
Layak (KHL). Nilai KHL ditentukan oleh survei yang dilakukan oleh DPD. Berdasarkan nilai
KHL tersebut, gubernur menetapkan upah minimum provinsi yang besarnya bisa lebih besar
atau sama dengan KHL.
Meskipun upah minimum ditentukan bersama-sama antara pengusaha dan buruh, dalam
pelaksanaannya masih banyak ditemukan ketidakpuasan baik dari pihak buruh ataupun pihak
pengusaha. Buruh ingin upah minimum meningkat tinggi, sedangkan pengusaha, terutama
pengusaha kecil, keberatan dengan kenaikan upah yang tinggi. Misalnya, dalam menetapkan
UMP (upah minimum provinsi) DKI Jakarta, gubernur mengikuti rekomendasi Dewan
Pengupahan, yaitu menetapkan UMP 2014 sebesar Rp. 2.441. 301 per bulan atau naik sekitar
11 persen dari UMP 2013 yang sebesar Rp 2,2 juta. Namun di sisi lain, buruh menuntut agar
UMP dinaikkan menjadi Rp 3,7juta per bulan.
Dari kenyataan yang terjadi di lapangan, upah minimum di Indonesia mengalami
peningkatan terus-menerus dari tahun ke tahun. Gambar 1.1 memperlihatkan trend kenaikan
upah minimum dibandingkan dengan upah rata-rata industri kecil. Terlihat bahwa mulai tahun
1997, rata-rata upah minimum meningkat cepat dibandingkan dengan rata-rata industri kecil.
Hingga tahun 2000, upah minimum dan upah industri kecil hamper sama, yaitu sekitar Rp 200
ribu per bulan. Namun, setelah tahun 2001 upah minimum meningkat cepat, sedangkan upah
industri kecil meningkat lebih lambat. Data ini juga menggambarkan bahwa industri kecil tidak
mampu membayar upah sesuai dengan upah minimum.

Gambar 1.1 Perbandingan Upah Rata-Rata Industri Kecil dan Rata-Rata Upah Minimum
Provinsi secara Nasional (dalam Ribuan Rupiah)
Sumber: Situs web BPS (www.bps.go.id) Field Code Changed
Meningkatnya upah minimum yang cepat ini disebabkan oleh adanya kebijakan otonomi
daerah yang mulai berlaku 1 Januari 2001 yang memberi kewenangan daerah untuk
menetapkan sendiri upah minimum. Dengan adanya kebijakan ini, wewenang untuk
menetapkan tingkat upah minimum dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di
tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Terdapat tanda-tanda awal bahwa pengalihan wewenang
ini mungkin akan semakin meningkatkan kenaikan upah minimum di beberapa daerah. Hal ini
menimbulkan keprihatinan bahwa pemerintah daerah mungkin lebih mudah menyerah
terhadap tekanan-tekanan agar memberlakukan pendekatan yang lebih populis dalam
kebijakan social, terutama soal upah minimum (SMERU, 2001).
Bagaimana tanggapan perusahaan dengan adanya kebijakan upah minimum ini? Hasil
penelitian SMERU (SMERU, 2013) menyebutkan bahwa ada empat karakteristik perusahaan
dalam menanggapi penerapan upah minimum, sebagai berikut.
1. Perusahaan-perusahaan industry yang bersifat padat modal (capital intensive), seperti
industry suku cadang kendaraan (spare parts) dan kimia/farmasi mampu memberikan
tingkat upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan industry yang
bersifat padat karya (labor intensive), seperti industry makanan/minuman, tekstil, garmen,
dan sepatu.
2. Perusahaan besar dapat memberikan tingkat upah yang lebih tinggi dari upah minimum
dibandingkan perusahaan yang lebih kecil.
3. Perusahaan dengan modal asing umumnya memberikan upah di atas upah minimum
dibandingkan dengan perusahaan dengan modal domestik.
4. Perusahaan-perusahaan yang mengekspor hasil produknya, umumnya dapat memberikan
upah lebih tinggi disbanding upah minimum yang berlaku pada perusahaan yang pasarnya
di dalam negeri.
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan upah
minimum hanya berdampak pada perusahaan skala kecil dan yang bersifat padat karya. Hal ini
karena perusahaan-perusahaan tersebut umumnya mengandalkan upah buruh murah dalam
proses produksinya. Pada perusahaan-perusahaan kecil yang tidak mampu membayar upah
minimum akan mengambil keputusan untuk hanya merekrut pekerja dengan status pekerja
kontrak atau sebagai pekerja borongan, atau mengubah status pekerja harian menjadi pekerja
borongan. Hal ini secara tidak langsung akan memperburuk kondisi buruh karena mereka tidak
akan menerima jaminan social, seperti asuransi kesehatan atau tunjangan sebagaimana buruh
tetap.
Tujuan penetapan upah minimum pada hakekatnya adalah melindungi buruh dari
eksploitasi perusahaan karena dibayar sangat rendah, sehingga tidak mampu membiayai
kehidupannya. Menurut Manning (2002), di negara-negara maju, penetapan upah minimum
tidak dimaksudkan untuk menaikkan upah rata-rata semua pekerja di semua sektor. Tujuan
penetapan upah minimum adalah untuk meningkatkan upah buruh yang paling tereksploitasi
di industry-industri tertentu, atau untuk dijadikan “dasar” tingkat upah. Di banyak negara-
negara Asia Timur, upah minimum bukanlah factor penggerak kenaikan penghasilan pekerja,
meskipun Singapura, misalnyamemiliki pedoman penetapan upah yang harus ditaati oleh
perusahaan-perusahaan swasta. Negara-negara Asia Timur yang telah berhasil meningkatkan
perekonomiannya, memperbaiki kesejahteraan pekerja dan menanggulangi kemiskinan dengan
cara menciptakan lapangan pekerjaan baru yang lebih baik, seperti disebut diatas, dan juga
dengan cara melakukan investasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt

Anda mungkin juga menyukai