Anda di halaman 1dari 15

Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta 1

FENOMENA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA)


PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA

Oleh: Marshellena Devinta / Nur Hidayah dan Grendi Hendrastomo


UNY

Marshellenadevinta@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penyebab yang melatarbelakangi proses
terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta dan mendeskripsikan
dampak culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta. Penelitian ini merupakan
penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sumber data yang diperoleh
melalui kata-kata dan tindakan, sumber tertulis serta foto. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Subjek dalam
penelitian ini adalah mahasiswa perantau dari luar Jawa yang terdiri dari empat orang
informan mahasiswa perantau semester awal dan empat orang informan mahasiswa perantau
semester lanjut. Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah teknik purposive
sampling. Teknik validitas data menggunakan teknik triangulasi sumber. Teknik analisis data
menggunakan model analisis interaktif yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini menunjukan bahwa penyebab yang
melatarbelakangi proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta
terbagi atas penyebab internal dan eksternal. Culture shock yang terjadi pada setiap individu
memiliki gejala dan reaksi dalam bentuk stress mental maupun fisik yang berbeda-beda
mengenai sejauhmana culture shock mempengaruhi kehidupannya. Pengalaman culture shock
bersifat normal terjadi pada mahasiswa perantauan yang memulai kehidupannya di daerah
baru dengan situasi dan kondisi budaya yang berbeda dengan daerah asalnya. Empat fase
dalam culture shock yaitu fase optimistik (fase pertama), masalah kultural (fase kedua), fase
recovery (fase ketiga) dan fase penyesuaian (fase terakhir). Dampak culture shock pada
mahasiswa perantauan di Yogyakarta terdapat pada fase terakhir dalam culture shock yang
ditunjukkan dengan adanya tindakan adaptasi budaya yang diaplikasikan oleh mahasiswa
perantauan di Yogyakarta sebagai tempat rantauan.

Kata Kunci: Mahasiswa Perantauan, Culture Shock, Adaptasi Budaya


2 Jurnal Pendidikan Sosiologi 2015

PHENOMENON OF CULTURE SHOCK


OVERSEAS STUDENTS IN YOGYAKARTA

Abstract

The purpose of this study was to describe the cause behind the process of culture shock on
overseas students in Yogyakarta and describe the impact of culture shock on overseas
students in Yogyakarta. This research is a study using qualitative descriptive approach.
Source of data obtained through words and actions, written sources and photographs. Data
collection techniques used in this study were interviews, observation and documentation.
Subjects in this study were students nomads from outside Java, which consists of four
informants beginning of the semester students of nomads and nomads student informant four
further semesters. Informant selection technique used was purposive sampling technique.
Techniques validity of the data using triangulation techniques. Data were analyzed using an
interactive model that consists of data collection, data reduction, data presentation, and
conclusion. This study shows that the causes underlying the process of culture shock on
overseas students in Yogyakarta are divided into internal and external causes. Culture shock
happens to every individual has symptoms and reactions in the form of mental and physical
stress that is different about the extent to which culture shock affects life. Experience culture
shock is normal in overseas students who begin life in a new area to the circumstances of
different cultures to the region of origin. Four phases of culture shock is optimistic phase
(first phase), cultural issues (the second phase), the phase of recovery (third phase) and phase
adjustment (last phase). The impact of culture shock on overseas students in Yogyakarta are
the final phase in the culture shock that is indicated by the presence of cultural adaptation
measures applied by overseas students in Yogyakarta as a destination.

Keywords: Students Overseas, Culture Shock, Cultural Adaptation


Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta 3

PENDAHULUAN merupakan salah satu kota tujuan


Sebagian besar mahasiswa identik pendidikan yang banyak menarik minat
dengan perantau, lokasi universitas yang para perantau untuk datang dan
tersebar di kota-kota besar Indonesia melanjutkan pendidikan ke berbagai
dengan tingkat kualitas berbeda-beda perguruan tinggi yang terdapat di kota
memunculkan pandangan berbeda pada Yogyakarta. Semakin banyak mahasiswa
masing-masing calon mahasiswa dalam perantau yang datang untuk menuntut ilmu
menentukan pilihan universitas. di Yogyakarta menyebabkan dinamika
Bercampurnya mahasiswa dengan identitas pelajar yang juga semakin tinggi karena di
budaya yang berbeda-beda dalam suatu sanalah pertemuan emosional kolektif
daerah bukanlah hal baru yang terjadi di putera puteri Indonesia dari Sabang hingga
Indonesia. Merauke diatas “Bhineka Tunggal Ika”
Hal tersebut disebabkan oleh yang diwujudkan dengan niat menuntut
tingginya tingkat gerak sosial geografis ilmu diberbagai perguruan tinggi
oleh seorang individu atau kelompok Yogyakarta.
individu di atas kemajemukan budaya, Para pelajar rantauan inilah awal mula
suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat terbentuknya keanekaragaman budaya dan
dan sebagainya yang terdapat di Indonesia memunculkan nuansa multikultural yang
yang sangat memungkinkan terjadinya ada di kota Yogyakarta baik di lingkungan
kontak budaya diantara penduduk tempat-tempat perguruan tinggi hingga
Indonesia. lingkungan tempat tinggal sementara
Maka tidak heran jika potensi (seperti kos) para mahasiswa perantau
terjadinya kekagetan budaya di antara tersebut. Sehingga tidak heran jika di
para individu perantau yang tinggal di lingkungan sosial kampus terlebih di kota
suatu daerah baru juga akan semakin Yogyakarta yang dikenal sebagai kota
besar. Pada tahap awal kehidupannya di pelajar miniaturnya Indonesia ini akan kita
tempat rantauan ia akan mengalami temui sejumlah mahasiswa yang memiliki
problem ketidaknyamanan terhadap latar belakang budaya berbeda dengan
lingkungan barunya yang kemudian akan karakternya masing-masing yang
berpengaruh baik secara fisik maupun mencerminkan kekhasan budaya dari mana
emosional sebagai reaksi ketika berpindah individu itu berasal.
dan hidup dengan lingkungan baru Selain kota pelajar, Yogyakarta juga
terutama yang memiliki kondisi budaya dikenal sebagai kota budaya yang kental
berbeda. Budaya yang baru dapat dengan budaya Jawa dan masyarakatnya
berpotensi menimbulkan tekanan, karena yang menjunjung tinggi adat istiadat Jawa
memahami dan menerima nilai-nilai dalam tata perilaku mereka sehari-hari
budaya lain bukanlah hal yang instan serta berupa tata krama, unggah-ungguh, nilai-
menjadi sesuatu hal yang tidak dapat norma, misalnya saja dari segi bahasa,
sepenuhnya berjalan dengan mudah. sebagian besar masyarakat Yogyakarta
Culture shock (gegar budaya) pertama menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa
kali diperkenalkan oleh antropologis sehari-hari yang terkenal sopan, halus serta
bernama Oberg pada tahun 1960 untuk bernada rendah. Sedangkan mahasiswa-
menggambarkan respon yang mendalam mahasiswa perantau yang memilih
dan negatif dari depresi, frustasi, dan berkuliah di Yogyakarta memiliki
disorientasi yang dialami oleh individu- karakteristik sosial budaya yang tentu saja
individu yang hidup dalam suatu berbeda dengan kondisi sosial budaya kota
lingkungan budaya yang baru (dikutip dari Yogyakarta. Sehingga kondisi perbedaan
Dayakisni, 2012: 265). budaya yang ada diantara mahasiswa
Yogyakarta adalah salah satu propinsi perantauan maupun dengan penduduk
yang terletak di pulau Jawa yang juga pribumi sebagai tuan rumah ini tentunya
4 Jurnal Pendidikan Sosiologi 2015

dapat menimbulkan reaksi psikis berupa norma-norma yang individu peroleh


kekagetan budaya yang biasanya diikuti sepanjang perjalanan hidup sejak individu
dengan munculnya hal-hal tidak tersebut lahir (Mulyana, 2006:175).
menyenangkan yang disebabkan oleh Samovar menyatakan bahwa orang
perbedaan-perbedaan sosial budaya biasanya melewati empat tingkatan culture
diantara mereka yang dipertemukan dalam shock. Keempat tingkatan ini dapat
satu tempat yang sama yaitu Yogyakarta. digambarkan dalam bentuk kurva U,
Melalui konsep culture shock sehingga disebut U – Curve.
diperkenalkan oleh Oberg (1960) yang 1) Fase optimistik, fase pertama yang
kemudian disempurnakan oleh Furnham digambarkan berada pada bagian kiri
dan Bochner (1970) menunjukkan bahwa atas dari kurva U. Fase ini berisi
culture shock terjadi biasanya dipicu oleh kegembiraan, rasa penuh harapan, dan
salah satu atau lebih dari tiga penyebab euforia sebagai antisipasi individu
berikut ini, yaitu: sebelum memasuki budaya baru.
1) Kehilangan cues atau tanda-tanda 2) Masalah kultural, fase kedua di mana
yang dikenalnya. Padahal cues adalah masalah dengan lingkungan baru mulai
bagian dari kehidupan sehari-hari berkembang, misalnya karena kesulitan
seperti tanda-tanda, gerakan bagian- bahasa, system lalu lintas baru, sekolah
bagian tubuh (gestures), ekspresi baru, dan lain-lain. Fase ini biasanya
wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan ditandai dengan rasa kecewa dan
yang dapat menceritakan kepada ketidakpuasan. Ini adalah periode
seseorang bagaimana sebaiknya krisis dalam culture shock. Orang
bertindak dalam situasi-situasi menjadi bingung dan tercengang
tertentu. dengan sekitarnya, dan dapat menjadi
2) Putusnya komunikasi antar pribadi frustasi dan mudah tersinggung,
baik pada tingkat yang disadari yang bersikap permusuhan, mudah marah,
mengarahkan pada frustasi dan tidak sabaran, dan bahkan menjadi
kecemasan. Halangan bahasa adalah tidak kompeten.
penyebab jelas dari gangguan ini. 3) Fase recovery, fase ketiga dimana
3) Krisis identitas dengan pergi keluar orang mulai mengerti mengenai
daerahnya seseorang akan kembali budaya barunya. Pada tahap ini, orang
mengevaluasi gambaran tentang secara bertahap membuat penyesuaian
dirinya (dikutip dari Dayakisni, 2012: dan perubahan dalam caranya
265). menanggulangi budaya baru. Orang-
Culture shock dapat terjadi dalam orang dan peristiwa dalam lingkungan
lingkungan yang berbeda mengenai baru mulai dapat terprediksi dan tidak
individu yang mengalami perpindahan dari terlalu menekan.
satu daerah ke daerah lainnya dalam 4) Fase penyesuaian, fase terakhir, pada
negerinya sendiri (intra-national) dan puncak kanan U, orang telah mengerti
individu yang berpindah ke negeri lain elemen kunci dari budaya barunya
untuk periode waktu lama (Dayakisni, seperti nilai-nilai, adab khusus, pola
2012: 266). komunikasi, keyakinan, dan lain-lain
Oberg lebih lanjut menjelaskan bahwa (Samovar, Richard dan Edwin, 2010:
hal-hal tersebut benar dipicu oleh 169).
kecemasan yang timbul akibat hilangnya
tanda dan lambang hubungan sosial yang METODE PENELITIAN
selama ini familiar dikenalnya dalam
interaksi sosial, seperti petunjuk-petunjuk Jenis penelitian
dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, Penelitian ini menggunakan metode
ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau penelitian deskriptif kualitatif.
Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta 5

Waktu dan Tempat Penelitian pengumpulan data, tahapan kedua adalah


Penelitian telah dilaksanakan tahap reduksi data, tahapan ketiga adalah
dalam kurun waktu kurang lebih pada tahap sajian data, tahapan keempat adalah
bulan September 2013 sampai dengan tahap penarikan kesimpulan dan tahap
selesai, terhitung sejak pemilihan judul verifikasi.
dan pelaksanaan penelitian sampai pada
penyusunan laporan penelitian sebagai HASIL PENELITIAN DAN
hasil dari penelitian. Lokasi penelitian PEMBAHASAN
tentang “Fenomena Culture Shock Pada
Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta” ini 1. Penyebab Yang Melatarbelakangi
dilakukan di Yogyakarta. Proses Terjadinya Culture Shock
Pada Mahasiswa Perantauan Di
Sumber Data Yogyakarta
Penelitan ini menggunakan sumber Dalam penelitian ini, konsep
data berupa berupa catatan lapangan, mahasiswa perantauan menggunakan
transkrip wawancara yang dicatat melalui definisi Mochtar Naim, ia
catatan tertulis maupun melalui perekam menyebutkan merantau merupakan tipe
audio tape, majalah, surat kabar, laporan khusus dari migrasi dengan konotasi
tahunan, artikel surat kabar elektronik dan budaya tersendiri yaitu seorang
data statistik mengenai jumlah mahasiswa individu yang datang dari luar daerah,
perantauan di Yogyakarta. meninggalkan kampung halaman atau
tanah kelahiran untuk pergi merantau
Jenis Data ke kota, wilayah atau bahkan luar
Jenis data dalam penelitian ini negeri, dengan kemauan sendiri, dalam
terdiri dari data kualitatif terdiri dari kurun waktu tertentu/untuk jangka
transkip hasil wawancara, catatan waktu lama atau tidak biasanya dengan
lapangan, gambar, foto, rekaman video, maksud kembali pulang, dan dengan
dan lain sebagainya. tujuan melanjutkan pendidikan ke
jenjang perguruan tinggi. Berbagai
Teknik Pengumpulan Data alasan mengapa mereka melanjutkan
Peneliti dalam melakukan studi diluar daerah, antara lain
penelitian ini mengumpulkan data dengan memperluas wawasan, memperoleh
cara wawancara, observasi, dokumentasi pendidikan yang lebih baik,
dan studi kepustakaan. Peneliti mengamati memperoleh pengalaman baru dan
secara langsung fenomena culture shock mengharapkan tingkat kehidupan yang
yang terjadi pada mahasiswa perantauan di lebih baik (Mochtar Naim, 1984: 2).
Yogyakarta. Beberapa daerah yang menjadi
pilihan bagi pelajar dari berbagai
Validitas Data
daerah di Indonesia untuk meneruskan
Dalam menguji keabsahan data
studi ke tingkat pendidikan perguruan
yang diperoleh, peneliti menggunakan
tinggi yaitu kota Jakarta, Bandung,
teknik triangulasi sumber yaitu dengan
Bogor, Yogyakarta, Semarang, Solo,
menggunakan lebih dari satu orang sumber
Malang dan Surabaya. Daerah-daerah
untuk mendapatkan data yang lebih valid
tersebut dikenal memiliki sarana dan
dan dianalisa dengan baik.
prasarana perkuliahan lengkap,
Teknik Analisa Data didukung dengan tempat yang
Teknik analisis data model kondusif dalam proses belajar
interaktif menurut Miles & Hubermen mengajar dan mampu menghasilkan
terdiri atas empat tahapan yang harus daya saing prestasi tinggi antar
dilakukan. Tahapan pertama adalah tahap universitas
6 Jurnal Pendidikan Sosiologi 2015

Yogyakarta sebagai kota pelajar dikenalnya dalam interaksi sosial,


didukung oleh pemerintah daerah terutama terjadi ketika individu
D.I.Yogyakarta dengan di dirikannya tersebut hidup di luar lingkungan
perpustakaan sebagai salah satu sarana kulturnya dan tinggal dalam budaya
mendapatkan informasi pada tahun baru dalam jangka waktu yang relatif
2013 tercatat sebanyak 3.408 unit. lama (dikutip dari Mulyana dan
Sebagian besar merupakan Rahman, 2006: 174).
perpustakaan sekolah yaitu 85,45%, Sebagai makhluk sosial mereka
sedangkan perpustakaan desa 12,85%, dituntut untuk mampu menyesuaikan
perpustakaan umum 0,18%, diri terhadap lingkungan sekitarnya
perpustakaan keliling 0,56% dan yang baru. Dalam lingkungan yang
perpustakaan internet sebesar 0,97% baru tersebut akan memungkinkan
(BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam terdapatnya tuntutan-tuntutan untuk
Angka, 2014: 110). dapat mampu memahami budaya yang
Sehingga menjadi fenomena wajar berlaku, dan respon yang mereka
jika Yogyakarta terlihat sebagai daerah berikan tidak selalu dapat langsung
yang multietnik, tingginya tingkat menunjukkan hasil yang dikehendaki
karakteristik sosial budaya di dikarenakan adanya perbedaan bahasa,
Yogyakarta ini disebabkan oleh arus adat-istiadat, tata cara dalam
datang budaya asing yang ikut terbawa berhubungan atau berkomunikasi, yang
masuk oleh individu perantau ke dalam kesemuanya memerlukan proses dalam
Yogyakarta. mempelajari suatu hal baru yang
Mahasiswa perantauan sendiri kemudian akan dipahami dan
peneliti menyimpulkan sebagai yaitu diterapkan oleh individu perantau
seorang mahasiswa yang berasal dari dalam kehidupan sehari-harinya
lingkungan yang secara budaya ditempat rantauan. Hal inilah yang
berbeda dengan daerah tempat menimbulkan gegar budaya bagi
rantauan. Mereka datang dengan tujuan mahasiswa perantau, menghasilkan
berkuliah, menetap dalam kurun waktu sejumlah reaksi yang berpotensi
tertentu/untuk jangka waktu lama atau mengakibatkan masalah yang
tidak yang biasanya dengan maksud mengganggu pada diri Individu
kembali pulang dan dengan satu hal perantau. Paling tidak gegar budaya
yang menjadi motivasi utama yaitu dapat menyebabkan perasaan tidak
untuk menyelesaikan studinya di nyaman, lelah hingga putus asa.
perguruan tinggi yang terdapat di Berdasarkan hasil dari wawancara
lingkungan barunya tersebut. dengan delapan orang informan
Culture shock atau dalam bahasa mahasiswa perantau di Yogyakarta
Indonesia disebut gegar budaya, adalah maka peneliti menemukan penyebab
istilah untuk menggambarkan keadaan culture shock serta gejala dan reaksi
dan perasaan seseorang dalam culture shock pada mahasiswa
menghadapi kondisi lingkungan sosial perantauan yaitu sebagai berikut:
budaya yang berbeda. Kalervo Oberg a) Penyebab Internal,
mendefinisikan culture shock sebagai Psikologis yang menunjukkan
penyakit kecemasan yang diderita oleh kemampuan intrapsikis untuk
individu dalam usaha menyesuaikan menghadapi lingkungan baru yang
diri terhadap lingkungan baru yang di kehendaki oleh pusat kendali
berbeda dengan budaya asal, dipicu internal (Dayakisni, 2012: 270).
oleh kecemasan yang timbul akibat Dari hasil wawancara yang
hilangnya tanda dan simbol hubungan peneliti peroleh menunjukkan
sosial yang selama ini familiar bahwa pengaruh intrapersonal
Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta 7

dalam diri individu, seperti dalam masyarakat serta perbedaan


keterampilan berkomunikasi, perilaku warga tuan rumah.
pengalaman dalam setting lintas (1) Pola, jenis, rasa dan porsi
budaya, kemampuan bersosialisasi makan
dan ciri karakter individu (toleransi Salah satu perbedaan
atau kemandirian berada jauh dari terbesar antara pendatang
keluarga sebagai orang-orang dengan tuan rumah yang
penting dalam hidupnya yang biasanya menjadi masalah
berperan dalam sistem dukungan bagi individu pendatang itu
dan pengawasan) benar ialah makanan. Pola, jenis,
berpengaruh pada besar-kecil rasa dan porsi makan
terjadinya penyebab culture shock seseorang sangat berkaitan
pada diri individu. erat dengan kultur dimana ia
Peneliti menyimpulkan bahwa tinggal dan telah melekat pada
pada umumnya individu yang diri individu. Oleh karenanya,
belum pernah melakukan ketika individu berada di
pengalaman lintas budaya dan daerah tuan rumah dengan
kurangnya informasi faktual tetang pola, jenis, rasa dan porsi
lingkungan dan lokasi tempat makan yang berbeda, ia akan
rantauan akan lebih mudah mengalami kekagetan dan
mengalami gegar budaya, yang frustasi yang mengarah pada
dikarenakan individu tersebut terjadinya culture shock.
belum cukup siap mempersiapkan Penyebab eksternal pembentuk
strategi terhadap semua hal culture shock yang peneliti
mengenai seperti pemahaman lintas dapatkan dan terbesar karena
budaya pada dirinya di tempat rata-rata semua informan
rantauan sebagai lingkungan paling dominan mengeluhkan
barunya yang kemudian dapat ketidaknyamanan berupa
menjalar pada masalah perbedaan rasa masakan yang
ketidaknyamanan secara luas dan dirasakan oleh mahasiswa
lebih kompleks (mood). perantauan asal luar pulau
jawa.
b) Penyebab Eksternal, (2) Bahasa
Adanya variasi sosiokultural Bahasa daerah merupakan
yaitu kemampuan yang cerminan dari sebuah
berhubungan dengan tingkat kebudayaan yang beradab.
perbedaan budaya yang Bahasa tidak bisa dianggap
mempengaruhi tinggi rendahnya mudah dengan sebelah mata
transisi antara budaya asal ke dewasa ini. Individu yang
budaya baru (Dayakisni, 2012: mengalami kekagetan terhadap
270). budaya baru sering kali
Gegar budaya terjadi lebih dihubungkan dengan masalah
cepat jika budaya tersebut semakin bahasa sebagai salah satu
berbeda, hal ini meliputi perbedaan penghambat yang cukup besar
sosial, budaya, adat istiadat, agama, ketika menetap ditempat yang
iklim, rasa makanan, bahasa, gerak baru. Tidak menguasai atau
tubuh/ ekspresi tubuh hingga bahkan tidak mengerti sama
mimik wajah, cara berpakaian/ sekali bahasa merupakan suatu
gaya hidup, teknologi, pendidikan, hal yang wajar yang
aturan-aturan dan norma sosial
8 Jurnal Pendidikan Sosiologi 2015

menyebabkan timbulnya masalah culture shock atau


culture shock. gegar budaya. Individu
(3) Adat Istiadat perantau merasa gelisah,
Merujuk pada tradisi-tradisi cemas atau bahkan takut tidak
yang biasa dilakukan oleh bisa mengikuti perkembangan
masyarakat di setiap daerah pendidikan di tempat tinggal
yang notebene memiliki ciri barunya sehingga individu
khas kebudayaan yang cenderung merasakan kurang
berbeda satu sama lain. percaya diri. Individu perantau
Adanya suatu tuntutan bagi disini dituntut untuk berpikir
individu perantau untuk keras bagaimana caranya
mampu beradaptasi dengan untuk dapat mengikuti
adat istiadat di daerahnya yang perkembangan pendidikan
baru sebagai bentuk serta mampu
menghargai di lingkungan mengaplikasikannya
tuan rumah dan cara agar dikehidupannya.
mampu untuk membaur. (6) Pergaulan
Namun sayangnya, Ketakutan ini menjadikan
beradaptasi dengan adat individu merasa canggung
istiadat yang baru bukanlah dalam menghadapi situasi
hal yang mudah bagi seorang yang baru, tempat tinggal yang
pendatang, maka individu baru dan suasana yang baru.
cenderung mengalami Akibat ketidak pahaman
kekagetan budaya terutama mengenai pergaulan ini,
dalam hal adat istiadat individu juga akan merasa
tersebut. terasing dengan orang-orang
(4) Gerak tubuh/ ekspresi mimik disekelilingnya yang dirasa
wajah baru baginya. Pada keadaan
Penyebab eksternal seperti ini berpotensi
pembentuk culture shock timbulnya suatu pandangan
berupa perbedaan gerak tubuh/ yang mengarahkan individu
ekspresi mimik wajah yang untuk cenderung memilih
dirasakan oleh mahasiswa berinteraksi menurut
perantauan asal luar pulau kelompok dengan identitas
Jawa. kebudayaan yang sama
(5) Pendidikan sebagai solusi yang paling
Seiring berjalannya waktu tepat bagi individu perantau
bertambahnya jaman, untuk menghindari dari
perkembangan pendidikan pun perbedaan adat istiadat,
semakin melaju pesat. kebiasaan, tingkah laku yang
Perkembangan pendidikan umumnya terjadi dimasyarakat
yang semakin mutakhir ini di lingkungan yang baru.
menyebabkan masyarakat Dengan cara tersebut individu
harus selalu ingin berusaha perantau berharap dapat lebih
untuk mengikuti merasa nyaman yang
perkembangan pendidikan setidaknya sama seperti saat di
agar mampu bersaing di dunia kampung halamannya.
global. Pendidikan juga (7) Geografis
merupakan hal penting dalam Penyebab geografis ini
mempengaruhi timbulnya berkaitan erat dengan kondisi
Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta 9

fisik lingkungan maka hal ini ketika di awal bulan-bulan pertama


dapat berpengaruh secara kehidupannya sebagai perantau,
langsung terhadap kondisi sebelumnya ia akan terlebih dahulu
fisik individu yaitu kondisi mengalami masa perasaan terisolasi
kesehatan yang cenderung dari budayanya yang lama dalam
menurun ketika individu kurun waktu tertentu. Proses
tersebut tinggal di suatu disintegrasi terjadi saat individu
tempat tinggal yang baru, yang semakin sadar adanya berbagai
tentunya jauh berbeda dengan perbedaan antara budaya lama dan
tempat tinggal semula sebagai budaya baru yang diikuti dengan
proses penyesuaian secara penolakan terhadap budaya baru
fisik. inilah masa culture shock atau gegar
(8) Agama budaya inilah fase ke dua culture
Agama dianggap sebagai salah shock mengenai masalah
satu penghambat individu kebudayaan.
dalam usahanya menyesuaikan Pada fase ke dua, masa dimana
di tempat tinggal yang baru, seorang individu perantau yang
namun dengan kadar yang mengidap culture shock menjadi
sangatlah kecil. Individu rentan akan dampak negatif dari
mengalami ketakutan culture shock seperti membentuk
tersendiri terhadap agama suatu stereotip (pencitraan yang
yang menjadi perbedaan yang buruk) terhadap kebudayaan baru
sangat rentan dan tidak bisa hingga timbulnya paham etnosentris
disatukan dengan mudahnya. pada diri individu mahasiswa
perantau dengan memandang rendah
2. Dampak Culture Shock Pada budaya tuan rumah di tempat
Mahasiswa Perantauan Di rantauanya. Persoalan-persoalan
Yogyakarta yang nyata ini menimbulkan
Bentuk-bentuk permasalahan di perasaan agresif seperti mudah
atas merupakan kondisi seseorang tersinggung dan marah pada keadaan
yang mengalami culture shock ketika budaya yang ada di daerah barunya
berpindah ke lingkungan dengan karena dianggap asing yang akhirnya
budaya baru. Seorang individu mereka mencoba mengatisipasinya
perantau mungkin mengalami lebih dengan cara berpaling kepada teman-
dari satu dari masalah tersebut di atas teman sedaerah dengannya yang
bahkan mungkin dapat mengalami ke dianggap akan lebih familiar dan
semua bentuk permasalahan akibat dapat memberikan kenyamanan
culture shock di atas. ketika berkomunikasi dengan cara
Mengenai keempat fase culture pandang yang sama. Seringkali
shock yang dikemukakan Samovar muncul pendewaan terhadap budaya
pada kajian pustaka sebelumnya asal, menganggap budaya asalnya
yakni fase optimistik (fase pertama), adalah budaya yang paling baik dan
masalah kultural (fase kedua), fase mengkritik budaya barunya sebagai
recovery (fase ketiga) dan fase budaya yang tidak masuk akal, tidak
penyesuaian (fase terakhir). menyenangkan dan aneh atau
Hal tersebut sesuai seperti hasil mungkin sebaliknya merasa
pengamatan yang peneliti lakukan dipandang aneh oleh pihak mayoritas
terhadap ke delapan orang informan yang disini merupakan tuan rumah
asal luar pulau Jawa bahwa dalam rantauan. Kondisi mengkritik budaya
kehidupan mereka di Yogyakarta baru ini bisa termanifestasi rasa kesal
10 Jurnal Pendidikan Sosiologi 2015

terhadap budaya baru, menunda- nilai-nilai, pola komunikasi,


nunda untuk mempelajari bahasa kenyakinan, perilaku dan lain
yang terdapat di daerah barunya atau sebagainya. Dimana individu telah
menolak terlibat dengan orang-orang mulai menemukan rasa makanan
di baru tersebut dan juga muncul yang lebih cocok dengan lidah dan
stereotip -stereotip (pencitraan yang perutnya, serta mengatasi iklim yang
buruk) tentang orang-orang dari berbeda, timbul perasaan puas,
budaya baru yang bisa menghalangi mandiri, menikmati pada diri
interaksi yang efektif dengan orang- individu yang bersangkutan sehingga
orang yang ada di tempat yang baru ia mulai nyaman dan dapat berfungsi
dan bukan sedaerah dengannya. dengan baik secara efektif di
Namun demikian, oleh lingkungan barunya tersebut inilah
berjalannya waktu dan tingkat fase penyesuaian fase terakhir
kebutuhan serta kodrat alami culture shock.
manusia yang merupakan makhluk Individu perantau tersebut akan
sosial, secara alami hal ini akan tiba pada titik dimana ia menyadari
diikuti oleh proses integrasi dari bahwa budaya barunya tidak lebih
budaya baru yang akan baik atau lebih buruk antara satu
menghantarkan individu pada dengan yang lainnya, karena
perasaan luluh, naiknya tingkat sekarang muncul pemikiran jika pada
toleransi pada diri yang ditandai setiap budaya memiliki ciri berbeda
dengan timbulnya perasaan tertarik yang berbeda pula dalam menangani
untuk dapat memahami arti bahasa setiap masalah dalam kehidupannya.
setempat, yang kemudian dapat Individu juga dapat menyadari
berlanjut pada keadaan bahwa budaya barunya memiliki
menegosiasikan kebutuhannya banyak hal baik maupun hal buruk
sehingga tumbuh perasaan otonomi yang dapat berpotensi untuk
dalam dirinya. Hingga akhirnya ia mempengaruhi diri individu selama
hampir mencapai kemandirian, ia berada di tempat baru tersebut,
dimana ia mulai menciptakan makna agar ia tahu harus bagaimana
dari berbagai situasinya dan menyikapinya dengan tepat sebagai
perbedaan yang ada akhirnya pengalaman hidupnya. Pada masa ini
berangsur dinikmati dan bertahap akan terjadi proses integrasi dari hal-
mulai diterima oleh diri individu hal baru yang telah dipelajarinya dari
tersebut inilah fase recovery atau fase budaya baru dengan hal-hal lama
ketiga culture shock. yang selama ini dia miliki sehingga
Apabila krisis diri telah mulai muncul perasaan menentukan,
teratasi dengan baik, maka individu memiliki dan menetapkan sebagai
akan bersedia untuk belajar budaya tahap dalam proses pencarian jati diri
baru, memahami berbagai perbedaan dalam diri individu. Ini
norma dan nilai-nilai antara budaya memungkinkan munculnya definisi
asli yang melekat pada dirinya baru mengenai dirinya sendiri.
dengan budaya baru yang saat ini Biasanya pada saat seperti ini
dimasukinya yaitu adaptasi. Hingga individu telah matang dalam
akhirnya ia mulai menemukan arah pengalaman lintas budayanya dan
untuk perilakunya dan bisa memiliki kemampuan untuk hidup
memandang peristiwa-peristiwa di dalam budaya barunya yang berbeda
tempat barunya dengan rasa humor dengan budaya asalnya inilah
karena individu mulai mengerti dari dampak positif dari culture shock.
budaya barunya yang mencakup
Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta 11

Dengan beradaptasi atau mahasiswa perantauan semester awal


meyesuaikan diri dengan budaya di mengalami gangguan mental dan
Yogyakarta, mahasiswa perantau fisik.
akan dapat merasa nyaman tinggal di Mahasiswa perantau yang
Yogyakarta dan permasalahan sebelum merantau selalu terbiasa
culture shock yang terjadi menjalankan dan mengembangkan
terselesaikan. Sehingga untuk budayanya dalam kehidupan sehari-
terjalinnya komunikasi yang efektif hari di daerah asalnya masing-
dan lancar kita harus menerima serta masing, saling berinteraksi satu sama
menyesuaikan diri dengan budaya lain setiap harinya dengan orang-
tempat dimana seorang individu kini orang yang mayoritas memiliki
berada. Sikap menghargai dan kebudayaan sama dan hidup bersama
menerima segala keanekaan/ dalam satu daerah dalam kurun
keheterogenan budaya yang ada akan waktu yang lama. Maka keseluruhan
mempermudah usaha dalam cara hidup tersebut termasuk nilai-
beradaptasi dengan budaya yang nilai, kepercayaan, standar estetika,
baru. Hal ini akan memperlancar ekspresi, linguistik/ bahasa, pola
komunikasi yang terjadi diantara berpikir, nilai-norma, tata perilaku,
individu pendatang dan individu tuan gaya komunikasi yang kesemuanya
rumah menjadi lebih nyaman. terjalin secara terus menerus
Perbedaan culture shock yang mengiringi kelangsungan hidup
dialami oleh mahasiswa perantauan masyarakat dalam kelompok
di yogyakarta yang terdiri mahasiswa lingkungan fisik beserta lingkungan
baru semester awal perkuliahan dan sosial suatu kebudayaannya, hingga
mahasiswa tengah semester lanjut tanpa disadari kemudian membentuk
menunjukkan bahwa mahasiswa baru karakter dan menjadi ciri khas yang
memiliki peluang mengalami culture melekat pada diri masing-masing
shock karena pada mahasiswa individu sejak ia lahir. Akibatnya
perantau semester awal yang baru mahasiswa-mahasiswa perantauan
saja melakukan tahap awal semester awal tersebut masih
pengalaman lintas budaya atau terpelihara dan terbiasa dengan
melakukan mobilitas penduduk yang kebudayaan mereka sendiri.
kita kenal dengan istilah bermigrasi Bertemu dengan seseorang yang
atau merantau secara tiba-tiba untuk berasal dari kebudayaan lain baik
kepentingan pendidikan berkuliah di secara kebetulan atau disengaja
Yogyakarta. secara langsung akan menghadapkan
Ketika seorang individu pada suatu kenyataan perbedaan
mahasiswa perantau dengan latar seperti bahasa, tingkah laku atau
belakang budaya yang berbeda gerakan tubuh, ekspresi mimik
memasuki budaya Yogyakarta yang wajah, yang kesemuanya sangat
jelas berbeda dengan budaya asalnya berbeda dengan bahasa yang selama
sama saja dengan menghadapkan ini familiar untuk didengar, tingkah
individu tersebut dengan situasi- laku atau gerakan tubuh serta
situasi yang berpotensi menimbulkan ekspresi mimik wajah yang selama
keterkejutan, ketidaknyamanan serta ini dikenal atau dilakukan.
kecemasan temporer tidak beralasan Berdasarkan pengamatan
dalam diri individu yang berakibat ternyata dalam peristiwa tersebut,
pada terguncangnya konsep diri dan dapat diketahui bahwa dalam benak
identitas budaya. Kondisi ini dapat individu perantau tersirat jika “ada
menyebabkan sebagian besar banyak yang salah, tidak sesuai dan
12 Jurnal Pendidikan Sosiologi 2015

berbeda” sehingga menimbulkan dengan mengejek, memandang


perasaan tidak nyaman, walaupun rendah dan bertindak secara
kadang-kadang mereka sebenarnya etnosentrik, namun kesemua ini akan
tidak tahu secara pasti mengapa mereda seiring berjalannya waktu
mereka dapat merasa demikian. oleh hakekat kebutuhan utama
Terbiasa dengan kebudayaan sendiri manusia sebagai makhluk sosial yang
membuat kebanyakan orang menjadi tidak akan terlepas dari interaksi
tidak sadar akan hakekat sosial setiap harinya dan semakin
subbudayanya dan mudah mendesak individu perantau
mengkonsumsi bahwa, apa yang ada mengadakan penyaringan serta
atau terjadi adalah memang pelenturan untuk menyesuaikan
seharusnya akan tetap selalu bahkan mulai menerima sebagian
demikian meski sebenarnya budaya dari etnik budaya setempat
kebudayaan atau subbudaya dari unit melalui proses adaptasi yang
sosial apapun selalu berubah dengan pastinya membutuhkan waktu
berjalannya waktu. Inilah masa melalui proses belajar.
culture shock yang harus dihadapi Adaptasi budaya akan
oleh mahasiswa perantauan semester berlangsung baik jika seorang
awal setidaknya hanya berlangsung perantau tersebut memiliki kepekaan
untuk jangka waktu tertentu kultural. Kepekaan ini dapat diasah
Mahasiswa semester lanjut yang melalui kemauan untuk berpikir
telah melalui masa culture shock dalam pola pikir mereka. Kepekaan
melalui proses waktu akan budaya ini merupakan modal yang
menemukan dirinya dalam keadaan amat besar dalam membangun
dapat menilai serta mampu toleransi, rasa pengertian yang akan
membedakan hal yang positif dan tercipta antara perantau dengan
negatif secara seimbang. Mereka budaya masyarakat setempat.
mulai sadar bahwa sebagai Singkatnya culture shock yang
mahasiswa perantau yang memasuki terjadi pada setiap individu
Yogyakarta dengan suatu situasi baru perantauan berbeda-beda mengenai
yang menghadapkannya pada sejauh mana culture shock
kenyataan segala perbedaan yang ada mempengaruhi hidupnya.
diantaranya dengan lingkungan Pada mahasiswa semester lanjut
barunya, selain menjadi mahasiswa yang telah melewati lebih dari satu
ia juga harus menyesuaikan diri tahun tinggal di tempat rantauan
dengan budaya masyarakat setempat. banyak mengalami perubahan
Proses adaptasi secara alami sebagai penyesuaian diri yang
akan dialami oleh setiap mahasiswa individu temukan dalam menghadapi
etnik pendatang sebagai seorang ketegangan karena adanya usaha
individu perantau. Dengan memasuki beradaptasi secara psikis maupun
suatu kebudayaan baru yang tidak sosiologis dan pada masa ini culture
familiar, meski pada awalnya terasa shock telah beralih menjadi
tidak menyenangkan, muncul pengalaman lintas budaya.
ketidakpuasan, ketidaksabaran, Dari data yang peneliti
ketidaknyamanan, kegelisahan, kumpulkan dan pengamatan yang
bahkan kesulitan untuk peneliti lakukan terhadap kedelapan
berkomunikasi akibat segalanya yang informan mahasiswa perantauan asal
terasa asing. Untuk mengatasi rasa luar Jawa, maka peneliti menemukan
ini ada beberapa cara yang ditempuh. hasil bahwa individu perantau pasti
Hingga timbul cara melawan yaitu akan mengalami culture shock
Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta 13

dibulan-bulan pertama KESIMPULAN DAN SARAN


kedatangannya sebagai fase awal dari
culture shock, seiring berjalannya Kesimpulan
waktu kebutuhan serta tuntutan Dari hasil wawancara yang telah
keadaan akan memaksa individu peneliti lakukan pada delapan orang
tersebut melakukan perubahan pada informan mahasiswa perantauan asal luar
cara pandangnya selama ini sekaligus Jawa yang terdiri atas mahasiswa
yang akan menghadapkannya pada perantauan semester awal perkuliahan
fase recovery (fase ketiga) yang serta mahasiswa perantauan semester
kemudian diikuti dengan fase lanjut dan berkuliah di Yogyakarta,
penyesuaian diri atau fase terakhir menunjukkan bahwa masa culture shock
dalam culture shock sehingga gegar akan dialami oleh setiap mahasiswa
budaya yang individu alami perantauan yang baru memasuki tahap
dipastikan akan mulai berangsur semester awal perkuliahan hanya saja
teratasi secara maksimal sampai satu culture shock yang terjadi pada setiap
tahun pertama kehidupannya individu berbeda-beda mengenai sejauh
dilingkungan daerah yang baru mana culture shock mempengaruhi
sebagai dampak pada mahasiswa hidupnya. Pengalaman culture shock
perantau dalam mempelajari banyak bersifat normal terjadi pada mahasiswa
hal tentang kebudayaan baru di luar perantauan yang memulai kehidupannya di
kebudayaannya yang di tunjukkan daerah baru dengan situasi dan kondisi
dengan kemampuan adaptasi budaya lingkungan sosial budaya yang berbeda
yang dilakukan oleh individu dengan daerah asalnya. Tingkat
perantau tersebut gunakan dan keberhasilan dalam mengatasi masalah
diaplikasikan dalam kehidupannya di culture shock sangatlah bergantung dengan
lingkungan barunya kini. Mengenai usaha dan kesungguhan dari masing-
seberapa lama atau tidaknya culture masing individu dalam memegang teguh
shock dialami oleh seorang individu tujuan awal merantau.
perantau peneliti beranggapan hal Dari hasil yang peneliti kumpulkan
tersebut tergantung dengan sejauh menyatakan bahwa culture shock yang
mana seorang individu perantau dialami informan mahasiswa perantau
mampu menyadari akan pentingnya ternyata tidak benar-benar menimbulkan
sikap menghargai dan menerima rasa putus asa permanen dalam
segala keanekaragaman/ menyelesaikan akademiknya. Berbagai
keheterogenan budaya yang ada. Hal rasa ketidaknyamanan akibat perbedaan
ini berarti, jika ingin hidup nyaman lingkungan sosial budaya yang dialami
dan berhasil di lingkungan yang baru oleh mahasiswa perantau di Yogyakarta
maka mau tidak mau individu akan terkikis dengan sendirinya oleh
perantau tersebut harus berjalannya waktu. Kondisi individu yang
menyesuaikan dirinya dengan setiap harinya selalu berada di tengah
lingkungan baru saat ini, sesuai orang-orang berbeda karakter budaya
dengan pepatah tua yang mengatakan didukung dengan padatnya aktivitas
di mana bumi dipijak di situ langit perkuliahan lambat laun menghadapkan
dijunjung. Untuk mendapatkan hasil individu pada proses pembauran dengan
merantau yang baik dan lancar maka individu lainnya sebagai dorongan
usaha yang efektif dilakukan adalah kebutuhan berinteraksi dan kembali pada
menciptakan sikap menghargai dan kodrat bahwa individu merupakan
memahami serta menerima budaya makhluk sosial yang saling membutuhkan
orang lain. Terlebih, kita akan tinggal satu sama lain dalam pengumpulan
sementara waktu di budaya itu.
14 Jurnal Pendidikan Sosiologi 2015

informasi guna mencapai keberhasilan terselesaikan. Selain itu, terjalinnya suatu


tujuannya. komunikasi yang efektif dan lancar hanya
Seorang individu perantau penderita akan terjadi jika individu mau menerima
culture shock yang mulai melakukan dan menyesuaikan diri dengan budaya
interaksi dengan orang-orang baru tempat kita berada. Menghargai dan
disekitar budaya baru akan mendorong menerima segala keanekaan/
terjadinya analisa yang diarahkan kepada keheterogenan budaya yang ada
diri sendiri yang memungkinkan individu mempermudah usaha dalam beradaptasi
untuk menemukan wawasan baru yang dengan budaya yang baru dan akan
dalam dari aspek psikis mengenai dirinya menghasilkan suatu komunikasi yang
sendiri. Struktur baru ini akan semakin berlangsung secara nyaman ditengah
tampak melalui pengalaman emosional perbedaan budaya.
saat berinteraksi dengan budaya baru.
Dalam hal ini, pengalaman interaksi Saran
dengan budaya baru tidak selamanya Berdasarkan kesimpulan dari hasil
negatif, namun sebaliknya akan penelitian tentang fenomena culture shock
mendorong individu untuk mengenali (gegar budaya) mahasiswa perantauan di
dirinya secara lebih dalam sehingga Yogyakarta, peneliti memberi saran bagi
mampu menjadikan dirinya lebih fleksibel calon mahasiswa perantau ntuk mengatasi
untuk menyesuaikan diri dengan budaya culture shock dengan baik sebagai berikut:
baru. Proses penemuan makna baru karena a) Sebelum berangkat ke daerah baru
pengaruh budaya baru akan berlangsung yang akan dimasukinya sebaiknya
secara alami dan menghantarkan individu terlebih dahulu mencari informasi pada
pada penyesuaian diri dengan lingkungan sumber yang terpercaya tentang
baru. keadaan, situasi sosial dan budaya
Dalam penelitian ini peneliti setuju yang ada di daerah tersebut. Hal ini
dengan pendapat samovar bahwa individu akan membantu individu untuk lebih
akan mengalami culture shock saat satu familiar dengan daerah yang akan
minggu pertama kedatangannya dan akan dimasukinya dan memunculkan
teratasi sampai satu tahun pertama. gambaran akan lingkungan barunya.
Mahasiswa baru memiliki peluang b) Memiliki tujuan merantau yang jelas.
mengalami tahap culture shock yaitu tahap Selalu menjaga prioritas utama,
optimistik hingga tahap crisis culture dan berjuang dan berdoa akan membantu
mahasiswa semester lanjut yang sudah individu mengatasi culture shock.
lebih lama tinggal di Yogyakarta telah Tingkat keberhasilan akademik sangat
melalui tahap yang lebih jauh baik tahap bergantung dengan konsentrasi, usaha
recovery hingga tahap penyesuaian serta kesungguhan dari masing-masing
integration. individu dalam memegang teguh
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan awal merantau.
jalan keluar dari culture shock yang c) Kesiapan diri merupakan salah satu
baiknya dilakukan oleh mahasiswa syarat yang harus terpenuhi sebelum
perantau yaitu beradaptasi dengan individu memutuskan untuk memulai
menerima dan memahami budaya di hidup di daerah rantauan, terlebih jika
Yogyakarta. Dengan beradaptasi dan seorang individu memang belum
meyesuaikan diri dengan budaya di pernah mengenal secara nyata
Yogyakarta mahasiswa pendatang atau bagaimana kondisi sosial budaya yang
perantau dapat menciptakan perasaan lebih ada di daerah rantauan tersebut.
nyaman tinggal di Yogyakarta dan Kesiapan diri sangat diperlukan
permasalahan ketegangan akibat sebagai bekal yang menentukan
perbedaan budaya yang terjadi keberhasilan penyesuaian diri yang
Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta 15

baik dalam menghadapi banyak hal BPS Yogyakarta. (2014). Daerah Istimewa
perbedaan ketika mulai hidup dalam Yogyakarta Dalam Angka.
suatu daerah baru dengan budaya. Kerjasama dengan BAPPEDA
d) Memiliki kepekaan budaya, kepekaan Provinsi D.I.Yogyakarta: Badan
ini dapat diasah melalui kemauan Pusat Statistik Daerah Istimewa
untuk berpikir dalam pola pikir Yogyakarta
individu. Kepekaan budaya ini
merupakan modal yang amat besar
dalam membangun toleransi dan rasa
saling pengertian ditengah-tengah
situasi perbedaan budaya yang ada.
e) Menghargai budaya yang ada di tempat
rantauan, bersikap terbuka dengan
menerima lingkungan sosial budaya
yang baru disekitarnya, menciptakan
interaksi yang efektif dan meluaskan
jaringan pertemanan yang baru baik di
lingkungan perkuliahan maupun
lingkungan tempat tinggal akan
membantu menumbuhkan perasaan
nyaman pada diri individu sehingga
dapat meminimalisir kecemasan yang
berkelanjutan yang disebabkan oleh
efek culture shock.
DAFTAR PUSTAKA

Dayakisni, Tri. (2012). Psikologi lintas


budaya. Malang : UMM Press.

Larry A. Samovar, Richard. L. Porter &


Edwin. R. Mcdaniel. (2010).
Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika

Mulyana, D, Rahman, J. (2006).


Komunikasi antar budaya panduan
berkomunikasi dengan orang-orang
berbeda budaya. 7th Ed. Bandung:
Rosda Karya

Mochtar Naim. (1984). Merantau pola


migrasi suku Minangkabau.
Yogyakarta: Gajah Mada University
Press

Anda mungkin juga menyukai