Anda di halaman 1dari 28

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit yang menyerang
jaringan paru disebabkan infeksi basil Mycobacterium tuberculosis.(Depkes
RI, 2014). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan TB
Paru sebagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex (PDPI, 2011). Tuberkulosis (TB) merupakan suatu
penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru
(Kemenkes RI, 2015).
B. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) sampai sekarang ini masih menjadi persoalan yang global,
World Health Organization tahun 2011 menyatakan penyakit ini setiap
tahunnya menginfeksi sekitar 9.000.000 orang dan membunuh hampir
1.400.000 orang di seluruh dunia. Di wilayah Asia Timur dan juga Selatan
merupakan penyumbang kasus terbesar yaitu 40% atau 3.500.000 kasus
setiap tahunnya, dengan angka kematian yang cukup tinggi yaitu 26 orang
per 100.000 penduduk.

C. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang
1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan
Asam (BTA). Kuman tuberculosis cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat atau tertidur atau dormant
lama dalam beberapa tahun(PDPI, 2011).

D. Cara Penularan
3
Penularan tuberkulosis paru adalah melalui percikan dahak
(droplet). Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA (+),
namun bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil BTA (-) tidak
mengandung kuman di dalam dahaknya. Tingkat penularan pasien dengan
BTA (+) mencapai 65%, pasien BTA (-) dengan kultur dahak (+) adalah
26% dan pasien BTA (-) dengan kultur (-) dan foto toraks positif adalah
17%. Pada waktu penderita tuberkulosis paru batuk atau bersin
menyebarkan kuman melalui udara. Dengan demikian, penularan penyakit
TB terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular
(terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruang kerja yang
sama. Penderita TB sering tidak tahu bahwa ia menderita tuberkulosis.
Droplet yang mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada suhu
kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Secara umum penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi
jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang
gelap dan lembab. Orang lain dapat terinfeksi kala droplet tersebut terhirup
ke dalam saluran pernapasan.2
E. Patogenesis
Perjalanan penyakit Tuberkulosis ini dibagi menjadi dua, yaitu
tuberkulosis primer dan tuberkulosis pasca primer (tuberkulosis sekunder)
(Depkes RI, 2014).

a. Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.
Partikel infeksi dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam,
tergantung pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk
dan kelembapan. Dalam suasana lembap dan gelap kuman dapat
bertahan berhari hari sampai berbulan bulan. Bila partikel infeksi ini
terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau
4
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar apabila ukuran partikel
<5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil,
kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
akan dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan
trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh
lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek
primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di
setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura maka
terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran
gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan
menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal dan tulang. Bila
masuk ke arteri pulmonalis maka terjadilah penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar
getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis
lokal ditambah limfadenitis regional membentuk komplek primer
(Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Komplek
primer ini selanjutnya dapat menjadi (WHO, 2014):
- Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
- Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang
luasnya >5 mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi
karena kuman yang dormant.
- Berkomplikasi dan menyebar secara a) per kontinuitatum, yakni
menyebar ke sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru yang
bersangkutan maupun paru di sebelahnya, kuman dapat juga tertelan

5
bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c) secara
limfogen, ke organ organ tubuh lainnya, d) secara hematogen, ke organ
tubuh lainnya.
b. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi
tuberkulosis dewasa (TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas
reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas
menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS,
dan gagal ginjal. Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini
yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal posterior lobus superior
atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak
ke nodus hilus paru.TB sekunder juga dapat berasal dari infeksi
eksogen dari usia muda menjadi usia tua (elderly tuberculosis).
Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas pasien,
sarang dini ini dapat menjadi (WHO, 2014):
- Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
- Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras
sehingga menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai
granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan
bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk
jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadi kavitas.
Kavitas ini mula mula berdinding tipis, lama lama dindingnya menebal
karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga
menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkejuan dan kavitas
adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF- nya.

6
F. Klasifikasi Tuberculosis
Klasifikasi tuberkulosis adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2014):

a. Berdasarkan letak anatomi penyakit


- Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim
paru. Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru
karena letak lesinya yang terletak dalam paru. Pasien yang
mengalami TB paru dan ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB
paru.
- Tuberkulosis ekstraparu adalah TB yang mengenai organ
lainnya selain paru seperti pleura, kelenjer getah bening
(termasuk mediastinum dan atau hilus), abdomen, traktus
genitourinarius, kulit, sendi tulang dan selaput otak. Kasus TB
ekstra paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah
diupayakan semaksimal mungkin dengan konfrimasi
bakteriologis.

b. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya


pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan
TB terakhir, yaitu:
• Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi).
7
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan
pasien setelah putus berobat /default).
• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Pengelompokan pasien disini be rdasarkan hasil uji kepekaan contoh
uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa
:
• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT
lini pertama saja.
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan.
• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang
sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis
suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin
dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional).

8
d. Berdasarkan status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien koinfeksi TB-HIV) : adalah
pasien TB dengan :
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau
 Hasil tes HIV positif saat diagnosis TB.

2) Pasien TB dengan HIV negatif : adalah pasien TB dengan :


 Hasil tesh HIV negatif sebelumnya, atau
Hasil tes HIV negatif saat diagnosis TB
G. Gejala Klinis

1. Gejala Respiratorik
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan. Batuk terjadi karena iritasi bronkus yang
pada awalnya tidak berdahak, tetapi karena terjadi peradangan maka
batuk akan menjadi produktif. Biasanya batuk ringan sehingga
dianggap batuk biasa. Apabila batuk telah berlangsung lebih dari 2
minggu, maka harus dipikirkan adanya TB (PDPI, 2011).
b. Dahak
Dahak bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian
berubah menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai
purulen. Dahak berubah menjadi kental apabila sudah terjadi
perlunakan (PDPI, 2011).
c. Batuk darah (hemoptysis)
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau
bercak-bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar
dalam jumlah sangat banyak. Keadaan ini terjadi akibat pecahnya
aneurisma (Rasmussen’s aneurysm) pada pembuluh darah yang
berdilatasi di kavitas atau dari formasi aspergiloma pada kavitas
lama. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar atau
kecilnya pembuluh darah yang terkena (PDPI, 2011).
9
d. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan
napasnya (PDPI, 2011).
e. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak
napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
2. Gejala Sistemik
a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang
kadang panas badan dapat mencapai 40-41oc. Serangan demam
dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.
Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan
berat ringannya infeksi Tuberkulosis yang masuk(PDPI, 2011).
b. Malaise dan nafsu makan berkurang
Tuberkulosis bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa
tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan makin
kurus, sakit kepala dan mudah lelah (PDPI, 2011).
H. Diagnosis TB
Definisi pasien TB dapat dibagi berdasarkan hasil konfirmasi
pemeriksaan Bakteriologis dan berdasarkan diagnosis klinis (Depkes RI,
2014):
1) Berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis
Seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasarkan hasil
pemeriksaan contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis
langsung, biakan atau tes diagnostik cepat yang direkomendasi oleh
Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert). Termasuk dalam kelompok
pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif

10
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat


tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah
belum.

2) Berdasarkan diagnosis klinis


Pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis
tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan
untuk diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring.

Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian


terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah
memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis.

Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.

 Anamnesis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan lain

11
berupa dahak berca,put darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisis, demam meriang lebih dari satu bulan.
Riwayat dengan keluhan yang sama sebelumnya perlu ditanyakan
beserta dengan riwayat pengobatannya. Adanya keluarga atau tetangga
yang memiliki keluhan yang sama dapat lebih mengarahkan diagnosis
sebagai TB. Perlu juga ditanyakan mengenai pencahayaan dan sirkulasi
udara dirumah (ventilasi).

 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
didapatkan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia,
demam, badan kurus dan berat badan turun (Depkes RI, 2014).
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian
apeks
(puncak) paru. Apabila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka
didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial.
Akan didapatkan juga suara napas tambahan seperti ronkhi basah, kasar
dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
napas menjadi vesikuler yang melemah. Bila terdapat kavitas yang
cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan
auskultasi memberikan suara amforik(Depkes RI, 2014).
Pada pleuritis TB kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau
pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak
terdengar pada posisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB
terlihat pembesaran kelenjar getah bening tersering didaerah leher
kadang didaerah ketiak. Pembesaran tersebut dapat menjadi cold
abscess (PDPI, 2011).
 Pemeriksaan Laboratorium

12
Beberapa penunjang laboratorium bisa membantu dalam
menegakkan diagnosis TB. Tetapi tidak semua pemeriksaan ini harus
dilakukan, sesuaikan dengan keperluan penunjang saja.
a. Darah
Pada saat TB paru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit
yang sedikit meninggi, laju endap darah mulai meningkat. Hasil
pemeriksaan darah lain juga didapatkan :
1. Anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer.
2. Gama globulin meningkat
3. Kadar natrium darah meningkat. Pemeriksaan tersebut tidak spesifik.

b. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB


Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF.
TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.

c. Dahak / Sputum
Hingga sekarang prinsip penemuan BTA tetap merupakan salah
satu pilihan utama, dengan beberapa alasan antara lain murah, objektif
dan spesifik. Teknik pewarnaan yang kini banyak digunakan adalah
Ziehl Neelsen. Dibutuhkan tiga spesimen dahak untuk menegakkan
diagnosis TB. Untuk kenyamanan penderita, pengumpulan dahak
dilakukan dengan prinsip Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Pemeriksaan
bakteriologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan sedian langsung
dengan mikroskop biasa, mikroskop fluorensens atau biakan kuman
(Depkes RI, 2014).

1. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari

13
kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)
(Depkes RI, 2014):
• S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa
sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas
di fasyankes.
• S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan
dahak pagi.

2. Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium
tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti
TB pada pasien tertentu, seperti (Depkes RI, 2014).:
• Pasien TB ekstra paru.
• Pasien TB anak.
• Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang
terpantau mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan
menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk
memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat
tersebut.
Diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikrokopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga
spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila ke tiga spesimen
dahaknya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas selama 2 minggu.

14
Apabila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan
TB dilakukan pengulangan pemeriksaan dahak SPS dengan kriteria
sebagai berikut (Depkes RI, 2014):
a. Hasil SPS positif maka didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
b. Hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks untuk
mendukung diagnosis TB.

c. Tes Tuberkulin
Dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis
terutama pada anak anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni
dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.D.D (Prurified Protein
Derivative) intrakutan. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah
seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M.
Tuberkulosis, M. Bovis, vaksinasi BCG dan mycobacteria patogen
lainnya. Dasar tes tuberkulin adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah
48-72 jam tuberkulin disuntikkan akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan
antara antibodi seluler dengan antigen tuberkulin (WHO, 2014).

 Pemeriksaan Radiologis
Sebagian besar TB paru didiagnosis dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun
pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesui
indikasi sebagai berikut (PDPI, 2011):
- Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pemeriksaan
foto toraks pada kasus ini diperlukan untuk mendukung diagnosis TB
paru BTA positif
- Ketiga spesimen dahak tetap negatif setelah pemeriksaan 3 spesimen
dahak SPS sebelumnya dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotik non OAT

15
- Penderita tersebut diduga menderita kompilkasi sesak napas berat yang
memerlukan penanganan.
Pada pemeriksaan foto toraks tuberkulosis dapat
memberikan gambaran berbagai macam bentuk ( multiform). Berikut
merupakan gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (Jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif adalah
sebagai berikut:
1. Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
2. Kalsifikasi
3. Komplek ranke
4. Fibrotoraks/fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

16
Gambar 2.1 Algoritma penegakan diagnosis tuberkulosis paru
(Depkes, RI, 2014).

I. Diagnosis TB Paru berdasarkan ISTC


International Standards for Tuberculosis Care merupakan program

dalam penanggulangan TB nasional yang awalnya direkomendasikan oleh

WHO. ISTC dimaksudkan bukan untuk menggantikan berbagai pedoman

(guideline) manajemen TB yang telah disusun secara rinci oleh masing-

masing organisasi profesi seperti Directly Observed Treatment Short-

course (DOTS), tetapi berperan sebagai rambu-rambu minimal untuk

tenaga medis yang mengelola kasus TB. ISTC memuat hal-hal apa (what)

yang seharusnya dilakukan dokter dalam mengelola pasien TB, sedangkan

pedoman organisasi profesi berisi panduan bagaimana mengelola pasien

TB. ISTC berisi 21 standar yang terdiri dari 6 standar diagnosis, 7 standar

terapi, dan 4 standar penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi

komorbid lain serta 4 standar kesehatan masyarakat.

Standar diagnosis berdasarkan ISTC terdapat di standar 1 sampai 6,

yaitu (Depkes RI, 2013):

1. Untuk menentukan diagnosis awal, petugas kesehatan harus

memperhatikan faktor risiko TB pada individu dan kelompok serta

melakukan evaluasi klinik dan uji diagnostik yang sesuai dengan gejala

dan temuan klinis lain sesuai TB.

2. Semua pasien, termasuk anak, yang mengalami batuk yang tidak dapat

dijelaskan dan berlangsung selama dua minggu atau lebih atau temuan

17
klinis lain pada pemeriksaan foto toraks yang dicurigai TB harus

dievaluasi sebagai TB.

3. Semua pasien, termasuk anak, yang dicurigai memiliki TB paru dan

mampu mengeluarkan dahak harus diambil setidaknya dua sediaan

dahak untuk pemeriksaan mikroskopik atau satu sediaan dahak untuk

pemeriksaan Xpert MTB/RIF di laboratorium yang terjamin

kualitasnya. Pasien dengan risiko tinggi resistens obat, yang berisiko

memiliki HIV atau mereka yang sakit berat harus diperiksakan Xpert

MTB/RIF sebagai alat uji diagnostik awal. Pemeriksaan serologi dan

interferon-gamma release assay (IGRA) tidak boleh digunakan untuk

mendiagnosis TB aktif.

4. Semua pasien, termasuk anak, yang dicurigai memiliki TB ekstra paru,

sediaan yang sesuai dengan lokasi yang dicurigai terinfeksi harus

diambil untuk pemeriksaan mikrobiologi dan histologi. Xpert MTB/RIF

direkomendasikan pemeriksaan awal meningitis TB sebagai kebutuhan

untuk diagnosis yang cepat.

5. Pasien yang dicurigai TB paru dengan sediaan BTA negatif, Xpert

MTB/RIF dan kultur harus dilakukan. Orang dengan pemeriksaan

mikroskopik dan Xpert MTB/RIF negatif dan klinis sesuai TB, OAT

harus dimulai setelah pemeriksaan sediaan untuk dikultur.

6. Untuk anak yang dicurigai memiliki TB intratoraks (seperti paru,

pleura, mediastinum, atau kelenjar getah bening hilus), konfirmasi

bakteriologis harus dilakukan melalui pemeriksaan sekret saluran napas

18
(ekspetorasi dahak, induksi sputum, dan bilas lambung) untuk apusan

mikroskopik, Xpert MTB/RIF, dan/atau kultur.

J. Penatalaksanaan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah


kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT, melindungi keluarga dan
komunitas penderita.2 Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut (Depkes RI, 2014):
a. Tahap awal (intensif)
Penderita mendapat obat setiap hari, awasi langsung. Pengobatan tahap
awal dimaksudkan untuk menurunkan jumlah bakteri dan meminimalisir
perngaruh dari sebagian bakteri yang mungkin sudah resisten sebelum
pasien mendapat pengobatan. Diberikan pada semua pasien baru selama 2
bulan. Bila pengobatan tahap awal diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam 2 minggu. Sebagian besar
penderita BTA positif akan menjadi negatif pada akhir pengobatan.

b. Tahap lanjutan
Merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa bekteri yang ada
dalam tubuh khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah kekambuhan
c. Panduan OAT
WHO dan IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) merekomendasikan paduan
OAT standar, yaitu :
1) Kategori 1 :
a. 2HRZE/4H3R(3)
b.2HRZE/4HR
c. 2HRZE/6HE
2) Kategori 2 :
19
a. 2HRZES/HRZE/5H3R3E(3)
b.2HRZES/HRZE/5HRE
3) Kategori 3 :
a. 2HRZ/4H3R3
b.2HRZ/4HR
c. 2HRZ/6HE
Panduan OAT yang digunakan oleh Program
Nasional Penanggulangan TB di Indonesia:

Gambar 3. Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk


dewasa

1) Kategori 1 :

2(HRZE)/4(HR)3

atau 2(HRZE)/4(HR).

Paduan OAT ini

diberikan untuk

pasien baru:
a. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.

20
b. Pasien TB paru terdiagnosis klinis.

c. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks


positif

d. Pasien TB ekstra paru.

21
Tabel 1. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1
(2(HRZE)/4(HR))

Tabel 2. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1


(2(HRZE)/4(HR)3)

2) Kategori 2 :
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
Paduan OAT ini diberikan kepada :
a. Pasien kambuh.

b. Pasien gagal pada pengobatan


dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya.

22
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus
berobat (lost to follow-up).

23
Tabel 3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}

24
Tabel 4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)}

3) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat:


terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin,
Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin,
Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat
TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol.

25
Tabel 5. Perhitungan dosis OAT Resistan Obat
26
Evaluasi pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan
efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.7
1. Evaluasi klinik
a. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
b. Respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
c. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis
2. Evaluasi bakteriologik
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan &
evaluasi pemeriksaan mikroskopik dilakukan sebelum pengobatan dimulai, setelah
2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan.
3. Evaluasi radiologik
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
a. Sebelum pengobatan
b. Setelah 2 bulan pengobatan
c. Pada akhir pengobatan

Terapi pembedahan
Indikasi mutlak operasi pada pasien tuberkulosis adalah sebagai berikut
(Depkes RI, 2014):
1. Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap
positif
2. Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
3. Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif
lndikasi relatif adalah sebagai berikut :
1. Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
2. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
3. Sisa kaviti yang menetap

27
I. PROGNOSIS

Dubia tergantung derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas


bakteri, gizi, status imun, dan komorbiditas. Baik bila pasien patuh
menelan obat, dalam waktu 6 bulan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Atikawati D, Marhana I. 2015. Sequelae Tuberkulosis dengan Hemoptisis


Rekurens. Jurnal Respirasi.Surabaya 1(3);88-93.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2014. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia. 2010.
Panduan tatalaksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk
dokter praktik swasta. Jakarta: Depkes RI, IDI
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Terobosan menuju akses
universal strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2010-2014.
Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Tata Laksana Tuberkulosis.
Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2016. Tuberkulosis: temukan,
obati sampai tuntas. [internet] Tersedia dari URL:
file:///C:/Users/User/Downloads/InfoDatin-2016-TB.pdf. Diakses pada
tanggal 15 Mei 2019.
Rasjid R. Patofisiologi dan Diagnostik Tuberkulosis Paru. Dalam: Yusuf A,
Tjokronegoro A.2011. Tuberkulosis Paru Pedoman Penataan Diagnostik
dan Terapi. Jakarta.Balai penerbit FKUI; 1-11
World Health Organization. 2014. Global Tuberculosis Report [internet] Tersedia
dari URL:
http://www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr14_executive_summar
y.pdf. Diakses pada tanggal 15 Mei 2019.

29

Anda mungkin juga menyukai