Anda di halaman 1dari 62

2

ANALISIS KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DAN


TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH D KOTA CIMAHI
PROVINSI JAWA BARAT

MUTIARA ASHRI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
3

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER


INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Ketersediaan
Ruang Terbuka Hijau dan Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Cimahi
Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Mutiara Ashri
NIM A14080068
4

ABSTRAK
MUTIARA ASHRI. Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau dan Tingkat
Perkembangan Wilayah di Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh
SANTUN R P SITORUS dan DYAH RETNO PANUJU.

Kualitas lingkungan kota dan kabupaten terus menurun yang salah satunya
ditunjukkan oleh terus menurunnya luasan ruang terbuka hijau (RTH). Hal ini
disebabkan oleh adanya pertambahan penduduk dan kebutuhan ruang untuk
pembangunan permukiman dan fasilitas pelayanan. Cimahi merupakan wilayah
yang baru ditetapkan sebagai kota pada tahun 2001. Sejak awal pembentukan,
Kota Cimahi telah menunjukkan perkembangan dan kemajuan yang cukup pesat
sehingga perlu diikuti dengan upaya menjaga keseimbangan antara lingkungan,
sosial, dan ekonomi. Salah satunya komposisi ruang terbuka hijau. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui perubahan penggunaan lahan di Kota Cimahi,
mengetahui ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Cimahi, mengetahui
dinamika tingkat perkembangan wilayah di Kota Cimahi dan mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Cimahi.
Perubahan penggunaan lahan Kota Cimahi tahun 2007-2011 menunjukkan banyak
terjadi perubahan menjadi pemukiman sebesar 420.6 ha. Ketersediaan ruang
terbuka hijau Kota Cimahi pada tahun 2011 sebesar 738 ha atau 17.9% dari total
seluruh wilayah sehingga belum bisa mencukupi kebutuhan seluruh penduduk
yang ada di Kota Cimahi. Dinamika tingkat perkembangan wilayah di Kota
Cimahi menunjukkan ada kelurahan-kelurahan yang konsisten di hirarkinya dan
ada yang bersifat fluktuatif. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan ruang
terbuka hijau di Kota Cimahi yaitu alokasi lahan terbangun dalam RTRW,
kepadatan penduduk, jumlah jenis fasilitas, pertumbuhan penduduk dan lahan
terbangun tahun 2011.
Kata kunci : Perkembangan Wilayah Kota Cimahi, Ruang Terbuka Hijau
5

ABSTRACT
MUTIARA ASHRI. Analysis of the Availability of Greenery Open Space and
Level of Development of Cimahi Municipality, West Java Province. Supervised
by SANTUN R. P. SITORUS and DYAH RETNO PANUJU.

Environmental quality of cities and regencies degrade continuosly and they


are worsened by the declining of greenery open space acreage. It is due to
population growth and increasing demand of land for settlements and facilities
development. Cimahi turned into a municipality in 2001. Since the beginning,
Cimahi developed intensively, nonetheless balance condition of social and
economic should be maintained carefully. One of the environmental aspects is
greenery open space composition. This research aims to describe land use change
process, to identify the availability of greenery open space, to understand the
dynamics of developmental process of Cimahi Municipality, and to determine
factors affecting the availability of greenery open space of Cimahi Municipality.
During 2007-2011 total land of Cimahi Municipality changed as much as 420.6
hectares turned into settlements. The availability of greenery open space in
Cimahi in 2011 was 738 hectares or 17.9% of the total area which was not
sufficient for the total population of Cimahi Municipality. Cimahi showed
unequally developed, some regions consistenly stayed at the same level of
hierarchy by the time, while others were fluctuated. Factors affecting the
availability of greenery open space in Cimahi were allocation of building land in
the regional spatial plan (RTRW), population density, amount of type facilities,
population growth, and built up land in 2011.

Keywords: Cimahi Municipality Area Development, Greenery Open Space


6

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
7

ANALISIS KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DAN


TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA CIMAHI
PROVINSI JAWA BARAT

MUTIARA ASHRI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor

DEPERTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
8

Judul Skripsi : Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau dan Tingkat


Perkembangan Wilayah di Kota Cimahi Provinsi Jawa
Barat
Nama : Mutiara Ashri
NIM : A14080068

Disetujui oleh

Pembimbing I Pembimbing II

Prof Dr Ir Santun R P Sitorus Dyah Retno Panuju, SP MSi


NIP. 19490721 197302 1 001 NIP. 19710412 199702 2 005

Diketahui oleh

Ketua Departemen

Dr Ir Syaiful Anwar, MSc


NIP. 19621113 198703 1 003

Tanggal Lulus:
9

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
karunianya skripsi yang berjudul “Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau
dan Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat” bisa
diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
meraih gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, dukungan, nasihat, dan
bimbingan dari berbagai pihak. Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini
penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir Santun R P Sitorus selaku pembimbing skripsi I, Ibu Dyah
Retno Panuju, SP MSi selaku pembimbing skripsi II dan Bapak Dr Ir
Widiatmaka selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan
bimbingan dan saran dalam penulisan skripsi ini.
2. Kedua Orang tuaku tercinta (Mamah, Papah), kakak-kakakku (Aa Ifan, Aa
Angga, Aa Yuga, Aa Panji, Teh Erlin, Teh Yayu, Hana), keponakanku
(Azmy, Ahza, Ephia, Apta) serta seluruh keluarga besar yang selalu
memberikan semangat, kasih sayang, kesabaran, perhatian, dukungan moral
maupun material selama penulis menjalani masa kuliah sampai
terselesaikannya skripsi ini.
3. Kesatuan Bangsa Kota Cimahi, Badan Perencanaan dan Pembangunan
Daerah Kota Cimahi, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Cimahi,
Badan Lingkungan Hidup Kota Cimahi, Badan Pusat Statistik Kota Cimahi.
4. Seluruh Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan terutama
dosen dan staff Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah atas
seluruh bantuan, dukungan dan bimbingannya selama penulis
menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Tatang Kurniawan (Mahasiswa S2 PWL) yang telah banyak
membantu dan memberi semangat dalam penyelesaian penelitian.
6. Soilers 45 terutama sahabat-sahabat Lab.Bangwil (Etika, Aida, Grahan,
Jalal, Wuri, Tutuk, Ghera, Robi), teman-teman kosan Wisma Blobo yang
telah memberikan semangat dan membantu dalam penyusunan skripsi.
7. Arif Marwanto yang telah memberi semangat, perhatian, kasih sayang, dan
banyak membantu selama penulis melakukan penelitian sampai
terselesaikannya skripsi ini.
8. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan moral maupun spiritual dalam penyelesaiaan skripsi
ini.
Akhir kata, tak ada manusia yang sempurna. Kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca pada umumnya.
Bogor, Maret 2013

Penulis
10

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Ruang Terbuka Hijau 3
Kategorisasi Ruang Terbuka Hijau 3
Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau 4
Tata Ruang, Penataan Ruang dan Pengendalian Ruang 4
Penyediaan RTH untuk Kawasan Perkotaan 5
Pengembangan Wilayah 6
BAHAN DAN METODE 8
Lokasi dan Waktu Penelitian 8
Jenis Data, Sumber Data dan Alat Penunjang 8
Teknik Pengumpulan Data 9
Teknik Analisis Data 10
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Kota Cimahi Tahun 2007-2011 10
Analisis Ketersediaan RTH di Kota Cimahi 11
Mengidentifikasi Areal yang Berpotensi untuk Penambahan RTH 12
Analisis Dinamika Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Cimahi 12
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan RTH
di Kota Cimahi 13
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 15
Letak dan Posisi Geografis 15
Administrasi dan Luas Lahan 15
Kemiringan Lereng 15
Hidrologi 16
Iklim dan Suhu Udara 16
Penggunaan Lahan 16
Kependudukan 16
11

Perekonomian 16
HASIL DAN PEMBAHASAN 18
Penggunaan Lahan dan Pola Perubahan Penggunaan Lahan Kota Cimahi
Tahun 2007-2011 18
Ketersediaan RTH Kota Cimahi Tahun 2011 22
Kecukupan RTH Kota Cimahi Berdasarkan Jumlah Penduduk 23
Areal yang Berpotensi untuk Perluasan RTH 24
Dinamika Tingkat Perkembangan Wilayah Kota Cimahi 26
Jumlah dan Kepadatan Penduduk 26
Hirarki Perkembangan Wilayah Kota Cimahi 29
Tingkat Perkembangan Wilayah Tahun 2001-2009 dan Keterkaitannya
dengan Luas RTH 30
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan RTH 33
SIMPULAN DAN SARAN 35
Simpulan 35
Saran 35
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 37
RIWAYAT HIDUP 50
12

DAFTAR TABEL

1 Jenis Data Penelitian 9


2 Proporsi Penarikan Contoh RTH Publik Kota Cimahi Tahun 2011 10
3 Variabel-Variabel Analisis Skalogram Sederhana 12
4 Matriks Transisi Penggunaan Lahan Kota Cimahi Tahun 2007-2011 21
5 Luasan RTH Eksisting Kota Cimahi Tahun 2011 22
6 Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk dan Kecukupannya 23
7 Luas RTH Eksisting dan Luas Penambahan RTH Dibandingkan dengan Luas
Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk 25
8 Hirarki Wilayah Berdasarkan Kelurahan di Kota Cimahi Tahun 2003-2011 29
9 Luas RTH dan Penambahan RTH Berdasarkan Hirarki Wilayah Kota Cimahi
Tahun 2007 dan 2011 32
10 Luas dan Pertambahan RTH Berdasarkan Kelurahan yang Konsisten Pada
Hirarkinya di Kota Cimahi Tahun 2007 dan 2011 32
11 Hasil Analisis Regresi 33

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi Penelitian 8
2 Komposisi Masing-Masing Penggunaan Lahan Kota Cimahi
Tahun 2007 dan 2011 18
3 Sebaran Spasial Penggunaan Lahan Kota Cimahi Tahun 2007 dan 2011 19
4 Luasan Areal yang Berpotensi untuk Penambahan RTH Per Kelurahan
Kota Cimahi Tahun 2011 24
5 Sebaran Areal Penambahan RTH Kota Cimahi 24
6 Jumlah Penduduk Kota Cimahi Tahun 2003-2011 27
7 Kepadatan Penduduk Kota Cimahi Tahun 2003-2011 28
8 Tingkat Pemerataan Wilayah Kota Cimahi Berdasarkan Sektor PDRB
Tahun 2001-2009 30
9 Persentase Sumbangan PDRB Setiap Sektor Kota Cimahi Tahun 2001-2009 31
13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Diagram Alir Penelitian 38


2 Titik Contoh Masing-Masing Jenis Perubahan Penggunaan Lahan 39
3 Luasan Perubahan Penggunaan Lahan Kota Cimahi Tahun 2007-2011 40
4 Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kelurahan Kota Cimahi
Periode 2003-2011 42
5 Luas RTH Masing-Masing Kelurahan di Kota Cimahi Berdasarkan Hirarki
Wilayah Tahun 2007 dan 2011 43
6 Foto Cek Lapang Perubahan Penggunaan Lahan Kota Cimahi Tahun 2007-
2011 44
7 Foto Ruang Terbuka Hijau Kota Cimahi Hasil Cek Lapang 47
8 Form Cek Lapang 49
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada tahun 2008, separuh dari penduduk Indonesia tinggal di wilayah


perkotaan, bahkan di Jawa dan Bali persentase tersebut mencapai 55%. Arifin
(2011) mengestimasi tahun 2025, 65% populasi penduduk Indonesia atau sekitar
180 juta orang akan memenuhi wilayah perkotaan. Namun demikian, pada
beberapa dekade terakhir ini, kualitas lingkungan kota dan kabupaten terus
menurun yang diakibatkan oleh pencemaran lingkungan dan diperparah dengan
terus menurunnya luasan ruang terbuka hijau (RTH). Kondisi lingkungan menjadi
pertimbangan penting dalam pembangunan wilayah perkotaan karena tuntutan
terciptanya lingkungan yang nyaman dan sehat untuk mendukung berbagai
aktivitas masyarakat. Salah satu komponen penting yang dapat menciptakan
lingkungan yang nyaman dan sehat adalah RTH. Akan tetapi, perkembangan
perkotaan membawa pengaruh yang negatif pada berbagai aspek, termasuk aspek
lingkungan.
Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian lahan merupakan RTH.
Pertambahan penduduk dan kebutuhan ruang untuk memenuhi perkembangan
aktivitas masyarakat menyebabkan RTH cenderung mengalami konversi menjadi
kawasan terbangun. Sebagian besar bentuk perubahan tersebut adalah
mengkonversi RTH menjadi jalan, bangunan, dan lain-lain dengan karakteristik
yang berbeda dengan karakteristik RTH. Permasalahan perkotaan semakin rumit
dan diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum dari pemerintah serta kurang
sadarnya masyarakat terhadap aspek penataan ruang kota. Salah satu akibatnya
adalah munculnya permukiman kumuh di beberapa ruang kota dan kemacetan di
ruas-ruas jalan tertentu (Dwiyanto 2009).
Keberlanjutan kota sangat dipengaruhi oleh daya dukung. Daya dukung
tersebut tidak hanya memenuhi infrastruktur saja, tetapi bagaimana pemenuhan
sumberdaya energi dan pertanian untuk sandang, pangan, dan papan. Untuk itu
RTH perlu dipertahankan tidak hanya dalam bentuk taman kota, lapangan
olahraga, pemakaman, jalur hijau sempadan jalan rel kereta api-sungai/kanal,
tetapi juga bagi lahan pertanian dalam bentuk sawah, kebun buah, kebun
campuran hingga pekarangan yang dapat dibuat untuk RTH. Untuk memperoleh
fungsi dan manfaat yang optimal maka perencanaan tata ruang wilayah perkotaan
berperan penting dalam pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di
perkotaan pada umumnya dan di kawasan permukiman pada khususnya (Arifin
2011).
Terkait pernyataan di atas, UU No. 26 tahun 2007 pasal 3 menyatakan
bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Dengan adanya penurunan kualitas
ruang publik terutama RTH mengakibatkan tujuan penyelenggaraan penataan
ruang tidak tercapai karena lingkungan menjadi kurang nyaman dan tidak
berkelanjutan, banyak polusi udara terutama di perkotaan yang disebabkan oleh
asap kendaraan bermotor, pabrik-pabrik, dan penggunaan lahan lain selain RTH.
Sebagai ilustrasi, menurut Sitorus et al. (2011) luas RTH di Jakarta Selatan pada
2

tahun 2002 sampai tahun 2007 mengalami penurunan sebesar 362.21 ha. Adanya
alih fungsi lahan RTH menjadi penggunaan lahan lain serta adanya peningkatan
jumlah penduduk yang disertai dengan peningkatan sarana prasarana seperti
fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan fasilitas perekonomian diduga menjadi
pemicu penurunan RTH.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari kondisi RTH di salah satu
kota di Jawa Barat, yaitu Kota Cimahi. Kota Cimahi merupakan wilayah yang
baru saja ditetapkan sebagai Kota pada tanggal 21 Juni 2001 yang sebelumnya
merupakan Kota Administratif (Kotif). Sejak awal pembentukan, Kota Cimahi
telah menunjukkan perkembangan dan kemajuan yang cukup pesat ditandai
dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan
besarnya potensi pendapatan asli daerah (PAD). Kondisi tersebut harus diikuti
dengan adanya keseimbangan antara lingkungan, sosial, dan ekonomi. Salah
satunya komposisi RTH di Kota Cimahi (Pemkot Cimahi 2012).
Berdasarkan data BLH Kota Cimahi (2011) diketahui Kota Cimahi
mempunyai luasan RTH sebesar 621.3 ha atau kurang lebih 15.4% dari total luas
wilayah Kota Cimahi. Jika merujuk pada UU No. 26 tahun 2007 pasal 29 luasan
RTH tersebut jauh dibawah luasan yang disyaratkan bagi RTH suatu kota. Dari
uraian tersebut dan melihat kondisi ketersediaan RTH di Kota Cimahi, maka
sangat penting untuk menetapkan langkah dan strategi RTH di Kota Cimahi guna
mendukung kelangsungan aktivitas perkotaan yang lebih optimal.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah:


1. Mengetahui perubahan penggunaan lahan di Kota Cimahi.
2. Mengetahui ketersediaan RTH di Kota Cimahi.
3. Mengetahui dinamika tingkat perkembangan wilayah di Kota Cimahi.
4. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan RTH di Kota
Cimahi.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah:


1. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan RTH
agar tercipta kota dengan kualitas yang baik.
2. Sebagai dasar bagi penelitian lebih lanjut, terutama pengembangan RTH untuk
kawasan lainnya.
3

TINJAUAN PUSTAKA

Ruang Terbuka Hijau

Menurut Fandeli et al. (2004) ruang terbuka hijau kota merupakan bagian
dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan
lindung itu sendiri merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup termasuk di dalamnya sumberdaya alam dan sumber
daya buatan. Kawasan hijau merupakan salah satu yang termasuk kawasan
lindung. Lebih lanjut, Fandeli et al. (2004) menyatakan bahwa kawasan hijau kota
terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi
kota, kawasan hijau kegiatan olahraga dan kawasan hijau pekarangan. RTH
diklasifikasikan berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan
struktur vegetasinya.
Berdasarkan Instrumen Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1988 tentang
penataan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, ruang terbuka hijau adalah
ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk
area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana di dalam
penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam
ruang terbuka hijau pemanfaatnnya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau
tumbuh-tumbuhan secara alamiah maupun budidaya tanaman seperti lahan
pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.

Kategorisasi Ruang Terbuka Hijau

Berdasarkan pada pemakaiannya ruang terbuka dibagi menjadi ruang


terbuka privat, komunal dan publik. Ruang terbuka privat digunakan hanya oleh
pemilik bangunan, seperti halaman rumah, balkon, dan teras. Ruang terbuka
komunal merupakan ruang terbuka yang diperuntukkan bagi sekelompok orang,
umumnya penghuni suatu lingkungan perumahan dan biasanya digunakan untuk
kegiatan sosial penghuni. Contoh dari ruang terbuka komunal adalah taman
lingkungan, ruang terbuka yang terletak di tengah beberapa rumah (taman
bermain dan ruang untuk olahraga). Ruang terbuka publik merupakan ruang
terbuka yang bisa digunakan oleh siapa saja, seperti taman kota, plaza, tempat
parkir, dan sebagainya (Rahmi 2002).
Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasikan
menjadi RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan RTH non alami
(pertanian kota, pertamanan kota, dan pemakaman). Berdasarkan sifat dan
karakteristik ekologisnya RTH dibagi menjadi RTH berbentuk kawasan/areal dan
RTH berbentuk jalur/koridor. RTH berbentuk kawasan contohnya hutan kota,
lapangan olahraga, kebun raya, kawasan fungsional seperti kawasan perdagangan,
kawasan permukiman, serta kawasan khusus seperti kawasan perlindungan tata
air, plasma nutfah dan lain-lain. RTH berbentuk jalur/koridor contohnya RTH
sempadan sungai, RTH koridor sungai, RTH tepi jalur jalan, RTH tepi jalur
kereta, RTH sabuk hijau (Green belt), dan lain-lain (Departemen Pekerjaan
Umum 2005).
4

Fungsi dan Manfaat RTH

Menurut Samsudi (2010), fungsi RTH dapat dikelompokkan menjadi 2,


yaitu: (a) Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis dan (b) Fungsi tambahan
(ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektual, sosial, dan fungsi ekonomi. RTH berfungsi
secara ekologis, artinya dengan adanya RTH diharapkan dapat memberi
kontribusi dalam peningkatan kualitas air tanah, mencegah terjadinya banjir,
mengurangi polusi udara, dan pendukung dalam pengaturan iklim mikro. RTH
untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, arsitektural, dan ekonomi) diharapkan dengan
adanya RTH bisa menciptakan ruang untuk interaksi sosial, sarana rekreasi dan
sebagai penanda kawasan sehingga bisa meningkatkan nilai keindahan dan
kenyamanan untuk kawasan tersebut dengan keberadaan taman dan jalur hijau.
Selain itu juga dengan adanya RTH diharapkan bisa meningkatkan minat
masyarakat/wisatawan untuk berkunjung ke suatu kawasan sehingga secara tidak
langsung dapat meningkatkan kegiatan ekonomi.
Lebih lanjut Samsudi (2010) menyatakan manfaat yang diharapkan dari
perencanaan RTH di kawasan perkotaan antara lain sebagai sarana untuk
mencerminkan identitas daerah, sarana penelitian pendidikan dan penyuluhan,
sarana rekreasi serta interaksi sosial, meningkatkan nilai ekonomis lahan. Sarana
aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula, sarana evakuasi
untuk keadaan darurat, memperbaiki iklim mikro, serta meningkatkan cadangan
oksigen di perkotaan.

Tata Ruang, Penataan Ruang dan Pengendalian Ruang

Menurut UU No. 26 tahun 2007, tata ruang adalah wujud struktural dan
pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun yang tidak, yang
menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Penataan ruang
adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya
untuk mewujudkan tertib tata ruang.
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 pasal 3, penyelenggaraan penataan ruang
bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan
nasional dengan:
a. terwujudanya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Pada pasal 28 UU No. 26 tahun 2007 tentang perencanaan tata ruang
wilayah kota salah satunya harus memuat tentang rencana penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau, ruang terbuka non hijau, serta sarana dan
prasarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan
ruang evakuasi bencana yang digunakan untuk menjalankan fungsi wilayah kota
sebagai pusat pelayanan sosial dan pusat pertumbuhan wilayah. Pada pasal 35 UU
No. 26 Tahun 2007 menjelaskan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang
dilakukan melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan
5

disinsentif, serta pengenaan sanksi. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki
izin dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana
denda.
Pemberian insentif dimaksud sebagai upaya untuk memberikan imbalan
terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang
dilakukan oleh masyarakat ataupun oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif
tersebut dijelaskan dalam UU No. 26 Tahun 2007 pasal 38 yakni antara lain dapat
berupa keringanan pajak, pembangunan sarana dan prasarana (infrastruktur),
pemberian kompensasi, kemudahan prosedur, perizinan, dan pemberian
penghargaan. Disinsentif dimaksud sebagai perangkat untuk mencegah,
membatasi, pertumbuhan, dan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan
dengan rencana tata ruang, antara lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi,
pembatasan penyediaan sarana dan prasarana, serta pengenaan kompensasi
penalti. Dalam Undang-undang ini pengenaan sanksi tidak hanya diberikan
kepada pemanfaat ruang, tetapi dikenakan pula kepada pejabat pemerintah yang
berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.

Penyediaan RTH untuk Kawasan Perkotaan

Dewasa ini, beberapa kota besar di berbagai belahan dunia seperti New
York, Singapura, Beijing, Melbourne dan Curitiba (Brazil) telah menerapkan
konsep green city atau kota hijau dengan meningkatkan proporsi luasan RTH
hingga lebih dari 20% dari luas kotanya. Salah satu contoh di Curitiba telah
berkembang menjadi kota yang nyaman dengan luasan RTH nya meningkat dari 1
m2/kapita pada tahun 1970 menjadi 55 m2/kapita pada tahun 2002 yang
merupakan ukuran yang sangat tinggi untuk suatu kota (Direktorat Jenderal
Penataan Ruang 2006).
Penyediaan RTH untuk kawasan perkotaan dibagi berdasarkan luas wilayah,
jumlah penduduk, serta kebutuhan fungsi tertentu. Penyediaan RTH berdasarkan
luas wilayah antara lain; RTH di perkotaan terdiri dari RTH publik dan RTH
privat, proporsi dari RTH tersebut adalah minimal sebesar 30% dari luas wilayah
(20% RTH publik dan 10% RTH privat), dan apabila proporsi dari RTH di suatu
wilayah baik RTH publik maupun RTH privat luasannya telah melebihi dari
peraturan yang berlaku maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan (UU
Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007). Proporsi 30% merupakan ukuran minimal
untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem
hidrologi dan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan
ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat
meningkatkan nilai estetika kota (Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia
2008).
Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk dapat dihitung dengan
mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per
kapita sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penyediaan RTH berdasarkan
kebutuhan fungsi tertentu yaitu memberikan perlindungan atau pengamanan
sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam,
pengamanan pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar
6

fungsi utamanya tidak terganggu. Contoh dari RTH jenis ini antara lain jalur hijau
sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan tegangan tinggi, RTH sempadan
sungai, RTH sempadan pantai, serta RTH perlindungan sumber mata air.
Penentuan luas RTH kota umumnya dihitung berdasarkan jumlah penduduk.
Sebagai perbandingan, luasan RTH kota di Malaysia ditetapkan sebesar 1.9
m2/penduduk, sedangkan di Jepang 5 m2/penduduk (Tong Yiew dalam Direktorat
Jenderal Penataan Ruang 2006). Menurut Rifai dalam Direktorat Jenderal
Penataan Ruang (2006) menyatakan bahwa Dewan Kota Lancashire, Inggris
menetukan 11.5 m2/penduduk dan Amerika 60 m2/penduduk, sedangkan di DKI
Jakarta taman untuk bermain dan berolahraga diusulkan 1.5 m2/ penduduk.
Dari segi kenyamanan, keberadaan RTH di suatu perkotaan sangat
diperlukan untuk menurunkan rata-rata suhu udara di suatu kawasan. Bagian kota
yang berupa RTH umumnya suhunya 2-5 derajat lebih rendah dibandingkan
dengan bagian lain seperti perumahan, perdagangan, dan industri. Perbedaan suhu
udara antar bagian ini menyebabkan pengaliran udara dari yang bertekanan tinggi
ke tekanan yang lebih rendah sehingga menciptakan pergerakan angin yang dapat
menurunkan rata-rata suhu udara wilayah perkotaan (Direktorat Jenderal Penataan
Ruang 2006).

Pengembangan Wilayah

Menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 pasal 1, ruang didefinisikan


sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara
termasuk di dalamnya lahan atau tanah, air, udara, dan benda lainnya serta daya
dan keadaan, sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk
lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Wilayah menurut Rustiadi et al. (2009) dikelompokkan menjadi: (1) wilayah
ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuan ekosistem berbagai kehidupan alam
maupun buatan yang membentuk pola ruang ekotipe dan struktur hubungan yang
hirarkis antar ekotipe tersebut. Misalnya daerah aliran sungai (DAS) dan sub
DAS-nya, hutan tropis dengan struktur bagian hutan tropisnya, (2) wilayah
ekonomi yaitu wilayah yang berorientasi menggambarkan fungsi atau manfaat
ekonomi, seperti produksi, konsumsi, serta aliran barang dan jasa, (3) wilayah
sosial budaya yaitu deliniasi wilayah yang berhubungan dengan budaya adat dan
perilaku dari masyarakatnya, misalnya wilayah adat/marga/suku, wilayah
kerajaan, (4) wilayah politik yaitu deliniasi wilayah yang terkait dengan batas
administrasi dimana diatur batasan kewenangan kepala pemerintahan setempat
untuk mengatur dan mengelola berbagai sumber daya alam dan pemanfaatannya
untuk kepentingan pengembangan wilayah yang diatur dan akan menjadi
kewenangan politiknya sebagai penguasa wilayah.
Perencanaan wilayah adalah penggunaan atau pemanfaatan ruang yang
intinya adalah perencanaan penggunaan lahan dan perencanaan pergerakan pada
ruang tersebut. Perencanaan wilayah pada dasarnya adalah menetapkan bagian-
bagian yang memiliki peruntukan yang jelas (tegas diatur penggunaannya) dan
ada bagian yang kurang diatur penggunaannya dan pemanfaatan bagian tersebut
akan diatur oleh mekanisme pasar. Perencanaan pemanfaatan ruang adalah agar
pemanfaatan tersebut dapat memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya
7

kepada masyarakat baik jangka pendek, jangka menengah, atau pun jangka
panjang (Tarigan 2005).
Dalam perencanaan wilayah, perlu untuk menetapkan suatu tempat
pemukiman atau tempat berbagai kegiatan sebagai kota atau pedesaan/pedalaman.
Hal ini dikarenakan fungsi kota berbeda dengan pedesaan/pedalaman sehingga
kebutuhan fasilitasnya pun akan berbeda. Karena fungsi kota berbeda dengan
fungsi pedesaan maka kebijakan pembangunannya pun akan berbeda. Wilayah
pedesaan yang umumnya menjadi kegiatan basis adalah sektor penghasil barang
(pertanian, industri, dan pertambangan), sedangkan di perkotaan selain menjadi
sektor penghasil barang juga umumnya sektor perdagangan dan jasa sebagai basis
utama. Perkembangan perdagangan di sektor perkotaan tergantung perekonomian
wilayah belakangnya. Perkembangan wilayah belakangnya tergantung pada
sektor basis dari wilayah belakang tersebut. Dengan demikian, perkembangan
perekonomian secara keseluruhan tetap tergantung pada perkembangan sektor
basis murni (selain pariwisata) (Tarigan 2005).
Pusat pertumbuhan dapat diartikan secara fungsional dan secara geografis.
Secara fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi dimana ada konsentrasi
kelompok usaha atau cabang industri yang satu sama lain saling berinteraksi
secara dinamis sehingga bisa menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam
maupun keluar (daerah belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan
merupakan suatu lokasi dimana banyak fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi
daya tarik yang menyebabkan masyarakat tertarik untuk datang dan
memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut serta membangun usaha yang
akan menarik masyarakat untuk datang ke lokasi tersebut. Hirarki perkotaan
sangat terkait dengan hirarki fasilitas kepentingan umum yang berada di masing-
masing kota. Hirarki perkotaan dapat membantu untuk menentukan fasilitas apa
saja yang mesti ada dan perlu dibangun di masing-masing kota. Pembangunan
faslitas kepentingan umum tidak hanya menyangkut jenisnya, tetapi
mempertimbangkan kualitas dan kapasitas pelayanan. Hal ini bertujuan agar
terdapat efisiensi biaya pembangunan fasilitas dan perawatannya tetapi
masyarakat tetap terlayani dengan ongkos biaya transportasi lebih kecil (Tarigan
2005).
8

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Cimahi dan analisis data dilakukan di Studio


Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
berlangsung mulai dari bulan Maret sampai Desember 2012. Gambar 1
menunjukkan lokasi penelitian.

Gambar 1 Lokasi Penelitian

Jenis Data, Sumber Data dan Alat Penunjang

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
terdiri dari citra Quickbird tahun 2011 yang dapat diakses secara bebas melalui
website earth.google.com dan data survei lapang. Data sekunder terdiri dari data
PDRB Kota Cimahi, data potensi desa Kota Cimahi tahun 2003, 2006, 2008, dan
2011 yang meliputi data jumlah dan jenis fasilitas, aksesibilitas, dan data jumlah
penduduk, peta administrasi Kota Cimahi, peta RTRW Kota Cimahi tahun 2011-
2031, serta beberapa peta penunjang lainnya yang diperoleh dari Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Cimahi. Jenis data
yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
9

Tabel 1. Jenis Data Penelitian


No Data Sumber Data Keterangan
1 Peta Administrasi Kota Cimahi BAPPEDA Kota Untuk mengetahui
Cimahi batas wilayah
administrasi Kota
Cimahi (Kelurahan)
2 Citra Quickbird Kota Cimahi tahun Website Untuk mengetahui
2011 earth.google.com luasan RTH eksisting
tahun 2011 serta
penggunaan lahan
tahun 2011
3 Peta Penggunaan lahan Kota Cimahi BAPPEDA Kota Untuk mengetahui
tahun 2007 Cimahi penggunaan lahan
pada tahun 2007
4 Podes Kota Cimahi tahun 2011, luas BAPPEDA Kota Sebagai peubah bebas
RTH Kota Cimahi tahun 2011, luas Cimahi dalam analisis regresi
lahan terbangun dan tidak terbangun Hasil digitasi citra berganda
tahun 2011, RTRW Kota Cimahi Tahun Quickbird 2011
2011-2031
5 Peta Jalan Kota Cimahi BAPPEDA Kota Untuk mengetahui
Cimahi prasarana jalan di
Kota Cimahi

Alat penunjang yang digunakan pada penelitian ini antara lain: seperangkat
komputer dengan perangkat lunak ArcGIS 9.3, ArcView 3.3, Google Earth,
Microsoft Excel, Microsoft Word, Statistica 8, Global Mapper, kamera digital dan
GPS.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data spasial, data numerik serta data
penunjang hasil survei lapangan. Data spasial terdiri dari peta administrasi, peta
jalan, peta RTRW Kota Cimahi tahun 2011-2031, peta penggunaan lahan tahun
2007 dengan skala 1: 21 000 yang didapatkan dari BAPPEDA lalu didigitasi agar
dapat diolah dan dianalisis. Kemudian citra Quickbird Kota Cimahi dengan
resolusi spasial 0.6 m didigitasi menggunakan perangkat lunak Google Earth
untuk mengetahui penggunaan lahan dan luasan RTH eksisting tahun 2011.
Proses interpretasi dilakukan secara visual berdasarkan kenampakan penutupan
lahan, khususnya kenampakan RTH. Peta penggunaan lahan 2007 selanjutnya
ditumpangtindihkan dengan peta penggunaan lahan tahun 2011 untuk mengetahui
perubahan penggunaan lahan Kota Cimahi tahun 2007-2011. Dari hasil digitasi
dapat diketahui ketersediaan RTH yang ada di Kota Cimahi tahun 2011. Data
numerik terdiri dari data PDRB Kota Cimahi, data potensi desa Kota Cimahi
tahun 2003, 2006, 2008, dan 2011. Data penunjang hasil survei lapang meliputi
pengamatan penggunaan lahan berupa RTH dan penggunaan lahan lain di Kota
Cimahi di 117 titik contoh. Pemilihan titik-titik contoh berdasarkan lokasi
dinamika perubahan penggunaan lahan serta keberadaan RTH publik yang telah
ditetapkan oleh Pemkot Kota Cimahi dengan luasan relatif besar. Proporsi
10

penarikan contoh RTH publik didasarkan pada data RTH Publik Kota Cimahi
yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Proporsi Penarikan Contoh RTH Publik Kota Cimahi Tahun 2011
Luas (m2)
Kode Lokasi Kelurahan
2011
CR40 Taman Pemkot dan Walikota Cibabat 6 500.0
CR28 Taman Underpass Cibabat Cibabat/Cigugur Tengah 1 000.2
CR21 Taman Alun-alun Cimahi 4 584.6
CR22 Taman Kartini Baros 6 500.0
CR20 Taman Median Jalan Akses Tol Baros Baros 1 200.0
CR48 Taman Trotoar Jalan Baros Baros 391.1
CR46 Taman Akses Tol Baros Baros 11 587.0
CR17 Taman Stasiun KA Baros 1 125.4
CR18 Taman Oerip Soemoharjo (dekat Dustira) Baros 1 600.0
CR24 Taman segtiga Akses Tol Baros Baros 15.0
CR63 Taman segitiga Nanjung Utama 30.0

Dalam menentukan jumlah titik contoh pada berbagai perubahan penggunaan


lahan di Kota Cimahi tahun 2007-2011 dihitung dari jumlah poligon hasil digitasi
yaitu jumlah poligon pada jenis perubahan tertentu dibagi dengan total poligon
yang berubah kemudian dikali 100. Selanjutnya dilakukan pembulatan ke atas.
Hasil yang diperoleh adalah 108 titik contoh. Hasil dari perhitungan titik contoh
masing-masing jenis perubahan penggunaan lahan disajikan pada Lampiran 2.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan untuk tujuan (1) adalah analisis spasial
berupa koreksi geometri dan digitasi citra serta tabulasi data, untuk tujuan (2)
digunakan analisis seperti tujuan (1) serta analisis kecukupan RTH ditinjau dari
luas wilayah dan jumlah penduduk berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 dan
Permen PU No. 5/PRT/M/2008, untuk tujuan (3) digunakan analisis skalogram
sederhana dan analisis entropi, sedangkan untuk tujuan (4) digunakan teknik
pendugaan pertumbuhan dan analisis regresi berganda. Uraian singkat masing-
masing teknik analisis yang digunakan adalah sebagai berikut:

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Kota Cimahi Tahun 2007-2011


Analisis ini meliputi proses digitasi dan proses-proses koreksi geometri lain
yang dilakukan dengan perangkat lunak ArcGis 9.3, ArcView 3.3 dan Google
Earth terhadap peta-peta yang telah disiapkan. Proses digitasi dilakukan terhadap
peta administrasi, peta jalan, peta penggunaan lahan tahun 2007, peta RTRW Kota
Cimahi tahun 2011-2031, kemudian untuk penggunaan lahan eksisting terbaru
tahun 2011 menggunakan citra Quickbird yang dideliniasi secara visual dengan
menggunakan perangkat lunak Google Earth. Proses interpretasi
mengklasifikasikan 10 jenis penggunaan lahan yaitu pemukiman, bangunan,
rumput, badan air, perkebunan, sawah, ladang, lahan terbuka, industri, dan RTH
yang didasarkan pada unsur-unsur interpretasi seperti rona, bentuk, ukuran,
11

bayangan, pola dan asosiasi. Kemudian, hasil digitasi diubah ke dalam bentuk
shapefile menggunakan perangkat lunak Global Mapper yang pada akhirnya akan
menghasilkan peta penggunaan lahan tahun 2011. Peta penggunaan lahan tahun
2007 ditumpangtindihkan dengan peta penggunaan lahan tahun 2011 sehingga
didapatkan peta perubahan penggunaan lahan Kota Cimahi tahun 2007-2011.
Selanjutnya hasil dari luasan perubahan penggunaan lahan disajikan dalam bentuk
matriks transisi.

Analisis Ketersediaan RTH di Kota Cimahi


Pada analisis ini dilakukan tabulasi data dengan membangun grafik dan
tabel dari hasil penggunaan lahan tahun 2011 berupa RTH untuk mengetahui
ketersediaan RTH di Kota Cimahi pada tahun 2011. Interpretasi kenampakan
RTH pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) RTH Taman Kota
Karakteristik visual: berwarna hijau, memiliki luasan tertentu,
mengelompok, berada di tengah kota.
b) RTH Tempat Pemakaman Umum
Karakteristik visual: berbentuk mengelompok, terdapat titik-titik putih
(nisan), berasosiasi dengan vegetasi berwarna hijau, pola tidak teratur,
tekstur agak kasar.
c) RTH Olahraga
Karakteristik visual: berbentuk mengelompok, berwarna hijau, berasosiasi
dengan lapangan olahraga.
d) RTH Jalur Hijau Jalan
Karakteristik visual: berwarna hijau, berasosiasi dengan jalan kota atau jalan
tol, membentuk jalur memanjang atau membentuk pulau.
e) RTH Sempadan Sungai
Karakteristik visual: berbentuk jalur memanjang mengikuti pola sungai
yang berkelok-kelok, berwarna hijau, berasosiasi dengan sungai, tekstur
agak kasar.
f) RTH Sempadan Jalan Rel Kereta Api
Karakteristik visual: berbentuk jalur memanjang mengikuti jalur rel kereta
api, berwarna hijau, tekstur agak kasar, berasosiasi dengan rel kereta api.
g) RTH Privat
Karakteristik visual: bentuk tidak beraturan, berwarna hijau, berasosiasi
dengan bangunan atau pemukiman, pola tidak teratur.
Kemudian dilakukan perhitungan kecukupan RTH berdasarkan luas wilayah
dan jumlah penduduk. Luas RTH yang dibutuhkan berdasarkan luas wilayah
dihitung dengan cara mengalikan 20% dengan luas wilayah sesuai dengan UU No.
26 Tahun 2007 dalam hal ini, luas wilayah dirinci setiap kelurahan. Dari hasil
perhitungan didapatkan kecukupan RTH masing-masing kelurahan di Kota
Cimahi dan kecukupan RTH berdasarkan jumlah penduduk dihitung dengan cara
mengalikan jumlah penduduk dengan standar luas RTH per kapita yang diatur
dalam Permen PU No. 5 Tahun 2008 sebesar 20 m2/kapita. Persamaan yang
digunakan adalah sebagai berikut:

RTH pi = Pi x k m2/ penduduk


12

Keterangan:
k = Nilai ketentuan luas RTH per penduduk berdasarkan Permen PU No.
05/PRT/M/2008.
Pi = Jumlah penduduk di wilayah i.

Mengidentifikasi Areal yang Berpotensi untuk Penambahan RTH


Areal yang berpotensi untuk dijadikan penambahan RTH diidentifikasi
dengan menggunakan analisis spasial yaitu dilakukan digitasi visual pada citra
Quickbird tahun 2011 berdasarkan kondisi eksisting penggunaan lahan terbuka
dan rumput. Hasil dari digitasi tersebut berupa peta area potensial untuk
penambahan RTH. Peta area potensial untuk penambahan RTH yang telah di
digitasi kemudian ditumpangtindihkan dengan peta administrasi sehingga
didapatkan peta areal yang berpotensi untuk penambahan RTH per kelurahan.
Luas areal penambahan RTH yang telah didigitasi kemudian ditambahkan
dengan luas RTH eksisting tahun 2011 yang akan dihubungkan dengan luas
kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk tahun 2011. Kemudian hasilnya
dapat dilihat apakah dengan penambahan luas areal RTH dapat mencukupi
kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk atau tidak. Perhitungan dilakukan
dengan analisis deskriptif dan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel.

Analisis Dinamika Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Cimahi


Analisis tingkat perkembangan wilayah dianalisis menggunakan teknik
skalogram. Teknik ini digunakan untuk menentukan tingkat perkembangan
wilayah serta menentukan hirarki pusat-pusat wilayah penopang yang mendukung
wilayah sebagai pusat aktivitas. Hirarki ditentukan berdasarkan jumlah unit dan
jumlah fasilitas. Unit wilayah yang memiliki fasilitas dengan kuantitas yang lebih
banyak dan jenis yang lebih kompleks memiliki tingkat hirarki yang lebih tinggi.
Menurut konsep wilayah nodal suatu wilayah dibagi menjadi 2 bagian yaitu
wilayah pusat dan wilayah hinterland. Wilayah pusat berfungsi sebagai pusat
layanan, pasar dan industri, sedangkan wilayah hinterland berfungsi sebagai
pemasok tenaga kerja, bahan mentah serta kegiatan penunjang bagi daerah pusat.
Data yang digunakan dalam analisis skalogram sederhana ini adalah data
fasilitas pendidikan, fasilitas ekonomi, fasilitas kesehatan, dan fasilitas sosial
sebagaimana dicantumkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Variabel-variabel Analisis Skalogram Sederhana
No. Jenis Fasilitas Variabel Jumlah
1 Fasilitas Pendidikan Jumlah TK, SD, SMP, SMU, SMK, 7
Perguruan Tinggi dan Pondok Pesantren
2 Fasilitas Ekonomi Jumlah warnet, wartel, toko/warung, 9
supermarket, tempat makan, penginapan,
industri kerajinan, bank umum dan koperasi
3 Fasilitas Kesehatan Jumlah rumah sakit, RSB, poliklinik, 10
puskesmas, puskesmas pembantu, tempat
praktek dokter, tempat praktek bidan,
posyandu, apotek dan toko khusus obat/jamu
4 Fasilitas Sosial Jumlah tempat peribadatan 1
Jumlah Variabel 27
13

Penentuan tingkat perkembangan wilayah dibagi menjadi tiga, yaitu:


a. Hirarki I, jika perkembangan wilayah ke-j > rataan jumlah jenis fasilitas
wilayah ke-j + simpangan baku jumlah jenis fasilitas ke-j.
b. Hirarki II, jika perkembangan wilayah ke-j ≥ rataan jumlah jenis fasilitas
wiayah ke-j.
c. Hirarki III, jika perkembangan wilayah ke-j < rataan jumlah jenis fasilitas
wilayah ke-j.
Selain analisis skalogram, salah satu analisis untuk menentukan tingkat
pemerataan wilayah adalah dengan menggunakan analisis entropi. Data yang
digunakan adalah data PDRB Kota Cimahi tahun 2001-2009. Apabila nilai entropi
semakin mendekati maksimum maka penyebaran akitifitas perekonomian di
seluruh wilayah relatif merata dan ragam disetiap jenis aktifitas ekonomi relatif
sama. Persamaan yang digunakan sebagai berikut:
S= -∑PiLn(Pi) dimana:
Pi = peluang yang dihitung dari persamaan Xi/ ∑Xi
Xi = nilai suatu aktifitas di suatu wilayah

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan RTH


Analisis ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi
berganda. Analisis regresi digunakan untuk membuat model pendugaan terhadap
nilai suatu parameter dari parameter-parameter lain yang diamati. Analisis regresi
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Statistica. Metode analisis yang
digunakan adalah regresi bertatar. Prinsip dasar regresi bertatar adalah
mengurangi banyaknya peubah di dalam persamaan dengan cara menyusupkan
peubah satu demi satu sampai diperoleh persamaan regresi yang baik. Menurut
Spiegel (2004) model yang dihasilkan dapat digunakan sebagai penduga yang
baik jika asumsi-asumsi berikut dapat dipenuhi, yaitu:
a. Variabel tujuan adalah variabel acak.
b. Hubungan antara beberapa variabel penduga dengan satu variabel tujuan
adalah linear.
c. Varians distribusi kondisional variabel tujuan semuanya sama, dengan
kombinasi nilai-nilai variabel penduga bermacam-macam.
d. Distribusi kondisional variabel tujuan terdistribusi secara normal dengan rata-
rata nol.
e. Nilai variabel tujuan yang diamati bersifat bebas atau tidak terjadi
autokorelasi.
f. Tidak ada multikolinearitas antar variabel penduga.
Persamaan (model) yang digunakan adalah:
Y=A0+A1X1+………. + AnXn
Dimana:
Y= Ketersediaan RTH 2011 (ha)
X= Variabel bebas
A= Koefisien Variabel
Unit data untuk dianalisis regresi yaitu kelurahan dengan jumlah pengamatan
sebanyak 15. Variabel bebas (X) yang diduga berpengaruh pada ketersediaan
RTH antara lain: pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk, jumlah seluruh
fasilitas (fasilitas ekonomi, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan fasilitas
sosial), jumlah jenis seluruh fasilitas, luas lahan terbangun tahun 2011, luas lahan
14

tidak terbangun tahun 2011, alokasi lahan terbangun dalam RTRW (kawasan
industri, kawasan militer, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan sosial budaya
dan perumahan), alokasi lahan tidak terbangun dalam RTRW (hutan resapan,
kawasan pengembangan perikanan, kawasan rawan banjir, kawasan rawan
longsor, kawasan resapan air), dan alokasi RTH dalam RTRW. Variabel
pertumbuhan penduduk dihitung menggunakan teknik pendugaan pertumbuhan.
Teknik ini digunakan untuk menghitung pertumbuhan penduduk yang ada di Kota
Cimahi pada periode 2008-2011, sehingga dapat dilihat seberapa besar
pengaruhnya terhadap ketersediaan RTH di Kota Cimahi. Rumus matematik dari
teknik pendugaan pertumbuhan adalah:
Pertumbuhan= (Xt1-Xt0)/Xt0 , dimana:
Xt0 = nilai variabel tahun awal
Xt1 = nilai variabel tahun akhir
15

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Letak dan Posisi Geografis

Kota Cimahi terletak diantara 107°30’30” BT – 107°34’30” dan 6°50’00”-


6°56’00” LS. Secara geografis wilayah ini merupakan lembah cekungan yang
melandai ke arah selatan, dengan ketinggian di bagian utara ± 1 040 m di atas
permukaan laut (Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara) serta ketinggian
di bagian selatan sekitar ± 685 m diatas permukaan laut (Kelurahan Melong,
Kecamatan Cimahi Selatan) yang mengarah ke Sungai Citarum. Menurut UU No.
9 tahun 2001 Kota Cimahi memiliki luas wilayah sebesar 40.7 km2 dengan batas
administratif sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kecamatan Parongpong, Kecamatan Cisarua, dan
Kecamatan Ngamprah Kabupaten Bandung Barat.
Sebelah Timur : Kecamatan Sukasari, Kecamatan Sukajadi, Kecamatan
Cicendo, dan Kecamatan Andir Kota Bandung.
Sebelah Selatan : Kecamatan Marga Asih, Kecamatan Batujajar,
Kabupaten Bandung Barat dan Bandung Kulon Kota
Bandung
Sebelah Barat : Kecamatan Padalarang, Kecamatan Batujajar,
Kecamatan Ngamprah Kabupaten Bandung Barat.

Administrasi dan Luas Lahan

Kota Cimahi merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat meliputi 3
kecamatan dan 15 kelurahan, yaitu: Kecamatan Cimahi Utara 4 kelurahan dengan
luas wilayah sebesar 16.9 km2, Kecamatan Cimahi Tengah 6 kelurahan dengan
luas wilayah 10 km2 dan Kecamatan Cimahi Selatan 5 kelurahan dengan luas
wilayah 13.3 km2. Dari ketiga kecamatan tersebut, Kecamatan Cimahi Selatan
merupakan daerah terluas dengan luas 16.9 km2 dan Kecamatan Cimahi Tengah
merupakan daearah yang memiliki luas terkecil yaitu 10 km2.
Panjang jalan di Kota Cimahi pada akhir tahun 2010 adalah 118 956 meter.
Jika dirinci menurut pengelolanya maka sebesar 3.25% diantaranya adalah jalan
nasional, 7.05% adalah jalan provinsi, dan sisanya jalan kota. Dari seluruh jalan
yang ada di Kota Cimahi hanya 69.99% (83 219 meter) yang dalam kondisi baik,
sebanyak 17.90% (21 299 meter) dalam kondisi sedang dan 11.91% (14 438
meter) dalam kondisi rusak.

Kemiringan Lereng

Kota Cimahi memiliki kemiringan lereng yang cukup bervariasi yaitu


daerah yang memiliki kemiringan lereng 0-8% seluas 3 601.75 ha terletak di
sebagian wilayah Kecamatan Cimahi Selatan dan Cimahi Tengah. Daerah dengan
kemiringan lereng 8-15% seluas 216.07 ha terdapat di sebagian wilayah
Kecamatan Cimahi Tengah dan Utara, dan daerah yang memiliki kemiringan
lereng 15-25% seluas 144.15 ha.
16

Hidrologi

Sungai yang melalui Kota Cimahi adalah Sungai Cimahi, dengan anak
sungainya ada lima yaitu Kali Cibodas, Ciputri, Cimindi, Cibeureum, dan Kali
Cisangkan, sementara itu mata air yang terdapat di Kota Cimahi adalah mata air
Cikuda dan mata air Cisintok.

Iklim dan Suhu Udara

Berdasarkan data curah hujan wilayah Kota Cimahi mempunyai curah hujan
rata-rata berkisar antara 2 000-5 000 mm/tahun dan memiliki temperatur berkisar
antara 18ºC-29ºC.

Penggunaan Lahan

Pola pemanfaatan ruang di Kota Cimahi terbagi menjadi dua jenis


penggunaan, yaitu penggunaan lahan terbangun dan penggunaan lahan tidak
terbangun. Pola pemanfaatan ruang terbangun di Kota Cimahi pada tahun 2007
didominasi oleh penggunaan lahan sebagai perumahan tidak teratur (781.25 ha)
dan industri (501.25 ha). Luas lahan tidak terbangun di Kota Cimahi pada tahun
2007 didominasi oleh penggunaan lahan pertanian lahan kering seluas 1 110.50
ha.

Kependudukan

Jumlah penduduk dari 3 kecamatan di Kota Cimahi menurut hasil sensus


penduduk tahun 2010 diantaranya Cimahi Selatan sebanyak 230 623 jiwa, Cimahi
Tengah sebanyak 163 070 jiwa dan Cimahi Utara sebanyak 147 484 jiwa. Hasil
sensus penduduk tahun 2010, secara keseluruhan pada tahun 2010 jumlah
penduduk di Kota Cimahi sebanyak 541 177 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk
Kota Cimahi tahun 2010 adalah 13 462 jiwa/km2, dimana Kecamatan Cimahi
Tengah memiliki kepadatan penduduk tertinggi yaitu sebesar 16 307 jiwa/km2
dibandingkan dua kecamatan lainnya. Hal ini disebabkan mobilitas penduduk
yang cukup tinggi karena penduduk lebih terkonsentrasi ke pusat Kota Cimahi
dengan keanekaragamannya.

Perekonomian

PDRB merupakan salah satu indikator makro yang menggambarkan kondisi


ekonomi di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Bila melihat PDRB atas
harga berlaku dari tahun 2009 sampai tahun 2010 mencapai 9.94%, sedangkan
menurut harga konstan pertumbuhannya mencapai 5.30%. Pertumbuhan yang
paling besar menurut PDRB harga berlaku berasal dari sektor lapangan usaha jasa
penunjang dan angkutan yaitu sebesar 28.42%, sedangkan untuk PDRB harga
konstan lapangan usaha yang pertumbuhannya besar adalah komunikasi yaitu
22.80%. Namun dari seluruh lapangan usaha yang memberi andil besar pada
PDRB dipegang oleh sektor industri pengolahan yaitu sebesar 58% di tahun 2009
dan 2010.
17

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, kontribusi terbesar dalam


pembangunan ekonomi di Kota Cimahi pada tahun 2010 di dominasi oleh sektor
industri pengolahan. Sumber data sektor industri ini diperoleh dari hasil survei
tahunan perusahaan industri besar/sedang. Dalam pengumpulan data industri,
yang dimaksud industri besar adalah perusahaan dengan jumlah pekerja 100 orang
atau lebih, industri sedang dengan jumlah pekerja 20-99 orang, industri kecil
mempunyai pekerja antara 5-19 orang, sedangkan perusahaan yang memiliki
pekerja kurang dari 5 orang disebut usaha rumah tangga.
Jumlah perusahaan industri pada tahun 2010 terdiri dari industri besar
sebanyak 63 perusahaan dan industri sedang sebanyak 67 perusahaan. Jumlah
industri besar/sedang yang paling banyak berada di wilayah Cimahi Selatan yaitu
95 perusahaan (73.08%), sedangkan yang paling sedikit berada di wilayah Cimahi
Utara yaitu sebanyak 15 perusahaan (9.2%).
18

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Lahan dan Pola Perubahan Penggunaan Lahan Kota Cimahi


Tahun 2007-2011

Perubahan penggunaan lahan merupakan bertambahnya suatu penggunaan


dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lain dengan diikuti berkurangnya
tipe penggunaan lahan lain dari satu waktu ke waktu lainnya atau berubahnya
fungsi suatu lahan dalam kurun waktu tertentu (As-Syakur 2011). Hasil
penggunaan lahan tahun 2007 diperoleh dari peta penggunaan lahan Kota Cimahi
tahun 2007 yang telah diklasifikasi oleh Bappeda Kota Cimahi, sedangkan
penggunaan lahan Kota Cimahi tahun 2011 diperoleh dari hasil interpretasi citra
Quickbird tahun 2011. Komposisi masing-masing penggunaan lahan dan sebaran
spasial penggunaan lahan Kota Cimahi tahun 2007 dan 2011 disajikan pada
Gambar 2 dan Gambar 3.

2000.0
1461.5
1500.0
1000.0 633.5
459.1 585.6
500.0 264.3 223.9 350.4
9.4 29.9 54.4
0.0

a Luas Penggunaan Lahan 2007 (ha)

2000.0 1869.5

1500.0
1000.0 737.9
500.0 335.8 444.7 249.0
69.5 107.4 153.0 95.7
9.4
0.0

b Luas Penggunaan Lahan 2011 (ha)

Gambar 2 Komposisi Masing-Masing Penggunaan Lahan di Kota Cimahi a)


Tahun 2007, b) Tahun 2011
19

(a)

(b)
Gambar 3 Sebaran Spasial Penggunaan Lahan di Kota Cimahi Tahun 2007
(a), Tahun 2011 (b)
20

Penggunaan lahan di Kota Cimahi pada tahun 2007 didominasi oleh


penggunaan pemukiman sebesar 1 461.5 ha (35.9%). Proporsi penggunaan lahan
oleh pemukiman paling besar terdapat di Kelurahan Melong, disebabkan oleh
jumlah penduduk di kelurahan ini paling banyak dibandingkan kelurahan lainnya
yaitu sebanyak 53 439 jiwa sehingga kebutuhan tempat tinggal penduduk lebih
besar. Penggunaan lahan pada tahun 2011 yang mengalami penurunan luas
terbesar adalah sawah. Penggunaan ini mengalami penurunan menjadi 249 ha
(6.1%), diikuti oleh ladang mengalami penurunan menjadi 444.7 ha (10.9%).
Penurunan luas sawah terbesar terjadi di Kelurahan Cibeureum dan Melong. Hal
ini sejalan dengan peningkatan luas untuk penggunaan lahan pemukiman.
Gambar 2 (b) menunjukkan peningkatan luas pemukiman menjadi 1 869 ha
(45.9%), bangunan menjadi 69.5 ha (1.7%), industri menjadi 335.8 ha (8.2%),
lahan terbuka menjadi 107.4 ha (2.6%) dan RTH menjadi sebesar 737.8 ha
(18.1%). Hal ini diikuti dengan penurunan sawah menjadi 249 ha (6.1%), ladang
menjadi 444.7 ha (10.9%), perkebunan menjadi 153 ha (3.8%) dan rumput
menjadi 95.7 ha (2.4%).
Gambar 3 menunjukkan sebaran spasial penggunaan lahan Kota Cimahi
tahun 2007 (a) dan tahun 2011 (b). Pada tahun 2007, Kota Cimahi Bagian Utara
didominasi oleh penggunaan lahan ladang dan sawah, sedangkan Bagian Timur
dan Selatan Kota Cimahi didominasi oleh penggunaan pemukiman dan industri.
Pola ini terbentuk dipengaruhi oleh aksesibilitas yaitu jaringan jalan yang
memadai dimana dilalui oleh jalan utama kota yang berbatasan langsung dengan
Kota Bandung serta jalan tol yang menjadi akses untuk keluar masuk aktivitas ke
pusat pemerintahan sehingga menjadi pemicu dibentuknya berbagai jenis fasilitas
untuk menunjang aktivitas masyarakatnya. Sementara itu, Bagian Barat Kota
Cimahi didominasi oleh penggunaan lahan terbuka dan RTH. Hal ini diduga
karena wilayah tersebut berbatasan dengan Kabupaten Bandung yang masih
didominasi oleh penggunaan lahan tidak terbangun.
Selanjutnya pada tahun 2011, penurunan luas penggunaan lahan terbesar
terjadi di Bagian Selatan Kota Cimahi yaitu Kelurahan Cibeureum dan Melong.
Peningkatan jumlah penduduk di kelurahan tersebut menyebabkan banyak
penggunaan lahan yang dikonversi menjadi lahan terbangun, seperti pemukiman
dan industri. Adapun lahan yang banyak dikonversi menjadi lahan terbangun
adalah sawah dan ladang.
Hasil analisis perubahan penggunaan lahan tahun 2007-2011 menunjukkan
penggunaan yang berubah menjadi pemukiman sebesar 420.6 ha. Perubahan
penggunaan lahan tersebut dominan dikonversi dari lahan sawah dan ladang
masing-masing sebesar 191.5 ha dan 110.4 ha. Beberapa hal yang diduga menjadi
alasan di berbagai jenis penggunaan tersebut adalah memiliki bentuk lahan yang
relatif datar yang sangat baik bagi lokasi pemukiman. Selain itu, peningkatan
jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatkan kebutuhan tempat tingal
menyebabkan kedua lahan tersebut dikonversi menjadi pemukiman. Matriks
transisi penggunaan lahan Kota Cimahi tahun 2007-2011 disajikan pada Tabel 4.
21

Tabel 4 Matriks Transisi Penggunaan Lahan Kota Cimahi Tahun 2007-2011 (ha)
Penggunaan Penggunaan Lahan Tahun 2011 (ha)
Lahan Tahun
2007 Jumlah
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10)
(ha)

1)Badan air 9.4 9.4

2)Bangunan 29.8 29.9

3)Industri 264.2 264.2

4)Ladang 18.5 4.1 444.9 38.1 110.4 17.6 633.8

5)Lahan terbuka 54.3 54.3

6)Pemukiman 12.3 1 449.2 1 461.5

7)Perkebunan 2.7 48.8 152.9 14. 0 5.5 223.9

8)RTH 350.5 350.5

9)Rumput 21.3 67.4 69.9 222.7 78.0 459.3

10)Sawah 191.5 150.8 243.6 585.8

Jumlah 9.4 69.7 335.8 444.9 107.4 1 869.7 152.9 738.0 95.6 249.1 4 072.6

Penggunaan ladang dalam rentang waktu 2007-2011 berubah antara lain


menjadi bangunan, industri, lahan terbuka, pemukiman dan rumput. Perubahan
paling besar adalah dari ladang ke pemukiman sebesar 110.4 ha. Wilayah yang
mengalami perubahan dari ladang ke pemukiman terbesar adalah Kelurahan
Cipageran sebesar 29.6 ha. Perubahan penggunaan ladang menjadi bangunan
terbesar di Kelurahan Pasirkaliki sebesar 4.1 ha. Perubahan ladang ke industri
terbesar di Kelurahan Baros sebesar 1.5 ha. Perubahan ladang menjadi lahan
terbuka terbesar di Kelurahan Cibeber sebesar 18.4 ha dan perubahan ladang
menjadi rumput terbesar adalah Kelurahan Baros sebesar 4.6 ha.
Perubahan penggunaan pemukiman menjadi lahan terbuka pada tahun 2007-
2011 sebesar 12.3 ha dan wilayah yang paling banyak berubah berada di
Kelurahan Pasirkaliki. Hal ini disebabkan oleh adanya pemukiman yang dibangun
di atas tanah milik pemerintah sehingga pada tahun 2008 terjadi penggusuran dan
oleh pemerintah lahan tersebut dijadikan lahan terbuka. Penggunaan perkebunan
pada selang waktu 2007-2011 berubah menjadi lahan terbuka, pemukiman, RTH
dan sawah yang masing-masing sebesar 2.7 ha, 48.8 ha, 14 ha, dan 5.5 ha.
Perubahan yang paling besar yaitu dari perkebunan ke pemukiman dan wilayah
yang mengalami perubahan terbesar Kelurahan Cipageran sebesar 17 ha.
Perubahan penggunaan perkebunan menjadi lahan terbuka paling besar di
Kelurahan Cibeber sebesar 2.2 ha, perubahan penggunaan perkebunan menjadi
RTH paling banyak di Kelurahan Baros sebesar 3.8 ha dan perubahan perkebunan
menjadi sawah sebesar 5.5 ha paling banyak dialami oleh Kelurahan Citeureup
sebesar 2.5 ha.
Penggunaan rumput terjadi perubahan pada selang waktu 2007-2011 yaitu
menjadi bangunan, industri, pemukiman, dan RTH masing-masing sebesar 21.3
ha, 67.4 ha, 69.9 ha, dan 222.7 ha. Rumput menjadi bangunan berubah sebesar
21.3 ha dan wilayah yang paling besar perubahannya berada di Kelurahan
22

Pasirkaliki yaitu sebesar 7.7 ha. Rumput menjadi industri berubah sebesar 67.4 ha
dan wilayah yang paling besar perubahannya yaitu Kelurahan Utama sebesar 37.9
ha. Perubahan rumput ke pemukiman sebesar 69.9 ha dan wilayah yang
mengalami perubahan terbesar adalah Kelurahan Pasirkaliki sebesar 19.9 ha,
sedangkan rumput menjadi RTH berubah sebesar 222.7 ha dengan wilayah yang
mengalami perubahan terbesar adalah Kelurahan Utama sebesar 59.5 ha.
Perubahan penggunaan lahan juga dialami pada penggunaan lahan sawah dimana
pada selang waktu tahun 2007-2011 terjadi perubahan penggunaan sawah menjadi
pemukiman dan perubahan sawah menjadi RTH. Sawah ke pemukiman berubah
sebesar 191.5 ha dengan wilayah yang mengalami perubahan terbesar adalah
Kelurahan Citeureup sebesar 40.2 ha, sedangkan perubahan dari sawah ke RTH
sebesar 150.8 ha dengan wilayah yang mengalami perubahan terbesar adalah
Kelurahan Utama sebesar 53.8 ha. Perubahan penggunaan lahan Kota Cimahi
tahun 2007-2011 banyak terjadi konversi dari lahan pertanian ke non pertanian.
Hal ini berarti Kota Cimahi semakin menunjukkan wilayah perkotaan dimana
sebagian besar aktivitasnya digunakan untuk aktivitas non pertanian. Luasan
perubahan penggunaan lahan Kota Cimahi tahun 2007-2011 di masing-masing
wilayah disajikan pada Lampiran 3.

Ketersediaan RTH Kota Cimahi Tahun 2011

Pada tahun 2011, luasan RTH Kota Cimahi keseluruhan sebesar 738 ha.
Kelurahan Utama memilki luasan RTH tertinggi yaitu sebesar 158 ha atau sebesar
21.4% kemudian diikuti oleh Kelurahan Baros dengan luasan RTH sebesar 86.7
ha atau 11.8% dari total keseluruhan luasan RTH. Luasan RTH terkecil dimiliki
oleh Kelurahan Cimahi dengan luasan RTH 6.7 ha atau 0.9% dari total
keseluruhan luasan RTH, hal ini disebabkan oleh luas wilayah kelurahan tersebut
relatif kecil dibandingkan dengan luas wilayah lainnya. Hasil identifikasi RTH
Kota Cimahi tahun 2011 berdasarkan citra Quickbird tahun 2011 disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5 Luasan RTH Eksisting Kota Cimahi tahun 2011
Luas RTH eksisting
Kelurahan %
Cimahi 2011 (ha)
Baros 86.7 11.8
Cibabat 21.1 2.9
Cibeber 85.4 11.6
Cibeureum 14.8 2.0
Cigugur Tengah 58.1 7.9
Cimahi 6.7 0.9
Cipageran 39.5 5.4
Citeureup 22.9 3.1
Karangmekar 61.0 8.3
Leuwigajah 60.8 8.2
Melong 14.5 2.0
Padasuka 14.6 2.0
Pasirkaliki 25.0 3.4
Setiamanah 68.9 9.3
Utama 158.0 21.4
Jumlah 738.0 100
23

Kecukupan RTH Kota Cimahi Berdasarkan Jumlah Penduduk


Kebutuhan RTH Kota Cimahi berdasarkan jumlah penduduk serta
kecukupannya pada tahun 2011 disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk dan Kecukupannya


RTH RTH total
Jumlah Luas Kebutuhan
menurut Kota Selisih
Kelurahan Penduduk Wilayah RTH 20%
Permen Cimahi (ha) b)
(jiwa) (ha) (ha)
PU (ha)a) 2011(ha)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Baros 21 053 243.5 48.7 42.1 86.7 44.6
Cibabat 39 219 286.3 57.3 78.4 21.2 -57.3
Cibeber 23 992 352.0 70.4 48.0 85.4 37.4
Cibeureum 63 854 228.3 45.7 127.7 14.8 -112.9
Cigugur Tengah 53 592 330.5 66.1 107.2 58.1 -49.1
Cimahi 11 129 61.7 12.3 22.3 6.7 -15.6
Cipageran 35 466 574.5 114.9 70.9 39.5 -31.4
Citeureup 30 121 308.3 61.7 60.2 22.9 -37.4
Karangmekar 14 975 124.4 24.9 30.0 61.0 31.0
Leuwigajah 40 694 384.6 76.9 81.4 60.8 -20.6
Melong 65 864 306.9 61.4 131.7 14.5 -117.3
Padasuka 40 163 188.7 37.8 80.3 14.6 -65.7
Pasirkaliki 15 860 217.2 43.4 31.7 25.0 -6.7
Setiamanah 20 419 114.7 23.0 40.8 68.9 28.1
Utama 35 889 350.3 70.1 71.8 158.0 86.12
Jumlah 512 290 4 071.8 814.4 1 024.6 738.0 -286.6
Keterangan: a) Permen PU No. 05/PRT/M/2008
b)
Selisih = (5) – (6)

Menurut Permen PU No. 5 tahun 2008 penduduk membutuhkan RTH


sebesar 20 m2 agar dapat melakukan aktifitas dengan nyaman. Sebagai
pembanding, Curitiba (Brazil) telah berkembang menjadi kota yang nyaman
dengan luasan ruang terbuka hijaunya 55 m2/penduduk pada tahun 2002 yang
merupakan ukuran yang sangat tinggi untuk suatu kota (Direktorat Jenderal
Penataan Ruang 2006). Contoh lainnya, luasan RTH kota di Malaysia ditetapkan
sebesar 1.9 m2/penduduk, sedangkan di Jepang 5 m2/penduduk (Tong Yiew dalam
Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2006). Menurut Rifai dalam Direktorat
Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan bahwa Dewan Kota Lancashire,
Inggris menentukan 11.5 m2/penduduk dan Amerika 60 m2/penduduk, sedangkan
di DKI Jakarta taman untuk bermain dan berolahraga diusulkan 1.5 m2/ penduduk.
Tabel 6 menunjukkan luas RTH eksisting Kota Cimahi pada tahun 2011
sebesar 738 ha atau 17.9% dari total seluruh wilayah sedangkan RTH yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk Kota Cimahi sebesar
1 024.6 ha. Hasil tersebut menunjukkan bahwa Kota Cimahi belum bisa
memenuhi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk. Oleh karena itu perlu
adanya penambahan RTH sebanyak 286.6 ha. Berdasarkan proporsi RTH 20% per
luas kelurahan juga belum mencukupi kebutuhan RTH yang ada yaitu sebesar
814.4 ha. Oleh karena itu perlu adanya upaya penambahan areal yang berpotensi
untuk dijadikan RTH hingga tercapainya kecukupan RTH ditinjau dari luas
wilayah dan jumlah penduduk agar seluruh masyarakat merasa nyaman dalam
melakukan aktivitas.
24

Kelurahan yang luasan RTH nya sudah mencukupi berdasarkan jumlah


penduduk adalah Kelurahan Baros, Cibeber, Karangmekar, Setiamanah dan
Utama. Kelurahan Utama memiliki luasan RTH yang paling besar yaitu 158 ha.
Kelurahan yang mengalami kekurangan luas RTH terbesar adalah Kelurahan
Melong sebesar 117.3 ha dan Kelurahan Cibeureum sebesar 112.9 ha. Kedua
kelurahan tersebut memiliki jumlah penduduk terbanyak dibandingkan kelurahan
lainnya sehingga peluang terjadi konversi RTH menjadi lahan terbangun semakin
tinggi seperti perumahan, industri, perdagangan, dan jasa.

Areal yang Berpotensi untuk Perluasan RTH


Luasan dan sebaran areal yang berpotensi untuk penambahan RTH disajikan
pada Gambar 4 dan Gambar 5.

100.0
80.0
54.9
60.0
40.0 27.5 22.5 24.2 23.8 20.6
20.0 4.3 4.8 0.4 2.9 2.9 2.7 5.7 4.3 1.5
0.0

Luas Areal yang Berpotensi untuk Penambahan RTH (ha)

Gambar 4 Luasan Areal yang Berpotensi untuk Penambahan RTH per Kelurahan
Kota Cimahi tahun 2011

Gambar 5 Sebaran Areal Potensial Untuk Penambahan RTH Kota Cimahi


25

Pembuatan peta areal yang berpotensi untuk penambahan RTH ditentukan


berdasarkan yang teridentifikasi dari penggunaan lahan tahun 2011 (lahan terbuka
dan rumput). Kemungkinan lahan terbuka untuk dijadikan penggunaan lain lebih
besar dengan tidak mengganggu penggunaan lahan lainnya. Padang rumput dipilih
karena penggunaan tersebut nilai lahannya rendah dan sebagian besar
kepemilikannya adalah milik publik. Land rent dari rumput juga relatif rendah
sehingga apabila dijadikan alternatif RTH publik, pemerintah tidak harus
mengeluarkan anggaran yang cukup tinggi untuk ganti rugi dari lahan tersebut.
Kelurahan Cibeber dan Baros memiliki luas areal yang berpotensi untuk
penambahan RTH paling besar dibandingkan kelurahan lainnya yaitu masing-
masing sebesar 54.9 ha dan 27.5 ha. Kepadatan penduduk di wilayah ini cukup
rendah, sementara itu luas lahan yang tersedia untuk menambah luasan areal RTH
cukup besar. Kelurahan Cimahi memiliki luas areal yang berpotensi untuk
penambahan RTH paling kecil karena luas wilayah kelurahannya kecil sehingga
potensi penambahan luas areal RTH terbatas. Pada Tabel 7 ditunjukkan luas RTH
eksisting dan luas penambahan RTH dibandingkan dengan luas kebutuhan RTH
berdasarkan jumlah penduduk.
Tabel 7 Luas RTH Eksisting dan Luas Penambahan RTH Dibandingkan dengan Luas Kebutuhan
RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Kota Cimahi Tahun 2011
Luas RTH
RTH
RTH Kota
Jumlah Luas Kota Luas Areal
menurut Selisih-I Cimahi dan Selisih-II
Kelurahan Penduduk Wilayah Cimahi Penambahan
Permen PU (ha)b) areal (ha)c)
(jiwa) (ha) a) 2011 RTH (ha)
(ha) penambahan
(ha)
RTH (ha)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Baros 21 053 243.5 42.1 86.7 44.6 27.5 114.2 72.1
Cibabat 39 219 286.3 78.4 21.2 -57.3 4.3 25.5 -52.9
Cibeber 23 992 352.0 48.0 85.4 37.4 54.9 140.3 92.3
Cibeureum 63 854 228.3 127.7 14.8 -112.9 4.8 19.5 -108.2
Cigugur
53 592 330.5 107.2 58.1 -49.1 22.5 80.7 -26.5
Tengah
Cimahi 11 129 61.7 22.3 6.7 -15.6 0.4 7.1 -15.1
Cipageran 35 466 574.5 70.93 39.5 -31.4 2.9 42.4 -28.6
Citeureup 30 121 308.3 60.2 22.9 -37.4 2.9 25.8 -34.4
Karangmekar 14 975 124.4 30.0 61.0 31.0 2.7 63.7 33.7
Leuwigajah 40 694 384.6 81.4 60.8 -20.6 24.2 85.0 3.6
Melong 65 864 306.9 131.7 14.5 -117.3 5.7 20.1 -111.6
Padasuka 40 163 188.7 80.3 14.6 -65.7 23.9 38.5 -41.8
Pasirkaliki 15 860 217.2 31.7 25.0 -6.7 20.6 45.6 13.9
Setiamanah 20 419 114.7 40.8 68.9 28.1 4.3 73.2 32.3
Utama 35 889 350.3 71.8 158.0 86.2 1.5 159.5 87.7
Jumlah 512 290 4 071.8 1 024.6 738.0 -286.6 203.1 941.0 -83.6
a)
Keterangan: Permen PU No.05/PRT/M/2008
b)
Selisih-I = (5) – (4)
c)
Selisih -II= (8) – (4)
Berdasarkan hasil analisis areal penambahan RTH Kota Cimahi sebesar
203.1 ha. Luasan tersebut belum bisa mencukupi kebutuhan seluruh penduduk
26

yang ada di Kota Cimahi yaitu sebesar 941 ha, sedangkan menurut proporsi
Permen PU No. 5 tahun 2008 luasan RTH untuk mencukupi seluruh penduduk
sebesar 1 024.6 ha. Beberapa kelurahan yang luasan RTH nya belum bisa
mencukupi seluruh penduduk yang tinggal di wilayah tersebut diantaranya
Kelurahan Cibabat, Cibeureum, Cigugur Tengah, Cimahi, Cipageran, Citeureup,
Melong, dan Padasuka. Kelurahan Melong menduduki peringkat tertinggi yang
belum bisa mencukupi kebutuhan RTH di wilayahnya yaitu sebesar 111.6 ha,
kemudian diikuti oleh Kelurahan Cibeureum sebesar 108.2 ha. Kedua kelurahan
ini seperti dijelaskan sebelumnya memiliki jumlah penduduk terbanyak
dibandingkan kelurahan lainnya sehingga sebagian besar lahan untuk RTH
dikonversi untuk lahan terbangun seperti perumahan, perkantoran, industri, dan
jasa sehingga berpengaruh terhadap kurangnya lahan untuk RTH. Adapun
kelurahan yang sudah memenuhi kebutuhan RTH menurut proporsi Permen PU
No. 5 tahun 2008 yaitu Kelurahan Baros, Cibeber, Karangmekar, Leuwigajah,
Pasirkaliki, Setiamanah dan Utama. Kelurahan-kelurahan tersebut sudah
mencukupi kebutuhan RTH nya walaupun luasannya belum ditambahkan dengan
luasan areal penambahan RTH, kecuali Kelurahan Leuwigajah dan Pasirkaliki.
Agar RTH yang ada di Kota Cimahi tetap dilindungi ketersediaannya maka
alokasi RTH perlu direncanakan sebelumnya untuk mengantisipasi perkembangan
wilayah agar penduduk tetap merasa nyaman dalam melakukan aktivitas, sehingga
perkembangan wilayah meningkat didukung oleh ketersediaan RTH demi
kenyamanan penduduk dalam melakukan aktivitasnya.

DinamikaTingkat Perkembangan Wilayah Kota Cimahi

Jumlah dan Kepadatan Penduduk


Pada tahun 2003-2011 pertumbuhan penduduk Kota Cimahi cukup tinggi
yang ditunjukkan oleh jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang semakin
bertambah dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk Kota Cimahi secara agregat
pada tahun 2003 sebanyak 388 581 jiwa, sedangkan pada tahun 2011 sebanyak
512 290 jiwa. Secara rata-rata pertumbuhan penduduk Kota Cimahi pada periode
tersebut sebesar 0.07 % per tahun. Penyebaran penduduk pada tahun 2011
didominasi oleh 2 kelurahan yaitu Kelurahan Melong dan Kelurahan Cibeureum.
Kelurahan Melong memiliki jumlah penduduk sebanyak 65 864 jiwa pada tahun
2011, disusul oleh Kelurahan Cibeureum sebanyak 63 854 jiwa pada tahun 2011.
Kelurahan yang memiliki jumlah penduduk yang paling kecil adalah Kelurahan
Cimahi yang pada tahun 2011 memiliki jumlah penduduk sebanyak 11 129 jiwa.
Tingginya jumlah penduduk di Kelurahan Melong dan Cibeureum dikarenakan
dua kelurahan tersebut dilalui oleh jalan utama kota serta memiliki akses jalan
lokal yang cukup baik sehingga mobilitas penduduk untuk melakukan aktivitas
dan memanfaatkan fasilitas yang ada lebih mudah. Selain itu, dua kelurahan
tersebut juga berbatasan langsung dengan Kota Bandung yang merupakan Ibukota
Provinsi Jawa Barat.
Kepadatan penduduk Kota Cimahi juga dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Hal ini dikarenakan meningkatnya jumlah penduduk yang tidak
disertai dengan penambahan luasan wilayah. Pada tahun 2003 kepadatan
penduduk Kota Cimahi sebesar 159 535 jiwa/km2 sedangkan pada tahun 2011
27

sebanyak 214 597 jiwa/km2. Gambar 6 dan Gambar 7 menunjukkan jumlah


penduduk dan kepadatan penduduk Kota Cimahi periode tahun 2003-2011.

50000

40000

30000 Pasirkaliki
Cibabat
20000
Citeureup
10000 Cipageran
0
2003 2006 2008 2010 2011
a

60000
50000 Baros
40000 Cigugur Tengah
30000 Karangmekar
20000 Setiamanah
10000 Padasuka
0 Cimahi
2003 2006 2008 2010 2011
b

70000
60000
50000 Melong
40000 Cibeureum
30000 Utama
20000 Leuwigajah
10000
Cibeber
0
2003 2006 2008 2010 2011
c
Gambar 6 Jumlah Penduduk Periode Tahun 2003-2011 di a) Kecamatan Cimahi
Utara, b) Kecamatan Cimahi Tengah, c) Kecamatan Cimahi Selatan
28

15000

10000 Pasirkaliki
Cibabat
5000 Citeureup
Cipageran

0
2003 2006 2008 2010 2011
a

35000
30000 Baros
25000 Cigugur Tengah
20000 Karangmekar
15000 Setiamanah
10000 Padasuka
5000 Cimahi
0
2003 2006 2008 2010 2011
b

25000

20000
Melong
15000 Cibeureum
10000 Utama
Leuwigajah
5000
Cibeber
0
2003 2006 2008 2010 2011
c
Gambar 7 Kepadatan Penduduk Periode Tahun 2003-2011 di a) Kecamatan
Cimahi Utara, b) Kecamatan Cimahi Tengah, c) Kecamatan Cimahi
Selatan
Gambar 6 dan Gambar 7 menunjukkan perubahan jumlah dan kepadatan
penduduk Kota Cimahi pada tahun 2003-2011. Kelurahan yang memiliki
kepadatan penduduk paling tinggi yaitu Kelurahan Padasuka yang berada di
Kecamatan Cimahi Tengah sebesar 30 243 jiwa/km2 pada tahun 2011. Mobilitas
penduduk yang cukup tinggi menuju kelurahan tersebut terjadi karena penduduk
lebih terkonsentrasi di pusat perkotaan Cimahi dengan segala
keanekaragamannya, disusul oleh Kelurahan Cibeureum dan Kelurahan Melong
yang berada di Kecamatan Cimahi Selatan dengan kepadatan penduduk masing-
masing sebesar 23 244 jiwa/km2 dan 21 036 jiwa/km2 pada tahun 2011. Kelurahan
29

yang memiliki kepadatan penduduk yang rendah adalah Kelurahan Cipageran di


Kecamatan Cimahi Utara sebesar 5 967 jiwa/km2. Hal ini dikarenakan letak
Kelurahan Cipageran yang berada di daerah dataran tinggi dimana sebagian besar
penggunaan lahannya digunakan untuk kegiatan pertanian dan kawasan lindung.
Tabel jumlah dan kepadatan penduduk Kota Cimahi periode 2003-2011 disajikan
pada Lampiran 4.

Hirarki Perkembangan Wilayah Kota Cimahi


Dari pengolahan data dengan skalogram diperoleh data hirarki wilayah dan
perubahan hirarki tahun 2003-2011 yang tercantum pada Tabel 8.
Tabel 8 Hirarki Wilayah Berdasarkan Kelurahan di Kota Cimahi Tahun 2003-2011
Kecamatan Kelurahan 2003 2006 2008 2011
Cimahi Selatan Melong Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1
Cimahi Selatan Cibeureum Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 1
Cimahi Selatan Utama Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2
Cimahi Selatan Leuwigajah Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2
Cimahi Selatan Cibeber Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3
Cimahi Tengah Baros Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3
Cimahi Tengah Cigugur Tengah Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3
Cimahi Tengah Karangmekar Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3
Cimahi Tengah Setiamanah Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3
Cimahi Tengah Padasuka Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2
Cimahi Tengah Cimahi Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3
Cimahi Utara Pasirkaliki Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3
Cimahi Utara Cibabat Hirarki 3 Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3
Cimahi Utara Citeureup Hirarki 3 Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3
Cimahi Utara Cipageran Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3

Hasil analisis jumlah jenis fasilitas, jumlah unit fasilitas dan jumlah
penduduk menunjukkan bahwa Kelurahan Melong dan Cibereum konsisten
berada di hirarki 1. Jumlah penduduk di kelurahan tersebut paling banyak
dibandingkan kelurahan yang lainnya, selain itu juga didukung oleh jumlah unit
dan jumlah jenis fasilitas yang banyak dan beragam guna memfasilitasi kebutuhan
masyarakat. Disamping itu, kelurahan tersebut dilewati oleh jalan utama kota dan
berbatasan langsung dengan Kota Bandung yang merupakan Ibukota Provinsi
Jawa Barat. Kelurahan Utama konsisten berada pada hirarki 2. Hal ini disebabkan
wilayah tersebut dilalui oleh jalan tol yang menjadi salah satu akses untuk keluar
masuk aktivitas ke pusat pemerintahan sehingga menjadi daerah penunjang bagi
wilayah pusatnya (hirarki 1). Kelurahan Cibeber, Karangmekar, Setiamanah,
Cimahi, Pasirkaliki konsisten berada di hirarki 3. Terjadi karena jumlah dan
kepadatan penduduk di daerah tersebut relatif lebih rendah dibandingkan
kelurahan yang lainnya sehingga jumlah dan ragam fasilitas yang dibangun oleh
pemerintah juga lebih sedikit. Untuk kelurahan yang lainnya yaitu Kelurahan
Leuwigajah, Baros, Cigugur Tengah, Padasuka, Cibabat, Citeureup, dan
Cipageran mengalami hirarki yang fluktuatif. Penurunan hirarki pada beberapa
kelurahan terjadi disebabkan kelurahan-kelurahan tersebut sudah jenuh dan tidak
30

ada lagi tempat yang bisa digunakan untuk menambah fasilitas umum maupun
prasarana. Akibatnya penduduk di wilayah setempat cenderung berpindah ke
wilayah pusat yang memiliki fasilitas yang lebih banyak dan beragam. Sementara
itu, kenaikan hirarki diduga disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah
penduduk dan banyaknya pendatang dari wilayah lain sehingga diperlukan
penambahan jumlah dan ragam fasilitas yang lebih lengkap guna menunjang
kebutuhan aktifitas masyarakat. Sebagai contoh di Kelurahan Padasuka hirarki
mengalami peningkatan dari hirarki 3 menjadi hirarki 2. Hal ini disebabkan
adanya peningkatan jumlah fasilitas terutama toko dan restoran untuk kepentingan
masyarakat. Selain itu, Kelurahan Padasuka dilalui oleh jalan arteri dan jalan
kolektor yang berpengaruh terhadap perkembangan wilayah itu sendiri.
Perkembangan suatu wilayah ditandai dengan adanya peningkatan
perekonomian, jumlah unit fasilitas, dan semakin lengkapnya fasilitas yang ada di
wilayah tersebut. Pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut berimplikasi pada
intensitas konversi lahan dari RTH menjadi lahan terbangun, karena untuk
pembangunan fasilitas pasti membutuhkan lahan. Salah satunya lahan-lahan yang
tidak memiliki fungsi ekonomis yang tinggi lagi cenderung akan dikonversikan.
Selain itu keberadaan lahan kosong yang strategis untuk pembangunan fasilitas
semakin sempit dan terbatas sehingga kemungkinan mengambil lahan RTH untuk
dikonversi semakin besar.

Tingkat Perkembangan Wilayah Tahun 2001-2009 dan Keterkaitannya


dengan Luas RTH
Berkembangnya suatu wilayah ditentukan pula oleh tingkat pemerataan
wilayah salah satunya merata dalam hal perekonomian. Salah satu analisis untuk
menentukan tingkat pemerataan wilayah dengan menggunakan analisis entropi.
Apabila nilai entropi semakin mendekati maksimum maka penyebaran akitifitas
perekonomian di seluruh wilayah relatif merata dan ragam di setiap jenis aktifitas
ekonomi relatif sama. Tingkat pemerataan wilayah setiap sektor dari PDRB di
Kota Cimahi tahun 2001-2009 dan persentase sumbangan PDRB setiap sektor
Kota Cimahi tahun 2001-2009 disajikan pada Gambar 8 dan Gambar 9.

0.40

0.30
Entropi

0.20

0.10

0.00
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
PERTANIAN 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
TAMBANG 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
INDUSTRI 0.28 0.29 0.29 0.29 0.25 0.30 0.30 0.30 0.30
JASA 0.37 0.37 0.37 0.37 0.36 0.37 0.37 0.37 0.37
Gambar 8 Tingkat Pemerataan Wilayah Kota Cimahi Berdasarkan Sektor PDRB Tahun
2001-2009
31

40.00

% Pencapaian PDRB
30.00
20.00
10.00
0.00
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
PERTANIAN 1.02 0.95 1.00 0.99 1.00 0.69 0.83 0.82 0.81
TAMBANG 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
INDUSTRI 24.46 24.21 24.40 25.51 20.45 19.57 24.40 24.47 24.53
JASA 31.60 30.49 31.44 32.07 29.69 24.25 29.94 29.75 29.52
Gambar 9 Persentase Sumbangan PDRB Setiap Sektor Kota Cimahi Tahun 2001-2009

Gambar 8 menunjukkan tingkat pemerataan wilayah Kota Cimahi dari


analisis data PDRB tahun 2001-2009 cenderung terus meningkat setiap tahunnya.
Sektor yang berkembang paling merata adalah sektor jasa dengan nilai entropi
yang relatif paling tinggi yaitu sebesar 0.37. Karena Kota Cimahi merupakan
wilayah yang menjadi tujuan penduduk memenuhi kebutuhan pelayanan,
perkembangan jasa-jasa terlihat cukup signifikan. Dapat dilihat dari jumlah PDRB
yang diterima dari sektor jasa adalah yang paling tinggi. Entropi sektor industri
cenderung fluktuatif dari tahun 2001-2005, dan mengalami peningkatan pada
tahun 2006-2009. Hal ini diduga tingkat pemerataan wilayah pada tahun 2001-
2005 belum stabil karena status kota dari sebelumnya menjadi kota administratif
baru ditetapkan, sehingga memeratakan sektor industri di wilayah tersebut
terkendala oleh penyesuaian industri yang cocok untuk diterapkan di wilayah
tersebut. Akan tetapi setelah tahun 2005, tingkat pemerataan wilayah semakin
meningkat berarti penyebaran aktifitas perekonomian di seluruh wilayah di Kota
Cimahi relatif merata. Pada sektor pertanian nilai entropinya rendah yaitu sebesar
0.01. Hal ini karena wilayah Kota Cimahi penduduknya hanya sebagian kecil saja
yang bekerja di sektor pertanian. Sehingga tingkat pemeratan ekonomi pada sektor
pertanian relatif kecil. Hal yang berbeda dijumpai pada sektor pertambangan
dimana nilai entropinya 0 karena wilayah Kota Cimahi tidak memiliki potensi
bahan tambang.
Gambar 9 menunjukkan persentase tingkat pencapaian PDRB Kota Cimahi
terus meningkat setiap tahunnya kecuali pada tahun 2006. Hal ini dapat dilihat
dari pemasukan PDRB tahun 2006 menurun dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi
setelah 2006 meningkat terus setiap tahunnya sampai tahun 2009. Kondisi ini
terjadi karena pada tahun 2006 merupakan pergantian pemerintahan dan kegiatan
di wilayah tersebut lebih ditekankan pada pemerataan wilayah terlebih dahulu.
Dapat dilihat bahwa pada tahun 2006 walaupun persentase pencapaian PDRB
menurun tetapi nilai entropinya meningkat. Dari masing-masing sektor dalam
PDRB setiap tahunnya sektor jasa menduduki peringkat yang paling tinggi dalam
menyumbang PDRB Kota Cimahi rata-rata 29.86% dari total PDRB. Sektor
industri menyumbang 23.56% dari total PDRB, dan sektor pertanian
menyumbang 0.90% dari total PDRB. Tingkat pencapaian PDRB Kota Cimahi
sudah lebih dari 50% yaitu 52-56%.
32

Tabel 9 Luas dan Pertambahan RTH Berdasarkan Hirarki Wilayah Kota Cimahi Tahun
2007 dan 2011
Luasan RTH (ha) Pertambahan Luas RTH
Hirarki
Tahun 2007 Tahun 2011 ha %
Hirarki 1 9.5 29.2 19.8 5.1
Hirarki 2 103.9 233.3 129.5 33.4
Hirarki 3 237.1 475.3 238.2 61.5
Jumlah 350.4 737.9 387.5 100.0

Tabel 9 menunjukkan luas RTH dan penambahan RTH Kota Cimahi


berdasarkan hirarki wilayah pada tahun 2007 dan 2011. Luas RTH Kota Cimahi
dilihat dari hirarki wilayahnya, hirarki wilayah 1 memiliki luas RTH paling
sedikit dibandingkan wilayah berhirarki 2 dan 3. Hal ini disebabkan wilayah
dengan hirarki yang lebih tinggi (hirarki 1), sebagian besar lahan digunakan untuk
penggunaan lahan terbangun guna memfasilitasi aktivitas wilayah pusat.
Sebaliknya di wilayah berhirarki 3 ketersediaan RTH yang tersedia paling tinggi.
Hal ini disebabkan oleh wilayah tersebut letaknya relatif jauh dari pusat kota dan
merupakan wilayah penunjang bagi aktivitas daerah pusat, sehingga RTH yang
tersedia cenderung lebih besar dan belum banyak terjadi konversi ke lahan
terbangun. Namun, peluang terjadi konversi RTH menjadi penggunaan lahan lain
di wilayah ini cukup besar seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
kebutuhan ruang untuk pembangunan permukiman dan fasilitas pelayanan. Secara
keseluruhan, ketersediaan RTH di Kota Cimahi mengalami peningkatan dari
tahun 2007 sampai tahun 2011 yaitu sebesar 387.5 ha atau 45%. Penambahan luas
RTH pada tahun 2007-2011 di hirarki wilayah 1 sebesar 19.8 ha (5.1%), hirarki
wilayah 2 sebesar 129.5 ha (33.4%) dan hirarki wilayah 3 sebesar 238.2 ha
(61.5%). Kelurahan Cibeureum memiliki luas RTH terbesar dibandingkan dengan
Kelurahan Melong yang berada di hirarki 1 yaitu sebesar 7.1 ha pada tahun 2007
dan 14.7 ha pada tahun 2011. Kelurahan Utama konsisten berada di hirarki 2
dengan luasan RTH terbesar dibandingkan kelurahan lainnya yang berada di
hirarki 2 yaitu 42 ha pada tahun 2007 dan 157.9 ha pada tahun 2011. Kelurahan
Karangmekar yang berada di hirarki 3 memiliki luas RTH terbesar pada tahun
2007 dibandingkan dengan kelurahan lain yang berada di hirarki 3 yaitu sebesar
58 ha, sedangkan pada tahun 2011 Kelurahan Baros memiliki RTH terbesar
dibandingkan dengan kelurahan yang berhirarki 3 lainnya yaiu sebesar 86.7 ha.
Tabel 10 Luas dan Pertambahan RTH Berdasarkan Kelurahan yang Konsisten Pada
Hirarkinya di Kota Cimahi Tahun 2007 dan 2011
Luasan RTH (ha) Pertambahan Luas RTH
Hirarki
Tahun 2007 Tahun 2011 ha %
Hirarki 1 9.5 29.2 19.7 5.8
Hirarki 2 56.5 218.8 162.3 47.7
Hirarki 3 233.8 391.8 158.0 46.5
Jumlah 299.8 639.7 340.0 100.0

Tabel 10 menunjukkan luas dan penambahan RTH berdasarkan kelurahan


yang konsisten di hirarkinya pada tahun 2007 dan 2011. Kelurahan yang konsisten
berada di hirarki 1 dari tahun 2007-2011 memiliki luas penambahan RTH sebesar
33

19.7 ha atau 5.8% yaitu Kelurahan Cibeureum dan Melong. Kelurahan yang
konsisten di hirarki 2 pada tahun 2007-2011 adalah Kelurahan Utama dan
Leuwigajah, memiliki luas penambahan RTH sebesar 162.3 ha atau 47.7%.
Kelurahan yang konsisten berada di hirarki 3 yaitu Kelurahan Baros, Cibeber,
Cigugur Tengah, Cimahi, Karangmekar, Pasirkaliki dan Setiamanah memiliki luas
penambahan RTH sebesar 158 ha atau 46.5%. Secara keseluruhan total luas
penambahan RTH berdasarkan kelurahan yang konsisten di hirarkinya pada tahun
2007-2011 sebesar 340 ha. Rincian luasan RTH masing-masing kelurahan
berdasarkan hirarki wilayah di Kota Cimahi tahun 2007 dan 2011 disajikan pada
Lampiran 5.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan RTH

Ketersediaan RTH di Kota Cimahi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Untuk


mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan RTH di Kota Cimahi
digunakan analisis regresi berganda dengan metode regresi bertatar. Ringkasan
hasil analisis regresi untuk mengidentifikasi variabel penentu ketersediaan RTH
disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Hasil Analisis Regresi
Variabel Beta Std.Err. B Std.Err. t(9) p-level
Intercept 119.72 44.38 2.70 0.02
Alokasi Lahan
0.78 0.14 0.39 0.07 5.68 0.00
Terbangun dalam RTRW
Kepadatan Penduduk -0.46 0.16 -0.00 0.00 -3.00 0.02
Jumlah Jenis Fasilitas -0.19 0.13 -2.47 1.76 -1.42 0.19
Pertumbuhan Penduduk 0.22 0.17 88.40 66.94 1.32 0.22
Lahan terbangun 2011 -0.14 0.14 -0.08 0.08 -1.00 0.34
R2 = 0.86
SE = 19.00

Tabel 11 menunjukkan bahwa persamaan regresi yang dihasilkan memiliki


nilai R-square (R2) sebesar 0.86. Hal ini menunjukkan bahwa data relatif mampu
untuk menjelaskan/mengidentifikasi variabel penting penentu ketersediaan RTH
karena R2 yang semakin mendekati 1. Berdasarkan Tabel 11 tersebut, variabel
penduga yang berpengaruh sangat nyata secara statistik (p-level < 0.05) adalah
alokasi lahan terbangun dalam RTRW dan kepadatan penduduk, sedangkan
variabel lainnya yaitu jumlah jenis fasilitas, pertumbuhan penduduk, dan lahan
terbangun tahun 2011 kurang berpengaruh pada ketersediaan RTH Kota Cimahi
tahun 2011.
Faktor-fakor yang mempengaruhi ketersediaan RTH di Kota Cimahi
adalah sebagai berikut:
1. Alokasi lahan terbangun dalam RTRW
Hasil regresi menunjukkan bahwa alokasi lahan terbangun dalam RTRW
bernilai positif dengan koefisien sebesar 0.78. Penambahan satu satuan
alokasi lahan terbangun dalam RTRW meningkatkan potensi penambahan
ketersediaan RTH sebesar 0.78 satuan (ha). Hal ini menunjukkan bahwa
alokasi lahan terbangun dalam RTRW diiringi dengan pengalokasian
34

sebagian lahan untuk RTH sehingga ketersediaannya tetap terjaga. Semakin


tinggi alokasi lahan terbangun dalam RTRW maka semakin tinggi pula RTH
yang dialokasikan sehingga ketersediaannya tetap terjaga untuk kenyamanan
lingkungan.
2. Kepadatan penduduk
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kepadatan penduduk bernilai
negatif terhadap ketersediaan RTH tahun 2011 dengan koefisien sebesar 0.46.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap penambahan kepadatan penduduk satu
satuan maka akan terjadi penurunan RTH sebesar 0.46 satuan (ha).
Peningkatan kepadatan penduduk memicu terjadinya alih fungsi RTH dan
menurunkan ketersediaan RTH yang ada di Kota Cimahi.
3. Jumlah Jenis Fasilitas
Hasil regresi menunjukkan bahwa jumlah jenis fasilitas bernilai negatif
terhadap ketersediaan RTH tahun 2011 sebesar 0.19. Setiap penambahan
jumlah jenis fasilitas sebanyak satu satuan akan menurunkan ketersediaan
RTH yang ada di Kota Cimahi sebesar 0.19 satuan (ha). Hal ini diduga karena
setiap jenis fasilitas yang dibangun tidak dibarengi dengan pengalokasian
sebagian lahannya untuk RTH sehingga menyebabkan ketersediaan RTH
yang ada di Kota Cimahi semakin menurun. Semakin banyak jumlah jenis
fasilitas yang ada di Kota Cimahi maka ketersediaan RTH yang ada di Kota
Cimahi semakin sedikit.
4. Pertumbuhan Penduduk
Hasil regresi menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk bernilai positif
dengan koefisien sebesar 0.22. Setiap penambahan pertumbuhan penduduk
sebanyak satu satuan menyebabkan penambahan RTH sebanyak 0.22 satuan
(ha). Hal ini diduga setiap penduduk mengalokasikan sebagian lahannya
untuk dijadikan RTH demi kenyamanan lingkungannya. Oleh karena itu
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk maka RTH yang tersedia
semakin banyak pula.
5. Lahan terbangun 2011
Hasil regresi menunjukkan bahwa lahan terbangun tahun 2011 bernilai
negatif dengan koefisien sebesar 0.14. Hal ini berarti setiap penambahan
lahan terbangun sebesar satu satuan potensi ketersediaan RTH menurun
sebesar 0.14 satuan (ha). Semakin banyak lahan terbangun maka ketersediaan
RTH akan semakin menurun.
35

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Perubahan Penggunaan lahan Kota Cimahi tahun 2007-2011 menunjukkan


banyak terjadi perubahan penggunaan lahan ke penggunaan pemukiman
sebesar 420.6 ha. Lahan yang banyak dikonversi menjadi pemukiman adalah
sawah dan ladang. Selain itu, perubahan penggunaan lahan ke penggunaan
bangunan sebesar 39.8 ha, ke penggunaan industri sebesar 71.6 ha, ke
penggunaan lahan terbuka sebesar 53.1 ha, ke penggunaan RTH sebesar 387.5
ha, ke penggunaan rumput sebesar 17.6 ha dan ke penggunaan sawah sebesar
5.5 ha.
2. Ketersediaan RTH Kota Cimahi saat ini sebesar 738 ha atau 17.9% dari luas
seluruh wilayah sehingga belum bisa mencukupi kebutuhan RTH ditinjau dari
luas wilayah dan jumlah penduduk Kota Cimahi menurut UU No. 26 Tahun
2007 pasal 29 dan Permen PU No. 05/PRT/M/2008.
3. Faktor-faktor yang nyata mempengaruhi ketersediaan RTH di Kota Cimahi
adalah alokasi lahan terbangun dalam RTRW dan kepadatan penduduk,
sedangkan variabel lainnya yaitu jumlah jenis fasilitas, pertumbuhan penduduk
dan lahan terbangun 2011 kurang berpengaruh terhadap ketersediaan RTH di
Kota Cimahi. Variabel yang berpeluang meningkatkan ketersediaan RTH di
Kota Cimahi adalah alokasi lahan terbangun dalam RTRW dan pertumbuhan
penduduk, sedangkan yang berpeluang menurunkan ketersediaan RTH di Kota
Cimahi adalah kepadatan penduduk, jumlah jenis fasilitas, dan lahan terbangun
tahun 2011.
4. Dinamika tingkat perkembangan wilayah di Kota Cimahi menunjukkan ada
kelurahan-kelurahan yang konsisten berada di hirarki 1, 2 dan 3, dan ada pula
yang sifatnya fluktuatif berupa penurunan dan peningkatan hirarki. Hirarki 1
konsisten di Kelurahan Melong dan Cibeureum. Kelurahan Utama konsisten
berada di hirarki 2. Kelurahan Cibeber, Karangmekar, Setiamanah, Cimahi dan
Pasirkaliki konsisten berada di hirarki 3. Tujuh kelurahan lainnya yaitu
Kelurahan Leuwigajah, Baros, Cigugur Tengah, Padasuka, Cibabat, Citeureup,
dan Cipageran mengalami hirarki yang sifatnya fluktuatif.

Saran

1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menganalisis kebutuhan RTH di Kota


Cimahi berdasarkan kebutuhan oksigen kota, ketersediaan air, dan lain-lain.
2. Adanya upaya dari pemerintah agar penggunaan lahan rumput dan lahan
terbuka dijadikan sebagai alternatif RTH publik yang dikelola oleh pemerintah
Kota Cimahi sehingga dapat dialokasikan sebagai RTH dalam RTRW Kota
Cimahi agar tetap dilindungi keberadaannya.
36

DAFTAR PUSTAKA

As-syakur AR. 2011. Perubahan Penggunaan Lahan di Provinsi Bali. Ecothropic.


6(1):2011. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH). Universitas
Udayana.
Arifin HS. 2011. Konsep Kota Hijau-Kota Ekologis-Kota yang Berkelanjutan dan
Implementasinya di Indonesia. Workshop Green City 2011 Perundang-
undangan Bidang Penataan Ruang dan Konsep Rencana Aksi Kota Hijau.
IPB Internasional Convention Center. Bogor.
[BLH] Badan Lingkungan Hidup Kota Cimahi. 2011. Laporan Pendahuluan
Pekerjaan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota Cimahi. Kota Cimahi.
Departemen Pekerjaan Umum. 2005. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah
Perkotaan. Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH Di Perkotaan
Dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60. Direktorat
Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2006. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Unsur
Utama Tata Ruang Kota. Direktorat Jenderal Penataan ruang. Departemen
Pekerjaan Umum. Jakarta.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Direktorat Jenderal
Penataan Ruang. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Dwiyanto A. 2009. Kuantitas Dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau Di Permukiman
Perkotaan. Teknik. 30(2):88-92.
Fandeli, Kaharudin C, Mukhlison. 2004. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Fakultas Kehutanan, UGM Press. Yogyakarta.
Menteri Dalam Negeri. 1988. Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1988
tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Perkotaan. Menteri
Dalam Negeri. Jakarta.
Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.
Pemerintah Kota Cimahi. 2012. Sejarah Kota Cimahi. Cimahi.
Rahmi DH. 2002. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Di Lingkungan Perumahan
Di Yogyakarta. Jurnal Manusia dan Lingkungan. IX(3):101-114. Pusat Studi
Lingkungan Hidup. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Indonesia.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Samsudi. 2010. Ruang Terbuka Hijau Kebutuhan Tata Ruang Perkotaan Kota
Surakarta. Journal of Rural and Development. 1(1):11-19. Fakultas Teknik,
Universitas Sebelas Maret.
Sitorus SRP, Aurelia W, Panuju DR. 2011. Analisis Perubahan Luas Ruang
Terbuka Hijau dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di Jakarta
Selatan. Jurnal Landskap Indonesia. 3(1):15-20. Departemen Arsitektur
Lanskap. Fakultas Pertanian. IPB.
Spiegel RM. 2004. Statistik. Gressando J. (penerjemah); Simarmata L. (Editor).
Jakarta. Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Statistics. Ed ke- 3.
Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara. Jakarta.
37

LAMPIRAN
38

Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian

I Peta Administrasi Kota Cimahi Citra Quickbird


Peta Penggunaan Lahan 2007
ba

Koreksi dan Digitasi


Koreksi dan Digitasi

Penggunaan Lahan Ketersedian RTH


2011 2011

Podes Kota Cimahi 2011


Lahan Terbangun 2011
Lahan Tidak Terbangun 2011
Overlay RTRW 2011-2031

Analisis Regresi
Pola Perubahan Penggunaan Berganda
Lahan 2007-2011

Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi
Ketersediaan RTH

Podes Kota Cimahi 2003,


2006, 2008, 2011 ( Jumlah PDRB Kota
Penduduk, Jumlah dan Cimahi 2001-2009
Jenis Fasilitas)

Analisis Skalogram Analisis Entropi

Dinamika Tingkat
Perkembangan Wilayah
Kota Cimahi
39

Lampiran 2 Titik Contoh Masing-Masing Jenis Perubahan Penggunaan Lahan


Luas
Jumlah Jumlah
Jenis Perubahan Perubahan Contoh
poligon contoh
(ha)
perkebunan - - ->industri 3.1 10 0.1 1
ladang - - ->industri 4.2 12 0.1 1
perkebunan - - ->lahan terbuka 2.7 19 0.2 1
sawah - - ->industri 22.0 36 0.4 1
ladang - - ->lahan terbuka 38.1 39 0.4 1
perkebunan - - ->sawah 5.5 44 0.5 1
area bangunan - - ->pemukiman 4.0 66 0.7 1
ladang - - ->rumput 17.6 66 0.7 1
rumput - - ->industri 67.4 73 0.8 1
perkebunan - - ->rth 14.0 78 0.8 1
ladang - - ->bangunan 18.5 106 1.1 2
area pemukiman - - ->rumput 12.3 118 1.2 2
rumput - - ->bangunan 21.3 129 1.4 2
area bangunan - - ->industri 144.3 135 1.4 2
ladang - - ->rth 50.5 259 2.7 3
area bangunan - - ->rth 17.9 275 2.9 3
rumput - - ->pemukiman 69.9 287 3.0 3
rumput - - ->rth 222.7 411 4.3 5
sawah - - ->rth 150.8 765 8.0 8
perkebunan - - ->pemukiman 48.8 1 080 11.4 11
sawah - - ->pemukiman 191.5 1 446 15.2 15
area pemukiman - - ->rth 332.5 1 746 18.4 18
ladang - - ->pemukiman 110.4 2 309 24.3 24
Jumlah 1 570.0 9 509 100 108
40

Lampiran 3 Luasan Perubahan Penggunaan Lahan Kota Cimahi Tahun 2007-2011 (ha)
Ladang - Pemukiman - Perkebunan -
Ladang - Ladang - Ladang - Ladang - Perkebunan - Perkebunan -
Perubahan/Kelurahan Lahan Lahan Lahan
Bangunan Industri Pemukiman Rumput Pemukiman RTH
Terbuka Terbuka Terbuka
Baros 0.3 1.5 0.4 0.1 4.6 0.7 1.6 3.8
Cibabat 1.8 0.4 27.0 0.6 0.3
Cibeber 2.8 18.4 6.9 2.0 0.4 2.2 10.1 1.2
Cibeureum 0.2 2.0 2.6
Cigugur Tengah 3.2 3.1 4.8 1.4 1.5 0.6 0.4
Cimahi 0.6 0.2
Cipageran 1.6 1.0 29.4 0.2 17.0
Citeureup 0.5 0.3 8.1 1.4
Karangmekar 0.1 1.0 1.0 0.3
Leuwigajah 0.4 0.9 4.8 2.7 3.3 0.3 9.5 1.9
Melong 1.2 7.2 0.1 0.1 0.8 0.9
Padasuka 0.2 9.4 5.6 0.1 0.4 5.3 0.3
Pasirkaliki 4.1 15.0 3.7 4.2 2.4 2.6
Setiamanah 2.8 0.4 0.1 1.9 0.9
Utama 1.1 0.1 0.1 2.6
Total 18.5 4.2 38.1 110.4 17.6 12.3 2.67 48.8 14.0

40
41

Lampiran 3 (lanjutan)
Perkebunan – Rumput - Rumput - Rumput - Rumput - Sawah - Sawah -
Perubahan/Kelurahan Total
Sawah Bangunan Industri Pemukiman RTH Pemukiman RTH
Baros 2.9 0.7 21.7 8.3 11.1 57.8
Cibabat 2.8 2.4 17.3 5.0 57.6
Cibeber 1.9 0.3 3.0 47.8 12.0 17.3 126.3
Cibeureum 0.4 12.5 4.4 6.6 6.7 1.0 36.4
Cigugur Tengah 2.2 6.1 6.6 14.7 13.6 6.1 64.2
Cimahi 0.2 1.1 4.4 0.9 7.4
Cipageran 1.2 0.1 3.3 9.2 31.5 10.3 104.7
Citeureup 2.5 0.1 0.3 40.2 9.0 62.4
Karangmekar 0.8 0.3 1.3 0.5 1.3 6.6
Leuwigajah 1.1 0.7 1.0 16.8 37.1 7.4 7.3 95.0
Melong 0.4 9.6 7.4 1.9 15.3 9.4 54.1
Padasuka 0.1 0.1 2.4 3.2 24.0 7.8 59.1
Pasirkaliki 7.7 19.9 9.7 7.1 1.6 78.1
Setiamanah 3.9 0.4 6.2 0.3 8.7 25.7
Utama 0.6 37.9 1.8 59.5 2.8 53.8 160.3
Total 5.5 21.3 67.4 69.9 222.7 191.5 150.8 995.7

41
42

Lampiran 4 Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kelurahan Kota Cimahi Periode 2003-2011
Luas Jumlah penduduk (jiwa) Kepadatan penduduk (jiwa/km2)
Kelurahan Wilayah
2003 2006 2008 2010 2011 2003 2006 2008 2010 2011
(km2)
Melong 306.9 53 439 61 026 63 570 66 427 65 864 17 068 19 491 20 303 21 216 21 036
Cibeureum 228.3 47 110 40 020 60 853 58 254 63 854 17 150 14 569 22 153 21 206 23 245
Utama 350.3 21 370 20 533 34 154 30 713 35 889 5 621 5 399 8 981 8 076 9 437
Leuwigajah 384.6 30 230 35 650 39 373 38 335 40 694 7 684 9 062 10 008 9 745 10 344
Cibeber 352.0 15 066 19 984 20 724 21 584 23 992 4 530 6 008 6 231 6 489 7 213
Baros 243.5 20 665 20 691 21 727 21 628 21 053 9 184 9 196 9 656 9 612 9 357
Cigugur Tengah 330.5 28 531 35 009 41 133 41 067 53 592 12 136 14 891 17 496 17 468 22 795
Karangmekar 124.4 13 753 14 471 14 832 17 460 14 975 10 498 11 038 11 314 13 318 11 423
Setiamanah 114.7 19 603 19 353 20 946 26 268 20 419 14 309 14 126 15 289 19 174 14 904
Padasuka 188.7 25 765 26 952 33 120 32542 40163 13 013 20 295 24 940 24 505 30 243
Cimahi 61.7 10 194 10 400 11 995 11 067 11 129 12 136 12 322 14 212 13 113 13 186
Pasirkaliki 217.2 15 499 15 424 15 795 15 860 15 860 12 204 12 145 12 437 12 488 12 488
Cibabat 286.3 33 577 34 361 36 159 39 219 39 219 11 695 11 956 12 581 13 646 13 646
Citeureup 308.3 23 139 23 431 31 123 30 121 30 121 7 153 7 243 9 621 9 311 9 311
Cipageran 574.5 30 640 30 668 34 702 35 466 35 466 5 156 5 160 5 839 5 968 5 968

42
43

Lampiran 5 Luas RTH Masing-Masing Kelurahan di Kota Cimahi Berdasarkan Hirarki


Wilayah Tahun 2007 dan 2011 (ha)
Tahun 2007 Tahun 2011
Kelurahan Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3
Baros 50.1 86.7
Cibabat 13.8 21.2
Cibeber 19.1 85.4
Cibeureum 7.1 14.7
Cigugur
Tengah 36.9 58.1
Cimahi 4.7 6.7
Cipageran 20.0 39.5
Citeureup 13.6 22.9
Karangmekar 58.0 61.0
Leuwigajah 14.5 60.8
Melong 2.4 14.5
Padasuka 3.3 14.6
Pasirkaliki 11.1 25.0
Setiamanah 53.9 68.9
Utama 42.0 157.9
44

Lampiran 6 Foto Cek Lapang Perubahan Penggunaan Lahan Kota Cimahi 2007-
2011

Ladang – Bangunan Ladang - Industri


6⁰53’17.4”E 107⁰22’10.6”S 6⁰53’33.5”E 107⁰32’23.5”S

Ladang – Lahan Terbuka Ladang - Pemukiman


6⁰52’54.8”E 107⁰31’35.6”S 6⁰52’24.3”E 107⁰39’9.2”S

Ladang – Rumput Pemukiman – Lahan Terbuka


6⁰54’43.3”E 107⁰32’39.9”S 6⁰54’11.7”E 107⁰33’51.8”S
45

Lampiran 6 (Lanjutan)

Perkebunan – Lahan Terbuka Perkebunan - Pemukiman


6⁰52’54.6”E 107⁰31’35.4”S 6⁰51’0.8”E 107⁰33’9.9”S

Perkebunan – RTH Perkebunan - Sawah


6⁰53’51.6”E 107⁰32’34.5”S 6⁰50’57.3”E 107⁰33’11.5”S

Rumput – Bangunan Rumput - Industri


6⁰52’27.2”E 107⁰33’39.4”S 6⁰54’43.3”E 107⁰32’39.9”S
46

Lampiran 6 (Lanjutan)

Rumput – Pemukiman Rumput - RTH


6⁰52’30.3”E 107⁰34’8.6”S 6⁰54’41.0”E 107⁰31’14.9”S

Sawah – Pemukiman Sawah - RTH


6⁰52’2.9”E 107⁰32’20.7”S 6⁰52’2.9”E 107⁰32’20.7”S
47

Lampiran 7 Foto Ruang Terbuka Hijau Hasil Cek Lapang

Taman Pemkot dan Walikota Cimahi Taman Alun-alun Cimahi


6⁰52’15.2”E 107⁰33’13.0”S 6⁰52’24.2”E 107⁰32’31.4”S

Taman Kartini TPU Leuwigajah


6⁰53’19.1”E 107⁰32’12.5”S 6⁰54’15.9”E 107⁰31’44.3”S

TPU Jl. Panday Lapangan tembak PERBAKIN


6⁰52’45.3”E 107⁰32’51.6”S 6⁰52’29.6”E 107⁰31’40.1”S
48

Lampiran 7 (Lanjutan)

Sempadan Jalan Komplek TNI Sempadan Sungai Cimahi


6⁰53’2.0”E 107⁰32’24.3”S 6⁰52’13.9”E 107⁰33’13.1”S

Taman Median Jalan Baros Taman Stasiun Kota Cimahi


6⁰53’43.5”E 107⁰32’31.3”S 6⁰53’8.3”E 107⁰32’11.4”S

RTH Privat
6⁰54’16.6”E 107⁰31’50.8”S
49

Lampiran 8 Form Cek Lapang


Form Titik Cek Lapang Perubahan Penggunaan Lahan
Nomor titik contoh : ……………………………....

Koordinat contoh : X= ………………………….. Y=…………………………….

Z= …………………………..

Kode foto saat ini : U= ……………………....... T= ………………………………

S=…………………………. B=..................................................

Jenis perubahan : ………………………………………………………………….

(2007-2010)

Tutupan saat ini : .....................................................................................................

Pemilik saat ini : a. Masyarakat, b. Pengusaha, c. Pemerintah,

d. Lainnya: .................................................... (pilih salah satu)

Sekuen perubahan :

(jelaskan)

Pelaku perubahan : a. Masyarakat, b. Pengusaha, c. Pemerintah,

d. Lainnya: ....................................................

Jarak ke jalan terdekat : ................................... m

Status jalan terdekat : negara/provinsi/kabupaten/lokal (pilih salah satu)

Jarak ke fasilitas : ...................................m, jenis fasilitas: ....................................


umum terdekat
Jarak ke permukiman : ...................................m
terdekat
50

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 9 Januari 1990 di Kota Bandung, Jawa


Barat. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak
Ir Kurniawan dan Ibu Nunung Masnuah.
Riwayat pendidikan formal dimulai pada tahun 1996 di SD YWKA IV
Bandung sampai tahun 2002. Kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri
1 Bandung sampai tahun 2005. Selama menjalani pendidikan SMP, penulis aktif
dalam Organisasi Patroli Keamanan Sekolah (PKS) dan beberapa kali mengikuti
perlombaan Peraturan Baris Berbaris (PBB) antar sekolah dan memperoleh
kejuaraan. Pada tahun 2005, penulis diterima di SMA Negeri 15 Bandung
kemudian lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai
Mahasiswi Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif
dalam Organisasi Gentra Kaheman pada tahun 2008 dan Koperasi Mahasiswa IPB
(KOPMA IPB) pada tahun 2008-2010. Penulis juga aktif sebagai pengurus
Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah periode 2009-2010 pada Divisi Kewirausahaan
dan periode 2010-2011 pada Divisi Penelitian dan Pengembangan (LITBANG).
Pada tahun 2011 penulis juga aktif dalam kegiatan Go Field IPB dalam rangka
“Peduli Merapi” yang dilakukan di Dusun Pule, Desa Tegal Randu, Kabupaten
Magelang. Adapun pengalaman Program Kreativitas Mahasiswa dibidang
Kewirausahaan (PKM-K) telah diikuti yaitu pada tahun 2011 melalui Usaha
Yoghurt Buah Naga (YOGA). Pada tahun 2012, penulis juga diberi amanah untuk
menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah serta Sistem Informasi Geografis. Selain itu penulis juga pernah aktif
dalam berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan di IPB.

Anda mungkin juga menyukai