Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Hudak & Gallo, 2010). Cedera otak merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Hasil otopsi 75% penderita
memperlihatkan cedera otak pada kecelakaan lalu lintas yang fatal. Tindakan
resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neurologi harus segera
dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya
evaluasi unsur vital (Tobing, 2011).
WHO tahun 2010, menyampaikan setiap tahun hampir 1.500.000 ada kasus
cidera kepala. Berdasarkan hasil Riskesdas pada tahun 2013 telah menunjukkan
sebanyak 100.000 jiwa meninggal dunia (Depkes RI, 2013). Angka kejadian cedera
otak terus meningkat. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya berdasarkan data IGD pada
tahun 2010 jumlah penderita yang dirawat adalah 822 orang. Sedangkan pada
pertengahan tahun 2011 angka kejadian meningkat menjadi 977 orang
(antaranews.com).
Perubahan patofisiologi setelah cedera otak adalah kompleks. Trauma bisa
disebabkan oleh mekanisme yang berbeda dan sering kombinasi. Perubahan-
perubahan setelah trauma dapat mengakibatkan kerusakan struktur dan pada tingkat
molekuler, biokimia, seluler dan pada tingkatan makroskopis misalnya kerusakan
pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan dan edema. Cedera
otak digolongkan menjadi 2 yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder.
Cedera otak primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara
langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera
otak sekunder terjadi akibat cedera otak primer, misalnya akibat hipoksemia,
iskemia dan perdarahan. Peran perawat dalam membentuk asuhan keperawatan
pada klien dengan cedera otak berat diantaranya: melakukan tindakan kegawat
daruratan secara cepat, tepat, tanggap khususnya pada penanganan pasien di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang dimulai dari persepsi perawat mengenai kasus
cedera kepala, perawat juga sebagai care giver terdiri dari perawat
mendokumntasikan asuhan keperawatan dan melakukan tindakan keperawatan baik
secara mandiri maupun kolaborasi dengan tenaga medis lain dalam melakukan
penanganan kasus cidera otak berat (COB).
Sesuai latar belakang diatas penulis ingin mengkaji lebih lanjut bagaimana
asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera otak berat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah diatas, rumusan masalah yang dapat diambil adalah:
1. Bagaimana (SESUAI BAB 2)
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan yang dapat dicapai adalah:
1. Mengetahui (SESUAI RUMUSAN MASALAH)
1.4 Manfaat
Makalah asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera otak berat ini bisa
bermanfaat bagi penulis secara pribadi dan juga bermanfaat bagi pembaca secara
luas sebagai pembelajaran.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1) Primary Survey
a. Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah
anoxia otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam penanganan
trauma yaitu pastikan kelancaran jalan nafas, ventilasi yang adekuat dan
oksigenasi. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang
dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibular
atau maksila., fraktur laring atau trakea. Penanganan airway juga harus
dipikirkan adanya dugaan trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk
membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal. Vertebra
servikal harus sangat hati-hati dijaga setiap saat dan jangan terlalu
hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang dapat menggangu jalan nafas.
Dalam hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala dalam keadaan netral,
chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada penanganan airway.
Mekanisme pembersihan oada oropharing sering dilakukan didalam
pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan nafas yang
dibutuhkan dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan dilakukan nasal
atau oropharingeal airway. Jika tindakan pembersihan jalan nafas
ini juga tidak berhasil, maka dapat dilakukan tindakan intubasi
endotrakeal. Tindakan ini dinamakan airway definitive. Pada airway
devinitif maka ada pipa didalam trahea dengan balon (cuff) yang
dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu
pernafasan yang diperkaya oksigen, dan airway tersebut dipertahankan
ditempatnya dengan plester. Penentuan pemasangan airway definitive
didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain:
a) Adanya apnea
b) Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-
cara yang lain
c) Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari
aspirasi darah atau vomitus
d) Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway.
Seperti multiple fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang
berkepanjangan
e) Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas
(GCS=8)
f) Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat apabila urgensi
pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal secara membuta
(blind nasotrakeal intubation) hanya dilakukan padapenderita yang masih
bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita
yang apnoe. Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis cranii, dan
fraktur lamina chiriformis merupakan kontrainidikasi relative untuk
intubasi nasotrakeal.
Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk mengatasi
didalam control airway, tindakan krikotiroidotomi dapat dilakukan.
Tindakan ini dinamakan airway surgical
b. Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventialsi.
Penururnan oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu tindakan
ventilasi. Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat membantu untuk
mengetahui kualitas ventilasi dari penderita. Airway yang baik tidak
menjamin ventilasi yang baik. Pertikaran gas yang terjadi ada
saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik
dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus di
evaluasi secara cepat.
Tanda hipoksia bisa terjadi pada penderita dengan kegagalan
ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan observasi
dan auskultasi pada leher dan dada melalui distensi vena, devasi
trakeal,gerakan paradoksal pada dada, dan suara nafas yang hanya pada
satu sisi (unilateral). Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi
yang berat dalah tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio
paru, open pneumothorax, massive hemothorax. Keadaan-keadaan ini
harus dikenali pada saat dilakukan primary survey. Hematothorax,
simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru
menggangu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan harus dikenali
pada saat melakukan secondary survey.
c. Circulation
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepatdab tepat di rumah sakit.
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia,
sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian
yang cepat dari status henodinamika penderita. Kerusakan pada
jaringan lunak dapat mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan
kahilangan darah yang banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik
adalah dengan tekanan langsung.
Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu disebabkan
oleh kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera dengan pemberian
larutan Ringer Laktat secara intravena harus memberikan respons yang
baik (2-L pada dewasa, ana 30ml/kgbb). Peradarahan oleh karena luka
yang terbuka dapat di control dengan penekanan luka secara langsung.
Perfusi jaringan dapat di evaluasi dengan produksi urine dan pengisian
kapiler pada ujung-ujung jari lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi
jaringan lemah.
Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan
pertama, maka pemberian larutan kristaloid dapat diberikan bahkan
sampai dengan pemberian transfuse darah. Namun jika respon
tersebut sedikit atau sama sekali tidak memberikan respontidak,
maka pemberian cairan dengan larutan ringer laktat (2L) dapat diulang
kembali. Kemudian dapat dilakuakn transfuse darah baik tipe spesifik
atau noncross matched universal donor O negative. Vasopressor tidak
boleh diberikan pada pasien dengan syok hipovolemik.
d. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, serta
ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat
kesadaran adalah metode AVPU :
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang sederhana
dan dapat meramal kesudahan (outcome) penderita GCS ini dapat
dilakukan sebagai pengganti AVPU. Bila belum dilakukannya reeavaluasi
pada primary survey, harus dilakukan pada secondary survey pada saat
pemeriksaan neurologis Penurunan keasadaran dapat disebabkan
penurunan oksigenasi atau penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan
trauma langsung pada otak. Penurunan kesadraan menuntut dilakukannya
reevaluasi terhadap oksigenasi, ventilasi, dan perfusi.
e. Exposure
Keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan deformitas
sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling aman dengan
membuka pakaian penderita secara keseluruhan. Ini dilakukan dengan
tujuan untuk memudahkan dalam memeriksa dan mengevaluasi keadaan
penderitra, mencegah terjadinya displacement pada fraktur meminimalkan
resiko terjadinya komplikasi lebih lanjut. Hypothermia harus dapat
dicegah, fungsi jantung harus baik, terutama bila volume darah turun. Kain
yang steril dapat digunakan untuk menutupi luka yang terbuka dengan
tujuan untuk mencegah kontaminasi lebih lanjut.
2) Secondary Survey
a. Identitas: nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan, tinggi
badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan dan agama.
b. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian
c. Sirkulasi: perubahan tekanan darah (hipertensi), bradikardi/takikardi.
d. Integritas ego: cemas, bingung dan depresi
e. Makanan/cairan: mual dan muntah
f. Neurosensori: kehilangan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental
g. Nyeri/kenyamanan: wajah menyeringai, gelisah, merintih
h. Keamanan: gangguan penglihatan, gangguan rentang gerak, tonus otot
hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam.
i. Interaksi sosial: tidak ada interaksi
B. Diagnosa Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis
(cedera kepala)
2) Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala
3) Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan edema
serebral (akibat cedera kepala)
C. Rencana Intervensi Keperawatan
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis (cedera
kepala)
NOC NIC
Setelah dilakukan asuhan 1. Posisikan pasien semi fowler
keperawatan 30 menit. Pola napas untuk memaksimalkan ventilasi
efektif, dengan kriteria hasil: 2. Pasang mayo bila perlu
1. RR dalam batas normal (16-20 3. Monitor tanda-tanda vital dan
x/menit) SPO2
4. Berikan oksigen tambahan
sesuai indikasi
Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala
NOC NIC
Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor status neurologis
keperawatan 30 menit. Masalah 2. Monitor intake dan output cairan
teratasi dengan kriteria hasil: 3. Batasi gerakan pada kepala leher
1. Tekanan darah sistolik dan dan punggung
diastolik dalam batas normal 4. Posisikan pasien pada posisi
2. Dapat berkomunikasi dengan semifowler
jelas sesuai dengan usia 5. Kolaborasi pemberian analgesik
Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan edema
serebral (akibat cedera kepala)
NOC NIC
Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tekanan perfusi serebral
keperawatan 30 menit. Masalah 2. Catat respon pasien terhadap
teratasi dengan kriteria hasil: stimulasi
1. Tekanan darah sistolik dan 3. Monitor tekanan intrakranial
diastolik dalam batas normal 4. Monitor suhu dan angka WBC
2. Tidak ada peningktan tekanan 5. Posisikan pasien semi fowler
intrakranial (tidak lebih dari 15 6. Batasi gerakan pada kepala,
mmHg) leher dan punggung
3. Dapat berkomunikasi dengan 7. Kolaborasi pemberian analgesik
jelas sesuai dengan usia

Anda mungkin juga menyukai