Anda di halaman 1dari 3

8 Kesalahan yang Sering Terjadi dalam Shalat

Bismillah, Allahumma yassir wa a’in

Salah satu hadis tentang keutamaan shalat yang sering kita dengar, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Amal hamba yang pertama kali akan dihisab adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, dia sukses dan berhasil,
dan jika shalatnya rusak, dia sangat rugi.” (HR. Nasai 465, Turmudzi 413, dan dishahihkan al-Albani).

Semua orang yang memahami hadis ini sangat menyadari, betapa pentingnya nilai shalat dalam syariat.
Ibadah yang menjadi penentu pertama, baik dan buruknya hisab amal di akhirat. Dan untuk bisa
mendapatkan nilai sempurna dalam shalat, hampir tidak mungkin dilakukan oleh hamba. Mengingat
banyaknya kekurangan yang kita lakukan, baik kekurangan lahir maupun yang tidak nampak. Dari
Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang hamba yang shalat dia tidak mendapatkan pahala darinya kecuali sepersepuluhnya,
sepersembilannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau
setengahnya.” (HR. Ahmad 18894 dan dinilai shahih oleh Syuaib al-Arnauth).

Sekalipun ini hampir tidak mungkin, namun kita berusaha setidaknya nilai amal shalat kita mendekati
sempurna. Diantara usaha yang bisa kita lakukan adalah menekan semaksimal mungkin angka
kesalahan yang terjadi selama kita shalat.

Kesalahan dalam Shalat Ada Dua


Dalam shalat kita mengenal ada gerakan atau bacaan yang statusnya sebagai rukun shalat, wajib shalat,
dan sunah shalat. Masing-masing berpeluang disisipi dengan kesalahan. Karena itu, kesalahan yang
dilakukan masyarakat ketika shalat, bisa kita kelompokkan menjadi dua;
1. Kesalahan yang bisa membatalkan shalat. Itulah semua kesalahan yang bisa mengurangi kadar
rukun atau wajib shalat. Sehingga dia dianggap belum mengerjakan rukun atau wajib shalat
tersebut.
2. Kesalahan yang tidak sampai membatalkan shalat. Kebalikan dari di atas, kesalahan ini tidak
sampai mengurangi kadar rukun atau wajib shalat.
Menyadari hal ini, sangat penting bagi kita untuk memahami rincian rukun, wajib, dan sunah dalam
shalat. Dengan ini, kita bisa mengatahui kesalahan yang bisa membatalkan shalat dan yang tidak
sampai membatalkan shalat.

Kesalahan yang Sering Terjadi Dalam Shalat


Berikut beberapa kesalahan yang sering dilakukan kaum muslimin ketika shalat. Sebagian ada yang
mengancam keabsahan shalatnya dan sebagian tidak sampai membatalkan shalat.
Pertama, tidak thumakninah
Yang dimaksud thumakninah adalah posisi tubuh tenang ketika melakukan gerakan rukun tertentu.
Ukuran tenangnya adalah mencukupi untuk membaca satu kali doa dalam rukun tersebut. Misalnya,
thumakninah ketika rukuk, artinya posisi tubuh tenang setelah rukuk sempurna. Kemudian baru
membaca doa rukuk, minimal sekali.
Sering kita saksikan, beberapa kaum muslimin tidak thumakninah, terutama ketika shalat sunah.
Mereka rukuk dan sujud terlalu cepat, layaknya ayam mematuk makanan. Begitu sampai titik rukuk
atau sujud, langsung bangkit. Ada kemungkinan, doa rukuk sudah dibaca ketika bergerak rukuk,
sebelum rukuk sempurna. Shalat model semacam ini bisa batal, karena tidak thumakninah.
Suatu ketika ada seseorang yang masuk masjid kemudian shalat dua rakaat. Seusai shalat, orang ini
menghampiri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang saat itu berada di masjid. Namun Nabi menyuruh
orang ini untuk mengulangi shalatnya. Setelah diulangi, orang ini balik lagi, dan disuruh mengulangi
lagi shalatnya. Ini berlangsung sampai 3 kali. kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan
kepadanya cara shalat yang benar. Ternyata masalah utama yang menyebabkan shalatnya dinilai batal
adalah kareka dia tidak tumakninah. Dia bergerak rukuk dan sujud terlalu cepat. (HR. Bukhari 757,
Muslim 379, dan yang lainnya)
Hadis ini mejadi dalil bahwa thumakninah dalam shalat termasuk rukun shalat.

Untuk menanggulanginya, tahan ketika kita sudah sempurna rukuk, atau sujud, kemudian baru baca
doa rukuk atau doa sujud.

Kedua, was-was ketika takbiratul ihram


Kesalahan kedua ini banyak dialami oleh mereka yang berkeyakinan harus berbarengan persis antara
niat di hati dan ucapan takbiratul ihram. Jadinya dia membaca: Allaaa...hu akbar, sementara hatinya
mengucapkan: saya niat shalat A. Jika ada sedikit yang mengganggu dalam proses niatnya, dia
langsung membatalkan diri dan mengulangi takbiratul ihram. Akibatnya, dia melakukan takbiratul
ihram berkali-kali. Anda bisa lihat, betapa sulitnya orang ini untuk memulai shalatnya. Perbuatan ini
sejatinya telah diperingatkan para ulama. Karena tradisi semacam ini dulunya banyak dimiliki oleh
masyarakat sufi yang tidak memahami syariat kecuali melalui perasaannya. Berikut para ulama,
1. Ibnul Jauzi (w. 597 H) mengatakan,
“Ada juga orang yang bertakbir kemudian dia batalkan takbirnya, bertakbir lagi, dia batalkan lagi,
ketika imam mendekati rukuk, barulah orang yang terjangkiti was-was ini berhasil bertakbir, lalu
mengejar rukuk imam. Sungguh aneh, mengapa dia baru berhasil niat ketika itu! Semua ini terjadi
karena tipuan iblis, yang menggodanya agar dia kehilangan keutamaan takbiratul ihram bersama
imam.” (Talbis Iblis, hlm. 169).

2. Kemudian, Imam as-Syafii mengingatkan,


“Was-was ketika niat shalat dan bersuci adalah bentuk kebodohan dengan syariat dan kurang
akalnya.” (Al Qaulul Mubin fi Akhtha Mushallin, hlm. 93).
Untuk mengobati penyakit ini, yakinkan bahwa anda sudah niat, tidak perlu diulangi, dan baca
takbiratul ihram sekali, tanpa pengulangan. Inilah yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam,
“Apabila kamu ingin shalat, wudhulah dengan sempurna, lalu menghadaplah ke arah kiblat, dan
bertakbirlah.” (HR. Bukhari 6251 dan yang lainnya).
Anda perhatikan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengajarkan bacaan apapun sebelum
shalat dan beliau hanya mengajarkan takbir sekali.

Ketiga, imam salah dalam membaca Fatihah


Ketika seseorang merasa tidak bisa baca Fatihah dengan baik, seharusnya dia tidak nekat untuk maju
menjadi imam. Karena ini mengancam keabsahan shalat makmumnya.
Imam Syafii mengatakan
“Orang yang salah bacaan fatihahnya yang menyebabkan perubahan makna, menurutku shalatnya tidak
sah, tidak sah pula orang yang shalat di belakangnya. Jika salah di selain Fatihah, aku membencinya,
meskipun tidak wajib mengulangi. Karena jika dia tinggalkan selain fatihah, dan hanya membaca
fatihah, saya berharap shalatnya diterima. Jika shalatnya sah maka shalat makmum juga sah
insyaaAllah. Jika kesalahannya pada fatihah atau lainnya, namun tidak mengubah makna, shalatnya
sah, namun saya benci dia jadi imam, apapun keadaannya.” (Al-Umm, 1/215)

Keempat, sedekap miring


Sebagian orang bersedekap dengan meletakkan kedua tangan tepat di atas jantungnya, atau di atas organ
hatinya. Ada juga yang meletakkannya di atas rujuk sebelah kiri. Tidak ada satupun yang memberikan
dalilnya. Semua alasan yang mereka sampaikan murni berdasarkan perasaan. Mereka merasa, shalat
dengan cara itu, hatinya atau jantungnya akan lebih tenang.
Ini alasan yang sungguh sangat aneh. Jika memang ketenangan hati bisa diperoleh dengan cara
meletakkan tangan di atasnya, bukankah akan lebih baik jika tangan kiri di letakkan di atas organ jantung
dan tangan kanan di atas organ liver? Sehingga jantung dan hatinya keduanya menjadi tenang?
Kita semua sepakat, shalat yang paling sempurna adalah shalatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam. Shalat beliau paling baik dan paling khusyu. Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
pernah mengajarkan bersedekap dengan cara demikian. Artinya, itu bukan metode agar shalat kita
menjadi khusyu.
Masalah berikutnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang shalat seperti layaknya orang yang
berkacak pinggang. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat sambil “ikhtishar.” (HR. Bukhari 1220).
Turmudzi menyebutkan bahwa yang dimaksud ikhtishar adalah meletakkan satu tangan di atas pinggang
atau kedua tangan di atas kedua pinggang. (Sunan Turmudzi keterangan hadis no. 384).
Sementara kita memahami, orang yang bersedekap miring, menyebabkan salah satu sikunya keluar jauh
dari tubuhnya, layaknya orang yang berkacak pinggang.
Karena alasan ini, sebagian ulama melarang bersedekap dengan cara tidak simetris seperti itu, karena
menyerupai orang yang berkacak pinggang.

Kelima, tidak rukuk atau i’tidak dengan sempurna


Dari Hudzifah radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau pernah melihat ada orang yang tidak menyempurnakan
rukuk dan sujud ketika shalat. Setelah selesai, ditegur oleh Hudzaifah, “Sudah berapa lama anda shalat
semacam ini?” Orang ini menjawab: “40 tahun.” Hudzaifah mengatakan: “Engkau tidak dihitung shalat
selama 40 tahun.” (karena shalatnya batal). Lanjut Hudzaifah:
“Jika kamu mati dan model shalatmu masih seperti ini, maka engkau mati bukan di atas fitrah (ajaran)
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad 23258, Bukhari 791, An-Nasai 1312, dan
yang lainnya)
Hadis ini berbicara tentang orang yang tidak sempurna dalam melakukan gerakan rukun dalam shalat.
Misalnya, orang yang rukuk, sebelum posisi rukuk sempurna, dia sudah bangkit. Atau orang yang belum
sempurna berdiri i’tidal (tubuh masih condong ke depan), dia sudah sujud.

Keenam, tidak menempelkan hidung ketika sujud


Secara umum, tata cara sujud yang benar telah disebutkan dalam hadis dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
“Aku diperintahkan untuk bersujud dengan bertumpu pada tujuh anggota badan: dahi –dan beliau
berisyarat dengan menyentuhkan tangan ke hidung beliau–, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung-ujung
dua kaki…” (HR. Bukhari 812 & Muslim 490)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengingatkan agar orang yang sujud benar-benar menempelkan
hidungnya ke lantai. Beliau bersabda:
“Allah tidak menerima shalat bagi orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah, sebagaimana dia
menempelkan dahinya ke tanah.” (HR. Abdurrazaq 2982, dan dishahihkan Al-Albani)
Hadis ini menunjukkan, menempelkan hidung ketika sujud hukumnya wajib.

Ketujuh, menyibak rambut ketika sujud


Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda :
“Aku diperintahkan oleh Nabi untuk bersujud dengan tujuh anggota badan. Dan melarang dari menahan
rambut serta pakaian” (HR. Bukhari 816 dan Muslim 490)
Pelajaran hadis:
1. Tidak boleh menyingkap rambut ketika sujud, meskipun tidak mengenakan peci, atau meskipun
rambutnya panjang. Sehingga rambut bisa ikut sujud.
2. Adanya beberapa helai rambut yang menutupi dahi ketika sujud, tidak membatalkan shalat.
Karena tidak dalil masalah ini, dan dzahir hadis di atas, adanya rambut yang menutupi dahi ketika
sujud, tidak mengurangi keabsahan shalat.
3. Tidak boleh melinting baju, dan ini hukumnya makruh sebagaimana disebutkan dalam hadis di
atas.
Kedelapan, membuka tangan ketika salam
Salam ke kanan, membuka tangan kanan, salam ke kiri dengan membuka tangan kiri. Kebiasaan ini pernah
dilakukan sebagian sahabat di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu 'anhu,
”Ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kami mengucapkan ”Assalamu
alaikum wa rahmatullah - Assalamu alaikum wa rahmatullah” sambil berisyarat dengan kedua kanan ke
samping masing-masing. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan,
”Mengapa kalian mengangkat tangan kalian, seperti keledai yang suka lari? Kalian cukup letakkan tangan
kalian di pahanya kemudian salam menoleh ke saudaranya yang di samping kanan dan kirinya.” (HR.
Muslim 430, Nasai 1185, dan yang lainnya).

Allahu a’lam

Anda mungkin juga menyukai