Selayang Pandang Situs Sangiran
Selayang Pandang Situs Sangiran
( Esai dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Sejarah Nirleka – Abad
XVI )
Di susun oleh :
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
Salah satu objek wisata menarik di Kabupaten Sragen adalah museum Sangiran yang
berada di dalam kawasan kubah Sangiran. Kubah tersebut terletak di depresi Solo, di kaki
Gunung Lawu (kurang lebih 17 km dari kota Solo). Kehadiran Sangiran merupakan
representative dari kehidupan manusia masa lampau karena situs ini memiliki koleksi fosil
manusia purba dan flora fauna purba yang paling lengkap di Indonesia bahkan di Dunia.
Luasnya yang mencapai 59 km2 yang meliputi tiga Kecamatan di Kabupaten Sragen, yaitu
Kecamatan Gemolong, Kalijambe dan Plupuh. Serta satu Kecamatan di Kabupaten
Karanganyar, yaitu Kecamatan Gondangrejo.
Sangiran dilewati oleh sungai yang indah. Yaitu sungai Cemoro yang bermuara di
Bengawan Solo. Daerah inilah yang mengalami erosi tanah sehingga lapisan tanah yang
terbentuk tampak jelas berbeda antara lapisan tanah yang satu dengan lapisan tanah yang lain.
Dalam lapisan lapisan tanah inilah yang hingga sekarang banyak ditemukan fosil fosil manusia,
maupun binatang purba. Dilihat dari hasil temuannya, situs Sangiran merupakan situs
prasejarah yang memiliki peran yang sangat penting dalam memahami proses Evolusi manusia.
Pada tahun 1997, museum Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia sebagai sebuah cagar budaya. Oleh karena itu, dalam sidang komisi
warisan budaya Dunia ke – 20 di Kota Marida, Mexico tanggal 5 desember 1996, menetapkan
sangiran sebagai salah satu warisan budaya dunia “world heritage list” nomor: 593. Dengan
demikian pada tahun tersebut situs sangiran terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
Di area situs sangiran ini pula jejak peninggalan yang berumur kurang lebih 2.000.000
tahun hingga 200.000 tahun masih dapat kita temukan hingga masa kini. Sehingga para ahli
dapat merangkai sebuah sejarah yang pernah terjadi di Sangiran secara kronologis.
Situs sangiran pada masa lampau diperkirakan merupakan tempat yang subur.
Keberadaannya di wilayah khatulistiwa pada jaman fluktuasi jaman glasial- interglasial
menjadi tempat tujuan migrasi manusia purba untuk mendapatkan sumber penghidupan.
Dengan demikian kawasan sangiran pada masa pleistosen menjadi tempat hunian dan ruang
subsistensi bagi manusia pada masa itu.
Tempat tempat terbuka seperti padang rumput, semak belukar, hutan kecil dekat sungai
atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian manusia purba pada masa pleistosen. Mereka
membuat semacam pangkalan (station) dalam aktifitas perburuannya untuk mendapatkan
sumber kebutuhan hidupnya. Indikasi suatu situs sebagai tempat hunian dan ruang subsistensi
adalah temuan fosil manusia purba, fauna dan artefak perkakas yang ditemukan saling
berasosiasi.
Fosil fosil itu kemudian dihimpun oleh Toto Marsono di rumahnya. Apabila Von
Koeningswold datang ke Sangiran, ia akan memilah fosil fosil tersebut dan memberikan
imbalan kepada siapapun yang menemukannya.
Pada tahun 1974, pemerintah provinsi jawa tengah membuatkan gedung untuk
menyimpan fosil dengan lebih baik. Tahun 1983 pemerintah pusat menghimpun semua koleksi
yang ada di sekitar Sangiran. Museum Sangiran akhirnya diresmikan pada tanggal 15 desember
2011 oleh wakil menteri pendidikan dan kebudayaan bidang kebudayaan Prof. Dr.Windu
Nuryati, Ph.D sebagai museum yang bertaraf Internasional.
Hingga saat ini telah ditemukan lebih dari 13.685 fosil, yang mana 2.931 fosil tersimpan di
museum Sangiran, dan sisanya di gudang penyimpanan. dimana 99% di antaranya merupakan
temuan masyarakat. Fosil-fosil tersebut diantaranya adalah :
Fosil binatang bertulang belakang antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon
trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis
palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinocerus sondaicus (badak), Bovidae (sapi,
banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba). Fosil tulang kepala gajah purba bahkan fosil tulang
iga binatang mamalia seringkali ditemukan secara tidak sengaja oleh warga sekitar museum
manusia purba klaster bukuran (15/2/2016) lalu.
Gambar 2. Bovidae (sapi, banteng)
Tak hanya binatang bertulang belakang, fosil binatang air seperti Crocodilus sp (buaya),
ikan dan kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Mollusa (kelas Pelecypoda dan
Gastropoda), Chelonia sp(kura-kura), dan foraminifera.
Terdapat batu-batuan yang ditemukan seperti meteorit atau taktit, kalesdon, diatome, agate,
dan ametis. Hasil budaya alat batu dari Sangiran contohnya kapak perimbas, kapak penetak,
kapak genggam, kapak pembelah, bola batu, dan alat serpih.
Gambar 6. Alat- alat dari batu Gambar 7. Alat-alat dari batu
Cara menemukan fosil tersebut selain ditemukan tidak sengaja oleh warga sekitar yang
tinggal di sekitar daerah Sangiran, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan juga telah membentuk Unit Pelaksana Teknis yang memiliki tugas mengelola situs
manusia purba Sangiran dan situs-situs sejenis lainnya dengan nama Balai Pelestarian Situs
Manusia Purba Sangiran (BPSMP) di Sangiran.
Yang mana nantinya setiap fosil yang ditemukan akan diteliti secara ilmiah dan akan
dikumpulkan di museum tersebut. Walau tidak jarang beberapa diantara warga yang
menemukan fosil tidak langsung melaporkannya pada BPSMP Sangiran, bahkan ada yang
menyimpannya terlebih dahulu hingga terkumpul banyak, kemudian barulah warga tersebut
menyerahkannya pada BPSMP Sangiran. Survei dan ekskavasi (penggalian) merupakan
bentuk penelitian yang paling umum dilakukan di Sangiran.
Menurut teori out of Africa, Homo Erectus berasal dari evolusi manusia di Afrika yang
kemudian menyebar ke pelosok dunia.1 Penyebarannya dilakukan melalui jalur darat saat
lempeng bumi masih menyatu dan akhirnya sampai di Sangiran.
1
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpsmsangiran/teori-out-of-africa/. Diakses pada 5 Mei 2019.
Homo Erectus yang ditemukan di Sangiran dibagi menjadi tiga tingkatan berdasarkan
waktu evolusinya. Tingkatan Arkaik diperkirakan hidup pada 1.500.000- 1.000.000 tahun yang
lalu pada saat Jawa masih berupa rawa- rawa. Hal ini dapat diketahui dari letak kerangka
tengkorak yang ditemukan pada lapisan tanah Pucangan. Homo Erectus tingkat Arkaik
memiliki volume otak paling kecil dari spesisenya di Jawa yakni sekitar 850 cc. Kemudian
pada tingkatan selanjutnya ada Homo Erectus tipik yang hidup sekitar 900.000- 300.000 tahun
yang lalu. Fosilnya ditemukan di lapisan tanah Grenzbank dan Kabuh. Tingkatan ini
diperkirakan hidup pada masa daratan Jawa sudah berupa lingkungan hutan terbuka. Homo
Erectus tingkat Tipik memiliki volume otak sekitar 1000 cc. Homo Erectus tingkat Arkaik dan
tipik ditemukan di Sangiran.
Pada tingkatan terakhir yakni Homo Erectus Progresif hidup sekitar 200.000- 100.000
tahun yang lalu pada saat Jawa sudah berupa daratan kering. Tingkat ini ditemukan di Ngadong
(Blora), Sambung macan (Sragen) dan Selopuro (Ngawi). Homo Erectus Progresif memiliki
volume otak paling besar diantara tingkatannya yakni sekitar 1100 cc. Selain melalui volume
otak, perkembangan tingkatan Homo Erectus dapat diketahui melalui perubahan fisik seperti
bentuk tulang dahi, gigi dan dan tulang alis.
Diperkirakan Homo Erectus hilang di Sangiran pada 250.000 tahun yang lalu
disebabkan perubahan kondisi lingkungan tempat tinggalnya secara ekstrim. Diperkirakan
Homo Erectus Tipik tidak mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan tersebut dan
memutuskan untuk berpindah dari Saringan ke lokasi yang jauh lebih baik.