Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran pernafasan. Saluran
pernafasan adalah hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanyaseperti
sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA umumnya ditularkan melalui
droplet. Namun demikian, pada sebagian patogen ada juga kemungkinan
penularan melalui cara lain, seperti melalui kontak dengan tangan atau permukaan
yang terkontaminas. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada
anak balita, hal ini disebabkan karena sistem pertahanan tubuh anak masih
rendah. (Depkes RI, 2000).
Infeksi Saluran pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit terbanyak yang
dilaporkan kepada pelayanan kesehatan, World Health Organization (WHO)
memperkirakan insidensi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di negara
berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup
adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita Menurut WHO ± 13 juta
anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut
terdapat dinegara berkembang dan ISPA merupakan salah satu penyebab utama
kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (WHO, 2007).
Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun
2007, prevalensi ISPA di Indonesia sekitar 25,5% dengan prevalensi tertinggi
terjadi pada bayi dua tahun (>35%). Jumlah balita dengan ISPA di indonesia pada
tahun 2011 adalah lima diantara 1.000 balita yang berarti sebanyak 150.000 balita
meninggal pertahun atau sebanyak 12.500 balita perbulan atau 416 kasus sehari
atau 17 balita perjam atau seorang balita perlima menit. Dapat disimpulkan bahwa

1
prevalensi penderita ISPA di indonesia adalah 9,4%. Sedangkan survei mortalitas
yang dilakukan oleh Subdit ISPA 2005, menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai
penyebab kematian bayi terbesar di indonesia dengan persentase 22,30% dari
seluruh kematian balita (Depkes, 2012).
Prevalensi penderita ISPA di Sulawesi Tengah berada di atas prevalensi
nasional yaitu sebesar 28,36%. Penyakit ISPA di sulawesi tengah berada di atas
prevalensi nasional yaitu sebesar 28,36%. Penyakit ISPA selalu menduduki
perangkat teratas setiap tahunnya dan berdasarkan data yang di peroleh yaitu pada
tahun 2012 jumlah penderita ISPA untuk pneumonia sebanyak 29.257 anak. Dari
data Dinkes Kota Palu jumlah penderita ISPA pada tahun 2013 dari bulan Januari
sampai Desember sebanyak 2.192 anak.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil perumusan masalah yaitu


“Bagaimana Karakteristik Balita Dengan Infeksi Pernapasan Akut (ISPA) di
Puskesmas Tinggede pada tahun 2017?”

2
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik balita dengan infeksi saluran pernapasan atas
(ISPA) di Puskesmas Tinggede Tahun 2017.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi frekuensi balita dengan infeksi saluran pernapasan
akut berdasarkan umur di Puskesmas Tinggede.
b. Mengetahui distribusi frekuensi balita dengan infeksi saluran pernapasan
akut berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas Tinggede
c. Mengetahui distribusi frekuensi balita dengan infeksi saluran pernapasan
akut berdasarkan tempat tinggal di Puskesmas Tinggede.
d. Mengetahui distribusi frekuensi balita dengan infeksi saluran pernapasan
akut berdasarkan status gizi di Puskesmas Tinggede.

D. Manfaat Penelitian
a. Peneliti
Menambah pengetahuan dan informasi tentang karakteristik balita dengan infeksi
saluran pernapasan akut.
b. Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pustaka di perpustakaan Program Studi
Pendidikan Dokter Universitas Tadulako.
c. Puskesmas Tinggede
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam memberikan
dan mempertahankan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Wilayah Kerja

1. Keadaan umum

Puskesmas Tinggede merupakan salah satu puskesmas yang terdapat


dikecamatan marowola dengan luas wilayah kerja sebesar 839 km2 yang secara
administrasi pemerintahan terdiri dari 3 desa yaitu desa tinggede, desa tinggede
selatan, dan desa sunju, adapun batas wilayah kerja puskesmas tinggede adalah
sebagai beriku:.
 Sebelah utara : Berbatasan dengan kecamatan palu selatan.
 Sebelah Timur : Berbatasan dengan kecamatan dolo
 Sebelah Selatan : Berbatasan dengan wilayah pkm marowola
 Sebelah Barat : Berbatasan dengan kecamatan Banawa
a. Suhu dan Kelembaban Udara
Berdasarkan data badan metereologi dan geofisika,suhu udara untuk dataran
tinggi berkisar antara 22,3-23,8 C dan datara rendah berkisar 31,1- 35,3 C
dengan kelembabar udara rata-rata berkisar 72-82%,rata –rata suhu maksimum
kabupaten Sigi berkisar 32,90 C sedangkan rata-rata suhu maksimum sekitar
22,90 C.
b. Kependudukan

Jumlah penduduk di wilayah Puskesmas Tiggede pada tahun 2016/2017


berjumlah 9.236 jiwa. Jumlah penduduk perkelurahan dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

4
No Desa Jumlah Penduduk
1 Tinggede 6.399
2 Tinggede Selatan 1.524
3 Sunju 1.313
Puskesmas Tinggede 9.236

B. Telaah Pustaka

1. Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) diadaptasi dari istilah dalam bahasa

Inggris, yaitu Acute Respiratory Infections (ARI) yang mempunyai pengertian

sebagai berikut :

- Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

- Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta

organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

- Infeksi akut adalah indeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.

Dengan demikian, ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah

satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga

alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya sinus rongga telinga tengah

dan pleura, yang berlangsung sampai dengan 14 hari (Depkes RI, 2002)

5
2. Etiologi

Infeksi saluran pernapasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek

dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari

300 lebih jenis virus, bakteri dan ricketsia serta jamur. Beberapa virus penyebab

menurut Behrman et all (2000) yaitu :

a. Virus Sinsisial Pernapasan (VSP), merupakan satu penyebab utama

bronkiolitis, kira-kira meliputi, sepertiga dari semua kasus. Virus ini

merupakan penyebab yang lazim penyakit pneumonia, croup, dan

bronkiolitis, dan penyakit demam saluran pernapasan atas yang tidak

terdiferensiasi.

b. Virus parainfluenza, menyebabkan sebagian besar kasus sindrom croup, tetapi

dapat juga menimbulkan bronkitis, bronkolitis, dan penyakit demam saluran

pernapasan atas.

c. Virus influenza, tidak mempunyai pengaruh besar dalam berbagai sindrom

pernapasan kecuali selama epidemi. Pada bayi dan anak, virus influenza lebih

menyebabkan penyakit saluran pernapasan atas daripada saluran pernapasan

bawah.

d. Adenovirus, menyebabkan kurang dari 10% penyakit pernapasan, sebagian

besar darinya bersifat ringan atau tidak bergejala. Demam faringitis dan

demam faringokonjungtivitis adalah manifestasi klinis yang paling sering

pada anak. Namun, adenovirus kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran

pernapasan bawah yang berat.

6
e. Rhinovirus dan koronavirus biasanya menimbulkan gejala yang terbatas pada

saluran pernapasan atas, paling sering hidung dan merupakan bagian yang

berarti dari sindrom “common cold”.

f. Koksakivirus A dan B terutama menimbulkan penyakit pada nasofaring.

3. Klasifikasi Penyakit ISPA

Berdasarkan Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA dalam penentuan

klasifikasi penyakit ISPA dibedakan atas 2 kelompok yaitu untuk umur kelompok

umur < 2 bulan dan 2 bulan sampai <5 tahun. Untuk kelompok umur < 2 bulan

klasifikasi dibagi atas pneumonia berat dan bukan pneumonia. Sedangkan untuk

kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun klasifikasi dibagi atas pneumonia berat,

pneumonia dan batuk bukan pneumonia.

a. Pneumonia Berat

Pneumonia ialah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam

etiologi seperti bakteri, virus, jamur, dan benda asing. Pembagiannya

ditentukan atas dasar anatomis dan etiologis.

a) Umur < 2 bulan

Didasarkan adanya nafas cepat (fast breathing) yaitu frekuensi pernapasan

sebanyak 60 kali per menit atau lebih, adanya tarikan yang kuat pada

dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).

Tanda- tanda bahaya pada umur < 2 bulan adalah sebagai berikut:

1. berhenti minum susu

7
2. kejang

3. rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun

4. stidor saat anak tenang

5. demam atau suhu tubuh yang rendah

b) Umur 2 bulan sampai < 5 tahun

Didasarkan adanya batuk atau kesukaran bernapas disertai nafas sesak

atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).

Sementara itu, untuk pengklasifikasikan terhadap penyakit sangat berat

didasarkan atas tanda-tanda bahaya sebagai berikut :

1. tidak dapat minum

2. kejang

3. rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun

4. stidor pada anak yang tenang

5. kurang gizi berat

b. Pneumonia

a) Umur 2 bulan sampai < 1 tahun

Didasarkan pada adanya batuk batuk atau kesukaran bernapas disertai

adanya frekuensi napas dengan batas napas cepat (fast breathing 50 kali

per menit).

b) Umur 1 sampai < 5 tahun

Didasarkan pada adanya batuk atau kesulitan bernapas disertai adanya frekuensi

napas dengan batas napas cepat (fast breathing 40 kali per menit).

8
c. Batuk Bukan Pneumonia

Klasifikasi bukan pneumonia mencakup kelompok penderita bayi dan

balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi

napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam. Dengan demikian klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit-

penyakit ISPA lain di luar Pneumonia seperti batuk pilek bukan pneumonia

(common cold, nasofaringitis, faringitis, sinusitis, tonsilitis, dan otitis).

Beberapa jenis penyakit batuk bukan pneumonia antara lain seperti:

a. Common cold

Common cold adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan gejala

seperti bersin-bersin, batuk, sakit tenggorokan, malaise, demam, dan sakit

kepala. Common cold disebabkan oleh Pikornavirus, Koronavirus,

Miksovirus, Paravirus, Adenovirus dan Rhinovirus. Berlangsung selama 5

sampai 14 hari.

b. Nasopharingitis

Nasofaraingitis (setara dengan common cold) disebabkan oleh sejumlah

virus, biasanya Rhinovirus, Adenovirus, Virus influenza, atau Virus

parainfluenza. Gejala pada umumnya adalah demam. Pada anak 3 bulan

sampai 3 tahun, demam tiba-tiba terjadi dan berkaitan dengan mudah

marah, gelisah, nafsu makan menurun, dan penurunan aktivitas.

Peradangan hidung dapat menyebabkan sumbatan saluran, sehingga harus

9
membuka mulut ketika bernapas. Muntah dan diare mungkin juga bisa

muncul.

c. Faringitis

Faringitis atas menunjukkan keterlibatan utama pada tenggorokan.

Penyakit ini tidak lazim pada anak di bawah umur 1 tahun. Insidennya

kemudian naik sampai puncak pada umur 4 sampai 7 tahun. Tetapi

berlanjut sampai masa kanak-kanak dan dewasa. Faringitis atas dapat

disebabkan oleh virus dan streptokokus.

1) Faringitis virus

Faringitis virus biasanya dianggap sebagai penyakit yang awal

mulainya relatif bertahap, yang biasanya mempunyai tanda awal seperti

demam, malaise, den anoreksia, dengan nyeri tenggorokan sedang. Nyeri

mulai timbul sekitar sehari sesudah mulainya gejalagejala, mencapai

puncaknya pada hari ke-2 sampai ke-3. Suara parau dan batuk sudah pasti

ada.

Komplikasi yang berarti jarang terjadi.

2) Faringitis streptokokus

Faringitis streptokokus pada anak di atas umur 2 tahun mulai dengan

keluhan nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Gejala-gejala ini dapat

disertai dengan demam setinggi 40°C, terkadang kenaikan suhu tidak

tampak selama 12 jam atau lebih. Beberapa jam sesudah keluhan awal,

10
tenggorokan dapat menjadi nyeri dan pada sepertiga penderita ditemukan

pembesaran tonsil.

d. Sinusitis

Sinusitis merupakan peradangan pada rongga sinus. Sinusitis bisa

disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri yang memicu peradangan.

Peningkatan produksi lendir, hidung tersumbat, rasa tidak nyaman di dahi,

pipi atau sekitar mata dan sakit kepala adalah gejala umum sinusitis.

e. Tonsilitis

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil, yang pada umumnya disebabkan

oleh streptokokkus. Gejala yang muncul seperti nyeri tenggorokan

berulang atau menetap dan rasa sakit ketika menelan atau bernapas.

Mungkin ada rasa kering dan iritasi pada tenggorokan.

f. Otitis Media

Otitis media merupakan peradangan pada telinga tengah yang disebabkan

oleh Streptococcus pneumoniae, H.influenzae, dan Moraxella catarrhalis.

4. Cara penularan

Infeksi saluran pernapasan akut dapat ditularkan melalui air ludah, darah,

cipratan bersin, dan udara yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang

sehat ke saluran\ pernapasannya (Erlien, 2008). Salah satu penularan ISPA adalah

melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran

pernapasan. Adanya bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni

11
suatu suspensi yang melayang di udara. Bentuk aerosol dari penyebab penyakit

tersebut berupa droplet nuclei (sisa dari sekresi saluran pernapasan yang

dikeluarkan tubuh secara droplet dan melayang di udara) dan dust (campuran

antara bibit penyakit yang melayang di udara) (Mairusnita, 2007).

5. Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya ISPA antara lain

faktor individu (balita), faktor lingkungan, dan faktor perilaku.

A. Faktor Individu

a. Umur

Infeksi saluran pernapasan lebih banyak menyerang usia balita. Oleh

karena saluran pernapasan bagian atas pada balita masih relatif kecil, pendek

dan sempit begitu juga pada saluran pernapasan bagian bawah, trakea dan

bronkus mempunyai lumen yang sempit dan pertumbuhan paru belum

sempurna. Tidak hanya itu, sistem pergerakan mukosiliar juga masih belum

sempurna dan jumlah serum Ig A masih sangat sedikit, yang menandakan

bahwa sistem imun pada balita masih belum sempurna (Djaja, 1999).

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan pada Pedoman Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional

Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005-2009, anak laki-laki

memiliki risiko lebih tinggi daripada anak perempuan untuk terkena ISPA.

Infeksi saluran penapasan lebih berat pada laki – laki dibandingkan dengan

12
perempuan. Dalam beberapa penelitian, mengatakan bahwa perbedaan

insidens dan keparahan infeksi saluran pernapasan dipengaruhi oleh jenis

kelamin, anatomi, gaya hidup, kebiasaan dan sosioekonomi. Selain faktor –

faktor yang telah disebutkan, regulasi hormon sex juga berkontribusi dengan

mempengaruhi sistem immunitas.

c. Berat Badan Waktu Lahir

Berat badan lahir rendah adalah bayi yang lahir dengan berat badan <

2500 gram. Berat badan lahir rendah mempunyai masalah khusus yang

disebabkan oleh belum maturnya multi sistem organ sehingga bayi yang lahir

dengan BBLR mempunyai faktor resiko yang tinggi untuk terjadinya infeksi

khususnya infeksi saluran pernapasan (Maryunani, 2010).

d. Status Gizi

Malnutrisi dapat lebih memudahkan seseorang terkena infeksi, dan infeksi

juga berperan untuk terjadinya malnutrisi. Kurangnya asupan nutrisi

menyebabkan berat badan menurun, menurunkan sistem imun, terjadinya

kerusakan pada mukosa, memudahkan invasi mikroorganisme patogen dan

menyebabkan pertumbuhan yang terhambat pada anak.

e. Status Imunisasi

Sebagian kematian karena ISPA berasal dari penyakit sejenis ISPA yang

dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak. Program

imunisasi yang lengkap dapat mengurangi faktor risiko pada mortalitas karena

ISPA. Bayi dan balita yang mendapat imunisasi secara lengkap apabila

13
terserang ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak lebih berat dan

lama. Kini pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT) terbukti efektif

mengatasi risiko kejadian ISPA.

f. Riwayat penyakit ISPA sebelumnya

Bayi yang pernah menderita penyakit ISPA dapat kembali menderita

penyakit tersebut. Hal ini antara lain disebabkan karena sistem kekebalan

tubuh yang menurun, kurang terpenuhinya kecukupan gizi, keadaan

lingkungan rumah dan sekitar yang memudahkan penularan.

g. Pemberian ASI secara eksklusif

ASI mengandung sejumlah besar sekretori Ig A, lisozim-sekresi makrofag,

limfosit T dan B melepaskan IFN-γ dan faktor kemotaktik monosit. Semua

kandungan dari ASI dapat memperkuat respon immun intrinsik. Dengan

begitu ASI meningkatkan aktivitas sistem immun melalui pemindahan

antibodi dan limfosit. ASI dapat mengurangi pajanan mikroorganisme karena

mengandung anti bakteri dan anti virus. Kandungan ASI juga mempunyai

efek perlindungan terhadap infeksi saluran pernapasan dan dapat

meningkatkan perlindungan hingga satu tahun setelah pemberhentian ASI dari

mikroorganisme patogen Haemophilus influenza tipe b dan pneumokokki

sama halnya dengan agent dari infeksi saluran pernapasan.

14
h. Pemberian Makanan Pengganti/ Tambahan

Pada bayi yang mendapatkan makanan pengganti ASI/PASI mempunyai

angka yang tinggi menderita ISPA dibanding bayi yang mendapatkan ASI,

karena tidak semua nutrisi yang dibutuhkan bayi ada di dalam makanan

pengganti ASI tersebut.

B. Faktor Lingkungan

a. Rumah:

1) Ventilasi, Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Pertama, menjaga

agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti

keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap

terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam

rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya

menjadi meningkat. Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan

mendapatkan suhu yang optimum bila mempunyai ventilasi minimal 10%

dari luas lantai. Ventilasi yang tidak baik dapat menyebabkan kelembaban

yang tinggi dan membahayakan kesehatan sehingga kejadian ISPA akan

semakin bertambah (Keman, 2005).

2) Pencahayaan, rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup tinggi,

tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke

dalam rumah terutama cahaya matahari menyebabkan ketidak nyamanan

bagi penghuni rumah dan merupakan media atau tempat yang baik bagi

15
pertumbuhan bakteri – bakteri penyebab ISPA karena keaadan rumah

yang lembab. Sebaliknya terlalu banyak cahaya yang masuk ke dalam

rumah dapat menyebabkan silau pada mata dan akhirnya dapat merusak

mata. Rumah yang sehat harus mempunyai luas jalan masuk cahaya

sekurang-kurangnya 15%-20% dari luas lantai yang terdapat didalam

ruangan rumah (Keman, 2005).

Kepadatan Hunian, menurut Depkes, yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan

dibagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang dan luas kamar tidur minimal 8

m2, tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur

kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Luas bangunan yang tidak sebanding

dengan jumlah penghuni dapat mempermudah penularan ISPA. Kepadatan

hunian yang berlebihan memudahkan penularan penyakit infeksi pernapasan,

tuberkulosis, meningitis, dan penularan parasit usus dari satu orang ke orang

lainnya (Keman, 2005).

6. Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA pada

balita antara lain :

1. Memenuhi kecukupan gizi pada anak.

2. Memberikan imunisasi yang lengkap pada anak agar terbentuk daya tahan

tubuh terhadap penyakit.

3. Menjaga kebersihan lingkungan dan perumahan serta menjaga kebersihan diri.

16
4. Menyediakan ventilasi dan pencahayaan yang cukup dalam rumah.

5. Mengurangi pencemaran udara dalam rumah, dari asap rokok, hasil

pembakaran bahan bakar untuk memasak, dan lain-lain.

6. Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu cara adalah

memakai penutup hidung dan mulut bila kontak langsung dengan anggota

keluarga atau orang yang sedang menderita penyakit ISPA.

7. Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) berdasarkan klasifikasi.

Perawatan dapat dilakukan di rumah, untuk batuk dapat memberikan obat batuk

tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan

seperti kodein, dekstrometrofan dan antihistamin. Bila disertai dengan demam,

maka diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala

batuk pilek, apabila pada pemeriksaan tenggorokkan didapat adanya bercak nanah

(eksudat) disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening di leher, dianggap

sebagai radang tenggorokkan oleh kuman Streptococcus dan harus diberikan

antibiotik selama 10 hari.

17
1. Kerangka Teori

Definisi
Umur

Etiologi
Jenis Kelamin

Klasifikasi
Status gizi
ISPA
Cara Penularan
Riwayat penyakit ISPA
sebelumnya
Faktor Risiko

Riwayat terpapar asap


Pencegahan rokok

Daerah tempat tinggal


Tatalaksana

Riwayat pemberian ASI


eksklusif

Status imunisasi

Gambar 2.1 Kerangka teori

18
2. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Umur

Jenis Kelamin

Status gizi ISPA pada Balita

Daerah tempat tinggal

Gambar 2.2 Kerangka konsep

19
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif dengan mengamati karakteristik

penderita ISPA di wilayah cakupan Puskesmas Tinggede Kab. Sigi.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 2 April 2018 sampai dengan 12 April

2018 di Puskesmas Tinggede Kab. Sigi, Sulawesi Tengah.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi merupakan sekelompok subyek atau data dengan karakteristik tertentu

(Sastroasmoro, 2010). Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah semua data

balita yang terdiagnosis ISPA di Puskesmas Tinggede Kab. Sigi tahun 2017.

2. Sampel

Sampel merupakan sebagian yang diambil dari populasi yang dipilih untuk dapat

memenuhi/mewakili populasi.

a) Teknik pengambilan sampel

Dalam penelitian pada umumnya tidak menggunakan seluruh objek

namun hanya sebagian objek penelitian. Namun penelitian ini menggunakan

20
simple random sampling yaitu sampel yang diambil secara acak dari objek

populasi.

b) Besar sampel

Besar sampel sebanyak 97 data rekam medik balita yang terdiagnosis ISPA di

Puskesmas Tinggede Kab. Sigi Tahun 2017. Besar sampel diperoleh dari

rumus berikut:

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑 2 )

3477
=
1 + 3477 (0,12 )

3477
= = 97,2 ≈ 97 sampel
35,77

c) Keterangan:

d) n : Besar sampel

e) N: Besar populasi (3.477 pasien)

f) d : Data presisi absolut atau margin of error yang diinginkan diketahui sisi

proporsi (±10 %)

g) Kriteria restriksi

1. Kriteria inklusi

a. Balita yang terdiagnosis ISPA di Puskesmas Tinggede Kab. Sigi tahun

2017.

21
2. Kriteria eksklusi

a. Balita dengan kelainan congenital yang nyata

b. Balita dengan imunocompromise

c. Rekam medis yang tidak lengkap

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

Variabel penelitian merupakan suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh

anggota suatu kelompok (orang, benda, situasi) yang berbeda dengan yang

dimiliki oleh kelompok tersebut.

Variabel bebas : umur, jenis kelamin, tempat tinggal, status gizi.

Variabel terikat : kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

2. Definisi operasional

a. Umur

Umur adalah usia balita yang dihitung berdasarkan tanggal, bulan dan

tahun kelahiran yang tercantum dalam rekam medik.

Cara ukur : Pengisian tabel distribusi berdasarkan rekam medik

Alat ukur : Rekam medik

Skala ukur : Ordinal

Hasil ukur : < 1 tahun

1 - < 5 tahun

22
b. Jenis kelamin

Jenis kelamin balita yang ada di rekam medik.

Cara ukur : Pengisian tabel distribusi berdasarkan rekam medik mengenai

jenis kelamin.

Alat ukur : Rekam medik

Skala ukur : Nominal

Hasil ukur : Laki-laki

Perempuan

c. Tempat tinggal

Tempat tinggal adalah suatu tempat berupa desa atau kelurahan yang

ditingggali oleh pasien.

Cara ukur : Pengisian tabel distribusi berdasarkan rekam medik mengenai

tempat tinggal pasien.

Alat ukur : Rekam medik

Skala ukur : Nominal

Hasil ukur : Desa Tinggede

Desa Tinggede Selatan

Desa Sunju

23
d. Status gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

penggunaan zat-zat gizi, diukur dengan kartu menuju sehat (KMS).

Cara ukur : Pengisian tabel distribusi berdasarkan rekam medik mengenai

status gizi pasien.

Alat ukur : Rekam medik

Skala ukur : Ordinal

Hasil ukur : Lebih (di atas garis merah)

Baik (di area hijau)

Kurang (di area kuning)

Buruk (di bawah garis merah)

E. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu berupa rekam medis yang di

dalamnya terdapat data mengenai identitas pasien, status gizi.

F. Pengolahan Data

Pengolahan data penelitian dilakukan dengan tahap – tahap sebagai berikut:

1. Editing, yaitu memeriksa kelengkapan data sehingga apabila ada kekurangan

dapat segera dilengkapi.

2. Coding, yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses pengolahan

data.

24
3. Entry, yaitu memasukkan data untuk diolah menggunakan komputer.

4. Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan diteliti

guna memudahkan analisis data.

G. Analisa Data

1. Analisis univariat

Analisa ini digunakan untuk memberikan gambaran umum terhadap data hasil

penelitian dalam bentuk tabel frekuensi sebagai bahan informasi.

H. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi

dari pihak institusi dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat

penelitian dilaksanakan. Setelah mendapat persetujuan tersebut, barulah dilakukan

penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian yaitu confidentiality

(kerahasiaan) dimana semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya dipergunakan untuk kepentingan pembuatan

penelitian ini.

25
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Dari hasil pengumpulan data dapat dilihat karakteristik balita dengan Infeksi

Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Puskesmas Tinggede Kab. Sigi terdapat empat

variabel yang diteliti yaitu umur, jenis kelamin, tempat tinggal, status gizi. Berikut

akan disajikan data hasil penelitian yang telah diperoleh dan akan dibahas dari

masing-masing variabel yang diteliti dalam bentuk tabel dan narasi.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Balita dengan Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Berdasarkan Umur di Puskesmas Tinggede tahun 2017

Umur (tahun) Frekuensi Persentase (%)

< 1 tahun 30 30,9

1 - < 5 tahun 67 69,1

TOTAL 97 100

Sumber: Rekam Medik Poli MTBS PKM Tinggede 2017

26
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa balita dengan infeksi saluran pernapasan akut

terbanyak sebanyak 67 orang (69,1 %) berumur 1 - < 5 tahun dan 30 orang (30,9 %)

berumur < 1 tahun.

Umur

69.1
Axis Title

30.9
67
30

Axis Title

Frekuensi Persentase (%)

Gambar 4.1 Grafik proporsi kejadian ISPA berdasarkan umur di Puskesmas


Tinggede tahun 2017

27
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Balita dengan Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Tinggede tahun 2017

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki 54 55,7

Perempuan 43 44,3

Total 97 100

Sumber: Rekam Medik Poli MTBS PKM Tinggede tahun 2017

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa balita dengan infeksi saluran pernapasan berdasarkan

jenis kelamin laki- laki sebanyak 54 orang (55,7%) dan perempuan sebanyak 43

orang (44,3%).

28
Jenis Kelamin

55.7
Axis Title

44.3

54
43

Axis Title

Frekuensi Persentase (%)

Gambar 4.2 Grafik proporsi kejadian ISPA berdasarkan jenis kelamin


Puskesmas Tinggede tahun 2017

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Balita dengan Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Berdasarkan tempat tinggal Puskesmas Tinggede Tahun 2017

Tempat Tinggal Frekuensi Persentase (%)

Tinggede 48 49,4

Tinggede Selatan 27 27,9

Sunju 22 22,7

Total 97 100

Sumber: Rekam Medik Poli MTBS PKM Tinggede tahun 2017

29
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa balita dengan infeksi saluran pernapasan berdasarkan

tempat tinggal sebanyak 48 orang (49,4 %) di desa Tinggede, 27 orang (27,9%) di

desa Tinggede Selatan, 22 orang (22,7%) di desa Sunju,

T E M P A T T I NG G A L

Frekuensi Persentase (%)

49.4
AXIS TITLE

27.9
22.7
48
27 22

TINGGEDE TINGGEDE SELATAN SUNJU

Gambar 4.3 Grafik proporsi kejadian ISPA berdasarkan tempat tinggal


Puskesmas Tinggede tahun 2017

30
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Balita dengan Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Berdasarkan Status Gizi di Puskesmas Tinggede tahun 2017

Status Gizi Frekuensi Persentase (%)

Kurang 19 19,6

Baik 78 80,4

Total 97 100

Sumber: Rekam Medik Poli MTBS PKM Tinggede tahun 2017

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa balita dengan ISPA berdasarkan status gizi adalah

sebanyak 19 orang (19,6%) gizi kurang dan sebanyak 78 orang (80,4%) gizi baik.

Status Gizi
180

160

140

120 80.4
Axis Title

100

80 Persentase (%)

60 Frekuensi

40 78
19.6
20
19
0
Gizi Baik Gizi Kurang
Axis Title

Gambar 4.4 Grafik proporsi kejadian ISPA berdasarkan status gizi

Puskesmas Tinggede tahun 2017

31
B. Pembahasan

1. Analisis Univariat

a. Karakteristik Balita dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Berdasarkan Umur

Hasil penelitian pada tabel 4.1 distribusi frekuensi balita dengan infeksi saluran

pernapasan akut terbanyak sebanyak didapatkan 67 orang (69,1 %) berumur 1 - < 5

tahun.

Hal ini sesuai dengan teori dimana infeksi saluran pernapasan lebih banyak

menyerang usia balita. Oleh karena saluran pernapasan bagian atas pada balita masih

relatif kecil, pendek dan sempit begitu juga pada saluran pernapasan bagian bawah,

trakea dan bronkus mempunyai lumen yang sempit dan pertumbuhan paru belum

sempurna. Tidak hanya itu, sistem pergerakan mukosiliar juga masih belum sempurna

dan jumlah serum Ig A masih sangat sedikit, yang menandakan bahwa sistem imun

pada balita masih belum sempurna.

b. Karakteristik Balita dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Berdasarkan Jenis Kelamin

Dalam penelitian ini didapatkan persentase balita dengan infeksi saluran

pernapasan akut terbanyak yang berjenis kelamin laki-laki 54 orang (55,7%). Dari

hasil penelitian Nur, H (2004) yang dikutip oleh Mairusnita (2009) menunjukkan

32
bahwa balita dengan jenis kelamin laki-laki menderita ISPA sebanyak 46,5% dan

balita berjenis kelamin perempuan sebanyak 38,4%. Dari hasil penelitian tersebut

dapat disimpulkan bahwa penyakit ISPA dapat menyerang balita laki-laki maupun

perempuan namun persentase laki-laki sedikit lebih besar dibandingkan dengan balita

perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian Nur, H (2004) yang dikutip Mairusnita

(2009) bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan

kejadian ISPA karena anak laki – laki maupun anak perempuan mempunyai

kesempatan terpaparnya agent penyebab infeksi yang sama.

c. Karakteristik Balita dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Berdasarkan Tempat Tinggal

Berdasarkan profil puskesmas Singgani kepadatan penduduk berdasarkan hunian

rumah (Jumlah jiwa per KK) yang terpadat penduduknya adalah Desa Tinggede

Menurut tabel 4.3 menunjukkan bahwa kelompok tempat tinggal penderita ISPA

tertinggi adalah Desa Tinggede dengan jumlah penderita 48 orang (49,4%). Desa

Tinggede memiliki luas wilayah yang lebih luas yaitu seluas 4,15 km². Tetapi

pemukiman di desa ini berhimpit, dengan jumlah wilayah terbesar yaitu sebanyak

6.399 jiwa dibandingkan desa yang lain dalam cakupan wilayah puskesmas

Tinggede. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa kepadatan hunian

yang berlebihan memudahkan penularan penyakit infeksi pernapasan, tuberkulosis,

meningitis, dan penularan parasit usus dari satu orang ke orang lainnya.

33
d. Karakteristik Balita dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Berdasarkan Status Gizi

Hasil penelitian berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa status gizi balita

dengan infeksi saluran pernapasan akut sebanyak 78 orang (80,4%) yang memiliki

status gizi baik.

Hasil ini berbeda dengan teori yang menyatakan bahwa imunitas balita akan turun

pada keadaan gizi kurang. Hal ini dapat terjadi karena tidak menutup kemungkinan

pada anak dengan gizi baik dapat lebih sering terkena ISPA dibandingkan dengan

anak dengan malnutrisi oleh karena adanya kontribusi faktor lain seperti lingkungan

dan pajanan asap rokok. Malnutrisi dapat lebih memudahkan seseorang terkena

infeksi, dan infeksi juga berperan untuk terjadinya malnutrisi. Kurangnya asupan

nutrisi menyebabkan berat badan menurun, menurunkan sistem imun, terjadinya

kerusakan pada mukosa, memudahkan invasi mikroorganisme patogen dan

menyebabkan pertumbuhan yang terhambat pada anak. .

2. Keterbatasan Penelitian

Beberapa faktor risiko dari karakteristik balita dengan infeksi saluran pernapasan

akut seperti berat badan waktu lahir, pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan

pengganti, riwayat penyakit ISPA sebelumnya, riwayat terpapar asap rokok, dan

faktor lingkungan tidak dapat diteliti.

34
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Distribusi frekuensi balita dengan ISPA pada penelitian ini sebagian besar

kelompok umur 1 - <5 tahun yaitu sebanyak 67 orang (69,1 %).

2. Distribusi frekuensi balita dengan ISPA pada penelitian ini sebagian besar

berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 54 orang (55,7%).

3. Distribusi frekuensi balita dengan ISPA pada penelitian ini sebagian besar

bertempat tinggal di Desa Tinggede yaitu sebanyak 48 orang (49,4%).

4. Distribusi frekuensi balita dengan ISPA pada penelitian ini sebagian besar bergizi

baik yaitu sebanyak 78 orang (80,4%).

B. Saran

- Bagi Petugas Kesehatan

Diharapkan untuk memberikan pendidikan dan informasi kepada para orangtua

balita khususnya yang menderita ISPA mengenai cara pencegahan ISPA,

perawatan anak di rumah apabila terserang ISPA, dan cara menjaga kebersihan

diri serta lingkungan.

35
- Bagi Peneliti

Bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian yang sejenis dapat

menambah faktor risiko yang belum diteliti dalam penelitian ini.

- Bagi Institusi

Institusi diharapkan untuk menambah kepustakaan di Program Studi Pendidikan

Dokter Universitas Tadulako.

36
DAFTAR PUSTAKA

Behrman ER,dkk, 2000, Ilmu kesehatan anak vol.2, 15th edn, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Citra Ayu Eka Permatasari, 2009, Faktor risiko kejadian ISPA ringan pada Baduta di
Kelurahan Rangkapan Jaya Baru Kota Depok, , diakses 7 September 2016.

Daulay, Ridwan, 2008, Kendala penanganan infeksi saluran pernapasan akut (ispa),
FK-USU, Medan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009, Buku Kesehatan Ibu dan Anak,
Depkes RI, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Manajemen Terpadu Balita Sakit


(MTBS), Depkes RI, Jakarta

Erlien, 2008, Penyakit Saluran Pernapasan, Sunda Kelapa Pustaka, Jakarta.

Ernawati, Farich A, 2012, Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dan Faktor Anak
dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita di Desa Way Huwi, Puskesmas Karang
Anyar Kecamatn Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan 2012, diakses 7
September 2016 < http://afarich.com/147.pdf>.

Hartono R, Rahmawati D, 2012, ISPA gangguan pernapasan pada anak panduan


bagi tenaga kesehatan dan umum, Nuha Medika, Yogyakarta.

Keman S. Kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman. 2005.

Maisrunita, 2007, Karakteristik Balita Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut


(ISPA) pada Balita yang Berobat ke Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Langsa Tahun 2006-2007, diakses 5 September 2016,
<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14737/1/08E01512.pdf>.

Nasution Kholisah, 2009, Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Daerah Urban
Jakarta, Sari Pediatri, Vol. 11, No. 4, Desember 2009, diakses tanggal 2
September 2016.

Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,


2000, Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Percetakan Infomedika Jakarta,
Jakarta.

37
Rahman Aidil, 2014, Pola Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Anak Air Padang Tahun 2012, Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3), diakses
tanggal 2 September 2016, <http://jurnal.fk.unand.ac.id>.

38

Anda mungkin juga menyukai