Asal-Usul
Kesehatan bayi dalam kandungan harus selalu dijaga. Salah satu cara agar
bayi dalam kandungan senantiasa sehat adalah dengan menjaga kesehatan si ibu
yang mengandung si bayi. Sebelum dikenal adanya dokter yang mampu
memeriksa dan mengobati seorang ibu yang sedang hamil, masyarakat
tradisional mempunyai cara khusus untuk mengupayakan kesehatan si ibu yang
sedang mengandung. Salah satu suku di Indonesia yang mempunyai cara khusus
untuk menyembuhkan seorang ibu hamil yang sedang sakit adalah Suku Kaili
yang berada di Sulawesi Tengah, Indonesia.
1. Upacara selamatan kandungan pada masa hamil pertama (Nolama
Tai)
E. Jalannya Upacara
Dalam upacara nolama bagi keluarga bangsawan, pertama ialah
mengadakan undangan (pegaga), yaitu suatu undangan dengan jalan
mengundang langsung dari rumah ke rumah jauh sebelum upacara diadakan.
Bila telah tiba hari yang ditentukan, undangan-undangan dijemput kembali
(neala) dari rumah ke rumah. Kegiatan ini disebut peonggotaka (suatu
penghormatan dari keluarga yang berpesta) kepada orang tua adat.
Upacara Novero (upacara pengobatan apabila sang ibu yang hamil kurang
sehat)
Upacara ini dapat juga dilaksanakan bagi ibu yang tidak hamil, namun ada
perbedaan-perbedaan yang tidak berarti.
1. Maksud Penyelenggaraan Upacara
Novero (mengobati penyakit) atau moragi ose (memberi warna warni
beras) bertujuan untuk menyembuhkan ibu hamil dari penyakit yang dideritanya
karena nilindo nuviata (diganggu mahluk halus).
Acara terahir ialah noave ose niragi, bila ibu telah melahirkan dengan
selamat, maka ose niragi (beras 4 warna) yang disebutkan di atas valas suji
(semacam rakit kecil). Noave (mengalirkan) barang tersebut mengandung arti
nompakatu (mengirimkan sesajian) tersebut kepada pue ntasi (penghuni laut)
diiringi pula dengan mantera-mantera yang isinya minta segera ibu hamil yang
sakit segera sembuh, dan karena penyakit sudah terbawa ke laut, pergi bersama
penyakit.
Etnik Kaili melakukan penyembuhan penyakit melalui dukun bila ada orang
sakit yang dianggap ditegur oleh makhluk halus. Orang sakit itu diobati dengan
suatu upacara yang disebut "Nobalia" atau "Novurake". Upacara Nobalia, yaitu:
dukun membaca mantera-mantera kemudian ia menjadi kesurupan. Ketika
dukun tersebut kesurupan maka menari-nari di atas bara api, yang kemudian ia
melawan/mengusir makhlus halus supaya kembali ke tempat-nya atau berhenti
mengganggu orang yang sakit. (anehnya belum satupun fotografer berhasil
mengabadikan dukun menari diatas api)
Secara etimologi “Balia” berasal dari bahasa Kaili “Nabali ia” artinya “berubah
ia”. Perubahan yang dimaksud dalam pengertian ini adalah ketika seseorang
pelaku Balia telah dimasuki oleh roh halus, maka segala perilaku, gerak,
perbuatan, cara berbicara sampai pada cara berpakaian orang tersebut akan
berubah. Salah satu contoh, seorang pelaku Balia wanita, bila roh yang masuk
ke dalam tubuhnya adalah laki - laki, maka ia pun langsung merubah cara
berpakainnya seperti memakai sarung, kemeja, kopiah dan merokok. Gerak,
tingkah laku dan cara berbicaranya pun tak ubahnya laki-laki. Sebaliknya, hal
ini juga berlaku pada pelaku Balia pria yang dimasuki oleh roh halus wanita,
dalam bahasa Kaili disebut “Bayasa” ( laki-laki yang berperilaku wanita ).
Pengertian lain tentang kata “Balia” adalah “bali ia” atau “robah dia”. Dalam
pengertian ini, kata “robah dia” lebih dikonotasikan pada penyakit yang diderita
seseorang yang diupacarakan agar disembuhkan. Sederhananya dapat diartikan
merubah seseorang yang “sakit” menjadi “sembuh”.
Seperti diketahui bahwa nilai budaya merupakan konsep - konsep mengenai apa
yang hidup dan alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa
yang mereka anggap bernilai, berharga, penting, sehingga dapat berfungsi
sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para
warga masyarakat tersebut.
Di kalangan etnis Kaili, kekuatan - kekuatan gaib itu dipercaya ada di mana-
mana, dalam pengertian bahwa langit dan bumi serta segala isinya di dunia ini
memiliki penghuni / penjaga. Kekuatan gaib di langit disebut “karampua” dan
pemilik kekuatan gaib di bumi / tanah disebut “anitu”. Selain itu segala isi alam
seperti batu, pohon, laut, gua, gunung, bukit, dan lain - lain, juga diyakini
berpenghuni.
Mempelajari sejarah orang Kaili dari sudut antropologi, menurut legenda, cikal
bakal orang Kaili berasal dari “bambu kuning”, erat kaitannya dengan
“Sawerigading” Savi = lahir / timbul rigading = di bambu kuning ( bahasa
Makassar ), artinya sama dengan bahasa Kaili “Topebete ribolovatu mbulava”
atau “orang yang lahir / muncul dari bambu kuning”. Sawerigading diyakini
oleh orang Kaili sebagai nenek moyang mereka, sehingga apa yang dilakukan
oleh Sawerigading diikuti oleh oleh keturunannya, termasuk Balia.
Dari peristiwa itulah, Balia mulai dilakukan oleh orang Kaili. Namun diyakini
bahwa penyakit yang diderita tentu ada penyebabnya, hal ini sangat erat
kaitannya dengan keyakinan dan kepercayaan kepada kekuatan gaib dan
penghuni / penjaga alam semesta. Kaitan keterangan sejarah singkat orang Kaili
seperti yang telah disebutkan bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari
manusia dan semua apa yang dikerjakannya ( Ralfh L Beas dan Harry
Hoijen:1954:2 ).
Bila upacara Balia digelar, selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat. Ritual ini
menjadi sebuah media pertemuan masyarakat dari segala tingkatan usia dan
strata sosial. Selain sebagai sebuah bentuk upacara tradisi, Balia telah menjadi
konsumsi hiburan masyarakat bahkan menjadi pasar kecil - kecilan karena
masyarakat lainnya juga memanfaatkan momen ritual ini dengan menggelar
dagangan makanan kecil seperti : kacang, pisang, kue-kue, minuman, dan lain -
lain.
Balia adalah salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili yang masih terpelihara,
membentuk sebuah nilai, norma, etika, tatanan sosial orang Kaili di Sulawesi
Tengah yang hingga kini belum ada satu pihak pun menolak keberadaannya.
Terlepas dari ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas etnis
Kaili, Balia memiliki nilai seni yang tinggi sebagai salah satu local genius (
kearifan lokal ), wujud dari sebuah kebudayaan yang telah diakui oleh
masyarakat Sulawesi Tengah sebagai culture icon ( ikon budaya ).
Upacara ini sudah menjadi adat dan tradisi di kalangan masyarakat Kaili sejak
masuknya Islam hingga dewasa ini, secara turun temurun. Upacara nosuna
(khitan) dilaksanakan pada anak laki-laki dan perempuan. Namun pada
bahagian ini hanya diuraikan khusus pada upacara nosuna bagi anak laki-laki
yang dilakukan menjelang anak berumur sekitar 7 sampai 8 tahun, yaitu pada
anak-anak yang belum memasuki puber atau balig (nabalego).
Maksud dan Tujuan Upacara
Upacara ini dilaksanakan karena mempunyai maksud dan tujuan tertentu
menurut adat dan kepercayaan masyarakat setempat, yaitu :
Mentaati perintah agama (sunah Nabi) yang disebut Noinpataati Parenta Nabita
(mengikuti perintah Nabi Muhammad SAW).
Nompakavoe koro (mensucikan diri) .
Nompataati ada (mematuhi adat kebiasaan masyarakat agar sang anak tersebut
(yang disunat) terlepas dari dosa, di samping anak itu terhindar dari berbagai
penyakit (perkembangan yang tidak normal baik psikhis maupun phisik).
Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara ini memerlukan persiapan-persiapan yang cukup selain bahan yang
dibutuhkan untuk upacara juga menentukan pula adanya kesiapan waktu yang
baik untuk diselenggarakannya upacara ini, karena soal waktu adalah faktor
menentukan suksesnya kelangsungan hidup anak yang disunat; keadaan waktu
yang tidak baik merupakan pantangan timbulnya suatu kecelakaan pada diri
sang anak. Menurut kepercayaan adat setempat bahwa pelaksanaan upacara ini
hendaknya jatuh pada bulan ke 1, 4, 7, 10, 13, 16, 19, 22, 25, serta ke 28 bulan
di langit (Nopalakia) telapak tangan, yakni diawali dari telapak tangan bagian
dalam, jari kelingking, jari manis, jari tengah kemudian jari telunjuk lalu ibu
jari. Setiap bulan yang jatuh pada bagian dalam telapak tangan dan jatuh pada
jari tengah bagian dalam akan mempunyai arti yang baik, serta
mendapatkan keselamatan, rezeki bagi anak dan semua keluarganya.
Adapun hari-hari yang baik dalam melaksanakan upacara ini menurut palakia
(buku perhitungan bulan), yaitu hendaknya jatuh pada hari Senin, Minggu, dan
hari Jum'at yang sedianya dilaksanakan pada siang hari jam 2 sampai jam 4,
dengan alasan bahwa pada saat itu merupakan waktu yang menguntungkan
untuk menuju keselamatan.
Pantangan-pantangan yang Dihindari
Dalam upacara adat nolama, hampir tidak ada pantangan yang berarti,
tetapi selama ibu hamil dijumpai sejumlah pantangan-pantangan. Pantangan
tersebut tidak saja berlaku untuk sang ibu yang hamil, tetapi juga berlaku bagi
sang suami. Pantangan-pantangan bagi ibu hamil tersebut antara lain:
a) Duduk di muka pintu atau pada anak tangga (mungkin suatu upaya preventif).
b) Pantang minum air terlalu banyak karena bila melahirkan terlalu banyak air
dan atau beranak kembar.
c) Pantang makan gula merah atau tebu serta nenas karena dapat membuat perut
sakit.
e) Pantang mengurai rambut pada sore hari karena dapat di ganggu mahluk
halus.
h) Tidak boleh kikir (nemo masina), agar sifat/watak anaknya tidak seperti itu.
j) Tidak boleh melicinkan tempurung (mo gau bobo/banga), agar rambut anak
tidak akan botak.
k) Pantang mandi pada sore hari, dapat membuat kelamin bengkok karena ilirasi
pue nu tive (disetubuli oleh hantu penghuni air) atau mandi dipagi buta karena
bayi kedinginan dan lahir dalam keadaan lemah
8. Pantangan bagi sang suami adalah:
a) Menyembelih atau membunuh binatang karena dapat mengakibatkan bayi
nantolu moro (kemarahan)
c) Pantang menginjak papan penutup liang lahat (dindi ngari) sebab dapat
membuat bayi lahir dalam keadaan lemah.
Masyarakat suku Kaili yang ada di Desa Jono Kalora masih memiliki
budaya dan adat istiadat yang diterapkan dalam kehidupan. Hal itu dapat
diketahui dari masih berlakunya hukum adat dan pelaksanaan upacara-upacara
adat di masyarakat. Mereka meyakini bahwa ramuan dan mahluk supranatural
dapat mempengaruhi kehamilan dan persalinan. Sando mpoana
menjadi pilihan utama sebagai penolong persalinan, karena dianggap memiliki
pengetahuan berkaitan dengan mahluk-mahluk supranatural. Ibu-ibu hamil di
Desa Jono Kalora memiliki konsep persalinan. Konsep persalinan yang
dipahami selama ini oleh ibu hamil suku Kaili, bahwa persalinan adalah proses
alami yang setiap ibu rumah tangga akan mengalaminya. Risiko sakit terhapus
setelah berhasil mengeluarkan bayi. Ibu hamil juga meyakini mahluk
supranatural dan melanggar pantangan dapat mempersulit proses persalinan.
Ibu hamil di Desa Jono Kalora dalam kehamilan dan persalinan melakukan
upaya-upaya agar proses persalinan berjalan dengan lancar, seperti meminum
ramuan dan beraktivitas. Untuk mencegah gangguan mahluk supranatural, ibu-
ibu hamil membawa lemon atau bawang merah. Pola perilaku ibu hamil di Jono
Kalora ketika akan bersalin, yaitu penolong persalinan yang pertama dipanggil
adalah sando mpoanananti setelah selesai, barulah bidan dipanggil untuk
mendapatkan suntikan dan obat. Maksud dari pola perilaku tersebut, yaitu untuk
mempercepat pemulihan kesehatan. Pola perilaku lain ibu hamil adalah bidan
dilibatkan dalam persalinan apabila dalam proses persalinan mengalami
kesulitan atau pendarahan. Bila semuanya dianggap normal atau aman-aman
saja bidan tidak dilibatkan sama sekali. Dalam kehidupan suku Kaili, budaya
adat istiadat dan kepercayaan masih menjadi acuan dalam bermasyarakat,
sehingga hal tersebut juga mempengaruhi ibu hamil dalam penerimaan
penolong persalinan. Ibu hamil lebih mudah menerima penolong persalinan
yang mengetahui budaya dan adat istiadat yang berlaku di desa mereka, dari
pada penolong persalinan yang tidak mengetahui hal tersebut dan penggunaan
bahasa Kaili oleh penolong persalinan dapat membantu penerimaan 78 .
B. Saran
2.Pengelola Promosi Kesehatan dan Kesehatan Ibu dan Anak agar memberikan
pengetahuan kepada masyarakat berkaitan dengan risiko hamil dan persalinan,
melalui penyuluhan dan media promosi kesehatan.
3.Pengelola Promosi Kesehatan dan Kesehatan Ibu dan Anak agar memberikan
pengetahuan kepada ibu-ibu pentingnya pemeriksaan kehamilan di sarana
kesehatan.
5.Bidan desa agar lebih aktif berinteraksi sosial dengan masyarakat melalui
kunjungan ke rumah ibu hamil dan menghadiri pertemuan-pertemuan yang ada
di desa.