Anda di halaman 1dari 18

I.

TINJAUAN PUSTAKA

A. PREEKLAMPSIA
1. Definisi
Preeklampsia adalah kelainan malafungsi endotel pembuluh darah atau
vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia
kehamilan 20 minggu, mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ
dan pengaktifan endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi, edema
nondependen, dan dijumpai proteinuria 300mg per 24 jam atau 30mg/dl (+1
pada dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu
(Brooks MD, 2011).
2. Etiologi
Penyebab timbulnya preeklampsia pada ibu hamil belum diketahui
secara pasti, tetapi pada umum nya disebabkan oleh (vasospasme arteriola).
Faktor-faktor lain yang diperkirakan akan mempengaruhi timbulnya
preeklampsia antara lain: primigravida, kehamilan ganda, hidramnion,
molahidatidosa, multigravida, malnutrisi berat, usia ibu kurang dari 18
tahun atau lebih dari 35 tahun serta anemia (Maryunani, dkk, 2012). Dalam
penelitian Rozikhan (2007), sebab preeklampsia dan eklampsia sampai
sekarang belum diketahui. Telah banyak teori yang mencoba menerangkan
sebabmusabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang memberikan
jawaban yang memuaskan. Teori yang diterima harus dapat menerangkan
hal-hal berikut: (1) primigraviditas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola
hidatidosa; (2) semakin tuanya kehamilan; (3) terjadinya perbaikan keadaan
penderita dengan kematian janin dalam uterus; dan (4) timbulnya hipertensi,
edema, proteinuria, kejang dan koma. Salah satu teori yang dikemukakan
ialah bahwa eklampsia disebabkan ischaemia rahim dan plasenta
(ischemaemia uteroplacentae). Selama kehamilan uterus memerlukan darah
lebih banyak. Pada molahidatidosa, hydramnion, kehamilan ganda, pada
akhir kehamilan, pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah ibu,
diabetes , peredaran darah dalam dinding rahim kurang, maka keluarlah zat-
zat dari plasenta atau desidua yang menyebabkan vasospasmus dan
hipertensi. Tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangakan semua hal yang
berkaitan dengan penyakit tersebut. Ternyata tidak hanya satu faktor yang
menyebabkan pre-eklampsia dan eklampsia.
Dalam teori dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab
preeklampsia adalah iskemia plasenta. Akan tetapi, dengan teori ini tidak
dapat diterangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit itu. Ada
banyak faktor yang menyebabkan preeklampsia dan eklampsia. Diantara
faktor-faktor yang ditemukan sering kali sudah ditentukan mana yang sebab
dan mana yang akibat. Dan sampai saat ini, apa yang menjadi penyebab
preeklampsia dan eklampsia belum diketahui, telah banyak teori yang
mencoba menerangkan sebab-musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak
ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan (Chapman, 2006).
Penyebab preeklampsia belum diketahui sampai sekarang secara pasti,
bukan hanya satu faktor melainkan beberapa faktor dan besarnya
kemungkinan preeklampsia akan menimbulkan komplikasi yang dapat
berakhir dengan kematian. Akan tetapi untuk mendeteksi preeklampsia
sedini mungkin dengan melalui antenatal secara teratur mulai trimester I
sampai dengan trimester III dalam upaya mencegah preeklampsia menjadi
lebih berat (Manuaba, 2008).
Sampai sekarang etiologi preeklampsia belum diketahui. Membicarkan
patofisiologinya tidak lebih dari “mengumpulkan” temuan-temuan
fenomena yang beragam. Namun pengetahuan tentang temuan yang
beragam inilah kunci utama suksesnya penanganan preeklampsia sehingga
preeklampsia/eklampsia disebut sebagai the disease of many theories in
obstetrics (Vivian dan Tri Sunarsih, 2011). Adapun teori-teori tersebut antara
lain:
a. Peran Prostasiklin dan Tromboksan Pengeluaran hormone ini
memunculkan efek “perlawanan” pada tubuh. Pembuluh-pembuluh darah
menciut, terutama pembuluh darah kecil, akibatnya tekanan darah
meningkat. Organ-organ pun akan kekurangan zat asam. Pada keadaan
yang lebih parah, bisa terjadi penimbunan zat pembeku darah yang ikut
menyambut pembuluh darah pada jaringan-jaringan vital.
b. Peran Faktor Immunologis Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan
pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat
di bahwa pada kehamilan pertama pembentuk blocking antibodies
terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada
kehamilan berikutnya.
c. Peran Faktor Genetik Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor
genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
1) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia
2) Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi
preeklampsiaeklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita
preeklampsiaeklampsia
3) Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsia-eklampsia pada
anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat preeklampsia-eklampsia dan
bukan pada ipar mereka.
4) Peran Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS).
3. Faktor resiko
Faktor risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama (POGI,
2016)
a. Umur > 40 tahun
b. Nulipara
c. Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
d. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
e. Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
f. Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
g. Kehamilan multipel
h. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
i. Hipertensi kronik
j. Penyakit Ginjal
k. Sindrom antifosfolipid (APS) : ditandai dengan trombosis berulang atau
morbiditas obstetri
l. Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
m. Obesitas sebelum hamil
n. Indeks masa tubuh > 35
o. Tekanan darah diastolik > 80 mmHg
p. Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau
secara kuantitatif 300 mg/24 jam)
4. Patofisiologi
Pada Preeklampsia yang mendasari patogenesisnya adalah hipoksia
plasenta yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis.
Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel trofoblas pada dinding arteri
spiralis pada awal kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan sehingga
arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat
penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus diplasenta sehingga
terjadilah hipoksia plasenta (Corwin & Elizabeth, J 2009; Tomimatsu et al,
2017).

Gambar 2. Implantasi plasenta pada kehamilan normal dan


preeklampsia

Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat


toksis seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam
sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yaitu
suatu keadaan di mana radikal bebas jumlahnya lebih dominan
dibandingkan antioksidan. Stres oksidatif pada tahap berikutnya bersama
dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada
sel endotel pembuluh darah yang disebut disfungsi endotel yang dapat
terjadi pada seluruh permukaan endotel pembuluh darah pada organ-organ
penderita preeklampsia. Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan
produksi zat-zat yang bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan
nitrat oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor seperti endotelium I,
tromboksan, dan angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang
luas dan terjadilah hipertensi (Corwin & Elizabeth, J 2009; Tomimatsu et al,
2017).
Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem
koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan trombus.
Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endotel di dalam tubuh
penderita preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan
kegagalan organ seperti (Corwin & Elizabeth, J 2009; Tomimatsu et al,
2017):

a. Pada ginjal: hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal, serta perubahan


anatomis
b. Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi.
c. Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan edema paru
dan edema menyeluruh.
d. Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati.
e. Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
f.Pada susunan saraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan,
pelepasan retina, dan pendarahan.
g. Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia
janin, dan solusio plasenta.
Gambar 3. Patofisiologi Preeklampsia
5. Manifestasi Klinis
Karena manifestasi klinis preeklampsia dapat terjadi bermacam-macam,
mendiagnosis preeklampsia mungkin tidak langsung. Preeklampsia tanpa
ciri-ciri keparahan mungkin asimtomatik. Banyak kasus terdeteksi melalui
skrining prenatal rutin (Tomimatsu et al, 2017).

Pasien preeklampsia dengan ciri-ciri yang parah menunjukkan efek


pada berbagai organ dan dapat memiliki keluhan sebagai berikut:

a. Sakit kepala dapat ringan hingga berat dan dapat intermiten atau konstan
serta membaik ketika diberikan infus magnesium sulfat. Gejala ini
diduga timbul akibat hiperperfusi serebrovaskular yang memiliki
predileksi pada lobus oksipitalis (Cunningham, 2013).
b. Gangguan visual berupa skotomata yang buram dan berkilau. Hal ini juga
diduga timbul akibat hiperperfusi serebrovaskular yang memiliki
predileksi pada lobus oksipitalis (Cunningham, 2013).
c. Kebutaan akibat kerusakan pada korteks atau retina. Kebutaan jarang
terjadi pada preeklampsia saja, tetap sering menjadi komplikasi pada
kejang eklamtik (Cunningham, 2013).
d. Dispneu (Tomimatsu et al, 2017)
e. Edema yang jauh lebih besar dari perempuan dengan kehmilan normal
(Tomimatsu et al, 2017)
f. Edema otak menyeluruh dapat timbul pada sindrom preeklampsia dan
biasanya bermanifestasi sebagai perubahan status mental yang bervariasi
dari kebingungan hingga koma. Kondisi ini khususnya berbahaya karena
dapat menyebabkan herniasi supratentorial yang membahayakan jiwa
(Cunningham, 2013).
g. Nyeri perut kuadran epigastrium atau kanan atas (Tomimatsu et al, 2017)
h. Kelemahan yang dapat akibat anemia hemolitik (Tomimatsu et al, 2017)
i. Klonus yang mengindikasikan peningkatan risiko kejang (Tomimatsu et
al, 2017).
6. Penegakan Diagnosis
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan
sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan
20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan
hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan
preeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat
preeklampsia tersebut (POGI, 2016).
a. Kriteria Minimal Preeklampsia
1) Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama; dan
2) Protein urin : Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin
dipstik > positif 1. Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat
diikuti salah satu dibawah ini :
3) Trombositopeni : Trombosit < 100.000 / mikroliter
4) Gangguan ginjal : Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi
dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
5) Gangguan Liver : Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
6) Edema Paru
7) Gejala Neurologis : Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
8) Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth
Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end
diastolic velocity (ARDV)
b. Kriteria Preeklampsia Berat (diagnosis preeklampsia dipenuhi dan jika
didapatkan salah satu kondisi klinis dibawah ini) :
1) Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik
atau 110 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
2) Trombositopeni : Trombosit < 100.000 / mikroliter
3) Gangguan ginjal : Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi
dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
4) Gangguan Liver : Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5) Edema Paru
6) Gejala Neurologis : Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7) Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth
Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end
diastolic velocity (ARDV)

7. Tatalaksana
a. Manajemen Preeklampsia Tanpa Gejala Berat

Gambar 4. Manajemen Preeklampsia Tanpa Gejala Berat (POGI,


2016)
b. Manajemen Preeklampsia dengan Gejala Berat

Gambar 5. Manajemen Preeklampsia dengan Gejala Berat (POGI,


2016)

Penatalaksanaan yang dilakukan pada kasus preeklampsia berat adalah


sebagai berikut (Prawirohardjo, 2011; Cunningham, 2013; POGI, 2006):
1) Dasar pengelolaan
Pada kehamilan dengan penyulit apapun pada ibunya, dilakukan tindakan
sebagai berikut :
a) Rencana terapi pada penyulitnya, yaitu terapi medikamentosa dengan
pemberian obat-obatan untuk penyulitnya.
b) Menentukan rencana sikap terhadap kehamilan, yaitu :
 Ekspektatif atau konservatif, apabila umur kehamilan <37 minggu,
artinya kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil
memberikan terapi medikamentosa.
 Aktif atau agresif, apabila umur kehamilan ≥37 minggu, artinya
kehamilan diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk
stabilisasi keadaan ibu.
2) Pemberian terapi nonmedikamentosa dan medikamentosa
a) Rawat inap di rumah sakit
b) Tirah baring miring ke kiri secara intermiten
c) Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%
d) Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang.
Pemberian MgSO4 dibagi menjadi :
1. Loading dose (initial dose) yaitu dosis awal, dengan diberikan 4
gram MgSO4, intravena (40% MgSO4 10 mL dicampurkan dengan
aquadest 10 mL), diberikan selama 15 menit.
2. Maintenance dose, yaitu dosis lanjutan, dengan pemberian 6 gram
MgSO4 dalam larutan Ringer Laktat 500 mL per 6 jam atau
diberikan 4-5 gram IM. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4
gram IM tiap 4-6 jam.
Syarat-syarat pemberian MgSO4 adalah sebagai berikut:
a. Harus tersedia antidontum MgSO4 apabila terjadi intoksikasi, yaitu
Kalsium Glukonas 1 gram (10% Ca glukonas diambil 10 mL
kemudian dicampurkan dengan aquadest 10 mL) diberikan secara
IV selama 3 menit.
b. Refleks patella (+) kuat.
c. Frekuensi pernapasan >16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distress
napas.
d. Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100 mL atau 0,5
mL/kgBB/jam.
MgSO4 dihentikan apabila :
1. Ada tanda-tanda intoksikasi MgSO4, yaitu kelemahan otot,
hipotensi, refleks fisiologis menurun, fungsi jantung terganggu,
depresi sistem saraf pusat, kelumpuhan otot khususnya otot
pernapasan.
2. Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir.
Dosis terapeutik dan toksik MgSO4 :
a. Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dL
b. Hilangnya refleks tendon : 10 mEq/lier atau 12 mg/dL
c. Terhentinya pernapasan : 15 mEq/liter atau 18 mg/dL
d. Terhentinya jantung : >30 mEq/liter atau >36 mg/dL
Apabila terjadi refrakter terhadap MgSO4, dapat diberikan salah satu
regimen di bawah ini :
1. 100 mg IV sodium thiopental
2. 10 mg IV diazepam
3. 250 mg IV sodium amobarbital
4. Phenytoin :
- Dosis awal 1000 mg IV
- 16,7 mg/menit/1 jam
- 500 g oral setelah 10 jam dosis awal dalam 14 jam
e) Pemberian antihipertensi
Pemberian antihipertensi diberikan apabila tensi ≥160/110
mmHg dan MAP ≥126 mmHg. Obat yang diberikan adalah nifedipin
dengan dosis 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum
120 mg dalam 24 jam.
f) Diuretik
Diuretik tidak diberikan secara rutin karena dapat memperberat
penurunan perfusi plasenta dan hipovolemia, serta peningkatan
hemokonsentrasi. Diuretik hanya diberikan atas indikasi edema paru,
gagal jantung kongestif, dan edema anasarka.
g) Diet, diberikan secara seimbang, hindari protein, dan kalori yang
berlebih.
3) Sikap terhadap kehamilan
a) Perawatan konservatif, ekspektatif
1. Tujuan :
a. Mempertahankan kehamilan, sehingga mencapai umur
kehamilan yang memenuhi syarat janin dapat dilahirkan.
b. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa
mempengaruhi keselamatan ibu.
2. Indikasi : Kehamilan <37 minggu tanpa disertai tanda-tanda dan
gejala-gejala impending eklamsia
3. Terapi Medikamentosa
a. Terapi sama seperti sebelumnya, namun tidak boleh diberikan
loading dose intravena, cukup IM.
b. Apabila penderita sudah kembali menjadi preeklampsia ringan,
masih dirawat 2-3 hari lagi, baru diijinkan pulang.
c. Pemberian glukokortikoid pada umur kehamilan 32-34 minggu
selama 48 jam.
4. Perawatan di Rumah Sakit :
a. Pemeriksaan dan monitoring setiap hari terhadap gejala klinik
nyeri kepala, pandangan kabur, nyeri kuadran kanan atas atau
nyeri epigastrik, dan kenaikan berat badan dengan cepat.
b. Menimbang berat badan setiap hari
c. Pemeriksaan proteinuria ketika masuk RS dan diulangi setiap 2
hari
d. Pengukuran laboratorium
e. Pemeriksaan USG berupa fetal biometri dan volume air ketuban.
5. Penderita boleh pulang apabila terbebas dari gejala-gejala
preeklampsia berat, kemudian 3 hari setelah bebas gejala
dibolehkan pulang.
6. Cara persalinan :
a. Apabila tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm
b. Apabila penderita inpartu, perjalanan persalinan diikuti seperti
lazimnya (misalnya dengan grafik Friedman)
c. Persalinan dilakukan secara per vaginam kecuali terdapat
indikasi sectio caesarea.
b) Perawatan aktif; agresif
1. Tujuan : terminasi kehamilan
2. Indikasi ibu :
a. Kegagalan terapi medikamentosa :
1. Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,
terjadi kenaikan tekanan darah yang persisten
2. Setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan terjadi
kenaikan desakan tekanan darah yang persisten
b. Tanda dan gejala impending eklamsia
c. Gangguan penglihatan atau nyeri kepala menetap
d. Napas pendek, sesak napas disertai rhonki basah dan atau
saturasi oksigen <94% udara pernapasan dalam ruangan, edema
paru
e. Hipertensi berat yang tidak terkendali meskipun telah
mendapatkan terapi
f. Oliguria <500 mL/24 jam atau kreatinin serum ≥1,5 mg/dL
g. Hitung trombosit terus menerus <100.000µL
h. Gangguan fungsi hepar
i. Gangguan fungsi ginjal
j. Dicurigai terjadi solusio plasenta
k. Timbulnya onset partus : ketuban pecah dini, perdarahan
3. Indikasi Janin :
a. Umur kehamilan ≥37 minggu
b. IUGR berat berdasarkan USG (<5 persentil untuk masa
kehamilan yang diperkirakan
c. NST nonreaktif dan profil biofisik abnormal (≤4 dilakukan
dengan interval 6 jam)
d. Timbulnya oligohidramnion persisten – ICA <5 cm
e. Aliran arteri umbilikalis yag membali pada akhir diastolic
f. Kematian janin
4. Indikasi laboratorium : trombositopenia yang mengarah ke sindrom
HELLP.
5. Terapi medikamentosa : sama seperti sebelumnya
6. Cara persalinan : sedapat mungkin pervaginam, kecuai jika terdapat
indikasi sectio caesarea
7. Penderita belum inpartu :
a. Dilakukan induksi persalinan apabila skor Bishop ≥8
Apabila Bishop skor<5, dilakukan pematangan serviks
dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai
kala II dalam waktu 24 jam. Apabila tidak, induksi dianggap
gagal, dan harus disusul dengan sectio caesarea.
b. Indikasi sectio caesarea
 Tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam
 Induksi persalinan gagal
 Terjadi gawat janin
 Umur kehamilan >33 minggu
c. Penderita sudah inpartu :
 Perjalanan persalinan diikuti dengan grafik Friedman
 Memperingan kala II
 Sectio caesarea apabila terdapat kegawatan ibu dan gawat
janin
8. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat
dilakukan bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga
memungkinkan untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-
penyebab tersebut, namun hingga saat ini penyebab pasti terjadinya
preeklampsia masih belum diketahui. Praktisi kesehatan diharapkan
dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan mengkontrolnya,
sehingga memungkinkan dilakukan pencegahan primer (POGI, 2016).
b. Pencegahan Sekunder
1) Penggunaan aspirin dosis rendah (75mg/hari) direkomendasikan untuk
prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi. Apirin dosis
rendah sebagai prevensi preeklampsia sebaiknya mulai digunakan
sebelum usia kehamilan 20 minggu (POGI, 2016).
2) Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama
pada wanita dengan asupan kalsium yang rendah. Penggunaan aspirin
dosis rendah dan suplemen kalsium (minimal 1g/hari)
direkomendasikan sebagai prevensi preeklampsia pada wanita dengan
risiko tinggi terjadinya preeklampsia (POGI, 2016).
9. Komplikasi
Pada ibu hamil yang menderita preeklampsia, kehamilan tersebut dapat
berpengaruh buruk terhadap ibu maupun janin. Pada ibu, komplikasi yang
terjadi berupa sindrom HELLP (Hemolysis, elevated liver enzyme, low
platelet level), edema paru, kerusakan ginjal akut, dan abrupsi plasenta.
Sedangkan pada bayi, komplikasi yang dapat terjadi berupa kehamilan
prematur, gawat janin, berat bayi rendah atau IUFD (intra uterine fetal
death) (Arulkumaran, 2013).
10. Prognosis
Prognosis preeklampsia berat dan eklampsia dikatakan jelek karena
kematian ibu antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi,
yaitu 42,2 – 48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya
pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering
terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan
otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan aspirasi cairan
lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intrauterin
(Lim, 2009).

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Bari Saifuddin, Triatmojo Rachimhadhi ,Wikojosastro H. Gulardi. Ilmu
Kebidanan, edisi ke 4. Jakarta; Balai Penerbit PT. BINA PUSTAKA
SARWANO PRAWIROHARDJO. 2010: 696 – 700

Agus Abadi, Kardiotpgrafi Janin dalam Buku Ajar Fetomaternal, Ed. Haryadi R,
Surabaya , 170-183;2004.

Brooks MD., 2011. Pregnancy, Preeklampsia. Dalam: Wulan, S.K., 2012.


Karakteristik Penderita Preeklampsia dan Eklampsia di RSUP Haji Adam
Malik Medan Tahun 2009 – 2011. Medan.

Chapman, V. 2006. Asuhan Kebidanan Persalinan & Kelahiran (The


Midwife’s Labour and Birth Handbook) Jakarta: EGC

Collins S. Arulkumaran S. Hayes K. Jackson S. Impey L. Oxford Handbook of


Obstetrics and Gynaecology Third Edition. United Kingdom: Oxford
University Press; 2013.

Corwin, Elisabeth(2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Houth JC, Rouse DJ, Spong
CY.Williams Obstetrics23rd Edition. Dallas: Medical; 2013.

Depkes, R.I. 2012. Upaya Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi
Baru Lahir. http://www.gizikia.depkes.go.id/artikel/upaya-percepatan-
penurunan-angka-kematian-ibu-dan-bayi-baru-lahir-di-indonesia/. Diakses
tanggal 7 Oktober 2014.

Dontigny L, Arsenault M, Marte MJ. Rubella in Pregnancy Sogc Clinical Practice


Guidelines. J Obstet Gynaecol Can [online] 2008. Available from:
http://sogc.org/guidelines/rubella-in-pregnancy/

Hariadi R. Gawat Janin. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Ed.1. Surabaya :


Himpunan Kedokteran Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Hasibuan, Dessy S. Volume dan Sekresi Ginjal pada Pertumbuhan Janin


Terhambat dan Normal dengan Pemeriksaan Ultrasonografi. Departemen
Obstetri dan Ginekologi FK USU. Medan . 2009

Karsono B. Pertumbuhan Janin Terhambat. Kursus dasar Ultrasonografi dan


Kardiotokografi. Pra PIT XIII. Malang, Juni 2002.

Krisnadi S.R. Gambaran Kardiotografi Gawat Janin. Dalam: Obstetri Emergensi.


Sagung Seto:2011.
Lim, Kee-Hak, 2009. Preeklampsia, Harvard Medical School. Available from
:http://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview[Accesed 22 Mei
2018].

Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri.


Jakarta: EGC; 2007. Hal. 639

Maryunani, (2012). Managemen kebidanan terlengkap Jakarta : CV. Trans Info


Media

Nelson, Behrman, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol 1.
Jakarta : EGC, 2000.

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2016. PNPK Diagnosis


dan tatalaksana pre-eklamsia. (Online),
(http://pogi.or.id/publish/download/preeklampsia/, diakses 25 Mei 2018)

POGI. 2008. Panduan pengelolaan kehamilan Dengan Pertumbuhan Janin


Terhambat di Indonesia. Kelompok kerja Penyusunan Panduan Pengelolaan
Kehamilan Dengan pertumbuhan Janin terhambat di Indonesia. Edisi I.
Himpunan FM POGI. 1 – 24.

Rozikhan. 2007. Faktor - Faktor Risiko Terjadinya Preeklampsia Berat di Rumah


Sakit DR. H. Soewondo Kendal. Semarang, Universitas Diponegoro

The Cleveland Clinic Foundation. Fetal Distress. Available at :


URL:http://my.clevelandclinic.org/healthy_living/Pregnancy/hic_Fetal_Dist
ress.aspx#content. Accessed 14 Agustus 2017

Tomimatsu T, Mimura K, Endo M,Kumasawa K, Kimura T. Pathophysiologi of


preeklampsia an angiogenic imbalance and long lasting systemic vascular
dysfunction hipertension research 2016; 1-6

Vivian Nanny Lia; Sunarsih, Tri. 2011. Asuhan Kebidanan Ibu Nifas Jakarta :
Salemba Medika

WHO. 2013. Maternal and Reproductive Health.


http://www.who.int/gho/maternal_health/en/. Diakses tanggal 25 mei
2018.

Wiknjosastro H. Ilmu Bedah Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.


Jakarta: 2010.

Anda mungkin juga menyukai