BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................7
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................7
1.2 Tujuan Dan Sasaran .........................................................................................10
1.2.1 Tujuan...................................................................................................10
1.2.2 Sasaran..................................................................................................11
1.3 Ruang Lingkup.................................................................................................11
1.4 Keluaran ...........................................................................................................11
1.5 Metodologi .......................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................86
Pada tahun 2014 porsi minyak bumi dalam bauran energi nasional sebesar 43%,
sedangkan EBT hanya sebesar 4% sebagaimana terlihat pada Gambar 1.3. Persoalan
dalam pengembangan sumber daya EBT khususnya bahan bakar nabati antara lain belum
optimalnya pengembangan dan pemanfaatan BBN disebabkan antara lain karena harga
BBN kalah bersaing dengan harga energi fosil yang sebagian masih disubsidi terlebih
lagi harga minyak bumi semakin rendah. Selain itu, penggunaan BBN pada sektor
transportasi masih terkendala pada kemampuan mesin kendaraan untuk dapat
menggunakan BBN 100%, dan beberapa kendala lainnya.
1.4 Keluaran
Laporan pelaksanaan kegiatan Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati yang
dapat dijadikan rekomendasi untuk membuat suatu kebijakan dalam dokumen
perencanaan jangka pendek mengenai percepatan pengembangan bahan bakar nabati.
1.5 Metodologi
1.5.1 Metodologi Pengumpulan Data
Analisis yang akan dilakukan dalam kajian adalah analisis data sekunder
(secondary data analysis/desk study). Sedangkan data yang diperlukan dalam kajian ini
meliputi data primer dan data sekunder. Sumber data primer melakukan kunjungan
lapangan ke daerah-daerah untuk mengetahui kondisi data yang terkait dengan kajian ini,
sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur dan review dokumen. Berkaitan
dengan pengumpulan data dalam melakukan studi maka perlu dilakukan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Melaksanakan koordinasi melalui rapat kerja, konsinyasi, lokakarya ataupun
seminar. Rapat kerja anggota tim kajian dilakukan untuk mengkoordinasikan
kegiatan kajian agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan, sasaran dan timeline
yang telah disepakati, konsinyasi dilakukan untuk mempersiapkan perumusan
dan pembuatan laporan awal, tengah dan akhir. Untuk mendapatkan masukan
lebih banyak dan mendalam mengenai bahan bakar nabati dilakukan kegiatan
lokakarya/seminar, dengan mengundang pemangku kebijakan baik pusat maupun
daerah, stakeholder, serta narasumber pakar.
Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 11
b. Melakukan diskusi yang terencana dengan praktisi, pengguna dan para
narasumber terkait dalam pengembangan bahan bakar nabati.
c. Melakukan Forum Group Discussion (FGD) dengan beberapa pemangku
kebijakan serta stakeholder khususnya yang terkait dengan sektor energi. FGD
dilakukan dalam bentuk diskusi (brainstorming) yang bertujuan untuk
mendapatkan, mengidentifikasi dan menggali informasi lebih mendalam
mengenai penyediaan bahan baku biofuel, proses untuk menghasilkan biofuel dan
penggunaan produk biofuel yang akan dijadikan masukan bagi pengembangan
bahan bakar nabati.
PILARS
INDICATORS
1 Life-cycle GHG emissions 9 Allocation and tenure o f 17 Productivity
land for new bioenergy
production
2 Soil quality 10 Price and supply of a 18 Not energy balance
national food basket
3 Harvest levels of wood 11 Change in income 19 Gross value added
resources
4 Emissions of non-GHG air 12 Jobs in the bioenergy sector 20 Change in consumption of
pollutants, including air fossil fuels and traditiona
toxics luse of biomass
5 Water use and efficiency 13 Change in unpaid time spent 21 Training and requalification
by women and children of the workforce
collecting biomass
6 Water Quality 14 Bioenergy used to expand 22 Energy diversity
acces to modern energy
services
7 Biological diversity in the 15 Change in mortality and 23 Infrastructure and logistics
Landscape burden of disease attributable for distributionof bioenergy
to indoor smoke
8 Land use and land-use 16 Incidence of occupational 24 Capacity and flexibility of
change related to bioenergy injury, illness and fatalities use of bioenergy
feedstock production
Tabel 2.2 Target Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada 5 Sektor
No Bidang Target Penurunan Emisi (Giga ton) CO2e
(26%) (41%)
1 Pertanian 0,008 0,011
2 Kehutanan dan Lahan Gambut 0,672 1,039
3 Bidang Energi dan Transportasi 0,038 0,056
4 Bidang Industri 0,001 0,005
5 Bidang Pengelolaan Limbah 0,048 0,078
RAN-GRK ini disusun sebagai bagian dari rencana pembangunan jangka panjang
(RPJP) dan menengah (RPJM) dalam kerangka kebijakan pembangunan berkelanjutan
untuk menanggulangi dampak perubahan iklim, khususnya untuk menurunkan emisi
GRK, terutama untuk beberapa bidang pembangunan yang prioritas. Penyusunan
dokumen ini juga merupakan tindak lanjut dari komitmen Indonesia terhadap
penanggulangan permasalahan perubahan iklim global. Berdasarkan skenario SNC
(Second National Communication) tingkat emisi di Indonesia diperkirakan akan
meningkat dari 1,72 Gton CO2e pada tahun 2000 (KLH, 2009) menjadi 2,95 Gton CO2e
pada tahun 2020 (KLH 2009). Perhitungan tersebut akan ditinjau kembali secara
periodik dengan menggunakan metodologi, data dan informasi yang lebih baik.
2.2.10 Peraturan Menteri ESDM No.12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Menteri ESDM No 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan,
Pemanfaatan dan Tataniaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan
Bakar Lain
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia dalam
rangka menetapkan target penggunaan biofuel sebagai bahan campuran bahan bakar
minyak tahun 2025, telah merevisi tiga kali peraturan Permen ESDM No 32 Tahun 2008.
Revisi yang pertama adalah Permen ESDM No 25 Tahun 2013, kedua Permen ESDM
No 20 Tahun 2014, dan ketiga Permen ESDM No 12 Tahun 2015. Inti dari isi peraturan
Permen ESDM No 12 Tahun 2015 adalah kewajiban (mandatori) industri sektor tertentu
untuk menggunakan bahan bakar nabati biodiesel dan bioetanol sebagai campuran bahan
Per Pres No 61/2011 : rencana • Meliputi kegiatan energi • BBN belum disebutkan
aksi nasional penurunan GRK • Lingkup kegiatan yang
(26%) diwajibkan perlu ada
batasan
Per Pres No 61/2015 : • Penggunaan dana termasuk • Perlu regulasi sejenis untuk
penghimpunan dan untuk penyediaan dan bioetanol
penggunaan dana perkebunan pemanfaatan BBN jenis
kelapa sawit berkelanjutan biodiesel
3.5 Industri Pencampur dan Distributor Produk Campuran BBN dan BBM
PT Pertamina (Persero) adalah pemangku kepentingan yang mencampur
biodiesel dan diesel sebagai bahan bakar, mendistribusikan, dan menjual produk
campuran biodiesel dan diesel sebagai bahan bakar. Kendala pengembangan biofuel
menurut PT Pertamina (Persero) yang utama adalah terkait dengan keekonomian yaitu
harga biodiesel. Harga pembelian biodiesel lebih tinggi dibanding harga MOPS diesel,
sehingga tidak mudah bagi PT Pertamina untuk menyerap biodiesel.
Mandatori biodiesel menurut PT Pertamina (Persero) secara teknologi dapat
diimplementasikan. Teknologi pencampuran (blending) antara diesel dan biodiesel
sampai 30 % sesuai target masih mungkin dilakukan oleh PT Pertamina.
PT Pertamina (Persero) dalam rangka menunjang implementasi kewajiban
biodiesel telah menyiapkan fasilitas penyaluran produk campuran biodiesel dan diesel
baru sebanyak 44 stasiun pengisian bahan bakar minyak di seluruh Indonesia. Lokasi
stasiun penyaluran baru adalah Sumatera sebanyak 19 unit, Jawa 7 unit, Bali 1 unit,
Kupang 1 unit, Kalimanta 8 unit, Sulawesi 6 unit, dan Papua 2 unit. PT Pertamina
sebelumnya telah mempunyai 33 stasiun penyaluran yang sudah menyalurkan biodiesel.
Lokasi 33 terminal biodiesel yang sudah ada berada di Sumatera sebanyak 9 unit, Jawa
18 unit, 2 di Bali, dan 4 di Kalimantan.
Kemiri sunan
Pongamia
Tebu
Ubi kayu
Tanaman Jagung
Sumber BBN penghasil pati/gula
Sagu
Aren
Shorgum
Makroalga
Limbah Pertanian
Tanaman mengandung
lignoselulosa Limbah Kehutanan
Rumput Gajah
Pada proses pengolahan TBS menjadi CPO biomassa yang potensial dihasilkan
adalah empty fruit bunch (tandan kosong kelapa sawit), mesocarp fiber (fiber), palm
kernel shell (cangkang), dan Palm Oil Mills Effluent (limbah cair). Pengolahan kelapa
sawit akan menghasilkan Empty Fruit Bunch sebesar 21%, mesocarp fibre sebesar
53,4%, Palm Kernel Shell sebesar 6,4%, dan Palm Oil Mills Effluent (POME) sebesar
58,3% (Hambali et. al., 2010)
Kelapa sawit mulai dari buah, pelepah, batang, dan limbahnya, dapat diolah
menjadi berbagai macam produk dan dapat digunakan sebagai bahan baku beragam
industri seperti pangan, oleokimia dan bioenergy. Pemanfaatan kelapa sawit menjadi
bioenergi, antara lain adalah menjadi biodiesel, biogas, biooil, biopellet, biobriket, gas
metan dan pembangkit listrik tenaga biomassa.
Biji nyamplung dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioenergi karena tingginya
kandungan minyak. Produktivitas nyamplung dapat mencapai 20 ton/ha/tahun dan
potensi rendemen minyak nyamplung lebih dari 50%. Tanaman nyamplung saat ini
masih merupakan tanaman alami dan bukan hasil budidaya. Satu-satunya hutan
nyamplung yang dikelola dengan profesional ada di Perum Perhutani Unit I KPH Kedua
Selatan Jawa Tengah yang luas pertanaman nyamplung mencapai 196 hektar.
Selama ini biji karet tidak dimanfaatkan dan hanya dibuang. Padahal satu pohon
karet bisa menghasilkan seribu biji atau sekitar 3,5 Kg. Jika setiap hektar terdapat 476
pohon karet, maka akan dihasilkan 1666 kg biji karet. Biji karet yang telah dijemur
terdiri atas 41,6 % kulit, 8 % kadar air 15,3 % minyak dan 53,1 % bahan kering.
Rendemen minyak biji karet (kering) yaitu 40-50%, sehingga diperkirakan setiap hektar
tanaman karet berpotensi menghasilkan 353 liter minyak.
Biji karet terdiri atas 45 – 50 % kulit biji yang keras berwarna coklat dan 50-55
% daging biji berwarna putih (Nadarajah,1969). Biji karet segar terdiri atas 34,1 % kulit,
41,2 % isi dan 24,4 % air. Sedangkan biji karet yang telah dijemur (kering) terdiri atas
41,6 % kulit, 8 % kadar air 15,3 % minyak dan 53,1 % bahan kering (Nadarajapillat dan
Wijewantha,1967).
4.1.2.8 Tebu
Tanaman tebu merupakan tanaman semusim, dalam 1 (satu) musim tanam, dapat
dipanen sekitar 8-14 bulan. Tanaman tebu akan tumbuh optimal di wilayah tropis yang
lembab, yaitu : berada di antara 350 LS - 390 LS, ketinggian tanah 0 - 1.500 m dpl, suhu
udara 28 - 340C, kelembaban minimal 70%, sinar matahari 7 - 9 jam/hari, dan curah
hujan 200 mm/bulan.
Rata-rata produktivitas tebu yang ditanam di lahan sawah sekitar 95 ton/ha dan di
lahan tegalan sekitar 75 ton/ha dengan rendemen gula sekitar 7,3 – 7,5%. Produktivitas
tanaman tebu di Indonesia pada tahun 2014 adalah 6.615 Kg/Ha. %. Pengolahan tebu
menjadi bioetnol dapat menghasilkan sekitar 5000-6000 liter/ha. Walapun potensinya
cukup besar, di Indonesia sebagian besar tanaman tebu diolah menjadi gula, hanya
limbah berupa molasses saja yang diolah lebih lanjut menjadi bioethanol.
Dalam proses pembuatan gula dihasilkan beberapa biomassa berupa tetes tebu,
ampas, dan blotong. Tetes tebu saat ini dimafaatkan sebagai bahan baku bioetanol.
Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas, adalah hasil samping dari proses ekstraksi
Tanaman ubi kayu tumbuh dengan baik pada ketinggian 0 – 1000 meter di atas
permukaan laut dengan curah hujan 1000 – 1500 mm/tahun. Suhu optimum untuk
pertumbuhan sekitar 24 – 29oC, pada suhu yang lebih tinggi dari 29oC produksi akan
menurun sedangkan pada suhu yang lebih rendah dari 10oC pertumbuhan akan terhenti
(Kay, 1973). Tanaman ubi kayu tidak memerlukan tanah dengan persyaratan khusus,
tanaman ini dapat tumbuh di tanah yang subur maupun di tanah yang kering. Jumlah
onggok yang dihasilkan pada proses pembuatan tapioka adalah sebesar 10% dari berat
bahan baku. Kulit ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 8-15% dari berat umbi yang
Bagian terpenting dalam tanaman sagu adalah batang sagu karena merupakan
tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati
sagu. Tinggi batang sagu dewasa mencapai 10 m. Ukuran dari batang sagu dan
kandungan patinya tergantung pada jenis sagu, umur dan habitatnya. Pada umur panen
sekitar 11 tahun ke atas empulur sagu mengandung pati sekitar 15-20 persen. Setiap
pohon sagu dapat menghasilkan tepung sagu berkisar antara 50-450 kg tepung sagu
basah. Potensi biomassa yang dihasilkan sagu adalah kulit sebesar 26%, ampas sebesar
14% dan limbah cair sebesar 500%.
Tanaman aren mulai berproduksi pada umur 8-10 tahun dengan masa produktif
2-4 tahun. Petani melakukan penyadapan nira setiap pagi dan sore, dimana setiap tahun
dapat disadap 3-12 tangkai bunga dengan hasil rataan 6.7 liter/hari atau 300-400
liter/musim (3-4 bulan) dan sekitar 900-1.600 liter/pohon/tahun.
Kelapa Sawit Kelapa Nyamplung Kemiri Sunan Jarak Pagar Biji Karet Pongamia
Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa kriteria yang paling tinggi bobotnya
adalah bahan pangan yang sudah surplus dengan skor 0,202, diikuti oleh kebijakan
pemerintah dengan skor 0,19, rendemen BBN 0,17, produktivitas tanaman dengan skor
0,15, kesiapan pengembangan tanaman dengan skor 0,13 dan selengkapnya dapat dilihat
pada Gambar 4.16
Gambar 4.16 Nilai Skor Kriteria Pemilihan Bahan Baku BBN Potensial
Hasil analisis AHP tanaman BBN penghasil biodiesel menunjukkan kelapa sawit
adalah sumber bahan baku yang paling potensial dengan bobot 0,24, kemudian urutan
kedua adalah kelapa dengan bobot 0,18, urutan ketiga adalah kemiri sunan dengan bobot
Karet 0,0967
Pongamia 0,1193
Nyamplung 0,1265
Kelapa 0,1755
Gambar 4.17 Nilai Skor Kriteria Pemilihan Bahan Baku BBN Potensial
Jagung 0,1432
Aren 0,1517
Sagu 0,1673
Sorghum 0,1739
Tebu 0,2224
SDM tinggi prasarana, dan teknologi biofuel biofuel sebagai bahan campuran
Teknologi Pengembangan penelitian minyak bumi sampai komposisi
biofuel tanaman, teknologi, dan produk 30 %
tersedia biofuel (biodiesel, bioetanol, 5. Riset komprehensif
Produk bioavtur, dll) teknoekonomi produk biofuel
biofuel 5. Pengembangan penelitian yang berkelanjutan
ramah tanaman, teknologi, dan produk
lingkungan biofuel (biodiesel, bioetanol,
bioavtur, dll)
Opportunities Threats
Bea masuk Cadangan Kebijakan Isu Standar Harga
luar negeri minyak RAN lingku mesin minyak
tinggi dunia GRK ngan sesuai dunia
(Komoditi dan menipis WWFC rendah
produk relatif ditas 10 %
sulit diterima belum ada
diluar negeri)
Kebijakan 1. Penyelarasan dan sinkronisasi 1. Penyelarasan dan
belum kebijakan untuk memanfaatkan sinkronisasi kebijakan
selaras dan potensi biofuel di dalam negeri pengembangan biofuel
tegas 2. Penguatan biofuel sebagai industri 2. Peningkatan daya saing
Belum strategis sumber energi bangsa biofuel melalui peningkatan
dipandang 3. Peningkatan produktivitas dan efisiensi dan efektifitas
industri diversifikasi tanaman penghasil tanaman, produksi, maupun
strategis biofuel distribusi
Weakness
praktisi) baku
2. Pengembangan biofuel memberikan pengaruh sosial,
misal ke petani atau industri kecil
3. Pengembangan biofuel membutuhkan insentif
8 Arif PT Pertamina 1. PT Pertamina mendukung mandat kebijakan
pemerintah terkait biofuel
2. Pengembangan biofuel membutuhkan infrastruktur
dan dukungan feedstock
3. Kebutuhan biodiesel sebesar 20.000 barel/day
membutuhkan 10 unit kilang bioetanol 3800 barel/day
membutuuhkan 71 unit kilang
4. Perlu dukungan kebijakan lahan
9 Rusdi Bangka 1. Di Bangka Belitung tanaman penghasil biofuel
Belitung tersedia, seperti ubi kayu/singkong
2. Pengembangan biofuel perlu didukung kajian dengan
metodologi (tools) yang handal, misal system dinamik
karena terkait dengan perkembangan waktu
Hasil FGD dan seminar memperlihatkan, rumusan strategi kebijakan yang disusun
sejalan dengan kebutuhan para stakeholders yang terlibat. Selanjutnya disusun prioritas
strategi kebijakan pengembangan BBN.
Penentuan prioritas strategi kebijakan dengan menggunakan analisis AHP
disajikan pada Tabel 5.7.
6.1 Kesimpulan
1. Biofuel di Indonesia mempunyai potensi dan peluang untuk berkembang, dari
faktor supply maupun demand, serta secara normatif didukung oleh kebijakan
pemerintah. Walaupun demikian, masih terdapat regulasi terkait yang belum
saling menunjang satu sama lain dalam rangka pengembangan biofuel nasional,
serta dalam tataran implementasi yang masih belum optimal. Potensi dan peluang
pengembangan biofuel belum termanfaatkan secara optimal yang ditandai antara
lain dengan belum pernah tercapainya target mandatori penggunaan biofuel
sebagai bahan bakar campuran.
2. Pemanfataan potensi dan peluang untuk pengembangan biofuel yang memberikan
nilai tambah (added value) masih terbatas hanya pada tanaman kelapa sawit,
meskipun beragam tanaman memungkinkan untuk dikembangkan. Kendala dan
masalah pada tataran kebijakan dan riset pada sektor riil yang dihadapi
merupakan satu diantara berbagai faktor penghambat pengembangan.
3. Tanaman penghasil bahan baku biodiesel yang direkomendasikan untuk
dikembangkan adalah kelapa sawit, kelapa, dan kemiri sunan. Tanaman penghasil
bahan baku bioetanol yang direkomendasikan untuk dikembangkan adalah tebu,
sorghum, dan sagu.
4. Urutan prioritas strategi kebijakan pengembangan BBN adalah 1) Penyelarasan
dan sinkronisasi kebijakan untuk memanfaatkan potensi biofuel di dalam negeri;
2) Implementasi Mandatori biofuel (biodiesel dan bioetanol) dengan pengawasan
yang ketat; 3) Peningkatan daya saing biofuel melalui peningkatan
pengembangan divesifikasi tanaman, produktivitas tanaman, produksi, maupun
distribusi biofuel; 4) Peningkatan anggaran dan pelaksanaan riset biofuel, yang
mencangkup tanaman penghasil biofuel, teknologi produksi, teknologi
penggunaan produk biofuel, keramahan lingkungan (emisi GRK), serta
teknoekonomi produk biofuel; 5) Pelaksanaan uji dan riset mesin pengguna
biofuel sebagai bahan campuran minyak bumi sampai komposisi 30 %; 6)
Peningkatan investasi sarana dan prasarana, serta teknologi biofuel sehingga
produsen biofuel dapat merata hingga ke KTI; 7) Pemberian insentif/subsidi agar
6.2 Rekomendasi
1. Pengembangan biofuel menuntut kebijakan dan peraturan yang bersifat lintas
sektoral/departemen yang terintegrasi, dengan pengendalian yang ketat dalam
implementasinya. Kebijakan dan peraturan tersebut antara lain menyangkut aspek
kewajiban untuk mencampur bahan bakar minyak dengan biofuel, dan
penggunaan bahan bakar campuran biofuel untuk sektor transportasi dan industri.
2. Adanya kebijakan jangka panjang yang komprehensif dan diimplementasikan
secara konsisten terkait pengembangan biofuel berupa penyediaan lahan biofuel,
pencegahan konversi penggunaan lahan biofuel, kewajiban penggunan campuran
bahan bakar dan biofuel untuk sektor transportasi dan industri, serta riset biofuel.
3. Hasil kajian penentuan prioritas tanaman penghasil biofuel perlu disempurnakan
dengan memasukkan kriteria tambahan, yaitu biaya produksi, margin yang
diterima petani, serta keterlibatan tenaga kerja dalam menentukan prioritas
tanaman penghasil biofuel
4. Pengembangan biofuel memerlukan roadmap yang jelas dan terintegrasi dari up
stream (pengembangan tanaman penghasil biofuel) hingga downstream
(teknologi)
5. Hasil prioritas strategi kebijakan pengembangan BBN hendaknya dilanjutkan
dengan studi pengembangan kebijakan BBN dengan menggunakan metode RIA
secara kuantitatif. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan gambaran benefit
dan cost setiap kebijakan secara lebih rinci.
Arifin B. 2012. Bioenergi : Status Saat Ini dan Perspektif Ke Depan [internet]. [diacu
2014 Febuari 10]. Tersedia dari http://pse.litbang.deptan.go.id
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2015. BP Stastical Review 2015 : Pasar Energi Indonesia
2014.
Hambali E, Fifin NN, Arfie T, Athin N, H Wijaya. 2015. Potential of Biomass in
Indonesia as Bioenergy Feedstock. Surfactant and Bioenergy Research Center
(SBRC)
Handoko H, EG Sa’id, Yusman S. 2012. Permodelan Sistem Dinamik Ketercapaian
Kontribusi Biodiesel dalam Bauran Energi Indonesia 2025. J Man Teknol. 11 (1) :
15-27
Jeffers RF, Jacobson JJ, Searcy EM. 2013. Dynamic Analysis of Policy Drivers for
Bioenergy Markets. Energy Policy 52 : 249 – 263. doi : 10.1016/
j.enpol.2012.08.072
[KESDM] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. 2015.
Rencana Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2015-2019.
[OECD] Organitation for Economic Cooperation and Development. 2008. Building an
Institutional Framework for Regulatory Impact Analysis, Guidance for Policy
Maker.
Sadewo, H. 2012. Analisis Kebijakan Mandatory Pemanfaaatan Biodiesel di Indonesia.
[Tesis]. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia
Soerawidjaja TH. 2011. Rintangan-rintangan Percepatan Implementasi Bioenergi.
Didalam : Kadin. Memasuki Era Energi Baru dan Terbarukan untuk Kedaulatan
Energi Nasional [Internet]. Seminar ; 2011 Jul 14; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID) :
Kadin; [diunduh 2014 Jul 2]. Tersedia pada : http://www.kadin-
indonesia.or.id/.../4%20-....pdf
Rahman T. 2015. Model Kebijakan Pengembangan Biodiesel Kelapa Sawit Nasional
dengan Memperhatikan Ketahanan Pangan. [Tesis]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor
Thornley P, Deborah C. 2008. The Effectiveness of Policy Instruments In Promoting
Bioenergy. Biomass Bioenergy 32 : 903 – 913. doi :
10.1016/j.biombioe.2008.01.011