Neuro MG Tulung Agung Ausi Jennifer Ika Novian Ephram Dita
Neuro MG Tulung Agung Ausi Jennifer Ika Novian Ephram Dita
MIASTENIA GRAVIS
Oleh:
Dita Oktavia Rahmi 140070200011025
Ehram Sanders Alfian Siadary 140070200011075
Ika Ashmi Puspitasari 150070200011052
Jennifer Liklynda Meganingtyas 150070200011149
Ausi Mutiara Dwi Atri 150070200011015
Novian Kurnia Perkasa 150070200011175
Pembimbing:
dr. Dodo Sambodo Arianto, Sp.S
dr. Joko Rudyono, Sp.S
dr.Jenar Harumi, Sp.S
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
iii
dan perawatan intensif diperlukan agar prognosis pada pasien miastenia gravis
semakin baik.
iv
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
2.2 EPIDEMIOLOGI
Miastenia gravis adalah kelainan pada NMJ yang paling sering dijumpai.
Insidensi tahunan dilaporkan sekitar 7.40 per satu juta penduduk (wanita 7.14
dan laki-laki 7.66) dan tingkat prevalensi sekitar 70.63 per satu juta penduduk
(wanita 81.58; laki-laki 59.39). Miastenia gravis dapat dijumpai pada setiap usia,
dengan insiden puncak pertama adalah pada dekade ketiga (terutama mengenai
wanita) dan puncak kedua pada dekade keenam dan ketujuh (terutama
mengenai laki-laki) (Thanvi dan Lo, 2004). Suatu tinjauan meta analisis
menunjukkan bahwa rentang insidensi adalah 1.7 hingga 21.3 kasus per satu
juta penduduk per tahun, dengan rentang prevalensi adalah 15 hingga 179 per
satu juta penduduk. Insidensi pada kedua jenis kelamin meningkat seiring
pertambahan usia, dengan puncak 60-80 tahun, namun terdapat kecenderungan
jenis kelamin laki-laki pada kelompok usia yang lebih tua. Tingkat mortalitas nya
adalah 0.06 hingga 0.89 per satu juta penduduk per tahun (Carr et al, 2010).
2.3 ETIOLOGI
v
penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron
terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan ACh. Jika
rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh
dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi
dengan AChR pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada
membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga
dengan demikian terjadilah kontraksi otot (Gajdos et al, 2008).
Beberapa obat dapat memicu timbulnya gejala eksaserbasi akut dari
miastenia gravis, seperti antibiotik aminoglycosides, polymyxins, ciprofloxacin,
erythromycin, dan ampicillin. Penicillamine menginduksi miastenia gravis secara
nyata dengan meningkatkan titer antibodi anti AChR pada 90% kasus. Beta
adrenergic receptor blocking agents contohnya propanolol dan oxprenolol, litium,
magnesium, prokainamid, verapamil, quinidine, chloroquine, prednisone, timolol
antikolinergik, dan neuromuscular blocking agents seperti curare dan vecuronium
(Liu et al, 2012).
2.4 PATOFISIOLOGI
2.4.1 Anatomi Neuromuscular Junction Normal
Presinaptik
Komponen presinaptik terdiri dari ujung saraf motorik dan struktur yang
terkandung di dalamnya. Asetilkolin disintesis di terminal saraf dari asetil KoA
dan kolin oleh kerja enzim choline transferase. Asetilkolin terdapat dalam vesikel
dan dilepaskan ke celah sinaptik jika terdapat impuls saraf. Setiap vesikel berisi
sekitar 8000-13000 molekul asetilkolin, yang disebut ‘quanta’. Pelepasan
asetilkolin ke celah sinaptik akibat stimulus saraf membutuhkan kalsium dan
proses ini disebut stimulus-secretion coupling. Influks kalsium terjadi melalui
saluran kalsium yang voltage-gated. Masuknya kalsium memicu fusi dari vesikel
dengan membran presinaptik sel saraf, sehingga isi dari vesikel dilepaskan ke
celah sinaptik melalui proses eksositosis (Amato dan Rusell, 2008).
vi
Gambar 2.1 Presinaptik (Amato dan Russell, 2008)
Celah Sinaptik
Celah sinaptik dibagi menjadi celah sinaptik primer dan sekunder. Celah
sinaptik primer adalah ruang yang memisahkan membran presinaptik dari
membran postsinaptik. Celah ini berukuran sekitar 70 nm dimana luas dan
panjangnya sama dengan panjang membran presinaptik. Celah ini tidak memiliki
batas lateral yang tegas dan oleh karena itu, berkomunikasi dengan
ruang ekstraseluler. Celah sinaptik sekunder adalah ruang antara junctional folds
pada membran postsinaptik dan berhubungan dengan celah primer.
Acetylcholinesterase paling banyak dijumpai pada celah sinaptik sekunder.
Enzim ini menghidrolisis asetilkolin untuk mengakhiri transmisi neuromuskuler
sehingga serat otot dapat dirangsang lagi (Ruff, 2003).
Postsinaptik
Permukaan membran sel otot pada sambungan neuromuskuler terdiri dari
beberapa lipatan (lipatan junctional). Lipatan junctional normal memiliki slender
stalk dan bagian puncak. Reseptor ACh sebagian besar terkonsentrasi pada
puncak lipatan ini (Thanvi dan Lo, 2004).
vii
Gambar 2.2. Postsinaptik (Amato dan Russell, 2008)
viii
Gambar 2.3 Fisiologi Neuromuscular Junction (Conti-fine et al, 2006)
ix
2.4.3 Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction pada Myasthenia
gravis
Gambar 2.4. NMJ pada Myasthenia gravis (Thanvi dan Lo, 2004)
x
Otot-otot ekstraokuler juga lebih sedikit mengekspresikan regulator komplemen
intrinsik, yang membuat mereka lebih rentan untuk mengalami cedera yang
diperantarai komplemen (Conti-fine et al, 2006).
2.5 Klasifikasi
xi
9. Kelas IVa, mempengaruhi ekstremitas, sedikit pengaruh pada otot-otot
orofaringeal.
10. Kelas Ivb, terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan orofaringeal
serta ekstremitas.
11. Kelas V, pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-
operatif) (Barohn, 2003).
.
Gambar 2.5 Ptosis pada miastenia gravis (Shah, 2016)
xii
8. Kelemahan berlangsung dari yang ringan sampai yang lebih parah
selama beberapa minggu atau bulan dengan adanya eksaserbasi dan
remisi.
9. Kelemahan cenderung menyebar dari mata ke wajah dan ke otot bulbar
dan kemudian ke otot thoraks dan tungkai.
10. Gejala mungkin tetap terbatas pada otot ekstraokular dan kelopak mata
selama bertahun-tahun (Dewanto et al, 2009)
2.7 Diagnosis
xiii
Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan
yang dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu
keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.
Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas
dan kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi
karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Sehinggga
pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis
fase akut sangat diperlukan (John dan Kessey, 2004).
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular,
dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis.
Serta biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan
menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang
ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai
nistagmus pada mata yang melakukan abduksi (John dan Kessey, 2004).
Penegakan diagnosis Myasthenia gravis dilakukan tes klinik sederhana
seperti test pita suara, test wertenberg, dan beberapa tes farmakologis yaitu uji
tensilon dan uji prostigmin.
1. Pada test pita suara pasien ditugaskan menghitung dengan suara yang
keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaraya bertambah lemah
dan menjadi kurang terang. Pasien menjadi anartris dan afonis.
2. Test wertenberg dilakukan dengan cara pasien diminta memandang
obyek diatas bidang antara kedua bola mata, lama kelamaan akan terjadi
ptosis.
3. Uji tensilon (edrhophonium chloride) dengan cara menyuntikan 2mg
tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikan lagi
sebanyak 8mg tensilon secara intravena. Setelah penyuntikan tensilon
diperhaikan kelopak mata utnuk mengetahui terjadinya ptosis. Jika ptosis
disebabkan oleh myasthenia gravis maka ptosis akan membaik.
4. Uji prostigmin (neostigmin) disuntikan 3cc atau 1,5 mg prostigmin
metilsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau
½ mg). Bila kelemahan benar disebabkan oleh Myasthenia gravis maka
gejala-gejala seperti ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan membaik.
xiv
5. Ice pack test dapat digunakan jika dijumpai ptosis. Pemberian kompres es
pada kelopak mata yang terkena dampak memperbaiki ptosis karena MG
pada 80% kasus tetapi tidak memperbaiki ptosis akibat etiologi lain
(Thanvi dan Lo, 2004).
xv
transmis pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal (Amato dan Rusell, 2008).
2.9 Penatalaksanaan
xvi
menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang
dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset
lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan (Skeie, 2010).
Plasma Exchange (PE) paling efektif digunakan pada situasi dimana
terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Dasar terapi
dengan PE adalah pemindahan antibodi reseptor asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang
mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama
serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Terapi
ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa
krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi
atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi. Belum ada regimen
standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar
satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin
(5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium
dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama
dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi
PE adalah terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dapat
menimbulkan terjadinya hipotensi. Ini diakibatkan terjadinya pergeseran cairan
selama pertukaran berlangsung.Trombositopenia dan perubahan pada berbagai
faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang.Tetapi hal itu
bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya
perdarahan, dan pemberian freshfrozen plasma tidak diperlukan (Skeie, 2010).
Selanjutnya adalah Intravena Immunoglobulin (IVIG). Mekanisme kerja
dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu
memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan
secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari
titer antibodi. Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-
activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Efek
dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang
sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang
tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE,
xvii
karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya
beberapa minggu. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari
pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai
sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari
terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike symdrome seperti demam,
menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam
pertama. Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus,
sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat (Skeie, 2010).
Intravena Metilprednisolone (IVMp) diberikan dengan dosis 2 gram dalam
waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari
kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5
hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp
pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi
ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
Penggunaan IVMp pada keadaan krisis akan dipertimbangkan apabila terapi lain
gagal atau tidak dapat digunakan (Skeie, 2010).
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling
murah untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang
kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia
gravis masih belum diketahui. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung
hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Dimana respon terhadap
pengobatan kortikosteroid akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah
inisiasi terapi. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya. Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek
pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-
presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan
dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia
gravis. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang
sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis
maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan
tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg
setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta hipertensi (Skeie, 2010).
xviii
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari
purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis limfosit T. Azathioprine
merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan
secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan 15
obat imunosupresif lainnya. Azathioprine biasanya digunakan pada pasien
miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid
dengan dosis tinggi. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis
pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50
mg/hari hingga dosis optimal tercapai. Respon Azathioprine sangat lambat,
dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan
dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga
dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain (Skeie, 2010).
Namun, respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi
dalam dua atau tiga dosis. Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan
pelepasan interleukin-2 dari sel T- helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper,
menimbulkan efek pada produksi antibodi. Cyclosporine dapat menimbulkan efek
samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi. Cyclophosphamide (CPM) Secara
teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat
lainnya.CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B,
dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin (Skeie, 2010).
Timektomi (Surgical Care) Telah banyak dilakukan penelitian tentang
hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal
center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang 16 mungkin
bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Banyak ahli
sarafmemilikipengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki peranan yang
penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit
untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.
Timektomi telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis
sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma denga atau tanpa miastenia
gravis sejak awal tahun 1900. Tujuan utama dari timektomi ini adalah tercapainya
perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus
dikonsumsi pasien,dimana beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah
pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis timektomi yang
dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin
xix
banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60%pada lima hingga sepuluh
tahun setelah pembedahan adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu
tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang
permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan) (Ali dan Javad, 2009).
2.10 Prognosis
xx
BAB 3
KESIMPULAN
xxi
DAFTAR PUSTAKA
xxii
Romi F, Gilus NE, Aarli JA. Myasthenia gravis: clinical,imunological, and
therapeutic advances.Acta Neurol Scand 2005;111:134-141.
Shah, Aashit K, MD. Myasthenia. Medscape Medical Reference. March 23rd
2016. November 2016. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview
Skeie G. O, Apostolsk S. 2010. Guidelines for treatment of autoimmune
neuromuscular transmission disorders. 1-10 10.
Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J 2004;80:690-
700.
xxiii