Anda di halaman 1dari 23

PENGAYAAN

MIASTENIA GRAVIS

Oleh:
Dita Oktavia Rahmi 140070200011025
Ehram Sanders Alfian Siadary 140070200011075
Ika Ashmi Puspitasari 150070200011052
Jennifer Liklynda Meganingtyas 150070200011149
Ausi Mutiara Dwi Atri 150070200011015
Novian Kurnia Perkasa 150070200011175

Pembimbing:
dr. Dodo Sambodo Arianto, Sp.S
dr. Joko Rudyono, Sp.S
dr.Jenar Harumi, Sp.S

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT dr.ISKAK
TULUNGAGUNG
2016
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1 LATAR BELAKANG .............................................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH .......................................................................... 2
1.3 TUJUAN PENULISAN ........................................................................... 2
1.4 MANFAAT PENULISAN ........................................................................ 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3
2.1 DEFINISI ............................................................................................... 3
2.2 EPIDEMIOLOGI ..................................................................................... 3
2.3 ETIOLOGI ............................................................................................. 3
2.4 PATOFISIOLOGI ................................................................................... 4
2.4.1 Anatomi Neuromuscular Junction Normal ..................................... 4
2.4.2 Fisiologi Neuromuscular Junction Normal ..................................... 6
2.4.3 Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction pada Miastenia
gravis ............................................................................................ 8
2.5 KLASIFIKASI .......................................................................................... 9
2.6 MANIFESTASI KLINIS............................................................................ 10
2.7 DIAGNOSIS ............................................................................................ 11
2.8 DIAGNOSIS BANDING .......................................................................... 14
2.9 PENATALAKSANAAN ........................................................................... 14
2.10 PROGNOSIS ....................................................................................... 18
BAB 3 KESIMPULAN ................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 20

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Miastenia gravis adalah kelainan autoimun yang ditandai dengan


kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka yang disebabkan oleh adanya
autoantibodi terhadap reseptor acetylcholine (ACh) nikotinik pada neuromuscular
junction (NMJ) (Thanvi dan Lo, 2004). Miastenia gravis merupakan kelainan yang
cukup jarang dijumpai. Penyakit ini memiliki dua puncak kejadian, yang pertama
antara 20 hingga 40 tahun yang didominasi wanita dan antara 60 hingga 80
tahun dengan perbandingan pria dan wanita yang seimbang. Prevalensinya
sekitar 85-125 per satu juta penduduk dengan insidensi tahunan sekitar 2-4 per
satu juta penduduk.
Karakteristik klinis berupa kelemahan otot yang berfluktuasi (Juel dan
Massey, 2007) dan dapat melibatkan kelompok otot tertentu. Kelemahan mata
dengan ptosis asimteris dan diplopia binokular adalah presentasi awal yang
paling khas, sementara kelemahan orofaringeal atau ekstremitas dini lebih jarang
dijumpai. Perjalanan klinisnya bervariasi, dan sebagian besar pasien dengan
kelemahan okular pada awalnya akan mengalami kelemahan bulbar atau
anggota gerak dalam waktu tiga tahun sejak onset gejala awal (Romi et al, 2005).
Miastenia gravis memenuhi kriteria untuk suatu kelainan autoimun yang
diperantarai antibodi, yaitu : (a) antibodi dijumpai pada area patologis, yaitu NMJ;
(b) antibodi dari pasien atau antibodi anti reseptor ACh (AChR) dari hewan
percobaan menyebabkan gejala miastenia gravis jika diinjeksikan ke hewan; (c)
Imunisasi hewan dengan AChR menyebabkan penyakit tersebut; (d) terapi yang
menghilangkan antibodi akan mengurangi keparahan gejala miastenia gravis
(Conti-fine et al, 2006).
Penatalaksanaan bersifat individual dan termasuk pengobatan simtomatik
dengan inhibitor cholinesterase dan immunomodulator dengan kortikosteroid,
azathioprine,cyclosporine,dan mycophenolate mofetil. Perbaikan sementara yang
cepat dapat dicapai untuk krisis miastenia dan eksaserbasi dengan plasma
exchange (PEX) atau intravenous immunoglobulin (IVIG) (Amato dan Rusell,
2008). Oleh karena itu, pengetahuan tentang uji diagnostik, terapi yang tepat,

iii
dan perawatan intensif diperlukan agar prognosis pada pasien miastenia gravis
semakin baik.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi,


manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, dan prognosis pada
miastenia gravis?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi,


manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, dan prognosis pada
miastenia gravis.

1.4 MANFAAT PENULISAN

Menambah wawasan mengenai cara mengenali, mendiagnosis,


memberikan tatalaksana yang tepat pada miastenia gravis. Selain itu, pengayaan
ini dapat menjadi salah satu sumber pembelajaran bagi dokter muda di Rumah
Sakit dr. Iskak Tulungagung.

iv
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan gejala


kelemahan yang berfluktuasi yang melibatkan satu atau beberapa otot skelet
yang disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin nikotinik pada area
postsynaptic pada neuromuscular junction (NMJ) (Romi et al, 2005).

2.2 EPIDEMIOLOGI

Miastenia gravis adalah kelainan pada NMJ yang paling sering dijumpai.
Insidensi tahunan dilaporkan sekitar 7.40 per satu juta penduduk (wanita 7.14
dan laki-laki 7.66) dan tingkat prevalensi sekitar 70.63 per satu juta penduduk
(wanita 81.58; laki-laki 59.39). Miastenia gravis dapat dijumpai pada setiap usia,
dengan insiden puncak pertama adalah pada dekade ketiga (terutama mengenai
wanita) dan puncak kedua pada dekade keenam dan ketujuh (terutama
mengenai laki-laki) (Thanvi dan Lo, 2004). Suatu tinjauan meta analisis
menunjukkan bahwa rentang insidensi adalah 1.7 hingga 21.3 kasus per satu
juta penduduk per tahun, dengan rentang prevalensi adalah 15 hingga 179 per
satu juta penduduk. Insidensi pada kedua jenis kelamin meningkat seiring
pertambahan usia, dengan puncak 60-80 tahun, namun terdapat kecenderungan
jenis kelamin laki-laki pada kelompok usia yang lebih tua. Tingkat mortalitas nya
adalah 0.06 hingga 0.89 per satu juta penduduk per tahun (Carr et al, 2010).

2.3 ETIOLOGI

Miasthenia gravis diketahui idiopatik pada hampir seluruh pasien.


walaupun penyebab utamanya masih diragukan, tetapi diyakini gangguan
regulasi sistem imunitas tubuh merupakan penyebab dari penyakit ini
dikarenakan terdapat antibodi spesifik yang terdapat pada penyakit ini pada 90 %
kasus umum, terdapat IgG pada reseptor asetilkolin (AChR). Kelainan primer
pada miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada NMJ yaitu

v
penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron
terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan ACh. Jika
rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh
dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi
dengan AChR pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada
membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga
dengan demikian terjadilah kontraksi otot (Gajdos et al, 2008).
Beberapa obat dapat memicu timbulnya gejala eksaserbasi akut dari
miastenia gravis, seperti antibiotik aminoglycosides, polymyxins, ciprofloxacin,
erythromycin, dan ampicillin. Penicillamine menginduksi miastenia gravis secara
nyata dengan meningkatkan titer antibodi anti AChR pada 90% kasus. Beta
adrenergic receptor blocking agents contohnya propanolol dan oxprenolol, litium,
magnesium, prokainamid, verapamil, quinidine, chloroquine, prednisone, timolol
antikolinergik, dan neuromuscular blocking agents seperti curare dan vecuronium
(Liu et al, 2012).

2.4 PATOFISIOLOGI
2.4.1 Anatomi Neuromuscular Junction Normal

Terdapat tiga komponen penting pada NMJ, yaitu presinaptik, celah


sinaptik dan postsinaptik.

Presinaptik
Komponen presinaptik terdiri dari ujung saraf motorik dan struktur yang
terkandung di dalamnya. Asetilkolin disintesis di terminal saraf dari asetil KoA
dan kolin oleh kerja enzim choline transferase. Asetilkolin terdapat dalam vesikel
dan dilepaskan ke celah sinaptik jika terdapat impuls saraf. Setiap vesikel berisi
sekitar 8000-13000 molekul asetilkolin, yang disebut ‘quanta’. Pelepasan
asetilkolin ke celah sinaptik akibat stimulus saraf membutuhkan kalsium dan
proses ini disebut stimulus-secretion coupling. Influks kalsium terjadi melalui
saluran kalsium yang voltage-gated. Masuknya kalsium memicu fusi dari vesikel
dengan membran presinaptik sel saraf, sehingga isi dari vesikel dilepaskan ke
celah sinaptik melalui proses eksositosis (Amato dan Rusell, 2008).

vi
Gambar 2.1 Presinaptik (Amato dan Russell, 2008)

Celah Sinaptik
Celah sinaptik dibagi menjadi celah sinaptik primer dan sekunder. Celah
sinaptik primer adalah ruang yang memisahkan membran presinaptik dari
membran postsinaptik. Celah ini berukuran sekitar 70 nm dimana luas dan
panjangnya sama dengan panjang membran presinaptik. Celah ini tidak memiliki
batas lateral yang tegas dan oleh karena itu, berkomunikasi dengan
ruang ekstraseluler. Celah sinaptik sekunder adalah ruang antara junctional folds
pada membran postsinaptik dan berhubungan dengan celah primer.
Acetylcholinesterase paling banyak dijumpai pada celah sinaptik sekunder.
Enzim ini menghidrolisis asetilkolin untuk mengakhiri transmisi neuromuskuler
sehingga serat otot dapat dirangsang lagi (Ruff, 2003).

Postsinaptik
Permukaan membran sel otot pada sambungan neuromuskuler terdiri dari
beberapa lipatan (lipatan junctional). Lipatan junctional normal memiliki slender
stalk dan bagian puncak. Reseptor ACh sebagian besar terkonsentrasi pada
puncak lipatan ini (Thanvi dan Lo, 2004).

vii
Gambar 2.2. Postsinaptik (Amato dan Russell, 2008)

2.4.2 Fisiologi Neuromuscular Junction Normal


Asetilkolin dilepaskan dari membran presinaptik sebagai akibat dari
impuls saraf. Asetilkolin yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor ACh
menyebabkan saluran kation reseptor terbuka sementara, menghasilkan
potensial listrik endplate lokal (Endplate potential/EPP). Jika amplitudo ini cukup,
akan terbentuk suatu potensial yang menyebar di sepanjang serat otot, sehingga
memicu pelepasan kalsium dan menyebabkan kontraksi otot. Dengan stimulasi
saraf berulang, jumlah asetilkolin yang dilepaskan semakin menurun setelah
beberapa rangsangan yang disebut ‘synaptic rundown’. Dalam kondisi normal,
amplitudo dari EPP lebih dari yang diperlukan untuk menghasilkan suatu
potensial aksi yang memicu kontraksi otot. Kelebihan ini disebut ‘safety factor’.
Safety factor ini bergantung pada beberapa faktor termasuk jumlah asetilkolin
dilepaskan dan jumlah dan integritas reseptor ACh. Pada miastenia gravis, faktor
ini berkurang. Penurunan safety factor bersamaan dengan ‘synaptic rundown’
yang normal menyebabkan penurunan kekuatan otot progresif pada stimulasi
berulang pada miastenia gravis (Thanvi dan Lo, 2004).

viii
Gambar 2.3 Fisiologi Neuromuscular Junction (Conti-fine et al, 2006)

Suatu protein transmembran postsynaptic,muscle-specific tyrosine kinase


(MuSK) merupakan autoantigen utama pada beberapa pasien miastenia gravis.
Ekspresi MuSK terutama dijumpai pada NMJ, dan merupakan bagian dari
reseptor agrin. Agrin adalah protein yang disintesis oleh motor neuron dan
disekresi ke dalam lamina basal sinaptik. Sinyal yang dimediasi oleh interaksi
agrin/MuSK memicu dan mempertahankan pengelompokan AChR dan protein
postsinaptik lain yang bergantung rapsyn. Rapsyn, suatu protein membran perifer
yang mengarah ke permukaan sitoplasma dari membran postsynaptic, diperlukan
untuk pengelompokan AChR. Rapsyn menyebabkan pengelompokan protein
NMJ selain AChR, termasuk MuSK (Conti-fine et al, 2006).

ix
2.4.3 Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction pada Myasthenia
gravis

Abnormalitas NMJ utama pada miastenia gravis mencakup (a) penurunan


jumlah reseptor ACh, (b) pemendekan lipatan sinaptik dan (c) pelebaran celah
sinaptik disebabkan oleh pemendekan lipatan junctional. Perubahan ini
dseibabkan oleh proses autoimun pada membran postsinaptik. Konsekuensi dari
kelainan ini adalah berkurangnya safety factor. Seperti telah dibahas
sebelumnya, pengurangan safety factor bersamaan dengan synaptic rundown
yang normal menyebabkan penurunan progresif amplitudo EPP yang
menyebabkan kelemahan myasthenic ditandai dengan kelelahan akibat aktivitas
yang terus-menerus (Thanci, 2004).

Gambar 2.4. NMJ pada Myasthenia gravis (Thanvi dan Lo, 2004)

Struktur NMJ bervariasi antar otot dan dapat mempengaruhi


kerentanan otot terhadap miastenia gravis. Hal ini diilustrasikan oleh NMJ
dari otot-otot ekstraokuler yang sangat rentan terhadap miastenia gravis.
Struktur NMJ otot ekstraokuler berbeda dari otot rangka dalam beberapa hal,
dimana otot-otot ekstraokuler memiliki lipatan sinaptik yang kurang banyak, dan
karenanya memiliki lebih sedikit AChRs postsynaptic dan saluran Na+, dan
penurunan safety factor. Otot-otot ini juga menunjukkan frekuensi neuronal firing
yang sangat tinggi, yang menyebabkan otot-otot ini rentan terhadap kelelahan.

x
Otot-otot ekstraokuler juga lebih sedikit mengekspresikan regulator komplemen
intrinsik, yang membuat mereka lebih rentan untuk mengalami cedera yang
diperantarai komplemen (Conti-fine et al, 2006).

Pada miastenia gravis dengan antibodi anti-AChR, autoantibodi dengan


target reseptor asetilkolin (AChR) mengakibatkan blokade reseptor dan destruksi
yag dimediasi komplemen, sehingga mengurangi jumlah reseptor yang tersedia
untuk berinteraksi dengan ACh yang dilepaskan dari ujung saraf. Aktivasi
komplemen menarik makrofag yang aktif, yang menyebabkan kerusakan yang
signifikan pada lipatan sinaptik dan saluran natrium yang voltage-gated yang
pada gilirannya meningkatkan ambang yang diperlukan untuk memulai potensial
aksi otot. Konsekuensi dari hilangnya AChR dan saluran natrium adalah
berkurangnya ‘safety factor’ untuk transmisi neuromuskuler berkurang
dan transmisi di endplates gagal (Hill, 2003).

2.5 Klasifikasi

Klasifikasi miastenia gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory


Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA):
1. Kelas I, kelemahan otot okular dan gangguan menutup mata, otot lain
masih normal.
2. Kelas II, kelemahan ringan pada otot selain okular, otot okular meningkat
kelemahannya.
3. Kelas IIa, mempengaruhi ekstremitas, sedikit mempengaruhi otot-otot
orofaringeal.
4. Kelas Iib, mempengaruhi otot-otot faringeal dan pernapasan juga
ekstremitas.
5. Kelas III, kelemahan sedang pada otot selain okuler, meningkatnya
kelemahan pada otot okuler.
6. Kelas IIIa, mempengaruhi ekstremitas, sedikit mempengaruhi otot-otot
faringeal
7. Kelas IIIb, memepengaruhi otot-otot faringeal dan pernapasan serta
ekstremitas.
8. Kelas IV, kelemahan berat pada selain otot okuler, kelemahan berat pada
otot okuler.

xi
9. Kelas IVa, mempengaruhi ekstremitas, sedikit pengaruh pada otot-otot
orofaringeal.
10. Kelas Ivb, terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan orofaringeal
serta ekstremitas.
11. Kelas V, pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-
operatif) (Barohn, 2003).

2.6 Manifestasi Klinis

.
Gambar 2.5 Ptosis pada miastenia gravis (Shah, 2016)

Miastenia gravis memiliki karakteristik yakni adanya kelemahan yang


berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Berikut beberapa manifestasi klinis:
1. Keluhan awal adalah kelemahan otot tertentu daripada kelemahan umum.
2. Kelemahan otot ekstraokular atau ptosis terjadi di awal pada 50% pasien
dan 90% terjadi selama perjalanan penyakit.
3. Kelemahan umum tanpa kelemahan otot okular.
4. Kelemahan otot bulbar juga umum terjadi, bersama dengan kelemahan
ekstensi dan fleksi kepala
5. Kelemahan tungkai proksimal bisa lebih parah daripada distal.
6. Kelemahan biasanya memburuk selama siang hari berlangsung.
7. Kelemahan meningkat dengan aktivitas dan berkurang dengan istirahat.

xii
8. Kelemahan berlangsung dari yang ringan sampai yang lebih parah
selama beberapa minggu atau bulan dengan adanya eksaserbasi dan
remisi.
9. Kelemahan cenderung menyebar dari mata ke wajah dan ke otot bulbar
dan kemudian ke otot thoraks dan tungkai.
10. Gejala mungkin tetap terbatas pada otot ekstraokular dan kelopak mata
selama bertahun-tahun (Dewanto et al, 2009)

2.7 Diagnosis

Berdasarkan Anamnesis, pasien datang dengan riwayat kelemahan dan


kelelahan otot pada aktivitas berkelanjutan atau berulang-ulang yang membaik
setelah beristirahat. Gejala bervariasi dari hari ke hari dan dari jam ke jam,
biasanya meningkat menjelang malam. Otot-otot yang paling sering terkena
secara berurutan adalah : m. levator palpebra, otot ekstraokular, otot proksimal
ekstremitas, otot-otot ekspresi wajah, dan ekstensor leher. Kelemahan otot wajah
bersifat bilateral menyebabkan timbulnya a mask like face dengan adanya ptosis
dan senyum yang horizontal. Terdapat juga kelemahan otot bulbar (Kuks dan
Oosterhuis, 2003).
Pemeriksaan fisik pada Myasthenia gravis kelemahan otot –otot palatum
yang menyebabkan suara pasien seperti bernafas dihidung (nasal twang to the
voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair kehidung pasien.
Pasien juga mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan.
Sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan pasien tersedak adan
batuk saat minum. Terdapat kelemahan otot-otot rahang menyebabkan pasien
sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu pasien harus terus ditopang
dengan tangan (John dan Kessey, 2004).
Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan
pada saat fleksi serta ekstensi leher. Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering
mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid
serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
seringkali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada eksterimitas bawah, seringkali terjadi kelemahan
serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan
plantarfleksi jari-jari kaki (John dan Kessey, 2004).

xiii
Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan
yang dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu
keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.
Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas
dan kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi
karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Sehinggga
pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis
fase akut sangat diperlukan (John dan Kessey, 2004).
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular,
dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis.
Serta biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan
menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang
ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai
nistagmus pada mata yang melakukan abduksi (John dan Kessey, 2004).
Penegakan diagnosis Myasthenia gravis dilakukan tes klinik sederhana
seperti test pita suara, test wertenberg, dan beberapa tes farmakologis yaitu uji
tensilon dan uji prostigmin.
1. Pada test pita suara pasien ditugaskan menghitung dengan suara yang
keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaraya bertambah lemah
dan menjadi kurang terang. Pasien menjadi anartris dan afonis.
2. Test wertenberg dilakukan dengan cara pasien diminta memandang
obyek diatas bidang antara kedua bola mata, lama kelamaan akan terjadi
ptosis.
3. Uji tensilon (edrhophonium chloride) dengan cara menyuntikan 2mg
tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikan lagi
sebanyak 8mg tensilon secara intravena. Setelah penyuntikan tensilon
diperhaikan kelopak mata utnuk mengetahui terjadinya ptosis. Jika ptosis
disebabkan oleh myasthenia gravis maka ptosis akan membaik.
4. Uji prostigmin (neostigmin) disuntikan 3cc atau 1,5 mg prostigmin
metilsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau
½ mg). Bila kelemahan benar disebabkan oleh Myasthenia gravis maka
gejala-gejala seperti ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan membaik.

xiv
5. Ice pack test dapat digunakan jika dijumpai ptosis. Pemberian kompres es
pada kelopak mata yang terkena dampak memperbaiki ptosis karena MG
pada 80% kasus tetapi tidak memperbaiki ptosis akibat etiologi lain
(Thanvi dan Lo, 2004).

Pemeriksaan laboratorium terdiri dari Anti asetilkolin reseptor antibodi


(+), Antistriated muscle (+), Anti muscle specific kinase (MusK) antibodies (+).
Myasthenia gravis dapat diklasifikasikan menjadi seropositif dan seronegatif
(Thanvi dan Lo, 2004).
1. Seropositif
Tipe ini merupakan tipe yang paling banyak dari acquired autoimmune
MG. Hampir 85% penderita generalized MG dan 50%-60% penderita
ocular myasthenia menunjukkan hasil yang positif untuk anti-AChR
antibody dengan radioimmunoassay (Thanvi, 2004).
2. Seronegatif
Sekitar 10% - 20% penderita acquired MG tidak menunjukkan antibodi
anti-AChR melalui radioimmunoassay.Seronegatif MG merupakan
gangguan autoimun yang melibatkan antibodi yang menyerang satu atau
lebih komponen sambungan saraf otot yang tidak terdeteksi dengan anti-
AChR radioimmunoassay. Selain anti-MuSK antibodies, plasma dari
pasien dengan MG mengandung faktor humoral lainnya (Thanvi dan Lo,
2004).

Pemeriksaan Imaging, foto thoraks AP – Lateral dan CT Scan untuk


mengetahui melihat apakah terdapat jaringan sisa pada pasien yang memburuk
pasca timektomi, serta MRI yang biasanya dilakukan pada kasus dengan lesi
pada batang otak. (Thanvi dan Lo, 2004).
Pemeriksaan neurodiagnostik untuk mengevaluasi defek pada transmisi
neuromuskular melalui pemeriksaan Repetitive nerve stimulation (RNS) yang
menunjukan tidak terdapatnya suatu potensial aksi. Pemeriksaan Single fiber
Electromyography (SFEMG) untuk mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interopotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu densitas fiber (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek

xv
transmis pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal (Amato dan Rusell, 2008).

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding termasuk gangguan lainnya di mana tanda-tanda dan


gejala utama berupa gangguan motorik (Amato dan Rusell, 2008). Sejumlah
kondisi dapat menyerupai miastenia gravis, yang terdiri dari gangguan NMJ
lainnya (Lambert-Eaton syndrome, botulismus, neuromyotonia didapat,dll),
miopati dan penyakit batang otak (misalnya, iskemik, inflamasi, dan neoplastik)
jika miastenia terbatas hanya menunjukkan keterlibatan bulbar, AIDP dan varian
AIDP yang mengenai otot kranial seperti Miller-Fisher dan cervical-brAChial-
pharyngeal (Juel dan Massey, 2007).
Lambert-Eaton syndrome adalah gangguan autoimun pada NMJ yang
bermanifestasi sebagai kelemahan otot dan sering dikaitkan dengan karsinoma
paru. Botulismus dapat menyebabkan kelemahan umum, ophthalmoplegia
internal dan eksternal, dan kelumpuhan pernapasan. Hipertiroidisme dapat
dengan mudah dieksklusikan dengan uji fungsi tiroid yang harus diperiksa secara
rutin dalam evaluasi miastenia gravis. Miastenia okular harus dibedakan dengan
ophthalmoplegia eksternal progresif, penyakit Grave’s okular dan space
occupying lesion intrakranial (Thanvi dan Lo, 2004).

2.9 Penatalaksanaan

Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang dapat diobati.


Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan dan merupakan lini
pertama. Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata, perlu
dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Penatalaksanaan miastenia gravis
dapat dilakukan dengan obat-obatan, timomektomi ataupun dengan
imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang
baik pada kesembuhan miastenia gravis. Terapi pemberian antibiotik yang
dikombinasikan dengan imunosupresif dan imunomodulasi yang ditunjang
dengan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan

xvi
menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang
dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset
lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan (Skeie, 2010).
Plasma Exchange (PE) paling efektif digunakan pada situasi dimana
terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Dasar terapi
dengan PE adalah pemindahan antibodi reseptor asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang
mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama
serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Terapi
ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa
krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi
atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi. Belum ada regimen
standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar
satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin
(5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium
dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama
dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi
PE adalah terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dapat
menimbulkan terjadinya hipotensi. Ini diakibatkan terjadinya pergeseran cairan
selama pertukaran berlangsung.Trombositopenia dan perubahan pada berbagai
faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang.Tetapi hal itu
bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya
perdarahan, dan pemberian freshfrozen plasma tidak diperlukan (Skeie, 2010).
Selanjutnya adalah Intravena Immunoglobulin (IVIG). Mekanisme kerja
dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu
memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan
secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari
titer antibodi. Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-
activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Efek
dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang
sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang
tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE,

xvii
karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya
beberapa minggu. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari
pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai
sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari
terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike symdrome seperti demam,
menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam
pertama. Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus,
sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat (Skeie, 2010).
Intravena Metilprednisolone (IVMp) diberikan dengan dosis 2 gram dalam
waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari
kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5
hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp
pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi
ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
Penggunaan IVMp pada keadaan krisis akan dipertimbangkan apabila terapi lain
gagal atau tidak dapat digunakan (Skeie, 2010).
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling
murah untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang
kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia
gravis masih belum diketahui. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung
hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Dimana respon terhadap
pengobatan kortikosteroid akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah
inisiasi terapi. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya. Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek
pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-
presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan
dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia
gravis. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang
sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis
maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan
tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg
setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta hipertensi (Skeie, 2010).

xviii
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari
purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis limfosit T. Azathioprine
merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan
secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan 15
obat imunosupresif lainnya. Azathioprine biasanya digunakan pada pasien
miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid
dengan dosis tinggi. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis
pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50
mg/hari hingga dosis optimal tercapai. Respon Azathioprine sangat lambat,
dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan
dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga
dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain (Skeie, 2010).
Namun, respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi
dalam dua atau tiga dosis. Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan
pelepasan interleukin-2 dari sel T- helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper,
menimbulkan efek pada produksi antibodi. Cyclosporine dapat menimbulkan efek
samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi. Cyclophosphamide (CPM) Secara
teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat
lainnya.CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B,
dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin (Skeie, 2010).
Timektomi (Surgical Care) Telah banyak dilakukan penelitian tentang
hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal
center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang 16 mungkin
bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Banyak ahli
sarafmemilikipengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki peranan yang
penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit
untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.
Timektomi telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis
sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma denga atau tanpa miastenia
gravis sejak awal tahun 1900. Tujuan utama dari timektomi ini adalah tercapainya
perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus
dikonsumsi pasien,dimana beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah
pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis timektomi yang
dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin

xix
banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60%pada lima hingga sepuluh
tahun setelah pembedahan adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu
tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang
permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan) (Ali dan Javad, 2009).

2.10 Prognosis

Dengan penanganan yang tepat, prognosis kebanyakan pasien dengan


myasthenia gravis baik. Penderita akan mengalami perbaikan yang signifikan
kelemahan otot dan penderita akan mencapai normal atau hampir normal dalam
kehidupan. Beberapa kasus myasthenia gravis dapat mengalami remisi
sementara dan kelemahan otot dapat menghilang seluruhnya sehingga
pengobatan dapat dihentikan. Remisi stabil dan remisi sempurna jangka panjang
menjadi sasaran thymectomy. Pada beberapa kasus, kelemahan berat
myasthenia gravis dapat menyebabkan kondisi krisis (gagal nafas), dan
membutuhkan penanganan emergensi segera (Ali dan Javad, 2009).

xx
BAB 3
KESIMPULAN

Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan gejala


kelemahan yang berfluktuasi yang melibatkan satu atau beberapa otot skelet
yang disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin nikotinik pada area
postsynaptic pada neuromuscular junction (NMJ). Miastenia gravis
diklasifikasikan menjadi beberapa kelas. Pada umumnya, pasien datang dengan
riwayat kelemahan dan kelelahan otot pada aktivitas berkelanjutan atau
berulang-ulang yang membaik setelah beristirahat. Gejala bervariasi dari hari ke
hari dan dari jam ke jam, biasanya meningkat menjelang malam. Otot-otot yang
paling sering terkena secara berurutan adalah : m. levator palpebra, otot
ekstraokular, otot proksimal ekstremitas, otot-otot ekspresi wajah, dan ekstensor
leher. Penegakan diagnosis miastenia gravis didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan miastenia
gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, timomektomi ataupun dengan
imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang
baik pada kesembuhan miastenia gravis.

xxi
DAFTAR PUSTAKA

Ali Y N, Javad S. 2009. Clinical Features, Diagnostic Approach, and Therapeutic


Outcomein Myasthenia Gravis Patients with Thymectomy. 18:21-25.
Amato AA, Russell JA. Neuromuscular disorders.New York: McGrawHill;2008.p
458-508.
Barohn RJ. Standards of Measurements in Myasthenia gravis. Ann.N.Y.Sci.
2003; 998:432-39
Carr AS, Cardwell CR, McCarron PO, et al. A systematic review of population
based epidemiological studies in Myasthenia gravis. BMC Neurology
2010;10:46.
Conti-fine Bm, Milani M, kaminski HJ. Myasthenia gravis: past, present, and
future. J Clin Invest 2006; 116:2843-2854.
Dewanto, G. 2009. Panduan praktis diagnosa dan tatalaksana penyakit saraf.
Jakarta: EGC.
Gajdos P, Chevret S, Toyka K. Intravenous immunoglobulin for myasthenia
gravis.Cochrane Database Syst Rev. Jan 23 2008;CD002277
Hill M. The Neuromuscular Junction Disorders.J Neurol Neurosurg Psychiatry
2003: 74 (suppl II): ii32-ii37.
John C. Keesey, MD. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis.
Dalam:Wiley,penyunting. Muscle and Nerve. Edisi ke -29. USA:
Department of Neurology, UCLA School of Medicine, Los Angeles.
California, USA,2004;h.484- 505.
Juel VC, Massey JM. Myasthenia gravis. Orphanet Journal of Rare Diseases
2007; 2:44.
Keller DM. Late-Onset Myasthenia Gravis Linked to Higher Cancer
Risk. Medscape Medical News [serial online]. Jul 2 2013;Accessed Jul 17
2013. Available at http://www.medscape.com/viewarticle/807276.
Kuks JBM, Oosterhuis HJGH. Clinical presentation and epidemiology of
myasthenia gravis. In: Kaminski HJ, editor. Myastenia Gravis and related
disorder. Totowa, New Jersey : Humana Pers; 2003. p.93-113
Liu CJ, Chang YS, Teng CJ, et al. Risk of extrathymic cancer in patients with
myasthenia gravis in Taiwan: a nationwide population-based study. Eur J
Neurol. May 2012;19(5):746-51.

xxii
Romi F, Gilus NE, Aarli JA. Myasthenia gravis: clinical,imunological, and
therapeutic advances.Acta Neurol Scand 2005;111:134-141.
Shah, Aashit K, MD. Myasthenia. Medscape Medical Reference. March 23rd
2016. November 2016. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview
Skeie G. O, Apostolsk S. 2010. Guidelines for treatment of autoimmune
neuromuscular transmission disorders. 1-10 10.
Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J 2004;80:690-
700.

xxiii

Anda mungkin juga menyukai