Anda di halaman 1dari 14

Modul Buta

Skenario 1

Tn. F, 69 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan mata kanan tiba-tiba


tidak dapat melihat sejak 4 jam yang lalu sejak mengangkat karung beras. Sejak
SMP, Tn. F menggunakan kaca mata tebal. Tanda-tanda inflamasi tidak ada,
riwayat trauma di sangkal.

Kata Sulit : -

Kalimat Kunci :

 Laki-laki 69 tahun.
 Keluhan mata kanan tiba-tiba tidak dapat melihat sejak 4 jamyang lalu
 Sebelumnya mengangkat karung beras
 Menggunakan kacamata tebal.
 Riwayat trauma disangkal
 Tidak ada tanda inflamasi

Pertanyaan :

1) Jelaskan mekanisme penglihatan normal !


2) Jelaskan patomekanisme buta mendadak! Dan apakah ada pengaruh
penggunaan kacamata tebal dengan gejala yang dirasakan? (fadil)
3) Apa yang menyebabkan pasien tiba-tiba buta ? (Fadil)
4) Apakah ada hubungan antara riwayat aktivitas (mengangkat karung beras)
dengan kebutaan?
5) Kenapa hanya mata kanan yang tiba-tiba buta? (ila)
6) Jelaskan diferensial diagnosis!
7) Bagaimana preventif dari buta mendadak?
Jawaban :

1. Anatomi dan Fisiologi mata


Bola mata berbentuk bulat dengan diameter anteroposterior 24mm. Bola
mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam
sehingga terdapat dua bentuk kelengkungan yang berbeda.
Bola mata dibungkus oleh tiga lapisan yaitu :
a. Sclera, merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada
mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata.
b. Uvea, merupakan jaringan vaskuler. Jaringan Uvea dan sclera dibatasi oleh
celah potensial yang mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada
ruda paksa yang disebut perdarahan suprakhoroid. Jaringan uvea ini terdiri
dari iris, corpus cilliaris dan koroid.
c. Retina, ini merupakan lapisan saraf dan memiliki 10 lapisan. Retina
merupakan lapisan membrane neurosensoris yang akan merubah sinar
menjadi rangsangan pada saraf optic dan diteruskan ke otak.

Proses visual dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina dan
menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika dilatasi
maksimal, pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih banyak
dibandingkan ketika sedang konstriksi maksimal. Diameter pupil ini sendiri
diatur oleh dua elemen kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang terdiri
dari otot-otot sirkuler dan papillary dilator yang terdiri dari sel-sel epitelial
kontraktil yang telah termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal juga sebagai
myoepithelial cells (Saladin, 2006).

Jika sistem saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan


melebarkan pupil sehingga lebih banyak cahaya dapat memasuki mata. Kontraksi
dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya berubah dan
ketika kita memindahkan arah pandangan kita ke benda atau objek yang dekat
atau jauh. Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya memasuki mata, pembentukan
bayangan pada retina bergantung pada kemampuan refraksi mata (Saladin, 2006).
Beberapa media refraksi mata yaitu kornea (n=1.38), aqueous humour (n=1.33),
dan lensa (n=1.40). Kornea merefraksi cahaya lebih banyak dibandingkan lensa.
Lensa hanya berfungsi untuk menajamkan bayangan yang ditangkap saat mata
terfokus pada benda yang dekat dan jauh. Setelah cahaya mengalami refraksi,
melewati pupil dan mencapai retina, tahap terakhir dalam proses visual adalah
perubahan energi cahaya menjadi aksi potensial yang dapat diteruskan ke
korteks serebri. Proses perubahan ini terjadi pada retina (Saladin, 2006).

Retina memiliki dua komponen utama yakni pigmented retina dan sensory
retina. Pada pigmented retina, terdapat selapis sel-sel yang berisi pigmen melanin
yang bersama-sama dengan pigmen pada koroid membentuk suatu matriks hitam
yang mempertajam penglihatan dengan mengurangi penyebaran cahaya dan
mengisolasi fotoreseptor-fotoreseptor yang ada.
2.
3.
4. Pengaruh aktivitas (angkat berat) terhadap buta mendadak yang dialami pasien :
Salah satu penyebab meningkatnya tekanan tekanan intraokuler yaitu
dikarenakan adanya aktivitas yang berat. Misalnya mengedan dan mengangkat
beban berat. Pada skenario, dapat terjadi peningkatan tekanan intraokuler
dikarenakan aktivitas yang dia kerjakan. Ketika tekanan intraokuler meningkat
maka bola mata penderita yang memang sudah memiliki riwayat memakai kaca
mata tebal (miopia yang tinggi) bisa menyebabkan robekan pada retina.
Akibatnya, cairan vitreus masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan
retina. Terjadi pendorongan retina oleh cairan vitreus tadi yang masuk melalui
robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan
retina dan terlepas dari lapis pigmen koroid. Dan mengakibatkan buta mendadak
seperti yang dirasakan oleh penderita pada skenario.

Ref : Ilyas, Sidarta dkk.2013.Ilmu Penyakit Mata Edisi Keempat.Badan


Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta

5.
6.
7. Diferential Diagnosis

Ablasio Retina

 Defenisi
Ablasio retina adalah terpisahnya sel batang dan kerucut dari epitel
pigmen retina. Pada keadaan ini, sel epitel pigmen retina masih melekat
erat dengan membrane Bruch. Antara sel kerubut dengan sel batang retina
tidak terdapat suatu perlekatan struktur dengan koroid atau pigmen epitel
sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara
embriologis.
Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel
pigmen akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina pembuluh darah yang
bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi penglihatan.
 Epidemiologi
Ablasio retina jarang terjadi pada populasi umum, tetapi suatu unit
pelayanan kesehatan matayang melayani sekitar 500.000 populasi
kemungkinan menemukan kasus ablasio retina tiga sampai empat kasus per
minggu. Beberapa populasi memiliki bakat dan peluang besar mengalami
ablasio retina, misalnya mata dengan miopi tinggi, pasca retinitis, dan
retina yang memperlihatkan degenerasi dibagian perifer. Meskipun kadang
mengeni anak-anak, namun insidens ablasio retina meningkat seiring
bertambahnya umur mencapai maksimum pada kelompok usia 50-60
tahun. Kejadian ablasio retina sedikit meningkat pada usia pertengahan
(usia 20-30 tahun) akibat trauma.
 Klasifikasi
 Ablasio Retina Regmatogenosa
Definisi :
Terjadi akibat adanya robekan pada retina dan baisanya terjadi pada
bagian perifer, jarang pada macula. Miopi tinggi, afakia, degenerasi
lattic dan trauma mata biasanya berkaitan dengan ablasio retina.
Pathogenesis :
Terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami
likuifikasi dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio
progresif.
Gambaran Klinis :
Gangguan penglihatan yang kadang-kadang terlihat seperti tabir
yang menutup. Terdapat riwayat adanya pijaran api (fotopsia) pada
lapangan penglihatan. Ablasio yang berlokalisasi didaerah
supratemporal sangat berbahaya karena dapat mengangkat macula. Pada
pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna
pucat dengan pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan
retina berwarna merah. Bila bolamata bergerak akan terlihat retina yang
lepas (ablasi) bergoyang.
 Ablasio Retina Traksional
Definisi :
Terjadi akibat adanya tarikan oleh jaringan parut pada badan kaca
yang menyebabkan retina terangkat dari epitel pigmennya. Jaringan
fibrosis pada badan kaca dapat disebeabkan oleh retinopati diabetic
proliferative, vitreoretinopati proliferative, trauma mata dan perdarahan
pada bagian kaca akibat pembedahan atau infeksi.
Pathogenesis :
Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan
retina.
Gambaran Klinis :
Lepasnya jaringan retina terjadi akibat jaringan parut pada badan
kaca yang akan mengakibatkan ablasio retina dan penglihatan turun
tanpa rasa sakit.
 Ablasio Retina Eksudatif
Definisi :
Terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat dibawah retina
(subretina) dan mengangkat retina. Penimbunan cairan subretina terjadi
akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan koroid, misalnya
pada penyakit epitel pigmen retina dan koroid.
Pathogenesis :
Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruang
subretina akibat proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia
pada kehamilan.
Gambaran Klinis :
Penglihatan dapat berkurang dari ringan sampai berat. Ablasi ini
dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah penyebabnya
berkurang atau hilang
 Penatalaksanaan
 Non Bedah
Pada jenis ablasio retina eksudasi, dimana terapinya sesuai kausa
penyebab ablasio retina.
 Bedah :
1. Pendekatan konvensional (eksternal) : pada pendekatan eksternal
robekan ditutup dengan menekan sclera menggunakan pita plomb
silicon yang diletakkan eksternal. Ini menghilangkan traksi vitreus
pada lubang retina dan mendekatkan epitel pigmen retina pada retina.
2. Pembedahan vitreoretina (internal) : pada pendekatan internal vitreus
diangkat dengan pemotong bedah mikro khusus yang dimasukkan
kedalam rongga vitreus melalui pars plana, tindakan ini
menghilangkan traksi viterus pada robekan retina.
 Komplikasi
Penurunan ketajaman penglihatan dan kebutaan merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada ablasio retina. Penurunan
penglihatan terhadap gerakan tangan atau persepsi cahaya adalah
komplikasi yang sering dari ablasio retina jika melibatkan macula.
Komplikasi pembedahan pada ablasio retina akan menimbulkan perubahan
fibrotic pada vitreus (vitreoretinopati prolifertif, PVR), PVR dapat
menyebabkan traksi pada retina dan ablasi retina lebih lanjut.
 Prognosis
Terapi yang cepat akan mendapatkan prognosis yang lebih baik.
Perbaikan anatomis kadang tidak sejalan dengan perbaikan fungsi. Jika
macula melekat dan pembedahan berhasil melekatkan kembali retina
perifer, maka hasil penglihatan sangat baik. Jika macula lepas lebih dari 24
jam sebelum pembedahan, maka tajam penglihatan sebelumnya mungkin
tidak dapat pulih sepenuhnya. Jika retina tidak berhasil dilekatkan kembali
dan pembedahan mengalami komplikasi, maka dapat timbul perubahan
fibrotic pada vitreus.
Retinopati Diabetik
 Definisi :
Retinopati Diabetik adalah penyebab kebutaan tersering pada
kelompok usia 25-65 tahun.
 Etiologi :
Insidens sangat erat kaitannya dengan lamanya diabetes mellitus (85%
setelah 25 tahun) Mikroangiopati akan mengarah kepada sumbatan
pembuluh-pembuluh darah retina dan akan mengalami kebocoran.
 Epidimiologi :
Retinopati Diabetik merupakan penyulit terbesar dalam diabetes dan
prognosisnya kurang baik terutama bagi pengliahatan. Di Amerika Serikat
terapat kebutaan orang 5000 akibat Retinopati Diabetik.
 Patofisiologi :
Retinopati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular paling
sering pada DM. Lama menderita DM merupakan faktor risiko utama yang
berkaitan dengan perkembangan retinopati diabetik. Setelah lima tahun
menderita DM tipe 1, sekitar 25% pasien mengalami retinopati. Setelah 10
tahun hampir 60% menderita retinopati dan setelah 15 tahun 80% akan
menderita retinopati. Proliferatif retinopati diabetik (PRD) merupakan
bentuk retinopati yang sangat mengancam penglihatan dan biasanya
terdapat pada 25% pasien DM tipe 1 dengan durasi penyakit 15 tahun,
timbul pada 2% pasien dengan durasi DM kurang dari 5 tahun.

Mekanisme kelainan mikrovaskular pada retinopati diabetik sampai


saat ini belum jelas. Namun demikian diduga paparan hiperglikemia dalam
waktu yang lama mengakibatkan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang
dapat menyebabkan perubahan pada endotel vaskular. Perubahan vaskular
pada retina meliputi kehilangan perisit dan penebalan membrana
basalis.Sel perisit dan sel endotel dihubungkan oleh pori yang terdapat
pada membran sel yang terletak di antara keduanya. Dalam keadaan
normal, perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel retina adalah 1:1.
Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur kapiler, mengatur
kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barier, transportasi
kapiler, dan mengendalikan proliferasi endotel. Membrana basalis
berfungsi sebagai barir dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar
tidak terjadi kebocoran. Sel endotel saling berikatan erat satu dengan yang
lain dan bersama-sama dengan matriks ekstrasel dari membrana basalis
membentuk barir yang bersifat selektif terhadap berbagai jenis protein dan
molekul kecil. Perubahan histopatologis kapiler retina pada RD dimulai
dari penebalan membrana basalis, hilangnya perisit, dan proliferasi endotel
dimanapada keadaan lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel perisit
dapat mencapai 10:1.

Patofisiologi RD yang terjadi di kapiler yaitu, pembentukan


mikroaneurisma, peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan
kebocoran cairan dan plasma seperti lipoprotein dan makromolekul dari
mikrosirkulasi ke dalam ruang ekstraselular yang kemudian menyebabkan
pertambahan ketebalan makula retina. Pada keadaan ini garam dan air
dipompa ke luar dari retina ke koroid tetapi tidak disesrtai serum
lipoprotein sehingga hard exudat yang berasal dari lipoprotein menumpuk
di dalam retina.

Peningkatan permeabilitas kapiler retina ini bisa sampai 12 kali, tetapi


aktivitas pompa epitel pigmen hanya meningkat 2 kali, ketidakseimbangan
ini menimbulkan akumulasi cairan ekstraselular sehingga terjadi edema
makula diabetika
 Gambaran Klinis :
- Mikroaneurysma, merupakan penonjolan dinding kapiler, erutama
daerah vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang
terletakdekat pembuluh darah terutama polus posterior
- Perdarahan dalam bentuk garis, titik, dan bercak yang biasanya
terletak mikroaneurysma di dekat polus posterior.
- Dilatasi pembuluh darah balik dengan lumennya irregular dan
berkelok kelok.
- Hard exudates yang merupakan filtrasi lipid kedalam retina. Gambaran
khususnya yaitu irregular dan kekuning kunigan.
- Soft exudates yang sering disebut cotton wool patches merupakan
iskemia retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak
berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih.
- Pembuluh darah baru pada retina biasanya terletak dipermukan
jaringan neovaskularisasi terjadi akibat proliferasi sel endothel
pembuluh darah . tampak sebagai pembuluh darah yang berkelok-
kelok dalam kelompok-kelompok dan bentuknya irregular.
- Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah
macula sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan pasien.
 Penatalaksanaan :
Pengobatannya meliputi mengontrol diabetes mellitus dengan diet dan
obat-obat antidiabetes. Fotokoagulasi dilakukan pada daerah retina iskemik
dengan laser dan xenon.
 Prognosis :
Buruk pada penglihatan apalagi bila sudah ada ablation retina traksi
dan perdarahan corpus vitreus
8. Tindakan promotif dan preventif pasien buta mendadak.
1. Deteksi dini penyakit mata yang dapat diobati
Sejumlah penyakit mata primer hanya dapat disembuhkan pada stadium-
stadium awalnya atau diterapi secara lebih efektif pada masa-masa itu.
Deteksi penyakit-penyakit semacam ini dapat dilakukan dengan mengenali
gejala-gejala yang relevan atau mungkin memerlukan kewaspadaan tertentu
para petugas medis karena tidak ada gejalanya.
a. Degenerasi Makula Terkait –Usia
Penyakit ini memiliki dua bentuk utama yaitu : (1) degenerasi
atrofik(kering), terjadi degenerasi progresif retina bagian luar, epitel
pigmen retina, membrane Brunch, dan kariokapiler, dan (2) degenerasi
eksudatif(basah), terjadi kehilangan penglihatan secara mendadak akibat
kebocoran cairan serosa atau darah ke dalam retina, diikuti oleh
pembentukan neovaskular dibawah epitel pigmen retina(Membran
Neovaskular Subretina).
Fotokoagulasi laser pada membrane neovaskular subretina dan
terapi fotodinamik setelah pemberian verteporfin intravena terbukti
memperlambat onset penurunanpenglihatan sentral, tetapi hanya bila
membarn terletak cukup jauh dari fovea sehingga terapi dapat dikerjakan.
Tindakan bedah yang lebih radikal seperti translokasi macula dapat
menguntungkan beberapa pasien, tetapi terapi yang paling menjanjikan
adalah dengan pemberian inhibitor faktor pertumbuhan endotel vascular
(VEGF) secara intravitreal, seperti ranibizumab (Lucentis) dan
bevacizumab (Avastin). Keduanya harus diberikan melalui penyuntikan
intravitreal berulang. Pasien lansia yang mendadak mengalami kehilangan
penglihatan akibat penyakit macula-terutama skotoma atau distorsi
parasentral, dengan ketajamanpenglihatan sentral yang utuh- harus
menjalani pemeriksaan mata segera, termasuk angiografi fluorescens,
untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan terapi laser. Tidak ada terapi
efektif untuk degenerasi macula tipe atrofik, kecuali penggunaan alat
bantu penglihatan kurang.
b. Glaukoma Sudut-Terbuka Primer
Biasanya tidak timbul gejala sampai terjadi penurunan penglihatan
yang berat. Agar pengobatan efektif, penyakit ini harus dideteksi pada
stadium lebih dini. Cara terbaik mendeteksi glaucoma sudut terbuka
primer secara dini adalah penggunaan tonometry dan oftalmoskopi direk
pada diskus optikus semua pasien dewasa setiap 3 tahun sekali, dengan
rujukan ke dokter mata bagi mereka yang mengidap kelainan yang
relevan. Pada kasus-kasus pasien yang beresiko tinggi mengalami
glaucoma sudut terbuka primer, misalnya kerabat dekat pasien, penilaian
oftalmologik harus dilakukan setiap tahun.
2. Pencegahan kerusakan mata akibat penyakit sistemik
a. Retinopati diabetik
Tersedia pengobatan untuk mencegah kebutaan tersebut,tetapi
untuk hasil yang baik, terapi harus diberikan ssebelum terjadinya
penurunan penglihatan, yakni pengidap diabetes harus menjalani fundus
secara teratur dan dirujuk bila ada indikasi pengobatan. Kelainan utama
yang harus diketahui adalah terbentuknya neovaskular di diskus optikus
dan eksudat disekitar macula. Setiap pengidap diabetes yang mengalami
gangguan penglihatan harus dirujuk untuk menjalani pemeriksaan
oftalmologik.
b. Uveitis
Uveitis yang berkaitan dengan arthritis rheumatoid juvenilis
biasanya asimptomatik pada stadium awal dan sering tetap tidak
terdeteksi sampai terjadi penurunan penglihatan berat akibat glaucoma,
katarak, atau keratopati pita. Harus dilakukan skrining mata secara
teratur, terutama pada anak perempuan dengan onset pausiartikular dan
antibody antinukleus di dalam darahnya.
c. Xeroftalmia
Pengenalan dini dan pengobatan segera dapat mencegah
penurunan penglihatan atau kebutaan akibat infeksi sekunder dan perforasi
kornea. Pengobatan penyakit akut mungkin memerlukan pemberian
vitamin A dosis besar intramuscular yang diikuti oleh perbaikan diet dan
analisis yang cermat mengenai semua kemungkinan penyebab.
Referensi :Vaughan. Asbhury. Oftalmologi Umum, Ed 17. EGC. Hal 403-405

Anda mungkin juga menyukai