Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Spiritualitas diakui sebagai hal yang vital dalam organisasi ketika

terjadi pergeseran dari paradigma “values-based companies” atau perusahaan

nilai menuju paradigma “spiritualities-based organization” atau organisasi

spiritual (Mitroff, dan Alpaslan, 2008). Sebuah pergeseran akan kesadaran

manajer dan karyawan pada semua level organisasi mulai terjadi ketika

mereka mencari sesuatu yang lebih dari sebuah pekerjaan, yaitu berupa

makna, tujuan akhir, serta pemenuhan akan kebutuhan dalam pekerjaan

mereka (Fry, 2003 dan Fry, Vitucci, Steve dan Cedillo, 2005). Hal tersebut

membuktikan bahwa spiritualitas mendapatkan perhatian dalam dunia kerja,

bahkan yang lebih ideal adalah organisasi harus menaruh perhatian yang

serius terhadap spiritualitas (Rahmat, 2011). Spiritualitas adalah suatu

keadaan atau pengalaman yang dapat memberikan arah atau makna bagi

individu, memberikan perasaan memahami, semangat, dan keutuhan dalam

diri atau perasaan terhubung (Fry, 2003). Spiritualitas merupakan proses

dalam kehidupan individu, berupa makna dan tujuan, dan berdampak pada

individu lain, lingkungan dan organisasi.

Spiritualitas bukanlah suatu religi seperti Islam, Kristen, Yahudi, dan

Budha yang terorganisir tunggal dengan prinsip yang telah ditentukan seperti

dogma dan doktrin (Mitroff dan Alpaslan., 2008). Spiritualitas menekankan

proses dinamis hubungan manusia untuk menemukan potensi mereka, tujuan

1
akhir, dan keterikatan hubungan pribadi dengan makhluk lain maupun

dengan kekuatan yang lebih tinggi dengan cinta, kasih, toleransi, sabar,

pengampun, bertanggungjawab, dan harmonis. Dari perspektif ini dapat

disimpulkan bahwa spiritualitas diperlukan untuk agama tetapi agama tidak

diperlukan untuk spiritualitas (Fry, 2003).

Dalam masyarakat modern, tekanan dan kecemasan telah menjadi

norma kerja. Karyawan sering mengalami keterasingan antarindividu dan

kelelahan di tempat kerja (Widyarini, 2008). Fry (2003) mengungkapkan

bahwa perusahaan tidak akan dapat berkembang dalam norma kerja yang

menuntut karyawannya bekerja secara terus menerus demi keuntungan

perusahaan. Demi eksistensi perusahaan sering mengabaikan hak-hak dan

kebutuhan karyawan, sedangkan yang dibutuhkan oleh perusahaan sekarang

adalah norma kerja dengan spiritualitas di dalamnya (Fry et al. 2005).

Spiritualitas dibutuhkan karena merupakan proses dalam kehidupan

seseorang berupa makna dan tujuan hidup yang dapat berdampak pada

individu lain dan lingkungannya, termasuk organisasi (Reave, 2005).

Spiritualitas di tempat kerja tidak dapat diharapkan berkembang sendiri tanpa

adanya dukungan dari pimpinan. Dari sudut pandang spiritual, peran seorang

pemimpin adalah untuk memobilisasi kekuatan karyawan yang potensial dan

dapat memandunya untuk mencapai tujuan akhir mereka (Fry, 2003 dan Fry

et al., 2005). Oleh karena itu, wacana kepemimpinan spiritual menjadi

penting untuk dikemukakan.

2
Saat ini banyak orang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan

ekonomi dan status, bukan karena mencintai pekerjaannya dan menemukan

makna hidup melalui pekerjaannya (Widyarini, 2008). Menurut Fry (2003),

kepemimpinan spiritual merupakan kumpulan nilai-nilai, sikap, dan perilaku

yang diperlukan untuk memotivasi diri sendiri maupun orang lain secara

intrinsik, sehingga masing-masing memiliki perasaan survival yang bersifat

spiritual melalui kebermaknaan kerja dan keanggotaan. Ketika fungsi

motivasi intrinsik ini dapat bekerja dengan baik, maka setiap pegawai akan

terlibat dalam suatu organisasi yang pada akhirnya akan meningkatkan

kinerja organisasi (Fry, 2003 dan Fry et al., 2005). Kepemimpinan spiritual

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar psikologi karyawan seperti

kebermaknaan kerja dan keanggotaan, menciptakan penglihatan dan

konsistensi antara nilai-nilai lintas-organisasi yang diberdayakan individu dan

kelompok yang akhirnya dapat meningkatkan keuntungan, pertumbuhan, dan

kesejahteraan organisasi (Fry, 2003).

Penelitian mengenai isu kepemimpinan spiritual berkembang pesat

dalam studi organisasi dan dikaitkan dengan berbagai konteks dan variabel

studi organisasi lainnya. Pada tahun 2003 Fry menguji pengaruh

kepemimpinan spiritual pada kebermaknaan kerja dan keanggotaan serta

dampaknya pada produktivitas dan komitmen. Penelitian ini kemudian

mengispirasi dan menjadi dasar penelitian kepemimpinan spiritual.

Selanjutnya, Fry et al. (2005) meneliti kembali pengaruh kepemimpinan

spiritual yang berdampak pada tanggung jawab sosial perusahaan, etika, dan

3
spiritual well being. Hasilnya menunjukkan positif signifikan. Kemudian

pada tahun 2006 dan 2007 Matherly, Wittington, dan Fry melakukan

penelitian dengan hasil kepemimpinan spiritual berpengaruh positif pada

manajemen karir dan produktivitas kerja karyawan. Namun pada tahun 2012,

Chen, Yang, dan Li menambahkan konsep diri sebagai salah satu variabel

yang dapat dipengaruhi oleh kepemimpinan spiritual. Hasil penelitian Chen

et al. (2012) memperlihatkan bahwa kepemimpinan spiritual dapat

meningkatkan kebermaknaan kerja dan konsep diri.

Berbagai penelitian mengenai kepemimpinan spiritual banyak

mengulas mengenai pengaruhnya terhadap kebermaknaan kerja dan

keanggotaan (Fry, 2003; Fry et al., 2005; Fry dan Matherly, 2006 dan Chen

et al., 2012). Sedangkan penelitian atau kajian ilmiah yang mengungkapkan

pengaruh kepemimpinan pada konsep diri masih belum banyak (Chen et al.,

2012). Menurut Duchon dan Plowman (2005) konsep diri merupakan hal

yang baru bila dikaitkan dengan pembahasan kepemimpinan spiritual.

Sedangkan sejauh ini penelitian yang mengulas tentang hubungan

kepemimpinan spiritual dengan konsep diri adalah penelitain Chen et al.

(2012). Konsep diri dipilih karena variabel ini mampu menunjukkan bahwa

dalam sebuah hubungan di suatu organisasi, cara pemimpin mempengaruhi

bawahannya adalah melalui nilai-nilai dan identifikasi yang dimiliki bawahan

tersebut (Hogg, 2001). Kemampuan pemimpin untuk menginspirasi

karyawan dengan menggunakan berbagai teknik pembinaan yang menarik

dapat membangun konsep diri mereka pada orientasi prestasi. Usaha yang

4
dilakukan pemimpin yang meningkatkan konsep diri karyawan tersebut dapat

meningkatkan motivasi karyawan. Dampak motivasi yang ditunjukkan oleh

karyawan akan memberikan keuntungan yang signifikan bagi organisasi

(Castelli dan Brun, 2008).

Konsep diri yang dapat dipengaruhi oleh kepemimpinan spiritual

terdiri dari harga diri dan efikasi diri. Diuji dalam penelitian Chen et al.

(2012) bahwa kepemimpinan spiritual berpengaruh positif signifikan pada

konsep diri. Konsep diri yang dikemukakan oleh Chen et al. (2012) terdiri

dari harga diri dan efikasi diri. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa

variabel konsep diri dapat menjadi variabel konsekuen dari kepemimpinan

spiritual karena mampu mengungkapkan dukungan, rasa hormat, dan

kepedulian yang dimiliki seorang pemimpin dapat meningkatkan harga diri

dan efikasi diri bawahan. Minchinton (1995) menyatakan bahwa harga diri

adalah penilaian terhadap diri sendiri. Harga diri merupakan tolak ukur

sebagai seorang manusia berdasarkan pada kemampuan penerimaan diri dan

perilakunya. Efikasi diri merupakan keyakinan bahwa individu tersebut

mampu dan kompeten untuk mencapai sasaran tugas (Bandura, 1995).

Keduanya merupakan wujud konsep diri yang timbul karena adanya

dorongan dari dalam dirinya untuk lebih memaknai dan menghargai

pekerjaannya di luar dari tanggung jawabnya (Hoog, 2001). Penelitian

Castelli (2008) menunjukkan bahwa kemampuan seseorang untuk

mengidentifikasi dirinya dengan baik dapat meningkatkan kinerja organisasi

melalui perilaku kewargaan organisasional. Hal ini menunjukkan bahwa

5
harga diri dan efikasi diri merupakan variabel yang penting untuk diteliti bila

dikaitkan dengan kepemimpinan spiritual sekaligus sebagai variabel yang

dapat meningkatkan kinerja organisasi.

Kepemimpinan spiritual secara tidak langsung dapat berpengaruh

pada kinerja organisasi. Kepemimpinan spiritual dapat meningkatkan kinerja

organisasi dengan menggabungkan nilai-nilai dan perilaku-perilaku yang

dapat memotivasi batin karyawan untuk memaknai pekerjaan mereka serta

memberikan perhatian dan penghargaan atas hasil kerjanya (Fry, 2005).

Kepemimpinan spiritual mengacu pada pembentukan pembelajaran

organisasi melalui penggunaan motivasi intrinsik karyawan untuk mencapai

transformasi organisasi (Ashmos dan Duchon, 2000). Perilaku yang

ditunjukkan kepemimpinan spiritual menyebabkan karyawan merasa

berharga dan penting di dalam organisasi, sehingga mereka bersedia untuk

menunjukkan perilaku kewargaan organisasional (Chen dan Yang, 2012).

Seorang karyawan yang mengalami suatu perasaan terpanggil (sehubungan

dengan pekerjaan), memiliki makna dalam hidupnya, dan merasakan suatu

kebaikan dari pekerjaannya akan berusaha untuk dirinya sendiri dan

membantu pekerjaan rekannya secara suka rela dalam mengerjakan tugas

sehingga dapat meningkatkan kinerja organisasinya (Huang, 2002).

Hubungan antara harga diri, efikasi diri, kebermaknaan kerja,

keanggotaan dengan perilaku kewargaan organisasional dapat dijelaskan

dengan Teori Identitas dan Teori Kontrol Afek. Menurut Burke dan

Reitzes (1991), identitas adalah sebuah makna sosial yang seseorang

6
hubungkan dengan dirinya sendiri dalam sebuah peran. Identitas merupakan

sumber motivasi dari sebuah tindakan, khususnya tindakan yang

menghasilkan konfirmasi sosial atas sebuah identitas. Sedangkan Teori

Kontrol Afek menyatakan bahwa individu berperilaku sesuai dengan

kerangka identitasnya, mereka mencari pengalaman yang dapat

mengkonfirmasi keyakinan atas identitas mereka dan terlibat dalam tindakan

yang sesuai. Burke dan Reitzes (1991) menyebutkan bahwa, seseorang yang

mengetahui kemampuan dan batasan diri dalam menyelesaikan suatu

pekerjaan maupun permasalahan yang sedang dihadapinya sebagai identitas

diri, akan termotivasi untuk dapat melakukan peran lebih pada organisasinya.

Begitu pula ketika seorang karyawan yang dapat memaknai pekerjaannya

sehingga membuat kehidupannya dapat berubah akan secara suka rela

membantu orang lain menyelesaikan tugasnya demi kemajuan organisasi.

Teori Identitas dan Teori Kontrol Afek dapat menjelaskan bahwa seorang

karyawan yang memiliki identitas sebagai bagian dari suatu komunitas atau

organisasi dapat memperkuat keinginan untuk membangun organisasi dengan

meningkatkan kinerja organisasi (Burke dan Reitzen, 1991). Dengan konsep

identitas individual dan identitas sosial maka harga diri dan efikasi diri

menjadi penting untuk diuji keterkaitannya terhadap kepemimpinan spiritual

dan perilaku kewargaan organisasional.

Berkaitan dengan kepemimpinan spiritual, PKO (Perilaku Kewargaan

Organisasional) merupakan variabel yang penting untuk diteliti. Menurut

Chen dan Yang (2012) perilaku kewargaan organisasional menjadi salah satu

7
output yang dapat dijadikan tolak ukur sebuah perusahaan untuk mengetahui

kinerja karyawan sekaligus hubungan antar karyawan dengan rekan dan

organisasinya. Namun penelitian Chen dan Yang (2012) hanya menggunakan

dua dimensi (conscientiousness dan altruism) dari lima dimensi PKO

(altruism, courtesy, conscientiousness, sportsmanship, dan civic virtue) yang

diperkenalkan oleh Organ (1988).

Organ (1988) mengatakan bahwa perilaku kewargaan organisasional

dibangun dari lima dimensi yang masing-masing bersifat unik. Kelima

dimensi tersebut memiliki konten yang berbeda sehingga bila disatukan akan

menggambarkan variabel perilaku kewargaan organisasional dengan baik.

Namun penelitian terbaru dari Harper (2015) menyatakan bahwa generalisasi

PKO menjadi kurang baik untuk menggambarkan perilaku yang

sesungguhnya ditunjukkan oleh karyawan karena tidak spesifik. Lebih lanjut

Harper (2015) menegaskan kerangka perilaku kewargaan organisasional yang

lebih baru dan lengkap dikelompokkan berdasarkan target atau arah perilaku

yang sudah mulai diperkenalkan oleh Williams dan Anderson pada tahun

1991. Kerangka yang baru ini menggunakan kelima dimensi untuk melihat

PKO karyawan dengan mengelompokkan dalam dua kategori besar (Harper,

2015). Pertama adalah perilaku kewargaan organisasional yang ditujukan

untuk menguntungkan organisasi yaitu PKO-O (Perilaku Kewargaan

Organisasional-Organisasi) yang terdiri dari concientiousness, civic virtue,

dan sportsmanship yaitu perilaku yang bermanfaat bagi organisasi pada

umumnya. Kedua adalah perilaku kewargaan organisasional yang

8
dimaksudkan untuk menguntungkan individu lain yaitu PKO-I (Perilaku

Kewargaan Organisasional-Individu) yang terdiri dari altruism dan courtesy

merupakan perilaku yang yang secara langsung bermanfaat bagi individu itu

sendiri dan secara tidak langsung juga bermanfaat bagi organisasi (Harper,

2015).

Penggunaan PKO-I dan PKO-O merujuk pada penelitian Huang

(2002) yang menerangkan bahwa PKO dapat dikelompokkan berdasarkan

dengan tujuan ataupun arah perilakunya. Perilaku seseorang dapat

ditunjukkan untuk pribadi seseorang atau secara individu dengan kesadaran

membantu rekan kerjanya di dalam perusahaan. Kemudian perilaku

seseorang dapat ditujukan untuk organisasinya dengan secara sadar ikut

terlibat dan berpartisipasi untuk organisasinya. Selain itu, Harper (2015) juga

menegaskan bahwa dalam kontribusinya terhadap keefektifan organisasi,

seorang karyawan tidak hanya menunjukkan perilaku membantu rekan

kerjanya, tetapi juga memperlihatkan perilakunya saat berkontribusi pada

kegiatan perusahaan.

Dalam konteks di Indonesia, Tobroni (2010) menyatakan bahwa di

Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan. Di tengah krisis

kepemimpinan di suatu negara tersebut biasanya akan memunculkan gaya

kepemimpinan spiritual karena melalui kepemimpinan spiritual, suatu budaya

organisasi yang berdasarkan altruistic love (tanpa pamrih) akan terbentuk

(Tobroni, 2010). Namun demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa

kinerja organisasi dan keuntungan finansial berbagai perusahaan di Indonesia

9
sering dikejar melalui praktik-praktik kepemimpinan yang tidak etis,

mengorbankan kesejahteraan tenaga kerja, menimbulkan kerugian bagi

masyarakat, dan merusak lingkungan. Hal ini mungkin terkait dengan

kecenderungan di Indonesia yang lebih mementingkan nilai-nilai material

daripada nilai-nilai spiritual sehingga mengesampingkan tujuan akhir

seseorang bekerja (Soekanto, 2002 dalam Widyarini, 2008). Guna mengatasi

permasalahan tersebut sangat dimungkinkan bahwa peran kepemimpinan

spiritual dibutuhkan untuk dapat meningkatkan kinerja organisasi.

Penelitian mengenai kepemimpinan spiritual yang berkaitan dengan

konsep diri, kebermaknaan kerja, keanggotaaan, dan PKO masih belum

dijumpai di wilayah Asia Tenggara. Penelitian terbaru oleh Chen et al. (2012)

dan Chen dan Yang (2012) dilakukan di China dan Taiwan, sedangkan

banyak penelitian yang dilakukan di benua Amerika dan Eropa (Fry, 2003;

Fry et al., 2005; Fry et al., 2007). Perbedaan konteks tersebut memungkinkan

hasil yang berbeda mengingat terdapat perbedaan budaya dan norma kerja di

setiap negara.

Berdasarkan literatur dan bukti empiris yang ada penulis ingin

melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kepemimpinan spiritual dan

pengaruhnya terhadap konsep diri, kebermaknaan kerja, keanggotaan, serta

dampaknya pada perilaku kewargaan organisasional karyawan.

1.2. Rumusan Masalah

Salah satu topik kepemimpinan yang mendapat perhatian cukup besar

dalam kajian manajemen dan keperilakuan saat ini adalah kepemimpinan

10
spiritual. Dalam penelitian ini rumusan masalah terbagi menjadi beberapa

hal. Pertama, pengaruh kepemimpinan spiritual pada konsep diri,

kebermaknaan kerja dan keanggotaan masih membutuhkan tambahan

dukungan riset empiris, karena masih terbatasnya studi serupa terkait hal

yang sama yang kredibel sejauh ini hanya penelitian Chen et al., (2012).

Kedua, berdasarkan dukungan empiris dan teoritis yang ada, peneliti

juga tertarik untuk menguji pengaruh harga diri, efikasi diri, kebermaknaan

kerja, keanggotaan, dan PKO. Variabel yang dapat dipengaruhi langsung oleh

kepemimpinan spiritual, selain kebermaknaan kerja dan keanggotaan (Fry,

2003) adalah harga diri dan efikasi diri (Chen et al., 2012). Selanjutnya,

harga diri dan efikasi diri adalah variabel yang mungkin akan berpengaruh

langsung pada PKO (Duchon dan Plowman, 2005).

Ketiga, pada penelitian terdahulu oleh Chen dan Yang (2012),

pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap PKO hanya menggunakan

altruism dan concentiousness. Setelah melihat hasil penelitiannya ternyata

kedua dimensi tersebut belum sempurna mereperesentasikan variabel PKO

seperti yang diungkapkannya pada keterbatasan penelitiannya.

Menindaklanjuti saran penelitian maka penelitian ini akan menguji kelima

dimensi perilaku kewargaan organisasional yang telah dikategorikan oleh

Harper (2015) menjadi perilaku kewargaan organisasional-individu (PKO-I)

dan perilaku kewargaan organisasional-organisasi (PKO-O).

Alasan terakhir, masih terbatasnya studi mengenai kepemimpinan

spiritual di wilayah Asia Tenggara, terutama di konteks Indonesia yang

11
sedang mengalami krisis kepemimpinan menjadi salah satu alasan peneliti

tertarik melakukan penelitian tentang isu ini.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Apakah kepemimpinan spiritual berpengaruh positif pada konsep diri

karyawan?

a. Apakah kepemimpinan spiritual berpengaruh positif pada harga diri

karyawan?

b. Apakah kepemimpinan spiritual berpengaruh positif pada efikasi diri

karyawan?

2. Apakah kepemimpinan spiritual berpengaruh positif pada kebermaknaan

kerja karyawan?

3. Apakah kepemimpinan spiritual berpengaruh positif pada keanggotaan

karyawan?

4. Apakah konsep diri berpengaruh positif pada PKO-I ?

5. Apakah kebermaknaan kerja berpengaruh positif pada PKO?

a. Apakah kebermaknaan kerja berpengaruh positif pada PKO-I?

b. Apakah kebermaknaan kerja berpengaruh positif pada PKO-O?

6. Apakah keanggotaan berpengaruh positif pada PKO-O?

1.4. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis pengaruh positif kepemimpinan spiritual pada konsep diri

karyawan.

12
a. Menganalisis pengaruh positif kepemimpinan spiritual pada harga diri

karyawan.

b. Menganalisis pengaruh positif kepemimpinan spiritual pada efikasi

diri karyawan.

2. Menganalisis pengaruh positif kepemimpinan spiritual pada

kebermaknaan kerja karyawan.

3. Menganalisis pengaruh positif kepemimpinan spiritual pada keanggotaan

karyawan.

4. Menganalisis pengaruh positif konsep diri pada PKO-I.

5. Menganalisis pengaruh positif kebermaknaan kerja pada PKO.

a. Menganalisis pengaruh positif kebermaknaan kerja pada PKO-I.

b. Menganalisis pengaruh positif kebermaknaan kerja pada PKO-O.

6. Menganalisis pengaruh positif keanggotaan pada PKO-O.

1.5. Kontribusi Penelitian

Kontribusi yang diharapkan dapat diberikan penelitian ini adalah:

1. Kontribusi Empiris

Memberikan tambahan bukti empiris untuk memperkuat konsep

dan teori mengenai kepemimpinan spiritual khususnya dalam mengetahui

pengaruhnya pada harga diri, efikasi diri, kebermaknaan kerja,

keanggotaaan dan dampaknya pada PKO.

2. Kontribusi Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi

dan pemikiran bagi praktisi untuk menjadi bahan pertimbangan bagaimana

13
meningkatkan keefektifan dan kinerja organisasi melalui PKO karyawan,

dengan dukungan kepemimpinan spiritual serta harga diri, efikasi diri,

kebermaknaan kerja dan keanggotaaan karyawan.

14

Anda mungkin juga menyukai