Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis dari berbagai keadaan

psikopatologis yang sangat mengganggu yang melibatkan proses pikir, emosi,

persepsi, dan tingkah laku. Keadaan afeksi atau mood yang berarti adanya suatu

corak perasaan yang sifatnya menetap (konstan) dan biasanya berlangsung untuk

waktu yang lama.

Statistik umum gangguan ini yaitu kira‐kira 0,2% di Amerika Serikat dari

populasi umum dan sampai sebanyak 9% orang dirawat di rumah sakit karena

gangguan ini. Di Indonesia sendiri kasus skizoafektif belum dapat diprediksikan.

Selain itu, skizoafektif merupakan 2 penyakit kejiwaan kronis yang dapat

berdampak buruk bagi pasien itu sendiri. Salah satu dampak terburuk dari

gangguan ini adalah bunuh diri. Hal ini turut menyumbang tingginya angka bunuh

diri yang ada di dunia. Menurut data WHO (2015) pada tahun 2012, kasus

terjadinya bunuh diri yang terjadi di dunia bisa mencapai lebih dari 800.000 per

tahun atau 40 kematian per detiknya.

Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala‐gejala

definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif bersama‐ sama menonjol pada

saat yang bersamaan, atau dalam beberapa hari sesudah yang lain, dalam episode

yang sama. Sebagian diantara pasien gangguan skizoafektif mengalami episode

skizoafektif berulang, baik yang tipe manik, depresif, maupun campuran

keduanya. Gejala yang khas pada pasien skizofrenik berupa waham, halusinasi,

perubahan dalam berpikir, perubahan dalam persepsi disertai dengan gejala

1
gangguan suasana perasaan baik itu manik maupun depresif. Onset biasanya akut,

perilaku sangat terganggu, namun penyembuhan secara sempurna dalam beberapa

minggu.

Beberapa data menunjukkan bahwa gangguan skizofrenia dan gangguan

afektif mungkin berhubungan secara genetik. Ada peningkatan resiko terjadinya

gangguan skizofrenia diantara keluarga dengan gangguan skizoafektif.

1.2 TUJUAN
a. Tujuan Umum
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk melengkapi syarat kepaniteraan
klinik senior (KKS) bagian jiwa di Rumah Sakit Jiwa Prof. HB Sa’anin.

b. Tujuan Khusus

Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Skizoafektif tipe depresi


mulai dari definisi sampai ke penatalaksanaan.

1.3 MANFAAT

a. Bagi Penulis

Sebagai bahan acuan dalam mempelajari, memahami dan


mengembangkan teori mengenai Skizoafektif tipe depresi.

b. Bagi Institusi pendidikan

Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi


kegiatan yang ada kaitannya dengan pelayanan kesehatan, khususnya
yang berkaitan dengan Skizoafektif tipe depresi.

c. Bagi masyarakat

Dapat menambah ilmu pengetahuan terhadap penyakit beserta


pencegahan dan pengobatan Skizoafektif tipe depresi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Skizoafektif merupakan suatu gangguan psikotik dengan gejala-gejala

skizofrenia dan defresif yang sama-sama menonjol dalam satu episode penyakit

yang sama. Gejala-gejala afektif diantaranya yaitu afek depresif, kehilangan minat

dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan

mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja), dan menurunnya

aktivitas. Gejala lainnya yaitu konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan

kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna,

pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan

membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang.

Gejala skizofrenia juga harus ada antara lain merasa pikirannya disiarkan

atau diganggu, ada kekuatan yang sedang berusaha mengendalikannya,

mendengar suara-suara yang beraneka ragam. Onset yang tiba tiba pada masa

remaja, terdapat stresoryang jelas serta riwayat keluarga berpeluang untuk

menderita gangguan skizoafektif. Prevalensi lebih banyak pada wanita.

Berdasarkan nationalcomorbidity study, didapatkan bahwa, 66 orang yang di

diagnose skizofrenia, 81 % pernah di diagnosa gangguan afektif yang terdiri dari

59 % depresi dan 22 % gangguan bipolar.

Skizofrenia

Gejala klinis berdasarkan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan

jiwa (PPDGJ-III):4

3
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):

a) - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema

dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya

sama, namun kualitasnya berbeda ; atau

- “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan luar masuk ke

dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh

sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan

- “thought broadcasting”= isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain

atau umum mengetahuinya;

b) - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar; atau

- “delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan

pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas

merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan,

atau penginderaan khusus)

- “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang

bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

c) Halusinasi Auditorik:

- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap

perilaku pasien, atau

- Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara

berbagai suara yang berbicara), atau

- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

4
d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal

keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di

atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau

berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain)

Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:

e) Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik

oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa

kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan

(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama

berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;

f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan

(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak

relevan, atau neologisme;

g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi

tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,

dan stupor;

h) Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan

respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya

kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak

disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun

waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik

5
(prodromal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam

mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal

behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak

berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude) dan

penarikan diri secara sosial.5

2.2. Epidemiologi Skizoafektif

Prevalensi seumur hidup pada gangguan skizoafektif kurang dari 1%,

berkisar antara 0,5%-0,8%. Tetapi, gambaran tersebut masih merupakan

perkiraan. Gangguan skizoafektif tipe depresif lebih sering terjadi pada orang tua

dibanding anak muda. Prevalensi gangguan tersebut dilaporkan perempuan lebih

tinggi dibandingkan laki-laki, terutama perempuan yang sudah menikah. Usia

awitan perempuan lebih sering dibandingkan laki-laki, seperti pada skizofrenia.

Laki-laki dengan gangguan skizoafektif mungkin memperlihatkan perilaku

antisosial dan mempunyai afek tumpul yang nyata atau tidak sesuai. National

Comorbidity Study menyatakan dari 66 orang dengan diagnosa skizofrenia, 81%

pernah didiagnosis gangguan afektif yang terdiri dari 59% depresi dan 22%

gangguan bipolar.1

2.3. Etiologi Skizoafektif

Penyebab dari skizoafektif sulit dilakukan. Dugaan saat ini bahwa gangguan

skizoafektif mungkin mirip dengan etiologi skizofrenia. Oleh karena itu etiologi

mengenai gangguan skizoafektif juga mencakup kausa genetik dan lingkungan.

Penelitian yang dilakukan untuk menggali kemungkinan-kemungkinan

tersebut telah memeriksa riwayat keluarga, petanda biologis, respon pengobtanan

jangka pendek, dan hasil akhir jangka panjang.3

6
2.4. Patofisiologi Skizoafektif

Mekanisme terjadinya skizoafektif belum diketahui apakah merupakan

suatu patologi yang terpisah dari skizofrenia dan gangguan mood atau merupakan

gabungan dari keduanya yang terjadi secara bersamaan. Jika merujuk pada

kemungkinan kedua, maka telah diketahui neurobiologi baik fungsional ataupun

struktural yang terlibat dalam gangguan ini.2

2.5. Manifestasi Klinis Skizoafektif

Pada gangguan skizoafektif gejala klinis berupa gangguan episodik gejala

gangguan mood maupun gejala skizofreniknya menonjol dalam episode penyakit

yang sama, baik secara simultan atau secara bergantian dalam beberapa hari.2

Bila gejala skizofrenik dan depresi menonjol pada episode penyakit yang sama,

gangguan disebut gangguan skizoafektif tipe depresi.2

Gejala yang khas pada pasien skizofrenik berupa waham, halusinasi,

perubahan dalam berpikir, perubahan dalam persepsi disertai dengan gejala

gangguan suasana perasaan baik itu manik maupun depresif.2,3

Gejala episode depresi pada derajat ringan, sedang, berat :

Gejala Mayor :

 Afek Depresi

 Kehilangan minat dan kegembiran

 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah,

dan menurunnya aktivitas.

Gejala Minor :

 Konsentrasi dan perhatiannya berkurang

 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

7
 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

 Pandangan tentang masa depan yang suram dan pesimistis

 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

 Tidur terganggu

 Nafsu makan berkurang

Untuk episode depresi dari ketiga kriteria mayor tersebut diperlukan waktu

sekurang kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode

lebih pendek dapat dibenarkan jika gejalan luar biasa dan berlangsung cepat.

Klasifikasi Episode Depresi

1. Episode Depresi Ringan

a. Minimal 2 dari 3 gejala kriteria Mayor

b. Minimal 2 dari 7 gejala kriteria Minor

c. Tidak ada gejala yang berat diantaranya

d. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang kurangnya 2

minggu

e. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang

biasa dilakukan

2. Episode Depresi Sedang

a. Minimal 2 dari 3 gelaja kriteria mayor

b. Minimal 3 dari 7 gejala kriteria minor

c. Lamanya berlangsung minimal 2 minggu

d. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,

urusan rumah tangga.

3. Episode Depresi Berat tanpa gejala psikotik

8
a. Semua gejala mayor harus ada

b. Minimal 4 dari 7 gejala kriteria minor

c. Bila ada gejala penting (agitasi atau retardasi psikomotor yang

mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu

untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci.

d. Biasanya harus berlangsung minimal 2 minggu akan tetapi jika

gejala amat berat dan onset sangat cepat, maka dibenarkan untuk

menegakan diagnosis dalam kurun waktu 2 minggu.

e. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan

sosial, pekerjaan rumah tangga kecuali pada taraf yang sangat

terbatas.

4. Episode Depresi dengan gejala Psikotik

a. Pada episode ini di sertai gejala waham, halusinasi, stupor depresi.

Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan,

malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa bertanggung

jawab akan hal itu, halusinasi auditorik biasanya berupa suara yang

menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.

b. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor jika

diperlukan waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi

atau tidak serasi dengan afek (mood-cangruent)

2.6. Diagnosis

Konsep gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostik baik

skizofrenia maupun gangguan mood, beberapa evolusi dalam kriteria diagnostik

9
untuk gangguan skizoafektif (Tabel 1) mencerminkan perubahan yang telah

terjadi di dalam kriteria diagnosis untuk kedua kondisi lain.

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif (DSM-V)5

A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama mana, pada suatu waktu.

Terdapat baik episode depresif berat, episode manik, atau suatu episode

campuran dengan gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia.

Catatan : Episode depresi berat harus termasuk kriteria A1: mood terdepresi

B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau halusinasi selama

sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala mood yang menonjol.

C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode ditemukan untuk sebagian

bermakna dari lama total periode aktif dan residual dari penyakit..

D. Gangguan bukan kareka efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya

obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum

Pada PPDGJ-III, gangguan skizoafektif diberikan kategori yang terpisah

karena cukup sering dijumpai sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Kondisi-

kondisi lain dengan gejala-gejala afektif saling bertumpang tindih dengan atau

membentuk sebagian penyakit skizoafektif yang sudah ada, atau dimana gejala-

gejala itu berada bersama-sama atau secara bergantian dengan gangguan-

gangguan waham menetap jenis lain, diklasifikasikan dalam kategori yang sesuali

dalam F20-F29. Waham atau halusinasi yang tak serasi dengan suasana perasaan

(mood) pada gangguan afektif tidak dengan sendirinya menyokong diagnosis

gangguan skizoafektif.4

10
Pedoman Diagnostik Gangguan Skizoafektif berdasarkan PPDGJ-III4

 Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitive

adanya skizofrenia dan gangguan skizofrenia dan gangguan afektif sama-

sama menonjol pada saat yang bersamaan (stimultaneously), atau dalam

beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang

sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak

memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif.

 Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gelaja skizofrenia

dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.

 Bila seseorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah

mengalami suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F.20.4 (Depresi

Pasca-skizofrenia).

 Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoefektif berulang, baik

berjenis manik (F25.0) maupun depresif (F.25.1) atau campuran dari

keduanya (F.25.2). pasien lain mengalami satu atau dua episode manik atau

depresi (F30-F33).

2.7. Diagnosis Banding

Semua kondisi yang dituliskan di dalam diagnosis banding skizofrenia dan

gangguan mood perlu dipertimbangkan di dalam diagnosis banding gangguan

skizoafektif. Pasien yang diobati dengan steroid, penyalahgunaan amfetamin dan

phencyclidine (PCP), dan beberapa pasien dengan epilepsi lobus temporalis secara

khusus kemungkinan datang dengan gejala skizofrenik dan gangguan mood yang

bersama-sama. Diagnosis banding psikiatrik juga termasuk semua kemungkinan

yang biasanya dipertimbangkan untuk skizofrenia dan gangguan mood. Di dalam

11
praktik klinis, psikosis pada saat datang mungkin mengganggu deteksi gejala

gangguan mood pada masa tersebut atau masa lalu. Dengan demikian, klinisi

boleh menunda diagnosis psikiatrik akhir sampai gejala psikosis yang paling akut

telah terkendali.1,4

2.8. Tatalaksana Skizoafektif6

a. Psikofarmaka

Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah perawatan di

rumah sakit, medikasi, dan intervensi psikososial. Prinsip dasar yang mendasari

farmakoterapi untuk gangguan skizoafektif adalah bahwa protokol antidepresan

dan antimanik diikuti jika semuanya diindikasikan dan bahwa antipsikotik

digunakan hanya jika diperlukan untuk pengendalian jangka pendek. Jika protokol

thymoleptic tidak efektif di dalam mengendalikan gejala atas dasar berkelanjutan,

medikasi antipsikotik dapat diindikasikan. Pada kondisi depresif selain diberikan

risperidon 2 mg/hari, diberikan juga antidepresan golongan SSRI (Selective

Serotonin Reuptake Inhibitor), yakni fluoxetine 10 mg/hari. Selain itu pasien

sindrom ekstrapiramidal yang ada, harus ditangani dengan pemberian

antikolinergik, yakni triheksilfenidil 2 mg sehari.6

Farmakoterapi pada fase akut gangguan skizoafektif melibatkan terutama

antipsikotik dan sekunder antidepresan obat. Namun, untuk mencapai efek yang

optimal, pasien dengan gangguan schizoafektif, jenis depresi, membutuhkan

bertarget terapi farmakologis yang bertujuan untuk meningkatkan skizofrenia

serta komponen afektif penyakit. Risperidon sekarang umum digunakan sebagai

obat antipsikotik atipikal dan memiliki afinitas tinggi untuk dopamin-D2 dan

reseptor 5-HT2. Hal ini disetujui oleh Food and Drug Administration untuk

12
pengobatan gangguan psikotik. Komplikasi ekstrapiramidal dari risperidone

kurang dari dengan antipsikotik khas.8

Mekanisme kerja fluoxetin yang mendasari tidak sepenuhnya dipahami.

Awalnya itu berpikir bahwa berefek dengan suasana hati, SSRI menstabilkan

dengan menigkatan konsentrasi 5-hidroksitriptamin (5-HT). Selain itu, juga

mengaktivasi 5-HT1 dan 5-HT7 reseptor menyebabkan vasodilasi, pengaktifan 5-

HT2 reseptor serotonin pada sel otot polos juga bisa meningkatkan vasokonstriksi.

Fluoxetin mengurangi konduktansi beberapa zat seperti Na+ dan K+ saluran

dalam jaringan yang berbeda dan menghambat nicotinic otot reseptor

acetylcholine. Sebenarnya pemeberian fluoxetine sudah tepat, tetapi untuk

menghindari efek samping obat dan aman bagi pasien direkomendasikan SSRI

yang lain yakni Sertraline. Sertralin memiliki efek samping yang sangat minimal

jika dibandingkan dengan fluoxetin. Namun obat ini tergolong mahal.8

b. Psikoterapi

Selain psikofarmaka, psikoterapi dan edukasi juga sangat diperlukan.

Menurut penelitian pengobatan hanya dengan obat tidak cukup untuk kesembuhan

pasien, tetapi juga harus diiringi oleh lingkungan keluarga yang mendukung dan

sikap pasien terhadap penyakit yang diderita.

Karena pengobatan yang konsisten penting untuk hasil terbaik, psiko-

edukasi pada penderita dan keluarga, serta menggunakan obat long acting bisa

menjadi bagian penting dari pengobatan pada gangguan skizoafektif.7

2.9. Prognosis Skizoefektif1

Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai

prognosis di pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia dan

13
prognosis pasien dengan gangguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan

gangguan skizoafektif memiliki prognosis yang jauh lebih buruk daripada pasien

dengan gangguan depresif, memiliki prognosis yang lebih buruk daripada pasien

dengan gangguan bipolar, dan memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien

dengan skizofrenia. Generalisasi tersebut telah didukung oleh beberapa penelitian

yang mengikuti pasien selama dua sampai lima tahun setelah episode yang

ditunjuk dan yang menilai fungsi sosial dan pekerjaan, dan juga perjalanan

gangguan itu sendiri.

Data menyatakan bahwa pasien dengan gangguan skizoafketif, tipe

bipolar, mempunyai prognosis yang mirip dengan prognosis pasien dengan

gangguan bipolar dan bahwa pasien dengan premorbid yang buruk; onset yang

perlahan-lahan; tidak ada faktor pencetus; menonjolnya gejala psikotik,

khususnya gejala defisit atau gejala negatif; onset yang awal; perjalanan yang

tidak mengalami remisi; dan riwayat keluarga adanya skizofrenia. Lawan dari

masing-masing karakeristik tersebut mengarah pada hasil akhir yang baik. Adanya

atau tidak adanya gejala urutan pertama dari Schneider tampaknya tidak

meramalkan perjalanan penyakit.

14
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

KETERANGAN PRIBADI PASIEN

Nama (inisial) : Tn. Rudianto

MR : 030949

Jenis kelamin : Laki Laki

Tempat & tanggal lahir/ Umur : Agam, 20-01-1964 / 55 tahun

Status perkawinan : Cerai hidup

Kewarganegaraan : Indonesia

Suku bangsa : Minangkabau

Negeri Asal : Agam Bukittingi

Agama : Islam

Pendidikan : tamat SD

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Jl. Aia Kaciak. KEL.Kubang putih

KEC.Banuhampu Agam Bukittinggi

II. RIWAYAT PSIKIATRI

1. Keluhan Utama

Merasa bingung dan gelisah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.

2. Riwayat Gangguan Sekarang

Pasien membuang buang rokok tanpa sebab

Pasien merasa takut takut dan menangis-nangis

15
Pasien berjalan mondar mandir tak jelas

Pasien diketahui juga tidak minum obat 3 hari sebelum masuk rumah sakit

Pasien merasa dirinya tidak sakit

Pasien tidak ingin makan

Riwayat Penyakit Sebelumnya

a. Riwayat Gangguan Psikiatri

Pasien sakit sejak tahun 2013 dan sudah

b. Riwayat Gangguan Medis

Tidak ada

c. Riwayat Penggunaan NAPZA

 Pasien tidak pernah mengonsumsi narkoba, merokok, dan

minum alkohol.

d. Riwayat Penggunaan Obat

Pasien mengaku sudah putus obat kurang lebih 3 hari sebelum masuk

rumah sakit

e. Riwayat Alergi

Pasien tidak memliki alergi terhadap obat

3. Riwayat Kehidupan Pribadi

a) Riwayat Prenatal dan Perinatal

Pasien lahir normal dan cukup bulan

b) Riwayat Masa Kanak Awal (0-3 tahun)

16
Pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan anak seusianya

c) Riwayat Masa Kanak Pertengahan (4-11 tahun)

Pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan anak seusianya

d) Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja

Pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan anak seusianya . pasien

orangnya suka berteman dan supel, namun pasien sering marah dan emosi

nya labil.

e) Masa Dewasa

I. Riwayat Pendidikan

SD

II. Riwayat Pekerjaan

Pedagang kaki lima

III. Riwayat Perkawinan

Sudah cerai hidup

IV. Agama

Islam

V. Aktivitas sosial

Pasien kepribadian baik

VI. Situasi Kehidupan Sekarang

Pasien tinggal bersama orangtua dan berniat untuk hidup lebih baik

VII. Riwayat Hukum

Pasien tidak berurusan dengan hukum dan pihak berwenang

VIII. Riwayat Psikoseksual

17
Pasien hamil diluar nikah.

IX. Riwayat Keluarga

Skema Pedegree

Pasien

Keterangan : : Pria : Pasien

: Wanita : meninggal

: mengalami gangguan jiwa juga

X. Persepsi Pasien Tentang Dirinya dan Kehidupan nya.

Pasien merasa kehidupannya pahit, ada suka dan duka nya juga

XI. Persepsi Keluarga Tentang Diri dan Kehidupan nya.

18
Pasien merasa keluarga tidak sayang sama dirinya

XII. Impian, Fantasi dan Nilai-Nilai

Pasien bercita-cita ingin bekerja menjadi marketing.

IV. Status Mental

a. Deskripsi umum

- Penampilan : Rapi, sesuai gender dan usia

- Psikomotor : cukup tenang

- Sikap terhadap pemeriksa : cukup kooperatif

b. Mood dan afek

- Mood : disforik

- Afek : terbatas

- Keserasian : Koheren

c. Pembicaraan : Spontan dan jelas

d. Gangguan Persepsi : Halusinasi Auditorik (+)

e. Pikiran

Proses dan bentuk pikir : Koheren

Isi pikir : Waham Kejar, Waham Rujukan.

f. Sensorium dan kognisi

- Kesadaran : Composmentis

- Orientasi

 Waktu : Baik

 Tempat : Baik

 Orang : Baik

- Daya ingat

19
 Daya ingat jangka panjang : Baik

 Daya ingat jangka sedang : Baik

 Daya ingat jangka pendek : Baik

 Daya ingat segera : Baik

- Konsentrasi dan perhatian : Baik

- Kemampuan membaca dan menulis : Baik

- Kemampuan visuospasial : Baik

- Pikiran abstrak : Baik

- Intelegensia dan kemampuan informasi : Baik

g. Kemampuan pengendalian impuls : Baik

h. Daya nilai dan tilikan

- Daya nilai sosial dan uji daya nilai : Baik

- Penilaian realita : Terganggu

- Tilikan :3

i. Taraf dapat dipercaya : Dapat

III. STATUS INTERNUS

 Keadaan Umum : sakit sedang

 Kesadaran : CMC

 Tekanan Darah : 110/80 mmHg

 Nadi : 88x/menit

 Nafas : 19x/menit

 Suhu : 36,7 C

 Tinggi Badan : 160 cm

 Berat Badan : 63 kg

20
 Status Gizi : Normoweight

 Sistem Kardiovaskuler : Dalam batas normal

 Sistem Respiratorik : Dalam batas normal

 Kelainan Khusus : Tidak ditemukan

IV. STATUS NEUROLOGIKUS

GCS : E4M6V5

Tanda ransangan Meningeal : tidak ada

Tanda-tanda efek samping piramidal :

 Tremor tangan : tidak ada

 Akatisia : tidak ada

 Bradikinesia : tidak ada

 Cara berjalan : biasa

 Keseimbangan : tidak ada

 Rigiditas : tidak ada

 Kekuatan motorik : baik

 Sensorik : baik

 Refleks :bisep (++/++), trisep(++/++), archiles(++/++),

patella ((++/++)

V. Pemeriksaan Laboratorium dan diagnostik khusus lainnya

 Rutin :

Hemoglobin : 12,70 g/dl

Hematokrit : 36,20 %

21
Trombosit : 47.000 mm3

Leukosit : 9.900 mm3

 Anjuran :

Darah Lengkap
Keluarga berharap agar pasien dapat sehat
VI. Formulasi diagnosis

Diagnosis pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat perjalanan

penyakit, dan pemeriksaan pada pasien, ditemukan adanya perubahan pola

perilaku dan perasaan yang secara klinis bermakna dan hendaya (disability)

dalam fungsi sosial. Dengan demikian, berdasarkan PPDGJ III dapat

disimpulkan bahwa pasien ini mengalami suatu gangguan jiwa.

Untuk memastikan diagnosis gangguan jiwa, diperlukan wawancara yang

baik untuk mengumpulkan data dan informasi mengennai gejala yang

bermakna, jangka waktu, awitan, episode, dan perjalanan penyakitnya. Selain

itu, penegakkan diagnosis juga harus dilakukan berdasarkan hirarki dari F0

sampai F4.

Berdasarkan anamnesis, pasien mengalami gangguan persepsi seperti

halusinasi auditorik, dan juga mengalami disorganized behaviour seperti marah

– marah tanpa sebab. Pasien juga memiliki waham kejar Pasien juga ditemukan

merasa murung dan mengurung diri , merasa ingin bunuh diri, afek yang

hipotim

Dari gejala dan perjalanan penyakit pasien terdapat gejala-gejala

skizofrenia (F20.-) episode depresi (F32.-). Maka pada pasien ini ditegakkan

diagnosis gangguan skizoafektif tipe depresi (F25.2).

22
Berdasarkan anamnesis dan rekam medik tidak ditemukan adanya

gangguan kepribadian dan gangguan medis umum pada pasien, sehingga tidak

ada diagnosis pada aksis II, aksis III. Pasien memiliki masalah karena berpisah

dengan suaminya.

Aksis V menilai fungsi secara menyeluruh, baik dalam psikologi, sosial,

dan okupasi, yang dinilai dengan GAF (Global Assessment of Functioning).

GAF saat pemeriksaan 40-31, beberapa disabilitas dalam hubungan dengan

realita & komunikasi, disabilitas berat dalam beberapa fungsi.

VII. Diagnosis Multiaksial

Aksis I : F25..1 Gangguan Skizoafektif Tipe Depresi

Aksis II : Tidak ada diagnosa

Aksis III : Tidak ada diagnosa

Aksis IV : masalah dengan primary support group, masalah berkaitan

dengan lingkungan sosial.

AksisV : GAF 40-31

VIII. Daftar Masalah

 Organobiologik (-)

 Psikologis

Pasien merasa kehendak nya tidak dituruti

 Lingkungan dan psikososial

23
IX. Penatalaksanaan

A. Farmakoterapi

Risperidon 2x2 mg (PO)

Lorazepam 1x2 mg (PO)

Fluoxetin 1x10 mg .

B. Non Farmakoterapi

Psikoterapi

Suportif

Memberi dukungan dan perhatian kepada pasien.

Memotivasi pasien agar meminum obat secara teratur

Menyarankan pasien agar lebih mengontrol emosinya.

Memberikan edukasi kepada keluarga untuk tetap mendukung pasien dan

tetap sabar menghadapi pasien, karena dibutuhkan waktu dan kesabaran yang

lebih dalam proses penyembuhan pasien.

Kognitif

Menerangkan tentang gejala penyakit pasien yang timbul akibat cara berpikir

yang salah, mengatasi perasaan, dan sikapnya terhadap masalah yang

dihadapi.

Keluarga

24
Memberikan penyuluhan bersama dengan pasien yang diharapkan keluarga

dapat membantu dan mendukung kesembuhan pasien dan dapat menerima

kondisi pasien.

Sosial-budaya

Terapi kerja berupa memanfaatkan waktu luang dengan melakukan hobi atau

pekerjaan yang disukai pasien dan bermanfaat.

Religius

Bimbingan keagamaan agar pasien selalu menjalankan ibadah sesuai ajaran

agama yang dianutnya, yaitu menjalankan sholat lima waktu, menegakkan

amalan sunah seperti mengaji, berzikir, dan berdoa kepada Allah SWT.

XIII. PROGNOSIS

Penilaian Baik Buruk


Onset Dewasa muda V
Relaps Ada V V
Dukungan keluarga Ada V
Pernikahan menikah V
Keadaan ekonomi Menengah V
Kepatuhan minum Patuh V
obat
Faktor pencetus Jelas V
Genetik Tidak ada V
Penyakit lain atau Tidak ada V
gangguan lain

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

25
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

26
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien Wanita berusia 27 tahun datang ke IGD RSJ HB Saanin Padang.

Pasien datang dibawa mama nya beserta ayahnya karena gaduh gelisah.

Keluhan muncul setelah pasien berantem dengan abangnya karna abangnya

tidak mau meminjamkan motornya. Pasien merasa abangnya lebih disayangi.

Pada pasien ini merupakan keluhan jiwa kelima yang muncul dalam hidup pasien,

sehingga diperlukan pengobatan diberikan adekuat, dapat memberikan prognosis

yang kurang baik pada pasien. Keluarga pasien perlu diedukasi agar pasien

mendapatkan dukungan yang baik agar sembuh dari penyakitnya, dan juga

diedukasi untuk memastikan pasien selalu minum obat sepulang rawatan.

Kepatuhan minum obat dan dukungan keluarga sangat penting terhadap

kesembuhan pasien.

Edukasi mengenai efek samping obat juga diberikan kepada keluarga

pasien, sehingga kepatuhan minum obat dapat diusahakan.

Mengenai kontrol pasien, keluarga jugadiedukasi untuk membawa pasien

kontrol sebulan setelah rawatan, dan mencatat perubahan-perubahan yang ada

pada pasien. Pasien tinggal di bandar buat, oleh karena itu, pasien dapat langsung

kontrol ke RSJ Prof HB Saanin Padang.

Adapun jika di rumah tidak terdapat perbaikan, atau malah terjadi

perburukan, diharapkan segera keluarga juga dapat membawa pasien kembali ke

RSJ HB Saanin, sehingga pasien mendapatkan penanganan yang tepat.

27
BAB V
KESIMPULAN

Gangguan skizoafektif merupakan kelainan mental yang rancu yang

ditandai dengan adanya gejala gangguan afektif. Gangguan skizoafektif adalah

penyakit dengan gejala psikotik yang persisten, seperti halusinasi atau delusi,

terjadi bersama‐sama dengan masalah suasana (mood disorder) seperti depresi,

manik, atau episode campuran. Penyebab gangguan ini belum diketahui . Di

Indonesia sendiri kasus skizoafektif belum dapat diprediksikan. Selain itu,

skizoafektif merupakan 2 penyakit kejiwaan kronis yang dapat berdampak buruk

bagi pasien itu sendiri. Salah satu dampak terburuk dari gangguan ini adalah

bunuh diri. Hal ini turut menyumbang tingginya angka bunuh diri yang ada di

dunia. Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah perawatan

di rumah sakit, medikasi, dan intervensi psikososial. Prinsip dasar yang mendasari

farmakoterapi untuk gangguan skizoafektif adalah bahwa protokol antidepresan

diikuti jika semuanya diindikasikan dan bahwa antipsikotik digunakan hanya jika

diperlukan untuk pengendalian jangka pendek.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry. 9th ed. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins: 2003
2. Benjamin J., Sadock MD. Virginia A. Kaplan & Sadock’s Pocket
Handbook of Psychiatric Drug Treatment
3. Kaplan HI,Sadock BJ, dan Grebb JA. Sinopsis Psikiatri, Jilid II. Binarupa
Aksara. Tangerang: 2010. 33-46
4. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajaya: Jakarta; 2001.
5. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III
dan DSM-5. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajaya: Jakarta;
2013.
6. Maslim R. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Bagian Ilmu Kesehatan
Jiwa FK-Unika Atmajaya: Jakarta
7. Melissa Conrad Stöppler. 2013. Schizoaffective disorder.
http://www.medicinenet.com. Diakses: 07 januari 2019
8. Ranjbar F, Sadeghi-Bazargani H, Niari Khams P, Arfaie A, Salari A,
Farahbakhsh M. Adjunctive treatment with aripiprazole for risperidone-
induced hyperprolactinemia. Neuropsychiatric Disease and Treatment.
2015; 11:549-55.

29

Anda mungkin juga menyukai