Anda di halaman 1dari 36

PRESENTASI KASUS DIPERSIAPKAN

CEPHALGIA

Oleh:

Yurike Indah Pratiwi

Pembimbing : Dr. Milda Aryani, Sp.S

2018
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh pasien
saat datang ke dokter, baik ke dokter umum maupun neurolog. Sampai saat ini nyeri
kepala masih merupakan masalah. Masalah yang diakibatkan oleh nyeri kepala mulai
dari gangguan pada pola tidur, pola makan, depresi sampai kecemasan.
Hampir 90% nyeri kepala benigna (tidak membahayakan). Meskipun
demikian, dokter dihadapkan dengan tugas penting dalam memilah mana nyeri kepala
yang benigna dan mana yang mengancam nyawa. Banyaknya penyakit yang disertai
keluhan nyeri kepala membuat dokter perlu melakukan pendekatan yang fokus dan
sistematis agar mendapatkan diagnosis nyeri kepala dengan tepat. Diagnosis yang
tepat akan dapat mengantarkan pada pengobatan yang tepat.
Menurut kriteria IHS yang diadopsi oleh PERDOSSI, nyeri kepala dibedakan
menjadi nyeri kepala primer dan sekunder. 90% nyeri kepala masuk dalam kategori
nyeri kepala primer, 10% sisanya masuk dalam kategori nyeri kepala sekunder.
Disebut nyeri kepala primer apabila tidak ditemukan adanya kerusakan struktural
maupun metabolik yang mendasari nyeri kepala. Disebut nyeri kepala sekunder
apabila nyeri kepala didasari oleh adanya kerusakan struktural atau sistemik.
Hubungan yang baik antara dokter dan pasien diperlukan pada pengelolaan
nyeri kepala. Komunikasi efektif yang disertai dengan keterampilan interpersonal
merupakan bagian integral dalam manajemen pasien dengan nyeri kepala. Ada
beberapa langkah dalam manajemen pasien. Pertama, tentu saja, adalah anamnesis
dan pemeriksaan. Dokter harus dapat membedakan nyeri kepala primer dan nyeri
kepala sekunder.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Nyeri Kepala
Nyeri kepala adalah rasa nyeri pada daerah atas kepala memanjang dari orbita sampai
ke daerah belakang kepala (diatas garis orbitomeatal).

2.2. Klasifikasi
Berdasarkan banyak penelitian mengenai jenis nyeri kepala dan melibatkan
sekitar 100 orang ahli neurologi, maka International Headache Society (IHD)
mengembangkan klasifikasi ”International Classification of Headache Disorders,
2nd edition” untuk nyeri kepala.
Klasifikasi ini secara garis besar membagi nyeri kepala menjadi dua yaitu
nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer terjadi antara lain
migren, nyeri kepala klaster, nyeri kepala tipe tegang dan nyeri kepala lain yang tidak
berhubungan dengan lesi struktural. Sedangkan nyeri kepala sekunder antara lain
disebabkan oleh trauma kepala, gangguan pembuluh darah, gangguan dalam
tengkorak, pemakaian obat, infeksi, gangguan metabolik. Nyeri di sekitar wajah juga
bisa menyebabkan nyeri kepala sekunder. Nyeri jenis ini biasanya terkait kelainan
tengkorak, leher, telinga, hidung, sinus. Kerusakan saraf kepala juga termasuk nyeri
kepala sekunder.
2.2.1. Migrain
Definisi
Istilah migrain berasal dari kata Yunani yang berarti “sakit kepala sesisi”.
Suatu kondisi kronis yang dikarakterisir oleh sakit kepala episodik dengan intensitas
sedang-berat yang berakhir dalam waktu 4-72 jam (International Headache Society).
Migrain merupakan nyeri kepala primer yang paling sering ditemukan. Nyeri
kepala biasanya terasa berdenyut di satu sisi kepala (unilateral) dengan frekuensi,
durasi serta rasa nyeri yang beraneka ragam dan bertambah dengan aktivitas.
Seringkali migrain dapat disertai mual dan atau muntah atau fonofobia dan fotofobia

Epidemiologi
Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dikeluhkan oleh pasien. Salah
satu keluhan tersebut adalah “nyeri kepala sebelah” atau yang dikenal sebagai migren.
± 30-40 % penduduk USA pernah mengalami nyeri kepala hebat pada masa hidupnya,
dimana nyeri tegang otot dan migraine menduduki peringkat nomor satu.
Migrain lebih sering mengenai usia dewasa muda, dengan puncak prevalensi
baik pria maupun wanita adalah umur 25 – 55 th. 90% mengalami nyeri kepala
sebelum usia 40 tahun. Di US, migrain terjadi pada 18% wanita, 6% pria, 4 % anak-
anak. Faktor hormonal mungkin berperan dalam menjelaskan mengapa wanita lebih
banyak menderita migraine. Anak laki-laki menderita migrain pada onset yang lebih
awal dibandingkan anak perempuan. Penderita migrain sebagian besar memiliki
riwayat keluarga migrain, dan sebagian besar juga sering mengalami sakit kepala
tegang otot.

Klasifikasi

Menurut Headache Classification Committee of the International Headache Society


2nd Edition, migren dibagi atas:
1. Migrain wihout aura
2. Migrain with aura
2.1 Typical aura with migrain headache
2.2 Typical aura with non-migrain headache
2.3 Typical aura without headache
2.4 Familial hemiplegic migrain (FHM)
2.5 Sporadic hemiplegic migrain
2.6 Basilar type migrain
3. Childhood periodic syndromes that are commonly precursor of migrain
3.1 Cyclical vomiting
3.2 Abdominal migrain
3.3 Benign paroxysmal vertigo of childhood
4. Retinal migren
5. Complication of migrain
5.1 Chronic migrain
5.2 Status migrainosus
5.3 Persisten aura without infarction
5.4 Migrainous infarction
5.5 Migrain triggered seizure
6. Probable migrain
6.1 Probable migrain without aura
6.2 Probable migrain with aura
6.3 Probable chronic migraine

Faktor Pencetus

Beberapa faktor yang dapat mencetuskan serangan migrain antara lain:

1. Perubahan hormon estrogen


Hormon estrogen yang banyak terdapat pada wanita dapat memicu migren.
Khususnya pada saat jumlah estogen sedang tidak stabil, misalnya pada saat
sebelum dan selama masa haid, selama masa kehamilan, penggunaan alat
kontrasepsi atau jika sedang menjalani terapi hormon.
2. Stimulasi indra tubuh

Cahaya yang terlalu terang, suara yang terlalu keras,atau bau tertentu yang sangat
menyengat seperti bau parfum dan asap rokok dapat menjadi pemicu.
3. Perubahan cuaca

Perubahan cuaca yang ekstrem atau tidak menentu serta perubahan tekanan udara
dapat menjadi pemicu migren.
4. Jadwal tidur yang tidak biasa

Jika pola tidur Anda tidak seperti biasanya. Misalnya, jangka waktu tidur yang
sebentar bahkan tidur terlalu lama bisa membuat Anda mengalami migren. Jika
Anda baru berpergian, jet lag juga dapat menjadi penyebabnya.
5. Kelelahan

Berolahraga atau melakukan aktivitas fisik yang lebih berat dari biasanya dapat
memperbesar kemungkinan terkena migren.
6. Makanan dan Minuman
Kandungan yang terdapat pada makanan dan minuman dapat menjadi pemicu.
Minuman beralkohol seperti bir dan wine atau kandungan kafein yang terdapat
pada kopi sebaiknya dihindari. Mengkonsusmsi coklat, keju tua, makanan yang
banyak mengandung MSG atau pengawet juga merupakan pemicu migrain.

Patofisiologi migrain

Berbagai teori telah dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi migrain,


namun sampai sekarang belum ada kesepakatan yang pasti. Beberapa teori tersebut
antara lain:

• Teori Vaskular (Teori Wolff)


Migrain disebut sebagai nyeri kepala vaskular, dimana gangguan primer yaitu pada
pembuluh darah terjadi vasospasme yang bersifat lokal dan reaksi hiperemik sehingga
pembuluh-pembuluh darah di otak dan kepala mengalami vasokonstriksi pada fase
awal dan kemudian diikuti dengan vasodilatasi. Siklus ini dimulai dengan
peningkatan kadar norepinefrin dalam plasma, sehingga menyebabkan platelet
beragregasi dalam pembuluh darah otak. Platelet ini melepaskan serotonin yang dapat
menyebabkan konstriksi arteri maupun dilatasi kapiler. Arteri-arteri tersebut pertama-
tama pada satu sisi kepala berkonstriksi menyebabkan iskemik sehingga
menimbulkan gejala aura berupa gangguan visual, rasa tebal atau kelemahan pada
satu sisi tubuh dan lain-lain. Platelet yang beragregasi ini juga melepas neurokinin-
neurokinin yang mensensitisir reseptor nyeri di dinding pembuluh ekstrakranial. Hal
ini menerangkan mengapa scalp dan leher sering menjadi nyeri selama dan setelah
serangan migren.

• Teori Trigeminovaskular
Teroi trigeminovaskular oleh Moskowitzs menyatakan adanya jaras yang
menghubungkan ganglia trigeminalis dan pembuluh darah serebral akan membentuk
sistem trigeminovaskular. Ganglia trigeminalis merupakan struktur sensorik umum
utama pada pembuluh darah yang membentuk sirkulus Wilisii. Saraf sensoris
disekitar sirkulus Wilisii banyak mengandung substansi P (SP), neurokinin A (NKA),
Calsitonin Gene Related Peptide (CGRP) dan prostaglandin. Mediator-mediator ini
berperan dalam proses terjadinya inflamasi neurogenik. Saraf trigeminalis dapat
diaktifkan pada tiap titik sepanjang perjalanannnya, mulai dari perivaskuler sampai
didaerah sentral pada batang otak, yang diduga karena proses spreading depression.
Stimulasi dari saraf sensorik trigeminus akan melepaskan neuropeptida substansi P,
CGRP dan neurokinin A yang menyebabkan inflamasi neurogenik, peningkatan
permeabilitas vaskuler, dilatasi pembuluh darah, ekstravasasi plasma dan kerusakan
platelet sehingga terjadi nyeri kepala migren. Menurut Goadsby dan Edvinsson
(1992), level dari substansi vasodilator CGRP pada pembuluh darah jugular akan
meningkat selama nyeri kepala dan kembali normal setelah nyeri kepala.( Aurora SK,
Suryawati H.,1999)
• Teori Neurogenik
Pada hipotesis neurogenik, perubahan-perubahan aliran darah otak yang menyertai
migren dianggap sekunder terhadap gangguan neurotransmitter di otak. Gangguan ini
menyebabkan migren dan menjadi sumber dari nyerinya. Pembuluh darah otak hanya
merupakan korban gangguan neurogenik, bukan sumber penyakitnya. Pembuluh
darah otak di innervasi oleh serabut yang mengandung noradrenalin dan serotonin (5-
Hydroxy-Tryptamin) dari batang otak (locus caerolus, nuclei raphe). Rangsangan
pada inti batang otak tersebut menyebabkan perubahan vaskular (vasokonstriksi).
Perubahan yang fluktuatif pada nuclei batang otak tersebut merupakan reaksi terhadap
faktor dilingkungan yang bermacam-macam.
• Teori “Cortical Spreading Depression”
Leao dan Morrison menyatakan bahwa Cortical Spreading Depression (CSD)
mungkin terlibat dalam patofisiologi migrain atas dasar persamaan dalam kecepatan
dari kemajuan skotoma migren dengan CSD. Perubahan dalam aliran korteks otak
pada serangan migrain klasik menyebar dalam cara dan kecepatan yang sebanding
serangan CSD sebagai mekanismenya. Hipotesis saat ini serangan migren klasik
dicetuskan oleh CSD yang berasal dari bagian posterior otak. CSD maju ke depan
dengan kecepatan 2-3 mm/menit, menyebabkan aura dan penurunan aliran darah
korteks otak dalam jangka panjang. CSD ditemukan oleh Leao dalam korteks kelinci.
Leao mengamati aktifitas neuronal yang berlangsung terus menerus dalam korteks
otak kadang-kadang menjadi padam sama sekali selama periode satu menit, dan
depresi ini akan menyebar sangat lambat menyeberangi daerah korteks yang luas.
Ternyata CSD disertai suatu potensial negatif yang besar dalam jaringan yang terkena,
dan terjadi shift ini yang sangat substansial menyeberangi membran sel. Olesen
meneliti pada penderita migren aura terjadi penurunan aliran darah otak yang dimulai
pada regio oksipital dan menyebar ke anterior seperti gelombang “spreading
depression” menyeberangi korteks dan kemudian diikuti dengan hyperemia.

• Teori Lance – Fozard – Pearce, yang menyatakan :


1. Pada nukleus batang otak terjadi fluktuasi karena reaksi berbagai faktor di
lingkungan antara lain : lelah , rasa lapar, perubahan hormon, dan sebagainya.
2. Perubahan aktifitas neuron yang mengandung 5HT dan noradrenalin menyebabkan
perubahan dalam aliran darah vasa intra dan ekstrakranial.
3. Pelepasan 5HT dalam dinding vasa intrakranial merangsang terjadinya reaksi
inflamasi steril pada migren.
4. Aktifasi nosiseptor pada terminal neuron atau akhiran saraf afferent N. V oleh pro
inflammatory mediator menyebabkan nyeri.
5. Rasa nyeri akan diproses dan diterima neuron batang otak, thalamus, korteks
serebri.

Gambaran klinik
Gambaran klinik penyakit ini dapat dibagi atas 4 fase :
Fase I : Prodromal
Sebanyak 50% pasien mengalami fase prodromal ini yang berkembang pelan-pelan
selama 24 jam sebelum terjadi serangan. Gejala berupa perubahan mood, perubahan
perasaan / sensasi (bau atau rasa), atau lelah dan ketegangan otot serta sulit/malas
berbicara.
Fase II : Aura
Gangguan penglihatan yang paling sering dikeluhkan pasien. Khas pasien melihat
seperti melihat kilatan lampu blits (photopsia) atau melihat garis zig zag disekitar
mata dan hilangnya sebagian penglihatan pada satu atau kedua mata (scintillating
scotoma), dan wajah yang pucat. Gejala ini terkait dengan terjadinya vasokonstriksi
arteri intrakranial.1 Gejala sensoris yang timbul berupa rasa kesemutan atau tusukan
jarum pada lengan, dysphasia. Fase ini berlangsung antara 5 – 60 menit. Sebanyak
80% serangan migraine tidak disertai aura.

Fase III : Headache


Nyeri kepala yang timbul terasa berdenyut dan berat. Biasanya hanya pada salah satu
sisi kepala tetapi dapat juga pada kedua sisi. Sering disertai mual muntah, sensitif
terhadap cahaya (photofobia) atau suara (phonofobia). Gejala-gejala tersebut
dianggap sebagai manifestasi tahap vasodilatasi arteri ekstrakranial.1 Nyeri kepala
sering memburuk saat bergerak dan pasien lebih senang istirahat ditempat yang gelap
dan ini sering berakhir antara 4 – 72 jam.

Fase IV : Postdromal
Saat ini nyeri kepala mulai mereda dan akan berakhir dalam waktu 24 jam, pada fase
ini pasien akan merasakan lelah, tidak konsentrasi, tidak bisa makan, nyeri pada
ototnya kadang kadang euphoria.

Diagnosis

Tidak ada tes laboratorium yang dapat mendukung penegakan diagnosis


migren. Migren kadangkala sulit untuk didiagnosis karena gejalanya dapat
menyerupai gejala sakit kepala lainnya. Pemeriksaan standar yang dilakukan adalah
dengan menggunakan kriteria International Headache Society yaitu, seseorang
didiagnosis migren jika mengalami 5 atau lebih serangan sakit kepala tanpa aura (atau
2 serangan dengan aura) yang sembuh dalam 4 sampai 72 jam tanpa pengobatan dan
diikuti dengan gejala mual, muntah, atau sensitif terhadap sinar dan suara.
Kriteria diagnosis bagi migren tanpa aura dikemukakan oleh HIS sekurang-
kurangnya terdapat 5 serangan, diantaranya :
a. Nyeri kepala berlangsung 4-74 jam (bila tidak diobati atau pengobatan gagal)
b. Nyeri kepala sekurang-kurangnya memenuhi 2 kriteria:
- Lokasi unilateral
- Sifat berdenyut
- Intensitas nyerinya sedang atau berat
- Agravasi (bertambah berat) atau mengganggu aktivitas
c. Sewaktu berlangsung nyeri nyeri kepala terdapat sekurang-kurangnya satu
gejala:
- Nausea dan/atau muntah
- Fatofobia dan fonofobia
d. Tidak disebabkan gejala lain

Kriteria diagnosis bagi migren dengan aura dikemukakan oleh HIS


sekurangnya terdapat 2 serangan, diantaranya:
a. Aura terdiri dari satu gejala berikut (tanpa kelemahan motorik):
- Gejala visual: cahaya berkunang-kunang, bercak atau garis, atau
penglihatan hilang
- Gejala sensoris: semutan atau rasa baal
- Gejala gangguan bicara
b. Sekurangnya ada 2 gejala berikut:
- Gejala visual homonim dan/atau gejala sensorik unilateral
- Sekurangnya 1 gejala aura yang muncul gradual ≥ 5 menit dan/atau
berbagai gejala aura muncul berurutan selama ≥ 5 menit
- Tiap gejala berlangsung ≥ 5 menit, namun ≤ 60 menit
c. Nyeri kepala mulai sewaktu aura atau mengikuti aura dalam waktu 60 menit
d. Tidak disebabkan gangguan lain

Gejala migren yang timbul perlu diuji dengan melakukan pemeriksaan


lanjutan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain dan kemungkinan lain yang
menyebabkan sakit kepala. Pemeriksaan lanjutan tersebut adalah:
1. MRI atau CT Scan, yang dapat digunakan untuk menyingkirkan tumor dan
perdarahan otak.
2. Punksi Lumbal, dilakukan jika diperkirakan ada meningitis atau perdarahan otak
Prinsip penanganan
Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas mengurangi faktor resiko,
terapi farmaka dengan memakai obat dan terapi nonfarmaka. Terapi farmaka dibagi
atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan terapi preventif (terapi
pencegahan), walau pada terapi nonfarmaka juga dapat bertujuan untuk abortif dan
pencegahan. Terapi abortif merupakan pengobatan pada saat serangan akut yang
bertujuan untuk meredakan serangan nyeri dan disabilitas pada saat itu dan
menghentikan progresivitas. Pada terapi preventif atau profilaksis migrain terutama
bertujuan untuk mengurangi frekwensi, durasi dan beratnya nyeri kepala.2,8
1. Mengurangi faktor risiko/pencetus
- Stres dan kecemasan
- Kurang atau telalu banyak tidur, perubahan jadwal seperti jetlag.
- Hipoglikemia (terlambat makan)
- Kelelahan
- Perubahan hormonal seperti haid, obat hormonal. Kadar estrogen yang
berfluktuasi dapat dilakukan dengan menghentikan pil KB atau obat-obat
pengganti estrogen
- Diet. Menghindari makanan tertentu cukup membantu pada 25-30%
penderita migrain. Secara umum, makanan yang harus dihindari adalah:
MSG, beberapa minuman beralkohol (anggur merah, prot, sherry, scotch,
bourbon), keju (Colby, Roquefort, Brie, Gruyere, cheddar, bleu,
mozzarella, Parmesan, Boursault, Romano), coklat, dan aspartame.

2. Terapi farmaka migrain


Terapi Abortif
Pada terapi abortif dapat diberikan analgesia nonspesifik yaitu analgesia yang
dapat diberikan pada kasus nyeri lain selain nyeri kepala, dan atau analgesia spesifik
yang hanya bekerja sebagai analgesia nyeri kepala. Secara umum dapat dikatakan
bahwa terapi memakai analgesia nonspesifik masih dapat menolong pada migrain
dengan intensitas nyeri ringan sampai sedang. Pada kasus sedang sampai berat atau
berespons buruk dengan OAINS pemberian analgesia spesifik lebih bermanfaat.
Domperidon atau metoklopramid sebagai antiemetik dapat diberikan saat serangan
nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu pada saat fase prodromal. Fase prodromal
migrain dihubungkan dengan gangguan pada hipotalamus melalui neurotransmiter
dopamin dan serotonin. Pemberian antiemetik akan membantu penyerapan lambung
di samping meredakan gejala penyerta seperti mual dan muntah. Kemungkinan
timbulnya efek samping antiemetik seperti sedasi dan parkinsonism pada orang tua
patut diperhatikan.

Analgesik nonspesifik
Yang termasuk analgesia nonspesifik adalah asetaminofen (parasetamol),
aspirin dan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Pada umumnya pemberian
analgesia opioid dihindari. Beberapa obat OAINS yang telah diteliti diberikan pada
migrain antara lain adalah:
- Diklofenak.
- Ketorolak
- Ketoprofen.
- Indometasin.
- Ibuprofen.
- Naproksen.
- Golongan fenamat.
Kombinasi antara asetaminofen dengan aspirin atau OAINS serta penambahan
kafein dikatakan dapat menambah efek analgetik, dan dengan dosis masing-masing
obat yang lebih rendah diharapkan akan mengurangi efek samping obat. Mekanisme
kerja OAINS pada umumnya terutama menghambat enzim siklooksigenase sehingga
sintesa prostaglandin dihambat.2 Pasien diminta meminum obatnya begitu serangan
migrain terasa. Dosis obat harus adekuat baik secara obat tunggal atau kombinasi.
Apabila satu OAINS tidak efektif dapat dicoba OAINS yang lain. Efek samping
pemberian OAINS perlu dipahami untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Pada wanita hamil hindari pemberian OAINS setelah minggu ke 32 kehamilan.
Pada migrain anak dapat diberikan asetaminofen atau ibuprofen.

Analgesik spesifik
Yang termasuk analgesik spesifik yang sering digunakan adalah ergotamin,
dihidroergotamin (DHE) dan golongan triptan yang merupakan agonis selektif
reseptor serotonin pada 5-HT1, terutama mengaktivasi reseptor 5HT I B / 1 D. Di
samping itu ergotamin dan DHE juga berikatan dengan reseptor 5-HT2, α1dan α 2-
nonadrenergik dan dopamin.2
Analgesik spesifik dapat diberikan pada migrain dengan nyeri sedang sampai
berat. Pertimbangan harga kadang menjadi penghambat dipakainya analgesia spesifik
ini, walaupun golongan ini merupakan pilihan sebagai antimigrain. Ergot lebih murah
dibanding golongan triptan tetapi efek sampingnya lebih besar. Penyebab lain yang
menjadi penghambat adalah preparat ini di Indonesia hanya tersedia dalam bentuk
oral dan dari golongan triptan hanya ada sumatriptan. Ergotamin dan DHE diberikan
pada migrain sedang sampai berat apabila analgesia nonspesifik kurang terlihat
hasilnya atau memberi efek samping. Dosis dan cara pemberian ergotamin dan DHE
harus diperhatikan. Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk menambah
absorpsi ergotamin selain sebagai analgesik pula. Hindari pada kehamilan, hipertensi
tidak terkendali, penyakit serebrovaskuler, kardiovaskuler dan penyakit pembuluh
perifer (hati-hati pada pasien > 40 tahun) serta gagal ginjal, gagal hati dan sepsis. Efek
samping yang mungkin timbul antara lain mual, dizziness, parestesia, nyeri perut.
Ergotamin biasanya diberikan pada episode serangan tunggal. Dosis dibatasi tidak
melebihi 10 mg/minggu.2
Sumatriptan dapat meredakan nyeri, mual, fotofobia dan fonofobia sehingga
memperbaiki disabilitas pasien. Diberikan pada migrain berat atau pasien yang tidak
memberikan respon dengan analgesia nonspesifik dengan atau tanpa kombinasi. Dosis
awal sumatriptan adalah 50 mg dengan dosis maksimal dalam 24 jam 200 mg. Kontra
indikasi antara lain adalah pasien, yang berisiko penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskuler, hipertensi yang tidak terkontrol, migrain tipe basiler. Efek samping
berupa dizziness, heaviness, mengantuk, nyeri dada non kardial, disforia.

Terapi preventif
Terapi preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya serangan atau
tidak. Pengobatan dapat diberikan dalam jangka waktu episodik, jangka pendek
(subakut) atau jangka panjang (kronis). Terapi episodik diberikan apabila faktor
pencetus nyeri kepala dikenal dengan baik sehingga dapat diberikan analgesia
sebelumnya. Terapi preventif jangka pendek berguna apabila pasien akan terkena
faktor risiko yang telah diketahui dalam jangka waktu tertentu seperti pada migrain
menstrual. Terapi preventif kronis akan diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun
tergantung respons pasien. Biasanya diambil patokan minimal dua sampai tiga bulan.
Indikasi:
- Penyakit kambuh beberapa kali dalam sebulan
- Penyakit berlangsung terus menerus selama beberapa minggu atau bulan
- Penyakit sangat mengganggu kualitas/gaya hidup penderita.
- Adanya kontra indikasi atau efek samping yang tidak dapat ditoleransi
terhadap terapi abortif.
- Kecenderungan pemakaian obat yang berlebih pada terapi abortif.
Terapi profilaksis lini pertama: calcium channel blocker (verapamil),
antidepresan trisiklik (nortriptyline), dan beta blocker (propanolol). Terapi profilaksis
lini kedua: methysergide, asam valproat, asetazolamid.
Mekanisme kerja obat-obat tersebut tidak seluruhnya dimengerti. Diduga obat
tersebut menghambat pelepasan neuropeptida ke dalam pembuluh darah dural melalui
efek antagonis pada reseptor 5-HT2. Satu jenis obat profilaksis tidak lebih efektif
daripada obat yang lain. oleh karena itu, bila tidak ada kontraindikasi, verapamil lebih
sering digunakan pada awal terapi karena efek sampingnya paling minimal
dibandingkan yang lain.
Apabila dizziness tidak dapat dikontrol dengan satu obat, gunakan jenis obat
yang lain. Bila dizziness sudah terkontrol, obat diberikan terus menerus selama
minimal 1 tahun (kecuali methysergide yang memerlukan interval bebas obat selama
3-4 minggu pada bulan ke-6 terapi). Obat dapat diberikan ulang pada tahun
berikutnya apabila dizziness muncul lagi setelah terapi dihentikan.
Nama obat Dosis Nama obat Dosis
Propranolol 40-240 mg/hari Valproat 500-1500 mg/
hari
Nadolol 20-160 mg/ hari Topiramat 50-200 mg/ hari

Metoprolol 50-100 mg/ hari Gabapentin 900-3600 mg/


hari
Timolol 20-60 mg/ hari Verapamil 80-640 mg/hari
Atenolol 50-100 mg/ hari Nimodipin 30-60 mg qid
Amitriptilin 10-200 mg/ hari Flunarizin 5-10 mg/hari
Fluoksetin 10-80 mg/ hari Nortriptilin 10-150 mg/ hari
Tabel 2. Terapi farmaka pencegahan migrain
Terapi nonfarmaka
Walaupun terapi farmaka merupakan terapi utama migren, terapi nonfarmaka
tidak bisa dilupakan. Pada kehamilan terapi nonfarmaka bahkan diutamakan. Terapi
nonfarmaka dimulai dengan edukasi dan menenangkan pasien (reassurance). Pada
saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi sensoris berlebihan. Bila
memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan dikompres dingin.
Menghindari faktor pencetus mungkin merupakan terapi pencegahan yang murah.
Intervensi terapi perilaku (behaviour) sangat berperan dalam mengatasi nyeri
kepala yang meliputi terapi cognitive-behaviour, terapi relaksasi serta terapi
biofeedback dengan memakai alat elektromiografi atau memakai suhu kulit atau
pulsasi arteri temporalis. Olahraga terarah yang teratur dan meningkat secara bertahap
umumnya sangat membantu. Beberapa penulis mengusulkan terapi alternatif lain
seperti meditasi, hipnosis, akupunktur dan fitofarmaka. Pada migrain menstrual dapat
dianjurkan mengurangi garam dan retensi cairan.

2.2.2. Cluster Headache (Nyeri Kepala Kelompok)


Cluster headache merupakan salah satu nyeri kepala kronik yang sering
mengganggu kehidupan seseorang dan pasien terbangun karena nyeri kepala. Ini
sering menyebabkan perubahan emosional seseorang.

Epidemiologi
Nyeri kepala ini lebih jarang dibandingkan dengan migren dan sakit kepala
tegang otot. Frekuensi nyeri kepala cluster 0,5% dari populasi laki-laki dan 0,1% dari
populasi wanita. Nyeri kepala cluster lebih banyak ditemukan pada pria. Dapat terjadi
pada segala usia, namun paling sering terjadi pada usia akhir 20an. Prevalensi lebih
tinggi pd pria dan pada ras kulit hitam. Tidak ada riwayat keluarga

Gambaran klinis
Khas ditandai dengan nyeri yang sangat berat yang berlangsung 30-45 menit
berlokasi dibelakang atau disekitar salah satu mata dan dapat menyebar ke sekitar
temporal, rahang, hidung, dagu dan gigi. Nyeri sering disertai dengan lakrimasi pada
sisi yang sama dengan nyeri kepala, konjuntival injection, nasal kongesti dan hidung
berair. Ptosis, perubahan pupil, berkeringat yang unilateral atau bilateral dan fasial
flushing. Berbeda dengan migren disini tidak ditemukan adanya aura, tidak ada gejala
gangguan visual atau sensoris, mual muntah jarang. Tidak bersifat herediter. Pemicu
utamanya adalah alkohol dan merokok
Periode serangan bisa berlangsung beberapa kali perhari 1 – 3 serangan
perhari, sering berakhir antara 3 – 16 minggu. Dengan interval antara 6 bulan dan 5
tahun.

Patofisiologi
Fokus patofisiologi sakit kepala kluster terletak di arteri karotis
intrakavernosus yang merangsang pleksus perikarotis. Pleksus ini mendapat
rangsangan dari cabang 1 dan 2 nervus trigeminus, ganglia servikalis superior/SCG
(simpatetik) dan ganglia sfenopalatinum/SPG (parasimpatetik). Diperkirakan focus
iritatif di dan sekitarpleksus membawa impuls-impuls ke batang otak dan
mengakibatkan rasa nyeri di daerah periorbital, retroorbital dan dahi. Hubungan
polisinaptik dalam batang otak merangsang neuron-neuron dalam kolumna
intermediolateral sumsum tulang belakang (simpatetik) dan nucleus salivatorius
superior (parasimpatetik). Serat-serat preganglioner dari nucleus-nukleus ini
membawa impuls-impuls untuk merangsang SCG (simpatetik) dan mengakibatkan
sekresi keringat di dahi, serta rangsangan pada SPG (parasimpatetik) untuk sekresi air
mata (lakrimasi) dan air hidung (rinorrhea).

Penanganan
1. Penjelasan kepada pasien

Pada kebanyakan pasien, ditemukan anxietas dan rasa kuatir akan timbulnya
periode nyeri berikut, anxietas juga sering ditemukan pada periode klaster yang
berkepanjangan. Perlu dipahami bahwa kebanyakan serangan nyeri dapat dihindari
atau diperpendek/diperingan, meskipun lamanya periode nyeri sampai saat ini belum
dapat dipersingkat atau dihilangkan. Para pasien dianjurkan untuk menghindari tidur
siang, minuman alkohol, zat mudah menguap, terutama pada periode klaster;
sedangkan pengaruh diet sangat kecil. Gangguan emosional seperti rasa marah,
frustrasi ataupun aktifitas fisik yang berat dapat mencetuskan serangan atau memulai
periode nyeri. Pengaruh ketinggian juga disebut-sebut dapat mencetuskan serangan,
sehingga harus diwaspadai bila berada di ketinggian/pegunungan atau naik pesawat
terbang; ada yang menganjurkan penggunaan asetazolamid 2 dd 250 mg. dimulai 2
hari sebelum nya untuk mencegah serangan tersebut. Perubahan siklus tidur juga
dapat mencetuskan serangan, misalnya akibat perubahan shift kerja, atau perubahan
cara hidup.
2. Pengobatan pencegahan

Serangan saat tidur dapat dicegah dengan 2 mg. Ergotamin tartrat 1-2 jam
sebelum tidur; penggunaan ergotamin ini harus hati-hati padapasien-pasien dengan
gangguan vaskuler,jantung, serebral, atau pada kehamilan, adanya penyakit ginjal
atau hati, infeksi dan masa pasca bedah. Serangan di saat lain dapat diatasi dengan
metisergid 3-4 dd 40 mg., verapamil 4 dd 80 mg., lithium 2 dd 300 mg. Atau
prednison 40 mg./hari selama 3 minggu. Metisergid terutama efektif bila digunakan
sejak awal, efektivitasnya kira-kira 65%; obat ini mempunyai efek samping
gastrointestinal, parestesi dan nyeri ekstremitas bawah dan kemungkinan fibrosis
retroperitoneal, endomiokardial atau pulmonal yang berbahaya; obat ini tidak tersedia
di Indonesia. Verapamil cukup efektif untuk kebanyakan pasien, digunakan selama
periode nyeri. Penggunaan lithium hams disertai dengan pengamatan efek samping
seperti tremor karena obat ini mempunyai rentang dosis terapeutik yang relatif sempit.
Kombinasi empat obat di atas dapat mengatasi kira-kira 90% kasus episodik; dalam
hal resistensi, dapat dicoba penambahan prednison 40 mg./hari selama 5 hari,
kemudian diturunkan dosisnya selama 3 minggu (tapering off); penggunaan prednison
harus hati-hati pada pasien dengan ulkus peptikum, hipertensi atau diabetes melitus.
Pasien-pasien khronik dapat resisten terhadap pengobatan, mungkin berkaitan dengan
sifatlkepribadian tertentu; ada peneliti yang mencoba Na valproat 600-2000 mgihari
sebagai profilaktik. Pengobatan eksperimental berupa gangliolisis trigeminal, atau
penggunaan cahaya terang untuk mengubah siklus sirkadian.
3. Pengobatan saat serangan

Serangan klaster akut dapat diatasi dengan inhalasi oksigen; untuk


memperoleh manfaat maksimum, oksigen diberikan segera di awal serangan sebanyak
7-ll menit menggunakan facial mask; pasien duduk, dianjurkan bemapas biasa selama
15 menit. Alternatif lain ialah menggunakan 1 tablet (1 mg.) ergota mm sublingual,
dapat diulang sampai dua kali setelah 15 menit; dosis maksimum 2 mg./24 jam.
Ergotaniin juga dapat diberikan secara intramuskuler dalani bentuk dihidroergotamin
1 mg. Atau ergotamin tartrat 0,5 mg.; atau secara inhalasi sebanyak 2 kali dengan
interval 5 menit. Dosis maksimum 4 mg./24 jam. Obat simtomatik lain ialah kokain
HCI 5% atau lidokain HCI 4% intranasal.

2.2.3. Tension-Type Headache


Definisi
Nyeri kepala tegang didefinisikan sebagai serangan nyeri kepala berulang
yang berlangsung dalam hitungan menit sampai hari, dengan sifat nyeri yang biasanya
berupa rasa tertekan atau diikat, dari ringan sampai berat, bilateral, tidak dipicu oleh
aktifitas fisik dan gejala penyerta nya tidak menonjol.
Tension-type headache disebut pula muscle contraction headache merupakan
nyeri tegang otot yang timbul karena kontraksi terus menerus otot-otot kepala dan
tengkuk (m.Splenius kapitis, m.Temporalis, m.Maseter, m.Sternokleidomastoideus,
m.Trapezius, m.Servikalis posterior, dan m.Levator skapule). Sakit kepala tipe ini
banyak terdapat pada wanita masa menopause dan premenstrual.

Epidemiologi
Sakit kepala tipe tegang merupakan sakit kepala yang paling umum terjadi,
prevalensinya sekitar 69% pd pria dan 88% wanita. 40% mempunyai riwayat keluarga
yang menderita nyeri kepala tipe tegang. Kira-kira 15% nya sudah mulai menderita
sebelum usia 10 tahun. Dapat dimulai pada segala usia, onset terutama pada usia
remaja dan dewasa muda. Umumnya sakit kepala berkurang dengan meningkatnya
usia. 25% pasien juga mengidap migrain

Klasifikasi

Klasifikasi TTH berdasarkan International Headache Society edisi kedua, yaitu:

1. Tension-type headache (TTH)


1.1 Infrequent episodic TTH (associated with pericranial tenderness / not
associated with pericranial tenderness)
1.2 Frequent episodic TTH (associated with pericranial tenderness / not
associated with pericranial tenderness)
1.3 Chronic TTH (associated with pericranial tenderness / not associated with
pericranial tenderness)
1.4 Probable TTH (infrequent episodic TTH, frequent episodic TTH, chronic
TTH)
Lokasi
Tension-type headache dapat terjadi secara:
a. Bilateral.
b. Predominasi oksipital-nukhal.
c. Temporal.
d. Frontal.
e. Kadang menyebar difus di puncak kepala.

Gambaran klinis
Nyeri kepala tipe tegang biasanya bilateral terasa nyeri tumpul yang menetap
dengan intensitas bervariasi sepanjang hari. Pasien sering mengambarkan kepalanya
terasa seperti tertekan, berat atau terikat disekeliling kepala. Sekitar 10% tension
headache disertai dengan migren sehingga memberikan gejala klinis yang kompleks.
Pada kasus yang sedang nyeri kepala timbul biasanya menyertai suatu keadaan
stress atau hal yang tidak menyenangkan. Pada keadaan yang kronik nyeri timbul
mulai pagi hari dan berlangsung sepanjang hari. Pada umumnya, NKTT merupakan
gangguan kronik yang bermulai setelah umur 20 tahun. Gangguan ini ditandai dengan
serangan nyeri kepala bilateral terutama pada dahi, pelipis, belakang kepala atau
leher, tanpa sensasi denyutan dan tidak disertai rasa mual, muntah, fotofobia atau
gangguan penglihatan dan fonofobia. Nyeri biasa dideskripsikan seperti ada pita yang
mengikat kepala dengan ketat. Wanita lebih sering terkena dibanding pria. Bila
berlangsung lama pada palpasi dapat ditemukan daerah-daerah yang membenjol keras
berbatas tegas dan nyeri tekan. Nyeri dapat menjalar sampai bahu.

Pada yang episodik pasien jarang berobat ke dokter karena sebagian besar
sembuh dengan obat-obat analgetik bebas yang beredar dipasaran. Pada yang kronis
biasanya merupakan manifestasi konflik psikologis yang mendasarinya seperti
kecemasan dan depresi. Oleh sebab itu, perlu dievaluasi adanya stres kehidupan,
pekerjaan, kebiasaan, sifat kepribadian tipe perfeksionis, kehidupan perkawinan,
kehidupan sosial, seksual, dan cara pasien mengatasinya.
Gejala lain yang dapat ditemukan seperti gangguan tidur (sering terbangun
atau bangun dini hari), nafas pendek, konstipasi, berat badan menurun, palpitasi dan
gangguan haid. Keluhan emosi antara lain perasaan bersalah, putus asa, tidak
berharga, takut sakit atau mati, dan sebagainya. Keluhan psikis yaitu konsentrasi
buruk, minat menurun, ambisi menurun atau hilang, daya ingat buruk dan mau bunuh
diri.
Pasien sering menghubungkan nyeri kepalanya secara tidak proposional
dengan kejadian yang pernah dialaminya seperti kecelakaan, trauma, kematian orang
yang dicintai bekas suntikan, tindakan operasi, kehilangan pekerjaan, atau perceraian.

Patofisiologi
Meskipun nyeri kepala tegang otot ini sangat umum ditemukan, patofisiologinya
masih tetap tidak jelas. Penelitian menunjukkan bahwa mekanisme nyeri kepala ini
tergantung terhadap otot yang terlibat yakni otot wajah, leher dan bahu.

Patomekanisme nyeri kepala tegang otot ini masih menjadi bahan penilitian
tetapi telah ada beberapa teori-teori yang diduga menyebabkan nyeri kepala jenis ini.
Salah satu teori yang paling populer mengenai penyebab nyeri kepala ini adalah
kontraksi otot wajah, leher, dan bahu. Otot-otot yang biasanya terlibat antara lain, m.
splenius capitis, m temporalis, m. sternocleidomastoideus, m. trapezius, m. cervicalis
posterior, dan m. levator scapulae. Penelitian mengatakan bahwa para penderita nyeri
kepala ini mungkin mempunyai ketegangan otot wajah dan kepala yang lebih besar
daripada orang lain yang menyebabkan mereka lebih mudah terserang sakit kepala
setelah adanya kontraksi otot. Kontraksi ini dapat dipicu oleh posisi tubuh yang
dipertahankan lama sehingga menyebabkan ketegangan pada otot ataupun posisi tidur
yang salah. Ada juga yang mengatakan bahwa pasien dengan sakit kepala kronis bisa
sangat sensitif terhadap nyeri secara umum atau terjadi peningkatan nyeri terhadap
kontraksi otot.
Sebuah teori juga mengatakan ketegangan atau stres yang menghasilkan kontraksi
otot di sekitar tulang tengkorak menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
sehingga aliran darah berkurang yang menyebabkan terhambatnya oksigen dan
menumpuknya hasil metabolisme yang akhirnya akan menyebabkan nyeri.
Para peneliti sekarang mulai percaya bahwa nyeri kepala ini bisa timbul akibat
perubahan dari zat kimia tertentu di otak - serotonin, endorphin, dan beberapa zat
kimia lain yang membantu dalam komunikasi saraf. Ini serupa dengan perubahan
biokimia yang berhubungan dengan migren. Meskipun belum diketahui bagaimana
zat-zat kimia ini berfluktuasi, ada anggapan bahwa proses ini mengaktifkan jalur nyeri
terhadap otak dan mengganggu kemampuan otak untuk menekan nyeri. Pada satu sisi,
ketegangan otot di leher dan kulit kepala bisa menyebabkan sakit kepala pada orang
dengan gangguan zat kimia. Di sisi lain, ketegangan otot bisa merupakan hasil dari
perubahan zat kimia ini.
Karena nyeri kepala tipe ini dan migren melibatkan perubahan yang mirip
pada otak, beberapa peneliti percaya bahwa kedua tipe sakit kepala ini berhubungan.
Beberapa ahli berpendapat bahwa migren bisa disebabkan oleh nyeri kepala tegang
otot yang berulang. Migren bisa dibedakan saat nyeri yang terasa menjadi sangat
hebat. Ada juga yang beranggapan migren yang ringan adalah suatu jenis nyeri kepala
tegang otot yang ringan

Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus tension type headache adalah sebagai
berikut:
 Stres
 Kecemasan
 Depresi
 Konflik emosional
 Kelelahan

Diagnosis

1.1 Infrequent episodic tension-type headache


A. Setidaknya terdapat 10 episode serangan yang terjadi dalam <1 hari/bulan dalam
rata-rata (<12 hari/tahun) dan memenuhi kriteria B-D
B. Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit hingga 7 hari

C. Nyeri kepala memiliki setidaknya 2 dari beberapa karakteristik berikut:

1. Lokasi bilateral

2. Rasa seperti tertekan atau terikat (tidak berdenyut)

3. Intensitas ringan hingga sedang

4. Tidak diperberat dengan aktivitas fisik rutin seperti berjalan atau naik tangga.

D. Diikuti keduanya berikut ini:

1. tidak terdapat mual atau muntah (anorexia dapat terjadi)

2. tidak lebih satu diantara photophobia atau phonophobia

E. tidak terkait dengan penyakit lain

1.2 Frequent episodic tension-type headache


seperti pada 1.1 kecuali:

A. setidaknya terdapat 10 episode serangan yang terjadi dalam 1 tetapi <15


hari/bulan dalam ≥3 bulan (12 dan<180 hari/tahun) dan memenuhi kriteria B-D

1.3 Chronic tension-type headache


seperti pada 1.1 kecuali:

A. Nyeri kepala terjadi dalam 15 hari/bulan dalam rata-rata >3 bulan (180
hari/tahun) dan memenuhi kriteria B-D

B. nyeri kepala berlangsung berjam-jam atau dapat terus menerus

D. Diikuti keduanya berikut ini:

1. tidak lebih satu diantara photophobia, phonophobia, atau mual ringan

2. tidak terdapat mual atau muntah sedang atau berat

Penanganan
Tindakan umum
a. Pembinaan hubungan empati awal yang hangat antara dokter dan pasien
merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk keberhasilan
pengobatan. Penjelasan dokter yang meyakinkan pasien bahwa tidak ditemukan
kelainan fisik dalam rongga kepala atau otaknya dapat menghilangkan rasa
takut akan adanya tumor otak atau penyakit intrakranial lainnya.
b. Penilaian adanya kecemasan atau depresi harus segera dilakukan. Sebagian
pasien menerima bahwa kepalanya berkaitan dengan penyakit depresinya dan
bersedia ikut program pengobatan sedangkan pasien lain berusaha
menyangkalnya. Oleh sebab itu, pengobatan harus di tujukan kepada penyakit
yang mendasari dengan obat anti cemas atau anti depresi serta modifikasi pola
hidup yang salah, disamping pengobatan nyeri kepalanya. Bila depresi berat
dengan kemungkinan bunuh diri maka pasien harus dirujuk ke ahli jiwa.

Terapi
Pengobatan nyeri kepala kepala tipe tegang dapat dibagi menjadi terapi farmakologis dan non-
farmakologis. Kedua strategi ini dapat diterapkan untuk pengobatan fase akut serta pencegahan.

Untuk pasien dengan nyeri kepala tipe episodik yang sering, analgesik sederhana dan NSAID
merupakan pilihan pertama dalam terapi akut. Aspirin (500 mg dan 1000 mg), asetaminofen (1000 mg)
efektif dalam terapi akut untuk TTH. Obat antiinflamasi nonsteroid lainnya (NSAID) seperti, ibuprofen
(200–400 mg), naproxen sodium (375–550 mg), ketoprofen (25-50 mg), dan kalium diklofenak (50-
100 mg) telah terbukti efektif pada TTH akut. [23] NSAID ini mungkin lebih efektif daripada
acetaminophen dan aspirin seperti yang ditunjukkan dalam banyak penelitian[23] Kafein, kodein, obat
penenang, sering dikombinasikan untuk meningkatkan efek NSAID namun bagaimanapun, harus
dihindari karena risiko ketergantungan, penyalahgunaan, dan kronifikasi sakit kepala. [23] Opiat harus
dihindari. Muscle relaxant masih terbukti kurang berkhasiat dan ada risiko untuk menjadi
ketergantungan oleh karena itu tidak direkomendasikan untuk pengobatan TTH.
Beberapa pasien dengan ETTH yang juga menderita migrain ditemukan berespon dengan pengobatan
menggunakan triptan. Namun, pasien-pasien ini harus diajarkan dengan jelas bagaimana mengenali dan
membedakan antara gejala migrain dan ETTH sehingga untuk serangan yang diberikan mereka dapat
menggunakan obat yang sesuai. Perawatan nonfarmakologis dalam bentuk pelatihan relaksasi dapat
bermanfaat dalam ETTH berulang.
Untuk pencegahan serangan berulang pada ETTH, pasien harus terlebih dahulu memperhitungkan dua
masalah. Pertama, pemicu yang diketahui harus dihindari. Misalnya, melewatkan makan dapat memicu
serangan ETTH seperti pada migrain dan karenanya harus dihindari. Selain itu, terdapat bukti baru
bahwa estrogen dapat memicu ETTH seperti pada migrain dan oleh karena itu harus dipertimbangkan.
Kedua, penggunaan obat yang berlebihan harus diidentifikasi dan dihentikan, karena dapat membuat
terapi profilaksis sulit dilakukan. Obat yang merupakan pilihan untuk mencegah ETTH berulang
adalah amitriptyline, dimulai dengan dosis rendah (10 mg hingga 25 mg per hari) dan dapat
ditingkatkan secara bertahap jika diperlukan. Perawatan nonfarmakologis dalam bentuk terapi relaksasi
dan biofeedback telah ditemukan sama baiknya tetapi membutuhkan tenaga terlatih dan terampil

Terapi CTTH
Terapi akut memiliki sedikit peran dalam CTTH karena ini adalah kondisi kronis menurut definisi dan
sebagian besar pasien mengalami sakit kepala hampir sepanjang hari dalam sebulan. Sebaliknya,
sebagian besar dari pasien ini telah mencoba sejumlah analgesik dan NSAID dan beberapa dari mereka
bahkan mungkin kecanduan opiod. Lebih lanjut, banyak pasien menderita untuk waktu yang lama,
berganti dokter sering dan akhirnya mengundurkan diri dengan gagasan bahwa sakit kepala mereka
tidak dapat diobati. Dengan demikian, pasien ini sangat sulit diobati. Hal pertama adalah menghentikan
penggunaan obat ini secara berlebihan saat ada. Banyak pasien dengan TTH memiliki komorbiditas
yang signifikan seperti depresi dan kecemasan yang membutuhkan evaluasi dan manajemen yang tepat.
Secara umum, farmakoterapi, modalitas perilaku dan obat fisik efektif untuk pencegahan dan harus
digunakan dalam kombinasi untuk mencapai hasil yang optimal. [25]

amitriptyline
Amitriptyline antidepresan trisiklik telah dipelajari paling luas dan telah terbukti paling efektif untuk
pengobatan CTTH. [24] Kembali pada tahun 1964, Lance et al. melakukan uji coba silang terkontrol
pertama dan menunjukkan keunggulan amitriptyline dibandingkan plasebo pada pasien dengan CTTH.
[26] Sejak itu, sejumlah penelitian menguji berbagai dosis dan membandingkan amitriptyline dengan
antidepresan lain seperti citalopram. [27-30] Pada umumnya, dosis hingga 75 mg amitriptyline ternyata
bermanfaat. Mekanisme kerja amitriptyline dalam CTTH tidak pasti. Penjelasan yang mungkin
termasuk penghambatan reuptake serotonin, potensiasi opioid endogen, antagonisme reseptor NMDA
dan blokade saluran ion. [30]

Amitriptyline harus dimulai dengan dosis rendah (10 mg hingga 25 mg per hari) dan dititrasi oleh 10-
25 mg setiap minggu sampai efek terapeutik atau efek samping muncul. Efek klinis yang signifikan
dari Amtriptlyline biasanya terlihat pada akhir satu minggu dan harus terlihat dalam 3-4 minggu. [30]
Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan pada 4 minggu perawatan, pertimbangan serius harus
diberikan untuk alternatif. Penting juga untuk menjelaskan kepada pasien bahwa obat ini diberikan
untuk mengatasi rasa sakit (dan bukan sebagai antidepresan) untuk meningkatkan kepatuhan. Efek
samping yang umum dari obat ini adalah mulut kering dan kantuk. Efek samping yang serius seperti
aritmia jantung, pengendapan glaukoma dan retensi urin dapat terjadi pada orang yang memiliki
kecenderungan, terutama subjek usia lanjut. Nortriptyline, obat yang terkait erat dengan amitriptyline
juga telah ditemukan bermanfaat pada pasien CTTH dalam satu penelitian. Biasanya, amitriptyline
dilanjutkan selama 6 bulan setelah upaya penarikan dilakukan. Setelah penarikan, beberapa pasien
tetap bebas sakit kepala sementara yang lain mulai sakit kepala lagi. Pasien-pasien ini biasanya
memerlukan perawatan jangka panjang.

Antidepresan lain seperti SSRI dan tetrasiklik ternyata tidak begitu bermanfaat. Meskipun penelitian
telah menemukan efek sederhana pada pencegahan CTTH oleh obat-obatan seperti citalopram, [30]
sertaline, [31] mianserine, [32] fluvoxamine, [32] paroxetine, [33] velnaflaxine (perpanjangan rilis)
[34] dan antagonis D2 sulpiride, [33] belum ada data yang kuat untuk merekomendasikan agen ini.
Obat baru, mirtazapine, [35] antidepresan noradrenergik dan serotonergik terbukti manjur dan dapat
diberikan dalam situasi di mana amitriptyline tidak efektif atau kontraindikasi. Dengan dosis 30 mg /
hari, itu mengurangi indeks sakit kepala hingga 34% lebih tinggi dari plasebo pada pasien yang sulit
diobati, termasuk pasien yang tidak menanggapi amitriptyline.

Peran relaksan otot dalam pencegahan CTTH masih bisa diperdebatkan. Relaksan otot yang bekerja
sentral seperti tizanidine mungkin memiliki beberapa manfaat tetapi tidak dianjurkan secara rutin.
Relaksan otot yang bekerja perifer tidak memiliki peran. Setidaknya 3 penelitian telah menguji
tizanidine dalam CTTH dan sementara dua studi [36,37] menunjukkan manfaat sederhana, satu gagal
menunjukkan apa pun. [38]

Setelah penelitian berlabel terbuka di mana injeksi Botulinum Toxin Tipe A terbukti manjur pada
pasien CTTH, [39] beberapa studi terkontrol telah dilakukan. [40-43] Hasilnya telah bertentangan dan
sebagian besar negatif. Oleh karena itu, Botulinum Toxin Tipe A tidak direkomendasikan untuk
pencegahan CTTH.

nonfarmakologi
Manajemen non-farmakologis meliputi terapi fisik dan perawatan psikologis. Idealnya, ini harus dicoba
pada semua pasien sebagai tambahan farmakoterapi. Namun ini mungkin lebih menarik bagi pasien
yang enggan menggunakan obat.
(i) Terapi fisik: Ini adalah pengobatan TTH non-farmakologis yang paling umum digunakan.
Komponen-komponennya meliputi perbaikan postur, relaksasi, program olahraga, paket panas dan
dingin, ultrasound, dan stimulasi listrik. [44] Strategi pengobatan aktif umumnya direkomendasikan.
Sebuah studi terkontrol yang menggabungkan berbagai teknik, seperti pijat, relaksasi, dan latihan
berbasis rumah menemukan efek sederhana. [45] Menambahkan pelatihan craniocervical ke fisioterapi
klasik mungkin lebih baik daripada fisioterapi saja. [46]

ii) Terapi psikologis: Ini termasuk pelatihan relaksasi, biofeedback EMG, dan terapi perilaku kognitif.
[47] Selama pelatihan relaksasi, pasien secara sadar mengurangi ketegangan otot dan rangsangan
otonom yang dapat mengendap dan dihasilkan dari sakit kepala. Dengan demikian, ini adalah strategi
untuk pelatihan pengaturan diri. Biofeedback EMG membantu pasien mengembangkan kontrol atas
ketegangan otot perikranial. Pasien menggunakan umpan balik yang disajikan dengan tampilan
pendengaran atau visual dari aktivitas listrik otot-otot di wajah, leher, atau bahu. Tidak pasti apakah
pengurangan ketegangan otot atau perubahan kognitif dari self efficacy menyebabkan peningkatan.
Yang terakhir lebih mungkin. Dalam terapi kognitif-perilaku, pasien diajarkan untuk mengidentifikasi
pikiran dan keyakinan yang menghasilkan stres dan memperburuk sakit kepala. Meskipun hasil
pengobatan terapi psikologis sulit untuk diukur, tampaknya ada dukungan ilmiah yang masuk akal
untuk efektivitasnya.

iii) Perawatan lain-lain: Perawatan oromandibular dengan splints oklusal adalah pilihan yang
menarik tetapi tidak memiliki data ilmiah dan karenanya tidak direkomendasikan untuk penggunaan
rutin. [48] Demikian pula untuk akupunktur, ada hasil yang bertentangan mengenai kemanjurannya
untuk pengobatan TTH. [49-51] Manipulasi tulang belakang tidak menunjukkan efek pada pengobatan
TTH episodik. [52]

Terapi farmakologik
a. Analgetikum, misalnya:
 Asam asetilsalisilat 500mg tablet dengan dosis 1500mg/hari.
 Metampiron 500mg tablet dengan dosis 1500mg/hari.
 Glafenin 200mg tablet dengan dosis 600- 1200mg/hari.
 Asam mefenamat 250-500mg tablet dengan dosis 750-1500mg/hari.
b. Penenang/ansiolitik, misalnya:
 Klordiazepoksid 5mg tablet dengan dosis 15-30mg/hari.
 Klobazam 10mg tablet dengan dosis 20- 30mg/hari.
 Lorazepam 1-2mg tablet dengan dosis 3- 6mg/hari.
c. Antidepresan, misalnya:
 Maprotiline 25/50/75mg tablet dengan dosis 25-75mg/hari.
 Amineptine100mg tablet dengan dosis 200mg/hari.
d. Relaksasi, hipnosis, biofeedback, dan tehnik relaksasi lain dapat membantu
mengurangi berat-ringan dan frekuensi serangan.
e. Psikoterapi bermanfaat pada kasus dengan ansietas atau depresi yang berat.
f. Fisioterapi, terdiri dari diatermi, masase, kompres hangat, TENS (Transcutaneus
Electrical Nerve Stimulation).
g. Tindakan lain seperti injeksi trigger point dengan 0,25 – 0,50 ml lidokain 1%
dicampur deksametason/triamsolon dalam volume yang sama dapat membantu
mempercepat penyembuhan nyeri kepala tegang pada kasus-kasus tertentu.

2.3. Diagnosa Sakit Kepala


ANAMNESIS: “H. SOCRATESS”
Anamnesis merupakan langkah pertama dalam manajemen nyeri kepala. Peran
anamnesis memegang posisi paling penting dalam manajemen nyeri kepala,
mengingat pada pemeriksaan fisik dan neurologis pada pasien dengan nyeri kepala
sering ditemukan normal. Ada beberapa langkah dalam anamnesis pasien dengan
nyeri kepala. Beberapa langkah anamnesis pasien dengan nyeri kepala ini secara
sistematis tersusun dalam Tabel 1., yang disingkat dengan H. SOCRATESS. Tanpa
anamnesis riwayat nyeri kepala yang cukup, intervensi diagnostik dan pengobatan
yang kita berikan pada pasien dengan nyeri kepala bisa keliru. Ada kalanya
pemeriksaan penunjang yang seharusnya tidak perlu dilakukan dapat dilakukan, atau
sebaliknya uji diagnostik atau laboratorik yang penting malah tidak dilakukan.
Sebelum melakukan anamnesis pada pasien dengan nyeri kepala, data dasar perlu
diambil terlebih dahulu.
1
Tabel 1. Langkah Anamnesis Pasien dengan Nyeri Kepala (“H. SOCRATESS”).
Langkah pertama dalam manajemen
pasien dengan nyeri kepala adalah penggalian
riwayat. Tujuan penggalian riwayat nyeri kepala adalah untuk memberikan pandangan
yang komprehensif tentang nyeri kepala pasien dan mengetahui komorbiditas yang
terkait atau masalah yang mungkin mempengaruhi diagnosis dan perawatan. Saat
menggali riwayat nyeri kepala ini dokter berkesempatan untuk menjalin hubungan
yang baik dengan pasien. Hubungan yang baik dengan pasien akan membantu proses
terapeutik yang sedang berlangsung.
Riwayat penting untuk membedakan jenis nyeri kepala, apakah termasuk nyeri
kepala primer ataukah nyeri kepala sekunder. Beberapa riwayat yang perlu digali
tercantum dalam Tabel 2.
Selain menggali riwayat penyakit sekarang, dokter harus tahu tentang riwayat
penyakit dahulu. Riwayat penyakit dahulu seperti adanya karsinoma (kanker
payudara, paru-paru, ginjal, melanoma) membuat dokter harus mempertimbangkan
diagnosis tumor metastasis. Trauma kepala dapat menyebabkan nyeri kepala pasca-
trauma, hematoma subdural, atau diseksi arteri ekstrakranial. Berbagai macam
gangguan terkait dengan gigi, sinus, telinga, atau hidung dapat muncul sebagai nyeri
kepala.
Nyeri kepala harian yang secara kronis dapat menjadi awal dari depresi.
Depresi dan epilepsi sering terjadi bersamaan dengan migrain. Komorbiditas
merupakan faktor penting dalam memilih terapi akut atau pencegahan. Komorbiditas
dengan asma mengharuskan dokter menghindari pemberian beta bloker. Komorbiditas
dengan hipertensi mewajibkan pemberian beta bloker. Terapi pencegahan depresi bisa
diberikan obat amitriptilin.

Tabel 2. Riwayat yang Harus Digali pada Pasien dengan Nyeri Kepala.

Riwayat pengobatan pasien juga perlu diketahui. Nitrat, antihistamin,


kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon dapat menyebabkan nyeri kepala. Selain itu
obat-obatan bebas yang dikonsumsi jangka lama dapat menyebabkan terjadinya MOH
(Medication Overuse Headache).
Dalam menghadapi kasus nyeri kepala dokter perlu tahu latar belakang sosial
dan psikologis mereka. Riwayat sosial yang perlu digali ini meliputi riwayat keluarga,
pekerjaan, pendidikan dan kebiasaan/ hobi. Stressor di rumah, di sekolah, dan di
tempat kerja harus dipahami, meskipun dokter tidak harus mengaitkan gangguan nyeri
kepala primer semata-mata pada stres. Alkohol, tembakau, dan obat yang dijual bebas
dapat berkontribusi pada patogenesis nyeri kepala.
Banyak penderita migren melaporkan anggota keluarga besarnya ada yang
menderita migren. Migren memiliki komponen genetik. Genetik juga berperan pada
TTH, baik TTH frekuen maupun TTH kronik. Penyebab nyeri kepala sekunder seperti
aneurisma serebral mungkin juga didapatkan riwayat keturunan dalam keluarga.
Dari penggalian riwayat ini dokter akan memiliki gambaran umum tentang
tingkat disabilitas yang diakibatkan oleh nyeri kepala pasien. Dokter akan mengetahui
bagaimana dampak nyeri kepala pada kehidupan keluarga, sekolah atau pekerjaan,
dan kehidupan sosial. Untuk menghemat waktu dokter, pasien seyogyanya diminta
terlebih dahulu menuliskan semua riwayat tersebut secara rinci sebelum pertemuan
awal dengan dokter.
Site (Tempat)
Lokasi dan sisi nyeri kepala dapat mengarahkan dokter pada diagnosis tertentu. Sisi
nyeri kepala pada migren atau sakit kepala klaster dan sefalgia trigeminal-otonomik
yang lain adalah pada satu sisi kepala (unilateral), sedangkan pada TTH sisi nyerinya
bilateral atau di seluruh kepala (holocephalic). Nyeri pada migren bisa muncul di
kanan mapupun di kiri. Daerah yang terkena biasanya di daerah frontal dan temporal
kepala, namun kadang juga melibatkan daerah kepala lain dan leher. Tidak jarang
nyeri kepala pada migren juga muncul di daerah occipitonuchal dan frontotemporal.
Nyeri kepala dengan serangan berulang dan "terkunci pada satu sisi" mungkin juga
merupakan gejala akibat penyakit organik yang mendasari.

Origin (Tempat Asal)


Nyeri pada migren bisa muncul di kanan mapupun di kiri. Daerah yang terkena
biasanya di daerah frontal dan temporal kepala, namun kadang juga melibatkan
daerah kepala lain dan leher. Tidak jarang nyeri kepala pada migren juga muncul di
daerah occipitonuchal dan frontotemporal. Rasa nyeri pada nyeri kepala tipe tegang
(TTH) berasal dari dahi.

Character (Khas)
Karakteristik nyeri kepala pada migren adalah berdenyut dan pada TTH adalah rasa
menekan atau mengikat. Pada klaster nyeri yang dirasakan adalah membosankan, rasa
seperti dibor, atau nyeri yang sangat hebat atau pedih. Migren ada yang disertai aura
dan ada yang tidak. Aura biasanya mendahului nyeri kepala migren. Kadang-kadang
aura terjadi bersamaan dengan nyeri kepala migren. Durasi aura berkisar antara
beberapa menit menit sampai satu jam. Aura pada migren yang paling umum terjadi
adalah aura visual dan sensorik. Aura motorik dan gangguan berbahasa jarang terjadi.
Aura visual dan sensorik terdiri dari gejala positif atau negatif. Gejala visual positif
berupa pola terang atau kompleks, seperti skotoma zigzag yang gemilang, atau berupa
bintik- bintik dan seperti cahaya senter. Gejala visual negatif berupa gangguan lapang
pandang, skotoma kosong, atau kabur. Aura sensorik dapat berupa hipersensitivitas
atau parestesia.
Serangan neuralgia trigeminal berupa serangan paroksismal sesaat seperti
nyeri kesetrum. Nyeri seperti terbakar atau berdenyut pada mata atau nyeri periorbital
juga dapat menunjukkan adanya iskemia di daerah vertebrobasilar, perluasan
aneurisma pada dasar tengkorak, diseksi pembuluh darah ekstrakranial atau
intrakranial, oklusi sinus dural, atau inflamasi pada sinus kavernosus. Penyebab
nonvaskular termasuk sakit kepala klaster, short-lasting unilateral neuralgiform
headache with conjunctival injection and tearing (SUNCT), gangguan mata, dan
inflammatory meningeal syndromes.
Penyebab vaskular pada kasus nyeri kepala seperti perdarahan subarachnoid
aneurismal, apopleksi pituitari, dan reversible cerebral vasoconstriction syndrome
biasanya muncul dengan gambaran nyeri kepala seperti tersambar petir (thunderclap
headache).

Radiation (Penjalaran)
Nyeri pada TTH menjalar dari dahi menuju kepala belakang atau menuju ke
temporomandibular joint. Nyeri kepala infratentorial, occipitonuchal, dan tulang
belakang servikal dapat memberikan nyeri rujuk (menjalar) pada dahi atau mata. Hal
ini terjadi karena adanya konvergensi aferen nosiseptif servikal pada servikal ke dua
dan ke tiga dengan aferen trigeminal dalam nukleus trigeminal kaudal dari batang
otak. Nyeri rujuk lain terjadi pada saat darah atau nanah menuju ruang subarachnoid.
Darah atau nanah dalam ruang subarachnoid akan menimbulkan nyeri kepala akut.
Nyeri kepala akut ini dapat bergerak ke bawah menyusuri kolumna spinalis menuju
daerah interskapula atau punggung bawah.

Associated Symptoms (kumpulan gejala yang terkait)


Mual, muntah umum terjadi pada nyeri kepala migren. Adanya mual dan muntah ini
membantu konfirmasi diagnosis migren, namun bukan merupakan gejala yang
patognomonik untuk migren. Muntah merupakan gejala yang patognomonik pada
pada peningkatan tekanan intrakranial. Muntah ini juga bisa menyertai gangguan pada
daerah postrema dari medula atau pada infeksi sistemik. Fotofobia, fonofobia dan
osmofobia atau olfaktofobia sering menyertai migren, meskipun gejala-gejala ini juga
mungkin terjadi pada meningitis.
Pasien dengan migren sering dapat memprediksi akan datangnya serangan nyeri
kepala karena adanya gejala pertanda yang terjadi beberapa jam atau hari sebelum
nyeri kepala. Gejala pertanda ini meliputi perubahan suasana hati, nafsu makan,
konsentrasi, dan pola tidur.
Gejala visual sesaat mendukung diagnosis migren. Namun, gangguan visual
sesaat yang disertai dengan gangguan ketajaman visual progresif (dengan atau tanpa
gangguan lapang pandang atau papil edema) dapat terjadi pada pasien dengan
peningkatan tekanan intrakranial. Amaurosis terjadi pada pasien dengan neuropati
optik iskemik anterior sekunder akibat vaskulitis (misalnya: giant cell arteritis) atau
emboli retina dari aterosklerosis atau diseksi arteri karotis. Diplopia pada nyeri kepala
dapat merupakan manifestasi dari migren tipe basilar atau massa parasellar atau
aneurisma arteri komunikans posterior. Gangguan lapang pandang dapat disebabkan
oleh adenoma hipofisis atau hipertensi intrakranial idiopatik. Gejala dari infeksi
saluran pernapasan atas atau sakit gigi mungkin menunjukkan sinusitis akut sebagai
penyebab sakit kepala.
Parestesia yang berasal dari tangan ke wajah biasa terjadi pada migren. Selain
migren parestesia dari tangan ke wajah juga dapat merupakan manifestasi dari kejang
parsial sensorik atau transient ischemic attack.

Timing(Waktu)
Nyeri kepala primer dengan durasi singkat: detik sampai menit mengarah pada
sefalgia trigeminal- otonomik lain. Nyeri kepala primer dengan durasi hitungan jam
sampai hari mengarah pada nyeri kepala migren dan tension-type headaches, pada
migren yaitu selama 4-72 jam dan pada TTH selama setengah jam sampai 7 hari.
Migren dan tension-type headaches bisa berlangsung selama berhari-hari atau
mungkin berevolusi menjadi bentuk yang kronis (misalnya: lebih dari 15 hari per
bulan) atau berlangsung terus menerus. Frekuensi sakit kepala dalam sebuah episode
bisa berkali-kali per hari seperti pada sefalgia trigeminal-otonomik lain, berkali-kali
selama seminggu seperti pada nyeri kepala klaster, atau beberapa kali per minggu atau
bulan seperti pada serangan migrain atau tension type headache. Waktu nyeri kepala
pada klaster berada dalam dalam siklus diurnal, bulanan, atau tahunan.

Exacerbating & Relieving (Hal yang Memperparah dan Memperingan)


Exacerbating (Hal yang Memperparah)
Nyeri kepala pada migren bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin (seperti
berjalan atau naik tangga) sedangkan TTH tidak diperberat dengan aktivitas fisik yang
rutin.
Nyeri kepala migren berhubungan dengan menstruasi, ovulasi, stres, hormonal,
kelelahan, kurang tidur, depresi, atau lapar. Demikian pula faktor lingkungan seperti
asap, cahaya silau atau cahaya berkelap-kelip, parfum atau bau kimia juga dapat
mencetuskan migren.
Anggur merah merupakan penyebab klasik migrain. Alkohol adalah pemicu
nyeri kepala klaster. Perubahan dalam kebiasaan tidur berhubungan dengan
eksaserbasi nyeri kepala baik pada klaster maupun migren. Sleep apnea dapat
menyebabkan nyeri kepala pagi hari. Postur tegak memperburuk nyeri kepala akibat
hipotensi intrakranial, yang dapat terjadi secara spontan atau iatrogenik. Posisi
telentang, atau perubahan posisi, mungkin memperburuk nyeri kepala hipertensi
intrakranial. Nyeri kepala karena peningkatan tekanan intrakranial, kista koloid
ventrikel ke tiga, dan malformasi Arnold-Chiari khas diperburuk oleh batuk atau
manuver valsava. Batuk atau manuver valsava dapat memicu nyeri kepala primer
migren. Nyeri kepala terkait dengan aktivitas seksual harus dicurigai sebagai red flags
aneurisma intrakranial, meskipun bisa jadi hanya merupakan nyeri kepala benigna
berulang.

Relieving (Hal yang Memperingan)


Biasanya penderita migren berkurang rasa nyeri kepalanya saat dipakai tidur atau
beristirahat di sebuah ruangan gelap dan tenang. Pasien dengan nyeri kepala klaster
dapat menggunakan berbagai teknik untuk meringankan nyeri kepala mereka, mulai
dari pengobatan rumahan seperti kompres dingin, hangat, teknik relaksasi, obat
herbal, obat resep, dll.

Severity (Derajat Keparahan/ Intensitas)


segera merujuk pasien ke neurolog. Apabila dokter neurolog yang menemukan tanda
bahaya (red flags), maka tindakan selanjutnya adalah segera melakukan pemeriksaan
penunjang dan memberi terapi sesuai dengan diagnosis yang telah ditetapkan.

Pemeriksaan Fisik Umum


Perubahan kulit dapat dikaitkan dengan berbagai etiologi nyeri kepala. Bintik café-au-
lait merupakan tanda neurofibromatosis. Neurofibromatosis ini terkait dengan
meningioma intrakranial dan schwannoma. Kulit kering, alopesia (kebotakan), dan
pembengkakan terlihat pada hipotiroidisme. Lesi melanotik ganas mungkin
berhubungan dengan penyakit metastasis ke otak.
Pemeriksaan Fisik Neurologi
Auskultasi bising di daerah karotis dan arteri vertebral dan orbit dapat
memperingatkan klinisi akan potensi stenosis arteri atau diseksi, atau malformasi
arteriovenous.
Pemeriksaan saraf kranial dapat menjadi petunjuk etiologi nyeri kepala.
Gangguan penciuman tersering disebabkan oleh trauma kepala. Gangguan penciuman
menunjukkan adanya gangguan pada alur penciuman (olfactory groove), misalnya
tumor frontotemporal. Pada pemeriksaan funduskopi, adanya perdarahan atau
papilledema mengharuskan dilakukannya imejing yang cepat untuk menyingkirkan
kemungkinan lesi desak ruang. Pemeriksaan lapang pandang yang menunjukkan
defek lapang pandang bitemporal ditemukan pada tumor hipofisis.
Selama serangan nyeri kepala klaster, dokter dapat menemukan adanya
lakrimasi ipsilateral, rhinorrhea, ptosis, miosis, dan wajah berkeringat pada pasien.
Kelainan gerakan mata bisa disebabkan oleh gangguan saraf okulomotor akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Saraf kranial lainnya dapat dipengaruhi oleh
berbagai penyebab. Jika keterlibatan bersifat tidak menyeluruh, asimetris, dan
progresif, maka penyebab infiltratif seperti neoplasma, meningitis TB, dan sarkoidosis
harus dipertimbangkan.

RED FLAGS
Red flags adalah tanda bahaya atau kondisi yang harus diwaspadai. Beberapa hal yang
terkategori sebagai red flags pada kasus nyeri kepala terangkum dalam Tabel 3.

1
Tabel 2. Red Flags (Tanda Bahaya) untuk Nyeri Kepala: “SNOOP”.

Systemic Symptoms
Systemic symptoms (simptom sistemik) yang merupakan tanda bahaya pada kasus
nyeri kepala antara lain: demam, kaku leher, penurunan berat badan, ruam, menggigil,
berkeringat di malam hari. Kemungkinan diagnosis Apabila kasus nyeri kepala
disertai dengan adanya simptom sistemik, maka nyeri kepala masuk dalam kategori
red flags (bendera merah). Hati-hati mungkin nyeri kepala yang ada bukan nyeri
kepala primer. Kemungkinan diagnosis nyeri kepala yang disertai dengan simptom
sistemik bisa bermacam-macam, antara lain meningoensefa-litis, gangguan vaskuler,
arteritis, atau penyebab sekunder yang lain.

Secondary Headache Risk Factors


Beberapa penyakit seperti HIV, kanker, meningitis, tumor metastasis, dan gangguan
intra kranial lain dapat mengakibatkan terjadinya nyeri kepala. Nyeri kepala karena
adanya gangguan struktural seperti HIV, kanker, meningitis, tumor metastasis, dan
gangguan intra kranial lain terkategori dalam nyeri kepala sekunder. Bila didapatkan
kasus nyeri kepala pada orang dengan penyakit-penyakit yang berisiko untuk terjadi
nyeri kepala maka nyeri kepala ini masuk dalam (secondary headache risk factors.

Seizures
Setiap nyeri kepala yang disertai dengan kejang maka dokter wajib berhati-hati karena
terkategori dalam red flags. Kejang bisa diakibatkan oleh penyakit yang mendasari.
Penyakit yang mendasari terjadinya kejang bermacam-macam, misalnya: tumor,
vaskular, trauma kepala, dll.

Neurologic Symptoms or Abnormal Signs


Simptom neurologis atau tanda abnormal bisa muncul bermacam-macam. Contoh
simptom neurologis atau tanda abnormal adalah: kebingungan, gangguan
kewaspadaan, penurunan kesadaran, atau adanya tanda-tanda fokal. Apabila
didapatkan nyeri kepala dengan simptom neurologis atau tanda abnormal maka dokter
wajib berhati-hati (red flags). Harus curiga ada sebab yang mendasari terjadinya nyeri
kepala. Nyeri kepala yang disertai dengan simptom neurologis atau tanda abnormal
kemungkinan diagnosisnya adalah diseksi servikal, stroke, SDH, EDH, apopleksi
pituitari, abses, thrombosis vena, tumor, AVM, meningitis karsinomatosa/ infeksiosa,
hipertensi intrakranial.

Onset
Onset yang harus diwaspadai sebagai tanda bahaya (red flags) adalah: nyeri kepala
yang datang secara tiba-tiba, yang bersifat mendadak, yang baru pertama kali muncul,
atau yang dipicu oleh manuver valsava atau perubahan posisi. Apabila disertai onset
tersebut maka diagnosis yang mungkin adalah: SAH, AVM, tumor primer, tumor
metastasis, SAH, ICH, abses, meningitis, thrombosis vena, hipertensi intrakranial, dll.
Onset dan perjalanan nyeri kepala dari waktu ke waktu memiliki implikasi
diagnostik dan terapeutik. Nyeri kepala dengan onset cepat berhubungan dengan nyeri
kepala klaster, sindrom SUNCT, dan trigeminal neuralgia. Nyeri kepala dengan onset
mendadak mengarah pada dugaan adanya mekanisme vaskular yang mendasari seperti
perdarahan subarachnoid. Onset nyeri kepala akibat gangguan oftalmologik dan
infeksi juga mendadak. Biasanya, pemeriksaan fisik dapat membantu dalam
membedakan kondisi yang serius. Nyeri kepala lain meskipun onsetnya dahsyat, bisa
jadi prognosisnya jinak. Contohnya adalah nyeri kepala yang berhubungan dengan
aktivitas seksual, batuk, dan mengejan.

Older
Usia tua pada kasus nyeri kepala merupakan tanda bahaya (red flags). Nyeri kepala
yang dimulai setelah usia 50 tahun mungkin disebabkan oleh kondisi serius, seperti:
giant cell arteritis, lesi massa, atau penyakit serebrovaskular. Nyeri kepala atau nyeri
wajah pada usia lanjut bisa diakibatkan oleh obat-obatan, penyakit sistemik,
postherpetic neuralgia (PHN), trigeminal neuralgia, atau gangguan pada kepala, leher,
mata, telinga, atau hidung. Untuk itu, pemeriksaan tambahan dilakukan saat nyeri
kepala muncul pada pasien usia tua baru dengan onset baru, terdapat perubahan pola
nyeri kepala dibandingkan dengan yang sudah ada, atau pemeriksaan fisik didapatkan
kelainan. Pada keadaan ini, MRI kepala dan laju endap darah diperlukan untuk
membantu mengidentifikasi atau mengeksklusi gangguan struktural dan giant cell
arteritis.

Progression of Headache
Nyeri kepala yang semakin lama semakin memberat (progresif) merupakan tanda
bahaya (red flags). Pemberatan pada nyeri kepala bisa dilihat dari adanya perubahan
frekuensi serangan, tingkat keparahan, atau gambaran klinis. Perubahan frekuensi
nyeri kepala bisa menjadi penyebab kunjungan ke dokter, misalnya ketika serangan
migren meningkat frekuensinya menjadi nyeri kepala harian atau hampir setiap hari
terjadi. Apabila ada nyeri kepala yang semakin lama semakin memberat (progresif)
maka dokter perlu mencurigai bahwa nyeri kepala yang terjadi bukan nyeri kepala
primer. Nyeri kepala yang terjadi tersebut mungkin disertai kelainan yang mendasari,
seperti: perdarahan sub dural (SDH), tumor, atau Medication Overuse Headache
(MOH). Apabila nyeri kepala progresif terjadi dalam hitungan minggu atau bulan
maka kecurigaan mengarah pada: peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK),
Medication Overuse Headache (MOH), atau penyakit sistemik. Apabila nyeri kepala
progresif terjadi subakut maka kemungkinan penyebabnya adalah: Idiopathic
Intracranial Hypertension (IIH), Sub Dural Hemorrhage (SDH) bilateral, lesi
obstruktif midline, atau sindroma meningitis kronik.

Positional Change
Nyeri kepala yang memburuk dengan perubahan posisi perlu diwaspadai (red flags).
Perubahan posisi yang memperburuk nyeri kepala misalnya adalah: berdiri tegak atau
berbaring.
Papil edema
Papil edema merupakan tanda bahaya (red flags). Nyeri kepala yang disertai dengan
adanya papil edema maka perlu dicurigai akan adanya penyebab sekunder yang
mendasari nyeri kepala, misalnya: tumor, IIH (Gambar 1), meningitis, atau ensefalitis.

Precipitated Factors
Faktor pencetus nyeri kepala misalnya: batuk, tenaga, aktivitas seksual, manuver
valsava, atau tidur). Nyeri kepala yang diperberat oleh batuk, tenaga, aktivitas
seksual, maneuver valsava, atau tidur tumor curiga akan Arterio Venous
Malformation (AVM), Sub Arachnoid Hemorrhage (SAH), atau penyakit vaskuler.
Jika pada anamnesis atau pemeriksaan didapatkan red flags, maka pemeriksaan
diagnostik mungkin diperlukan untuk mengeksklusi penyebab sekunder nyeri kepala.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjahrir H, Samino, Ali W, editor. Konsensus Nasional Penanganan Nyeri


Kepala di Indonesia. Jakarta: PERDOSI. 2015.

2. Diamond S. Migrain Headache. In: Diamond ML, Solomon GD, editors.


Diamond and Dalessio’s: The Practicing Physician’s Approach to Headache.
6th ed. Philadelphia: WB. Saunders. 2014. p. 46-70.
3. Greenberg DA, Aminoff MJ, Simon RP. Clinical Neurology. 5th ed. New
York: McGraw-Hill/Appleton & Lange. 2014.

4. Lumbantobing, S,M. Neurologi Klinik. Jakarta : FKUI. 2015.

5. Mardjono, Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat. 2015.

6. R. P., Lewis, et al. Merrit’s Neurology. 11th ed. New York : Lippincott
Williams and Winkins. 2005.

7. Ropper A and Brown R.ed. . Adam and Victor’s Principle of Neurology 8th
Edition. New York: Mc Graw Hill-Medical Publishing Division. 2012.

Anda mungkin juga menyukai