Anda di halaman 1dari 7

KASUS PEMBUNUHAN NENEK ELIH (LEGAL OPINION)

Anisa Aulia
anisaaulia170@students.unnes.ac.id

PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan dua aspek yang
saling berkaitan dan sangat melekat di masyarakat. Terlebih lagi di Negara Indonesia,
Hukum dan Hak Asasi Manusia memiliki tempat tersendiri dan menjadi prioritas agar
kelangsungan Negara dapat berjalan dan menjunjung Keadilan para rakyatnya. Begitu
banyak kejahatan yang timbul dikalangan masyarakat, dimulai dari kejahatan bertaraf
ringan sampai kejahatan bertaraf berat.
Seiring dengan globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi di era
modern ini , perilaku manusia didalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara justru
semakin kompleks. Perilaku yang demikian apabila ditinjau dari segi hukum, tentunya
ada perilaku yang sesuai dengan norma dan ada yang dapat dikategorikan sebagai bentuk
pelanggaran dari norma. Perilaku yang menyimpang dari norma biasanya akan
menjadikan suatu permasalahan baru dibidang hukum dan merugikan masyarakat.1
Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai
penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan
terganggunya ketentraman dan ketertiban terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
Kejahatan yang dihadapi oleh manusia mengakibatkan masalah yang dihadapi oleh
manusia menjadi datang silih berganti, sehingga dapatlah dikatakan bahwa hal tersebut
menjadikan manusia sebagai makluk yang kehilangan arah dan tujuan dimana manusia
mempunyai ambisi, keinginan dan tuntutan yang dibalut oleh nafsu. Akan tetapi, karena
hasrat yang berlebihan gagal dikendalikan dan dididik, maka mengakibatkan masalah
yang dihadapinya semakin bertambah banyak dan beragam.
Kejahatan yang terjadi dewasa ini bukan hanya menyangkut kejahatan terhadap
harta benda dan kesusilaan saja, akan tetapi kejahatan terhadap perenggutan hak asasi
juga semakin meningkat jumlahnya. Hampir setiap kali kita membaca di koran maupun
berita di media elektronik tentang terjadinya perbuatan-perbuatan penyerangan terhadap
tubuh dan merampas hak hidup seseorang, baik dilakukan orang pribadi maupun
sekelompok orang.2
Dalam kasus ini, seorang nenek bernama Elih merupakan korban pembunuhan
salah sasaran. Dia dikeroyok oleh lima orang karena disangka anggota Ormas PP yang
sedang tidur di pos. Menurut pengakuan para tersangka penyerangan tersebut merupakan
aksi balas dendam karena pacar salah atu tersangka diganggu oleh salah satu anggota
Ormas PP tersebut. peristiwa itulah yang mengawali penyerangan terhadap pos milik
Ormas PP yang kebetulan nenek Elih sedang tertidur disana.

1
Seodjono Dirdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia, (Bandung; Citra Aditya Bakti, 2002), 11
2
Cacuk Sudarsono, “Pelaksanaan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan,”
Unnes Law Journal 4, no. 1 (2015): 22
Adapun para tersangka dalam keadaan mabuk datang menuju pos Ormas PP
dengan membawa beberapa benda tajam dalam keadaan mabuk dan saat melihat ada
seseorang didalamnya maka mereka langsung melakukan pengeroyokan hingga korban
pun meninggal dunia.
ANALISIS ATURAM HUKUM
Setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan atas diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya. Bahkan, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan perlindungan hukum terhadap
kepentingan-kepentingan itu dalam bentuk memberikan ancaman hukuman terhadap
perbuatan yang dianggap undang-undang ini sebagai kejahatan karena merugikan orang
lain. Untuk perlindungan terhadap diri sendiri dan keluarga, adanya seperangkat
ketentuan tentang kejahatan terhadap nyawa, seperti pembunuhan ( Pasal 338 – Pasal 350)
jelas dapat menjadi landasan hukum untuk memberikan perlindungan yang diharapkan.
Perlindungan-perlindungan tersebut merupakan hak setiap orang yang ada di Indonesia,
tidak terbatas pada warga negara saja. Dengan adanya ketentuan-ketentuan ini, aparat
hukum memiliki tugas untuk memproses setiap bentuk pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan tersebut.
Banyaknya motif kejahatan yang ada di Indonesia namun dapat dikatakan bahwa
Pembunuhan berencana merupakan salah satu kejahatan yang mendapatkan ancaman
terberat jika dibandingkan dengan kejahatan pembunuhan lainnya. Di KUHP, ketentuan
tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II Bab
XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350. Pembunuhan itu sendiri
dapat dibagi menjadi dua yaitu pembunuhan disengaja dan pembunuhan tidak disengaja.
Untuk pembunuhan disengaja, terdiri menjadi empat, yang pertama adalah pembunuhan
biasa.
Pertama pada pembunuhan biasa, Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa pemberian
sanksi atau hukuman pidananya adalah pidana penjara paling lama lima belas tahun. Di
sini disebutkan “paling lama” jadi tidak menutup kemungkinan hakim akan memberikan
sanksi pidana kurang dari lima belas tahun penjara.
Kedua, Pembunuhan dengan pemberatan atau Gequalificeerde Doodslag yang
diatur dalam Pasal 339 KUHP, yang bunyinya sebagai berikut : “Pembunuhan yang diikuti,
disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan
perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada
hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam
tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-
lamanya dua puluh tahun.” Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah:
“diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan.” Kata “diikuti” (gevold) dimaksudkan
diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan
dilakukannya kejahatan lain.
Ketiga, Pembunuhan berencana. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa
pembunuhan berencana merupakan kejahatan dengan ancaman pidana terberat
dibandingkan dengan kejahatan pembunuhan lainnya dimana ancaman terberatnya
pidana mati. Sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan terhadap nyawa lainnya,
yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah adanya perencanaan terlebih dahulu.
Selain diancam dengan pidana mati, pelaku tindak pidana pembunuhan berencana juga
dapat dipidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun.
Keempat, Pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan yang sangat dan tegas
oleh korban sendiri, yang diatur dalam ketentuan Pasal 344 KUHP. Kejahatan jenis ini
mempunyai unsur khusus, yaitu “atas permintaan yang tegas” (uitdrukkelijk) dan
sungguhsungguh/nyata (ernstig). Tidak cukup hanya dengan persetujuan belaka, karena
hal itu tidak akan memenuhi perumusan Pasal 344 KUHP. Selain pengaturan kejahatan
pembunuhan disengaja, juga terdapat pengaturan mengenai kejahatan pembunuhan tidak
disengaja. Bentuk kejahatan ini akibat dari tidak dikehendaki oleh pelaku. Kejahatan jenis
ini diatur dalam Pasal 359 KUHP. Terhadap kejahatan yang melanggar Pasal 359 KUHP
ini ada dua macam hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelakunya yaitu berupa
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pembunuhan dengan rencana atau yang disingkat dengan pembunuhan
berencana, menurut M.H. Tirtaamidjaja mengatakan bahwa direncanakan lebih dahulu
bahwa ada sesuatu jangka waktu, bagaimana pendeknya untuk mempertimbangkan, dan
untuk berfikir dengan tenang. Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada
dasarnya mengandung 3 syarat atau unsur, yaitu Memutuskan kehendak dalam suasana
tenang; Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan
pelaksanaan kehendak; dan Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.3

UJI SYARAT
Dalam Pasal 340 KUHP (Kitab Undang –Undang Hukum Pidana) berbunyi,
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang
lain, dihukum karena pemunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”. Berkaitan dengan
kasus diatas, dapat kita ketahui bahwa kasus pembunuhan nenek Elih yang dilakukan oleh
lima orang pelaku merupakan pembunuhan berencana dengan motif balas dendam
namun berujung pada salah target atau sasaran.
Unsur subyektif yang terdapat dalam pasal tersebut ialah dengan sengaja, dengan
rencana lebih dahulu. Sedangkan unsur obyektifnya ialah perbuatan (menghilangkan
nyawa), Obyeknya (nyawa orang lain).4 Dari uraian kasus diatas, perbuatan yang
dilakukan oleh para tersangka masuk dalam kategori pembunuhan berencana. Adapun
perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan pasal 340 KUHP. Kemudian, unsur
subyektifnya telah dipenuhi yaitu para tersangka melakukan pengeroyokan tersebut
dengan sengaja, dan dengan rencana terlebih dahulu. Hal ini terlihat para tersangka
menyiapkan benda tajam untuk membunuh korban.
Kemudian melihat kepada syarat melawan hukumnya, suatu perbuatan dikatakan
melawan hukum apabila orang tersebut melanggar undang-undang yang ditetapkan oleh
hukum. Tidak semua tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum karena ada

3
Yericco Kasworo “Pembunuhan dengan Rencana dan Pasal 340 KUHP” Jurnal Recht Vinding, (2016): 4
4
https://www.kompasiana.com/siagianbene/tindak-pidana-pembunuhan-berencana-dan-penjelasan-
pasal-340-kuhp_57cae2b40bb0bdb971401f4f
alasan pembenar, berdasarkan pasal 50, pasal 51 KUHP. Sifat dari melawan hukum itu
sendiri meliputi :
 Sifat formil yaitu bahwa perbuatan tersebut diatur oleh undang-undang.
 Sifat materiil yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak selalu harus diatur dalam
sebuah undang-undang tetapi juga dengan perasaan keadilan dalam masyarakat.
Perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi :
 Fungsi negatif yaitu mengakui kemungkinan adanya hal-hal diluar undang-undang
dapat menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan yang memenuhi rumusan
undang-undang.
 Fungsi positif yaitu mengakui bahwa suatu perbuatan itu tetap merupakan tindak
pidana meskipun tidak dinyatakan diancam pidana dalam undang-undang, apabila
bertentangan dengan hukum atau aturan-aturan yang ada di luar undang-undang.
Sifat melawan hukum untuk yang tercantum dalam undang-undang secara tegas
haruslah dapat dibuktikan. Jika unsur melawan hukum dianggap memiliki fungsi positif
untuk suatu delik maka hal itu haruslah dibuktikan. Jika unsur melawan hukum dianggap
memiliki fungsi negatif maka hal itu tidak perlu dibuktikan.
Maka dari uraian diatas, kita kaitkan pada kasus pembunuhan nenek Elih dimana
perbuatan atau tindakan dari para pelaku sudah memenuhi unsur perbuatan yang bersifat
melawan hukum dimana perbuatan tersebut termasuk salah satu perbuatan yang dilarang
dalam undang-undang dan juga melanggar norma kesusilaan.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu
dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi
pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam
melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Dalam kebanyakan
rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan
salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka
apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau
biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi
semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk
melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan
yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki
dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini
adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah
memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan
memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat. Jika
dikaitkan dengan kasus diatas, maka telah terdapat unsur kesengajaan para pelaku yang
berniat untuk merampas nyawa orang lain dan mereka mengetahui akibat hukum yang
akan timbul akibat perbuatan mereka.
Disamping unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian
atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan
yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau bewuste schuld.
Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya
akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.
Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini dapat
didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu
menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku
dapat berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-
undang, atau pelaku dapat tidak melakukan perbuatan itu sama sekali.
Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai
kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan
adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku
dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang
dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang. Maka dari uraian tersebut diatas, dapat
dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena
perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara
perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu, maka hukuman pidana dapat
dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya itu.
Lalu sebagaimana kita ketahui bahwa merampas hak hidup orang lain termasuk
pelanggaran HAM berat, lalu bagaimana mekanisme atau cara agar dapat menyelesaikan
kasus pelanggaran diatas? Bila dipetakan, ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai
mekanisme penyelesaiannya, antara lain melalui mekanisme hukum nasional dan
restoratif hukum.
Dalam penyelesaiannya, kasus pembunuhan nenek Elih sebagaimana diuraikan
diatas dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum naisional. Pasal 10 Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum
acara yang berdasarkan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan
di pengadilan mengunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Konsep keadilan restoratif atau restorative justice merupakan suatu pendekatan
yang lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi
pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Menurut Agustinus Pohan, apa yang
dimaksud dengan restorative justice merupakan konsep keadilan yang sangat berbeda
dengan apa yang kita kenal saat ini dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia yang bersifat
retributif, restorative justice adalah sebuah pendekatan untuk membuat pemindahan dan
pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan.
Restorative Justice dibangun atas dasar nilai-nilai tradisional komunias yang
positif dan sanksi-sanksi yang dilaksanakan menghargai hak asasi manusia. Prinsip-
prinsip Restorative Justice adalah membuat pelaku bertanggung jawab untuk
memperbaiki kerusakan yang disebabkan karena kejahatannya, memberikan kesempatan
pada pelaku untuk membuktikan kapasitas dan kualitas sebaik dia mengatasi rasa
bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban,orang tua, keluarga,
sekolah atau teman bermainnya, membuat forum kerjasama, juga dalam masalah yang
berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya.
Restorative justice lebih menekankan pada upaya pemulihan dan bukan untuk
menghukum. Pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice menyediakan
kesempatan dan kemungkinan bagi korban kejahatan untuk memperoleh reparasi, rasa
aman, memungkinkan pelaku untuk memahami sbab dan akibat perilakunya dan
bertanggungjawab dengancara yang berarti dan memungkinkan masyarakat untuk
memahami sebab untama terjadinya kejahatan, untuk memajukan kesejahteraan
masyarakat dan mencegah kejahatan.5
Oleh karena itu, melihat tujuan dari perlindungan bagi korban pelanggaran HAM
maka, konsep keadilan restoratif atau restorative justice sejalan dengan capaian yang
diinginkan dalam pemberian perlindungan korban pelanggaran HAM. Berkaitan dengan
kasus yang telah diuraikan diatas, maka restorative justice juga dapat di menjadi salah
satu mekanisme penyelesaian masalah, namun kebanyakan orang memilih mekanisme
hukum acara pidana. Disamping itu korban tidak diketahui asal dan keberadaan anggota
keluarganya, maka yang digunakan adalah mekanisme hukum acara pidana agar
memberikan efek jerah bagi para pelaku.

KESIMPULAN
Dapat kita ketahui dalam kasus pembunuhan seorang nenek bernama Elih ini
dilakukan oleh lima orang pelaku merupakan pembunuhan berancana dengan motif balas
dendam yang salah target atau sasaran, dimana para pelaku berencana unutk membunuh
salah seorang dari anggota Ormas PP, karena mabuk maka saat mereka mulai melakukan
pengeroyokan di salah satu pos Ormas PP para pelaku tidak menyadari bahwa yang
mereka keroyok adalah seorang nenek.
Ada dua unsur dalam Pasal 340 KUHP yang telah terpenuhi, yaitu unsur subyektif
yang dimana tolak ukurnya ialah dengan sengaja, dengan rencana lebih dahulu.
Sedangkan unsur obyektifnya ialah perbuatan (menghilangkan nyawa), Obyeknya (nyawa
orang lain). Bila kita kaitkan pada kasus pembunuhan yang telah diuraikan diatas maka
unsur subyektifnya telah terpenuhi yaitu para peaku dengan sengaja merencanakan
terlebih dahulu lalu kemudian menyerang target, dan unsur obyektifnya jelas terpenuhi
karena para pelaku dengan sengaja telah merampas nyawa orang lain.
Terpenuhi juga unsur-unsur sifat melawan hukumnya dimana Sifat dari melawan
hukum itu sendiri meliputi, (1) Sifat formil yaitu bahwa perbuatan tersebut diatur oleh
undang-undang. Maka perbuatan membunuh atau merampas nyawa orang lain termasuk
perbuatan yang diatur dalam undang-undang. (2) Sifat materiil yaitu bahwa perbuatan
tersebut tidak selalu harus diatur dalam sebuah undang-undang tetapi juga dengan
perasaan keadilan dalam masyarakat. Kita telah mengetahui bahwa merampas nyawa
orang lain termasuk perbuatan yang melanggar keadilan dan norma kesusilaan yang hidup
di masyarakat.
Maka dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut dengan jelas perbuatan tersebut
akan menimbulkan akibat hukum yang dilarang oleh undang-undang dan diancam
hukuman sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan, dimana pada kasus yang telah
diraikan diatas perbuatan tersebut termasuk pembunuhan berencana yang diancam
pidana penjara paling lama 20 tahun, namun tidak menutup kemungkinan bahwa para
pelaku akan terjerat pasal berlapis dimana adanya tindakan penganiayaan dan
pengeroyokan.

5
Rena Yulia, “Keadilan Restoratif dan Korban Pelanggaran HAM (Sebuah Telaah Awal),” Jurnal Hukum
dan Peradilan 1, no. 3 (2012): 286
DAFTAR PUSTAKA
Dirdjosisworo, Seodjono. Pengadilan Hak Asasi Manusia. Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002.
Kasworo, Yericco“Pembunuhan dengan Rencana dan Pasal 340 KUHP” Jurnal Recht
Vinding, (2016).
Sudarsono, Cacuk. “Pelaksanaan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Tindak Pidana
Penganiayaan,” Unnes Law Journal 4, no. 1 (2015).
Yulia, Rena. “Keadilan Restoratif dan Korban Pelanggaran HAM (Sebuah Telaah
Awal),” Jurnal Hukum dan Peradilan 1, no. 3 (2012).
https://www.kompasiana.com/siagianbene/tindak-pidana-pembunuhan-berencana-
dan-penjelasan-pasal-340-kuhp_57cae2b40bb0bdb971401f4f

Anda mungkin juga menyukai