Anda di halaman 1dari 17

Essay_Mora Dingin

Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya


Oleh : Mora Dingin

I. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang memilki wilayah yang sangat luas. Sebagai negara kepulauan,
Indonesia terdiri atas wilayah laut dan pulau-pulau. Jumlah pulaunya lebih dari 17.000 buah. Luas
wilayah Indonesia yang meliputi daratan dan lautan seluruhnya seitar 7.081.369 KM persegi, dengan
rincian luas daratannya 1.904.569 KM persegi dan luas lautan nya 5.076.800 KM persegi serta panjang
pantai nya ± 81.497 km (Baca; Badan Pusat Statistik).
Dari wilayah yang begitu luas tersebut memiliki beragaman potensi kekayaan alam seperti sumber
daya hayati maupun non hayati. Bahkan juga menyimpan potensi permasalahan terkait tata kelola
lahan yang cukup kompleks. Pada umumnya tata guna lahan di Indonesia diperuntukkan untuk daerah
pemukiman, pertanian, perkebunan, pertambangan, kehutanan, perairan, Industri, trasportasi dan lain
sebagainya. Namun realita yang ada hari ini tata kelola dari peruntukan lahan tersebut dari waktu
kewaktu mengalami dinamika. Misalnya terkait dengan tata kelola lahan yang berhubungan dengan
pengelolaan sumber daya alam terkait sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan serta pertanian
mengalami permasalahan.
Potret permasalahan tata kelola lahan khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia
terjadi secara terbuka antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah, bahkan seringkali
permasalahan tersebut berakhir dengan konflik yang berujung terhadap tindakan kriminalisasi dan
kekerasan. Timbulnya persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang selama ini
telah mengabaikan hak-hak tenurial masyarakat lokal/adat dalam masalah agraria.
Dari tahun ke tahun konflik di sektor tata kelola lahan (agraria, hutan, perkebunan, pertambangan
sumber daya air dan sebagainya) terus mengalami eskalasi. Terjadinya konflik sumber daya alam tak
bisa pula lepas dari dominasi penguasaan yang dilakukan oleh negara dan pihak swasta terhadap
lahan. Negara dan pihak swasta melakukan monopoli dan manipulasi terhadap proses tata kelola
lahan, sehingga terjadi perbedaan akses. Karena itu hak-hak masyarakat cenderung terabaikan dan
terpinggirkan demi untuk melanggengkan kepentingan negara dan pihak swasta.
Permasalahan tata kelola lahan, merupakan persoalan yang telah diwariskan sejak zaman kolonial
Hindia Belanda hingga saat sekarang ini. Ditinjau dari sisi sejarah, maka perubahan kebijakan di masa
pemerintahan Hindia Belanda hingga masa kemerdekaan dan berlanjut di era reformasi bersumber
dari meningkatnya eskalasi konflik agraria berbasis kepentingan. Pada masa kolonial sumber-sumber
agraria sepenuhnya dikuasai oleh pemerintahan Hindia Belanda, ini dengan diterbitkannya kebijakan
Agrarische Wet 1870 (AW 1870). Tujuan utama dari AW 1870 ini adalah untuk membuka kemungkinan
dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pengusaha swasta agar membuka lahan dan hutan
untuk menjadikannya sebagai perkebunan besar. Dengan berazaskan domeinverklaring (dekrasi
kawasan) dimana semua tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya adalah domein (dimiliki)
negara, maka pemerintah selaku perwakilan negara memiliki landasan hukum dan membuktikan untuk
memberikan tanah-tanah tersebut kepada perkebunan-perkebunan swasta (Harsono dan Backman
dalam Afrizal, 2013:9). Sehingga penguasaan dan pengelolaan lahan oleh masyarakat sangat terbatas.
Kemudian, pasca kemerdekaan Indonesia pada tahun 1960, pemerintah Indonesia mencabut kebijakan
Agrarische Wet dan mengeluarkan hukum agraria baru yaitu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
No. 5 Tahun 1960. UUPA memuat kebijakan pertanahan pokok pemerintah Indonesia. Pertama,
penetapan Hak Menguasai Negara (HMN) atas tanah. Dalam pasal 2 dinyatakan “...bumi ...termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara....

1
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

Wewenang negara atas tanah dalam pasal 2 angka (2) ditetapkan dalam hal mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan tanah. Hal ini terlihat pula manifestasinya dalam
undang-undang sektoral seperti Undang-Undang Kehutanan (UUK). Dinyatakan bahwa pemerintah
berwenang:

“mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan; b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai
bukan kawasan hutan; dan c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan”. Kedua, negara
berwenang memberikan hak atas tanah (lih. Pasal 4 Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan).

Kebijakan pertanahan pokok yang tertuang dalam UUPA sama dengan kebijakan pokok yang tertuang
dalam Agrarische Wet yaitu, negara adalah badan yang memiliki kekuasaan tertinggi atas tanah di
Indonesia, dalam hal ini termasuk kawasan hutan (Afrizal, 2013: 10).

Pada masa orde baru (Orba) permasalahan tata kelola lahan semakin bertambah parah, khususnya
untuk sektor kehutanan. Munculnya Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 5 tahun 1967
semakin memperkuat posisi negara (pemerintah) dalam menguasai kawasan hutan. Sehingga tidak
mengherankan politik pembangunan kehutanan pada masa itu lebih cenderung berpihak kepada
kepentingan swasta. Akibatnya banyak izin-izin HPH/HTI dan HGU yang diterbitkan oleh pemerintah.
Sementara di satu sisi banyak masyarakat yang terpinggirkan atau terusir dari kawasan hutan.

Dinamika perjalanan konflik agraria pada masa orde baru menunjukan program yang bertujuan
meredistribusi kekayaan sumber daya alam dan memaksakan masyarakat untuk memberikan pajak
kepada penguasa sebagai pendukung orde baru, rezim yang digunakan oleh penguasa sebagai
antitesa dari program yang diilhami oleh komunitas masyarakat. Para pemilik tanah di pedesaan
melakukan penguasaan tanah dengan cara mempertahankan kepemilikan. Konflik dan kekerasan yang
terjadi masa orde baru memberikan trauma mendalam bagi masyarakat akibat terjadi eksploitasi
sumber daya yang dikuasai kolonial.

Kebijakan agraria dimasa orde baru memperlihatkan munculnya berbagai permasalahan yang
mendasari perjalanan konflik dan kekerasan sosial ditahun 1966. Konflik yang terjadi mencapai
150.000 hektar yang diperkirakan jatuh kepada pihak penguasa, sipil atau militer. Pada sektor agraria,
program berbasis agraria bertujuan untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Praktek program ini
pada giliranya memperkuat dan mengembangkan basis ekonomi kelompok-kelompok yang menjadi
tulang punggung orde baru.

Sejumlah kasus agraria di masa orde baru hingga sekarang, mengalami perkembangan konflik yang
dapat dilihat dari tingkat perebutan. Eskalasi konflik tersebut menunjukkan bahwa dimensi sengketa
lahan dianggap menjadi ciri pokok dalam perubahan struktural yang terjadi pada masa orde baru dan
berlanjut hingga sekarang. Dominasi konflik agraria yang terjadi masa orde baru berlangsung dalam
eksploitasi sumber daya atau pemerasan kekayaan pribumi yang diambil alih oleh kepentingan negara
dan segelintir orang untuk kemakmuran sendiri.

Konflik agraria di Indonesia bersumber dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam
mempertahankan haknya yang paling benar dan mengesampingkan aktor-aktor yang lain. Apalagi
aktor masyarakat yang tidak berdaya dari sisi ekonomi, hukum dan bahkan politik. Negara seakan
menyerang bukan melindungi warga, karena yang kita lihat adalah potret represif negara terhadap

2
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

masyarakat dalam kasus agraria di Indonesia melalui kekerasan, penggusuran, ketidakadilan dan cara-
cara lain untuk menghilangkan hak-hak masyarakat.

Prinsip-prinsip orientasi kebijakan yang disebutkan di atas memiliki cita-cita yang luar biasa jika
dipraktekkan oleh negara dan masyarakat dengan sungguh-sungguh. Dalam implementasi kebijakan
agraria, aktor negara bisa saja membelokkan tujuannya untuk merebut tanah-tanah milik masyarakat
dengan cara-cara kekerasan maupun monopoli yang tak dapat dihindari lagi, karena mereka mencari
keuntungan dari proses kepemilikan tanah.

Sejak jatuhnya rezim pemerintahan orde baru pada tahun 1998, krisis ekonomi, reformasi politik dan
desentralisasi telah menciptakan berbagai peluang dan tantangan bagi para pihak, termasuk
masyarakat sekitar hutan. Sekalipun desentralisasi memberi kewenangan yang lebih besar bagi
pemerintah untuk mengembangkan sumber daya alam di wilayahnya, namun persoalan kebutuhan
lahan untuk pertanian, pemukiman dan investasi bagi industri kehutanan, perkebunan dan
pertambangan tidak mudah untuk diselesaikan.

Konflik hak-hak kepemilikan atas lahan yang semakin marak di seluruh tanah air terjadi karena
persepsi yang berbeda soal hak kepemilikan atas lahan, tidak jelasnya hukum pertanahan dan
tumpang tindih antar peraturan. Sekalipun telah ada upaya penyelesaian konflik atas lahan baik antar
masyarakat, maupun antara masyarakat dengan pihak lain seperti perusahaan, namun masih belum
ada kejelasan soal hak properti, baik dalam bentuk hak kepemilikan maupun hak kelola.

Seiring dengan bertambahnya penduduk, tuntutan masyarakat semakin tinggi terhadap lahan
garapan sebagai sumber mata pencaharian. Terbatasnya lahan pertanian di sekitar hutan mendorong
masyarakat untuk mengokupasi serta memperluas lahan kegiatan pertanian yang seringkali masuk ke
dalam kawasan hutan. Di satu sisi, kawasan hutan sebagian dalam kondisi tidak berhutan dan cukup
potensial bagi kegiatan pertanian yang dapat memberi keuntungan sosial ekonomi masyarakat maupun
lingkungan. Di sisi lain upaya untuk memanfaatkannya secara optimal masih terkendala akibat tidak
jelasnya peran masyarakat.

Pertambahan jumlah penduduk, baik angka kelahiran atau masuknya pendatang di suatu
daerah menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya kebutuhan atas lahan sebagai sumber
penghidupan. Ketika lahan tidak cukup lagi untuk dibagi dan memenuhi kebutuhan hidup mendasar,
maka seorang aktor akan mencari lahan lain untuk memenuhi kekurangan tersebut. Akibatnya,
lahan baru dibuka demi memperluas lahan pertanian. Pembukaan lahan tidak hanya terjadi di
sekitar wilayah desa, namun meluas hingga areal kawasan hutan di sekitarnya yang dalam banyak
kasus melahirkan konflik-konflik lahan. Secara mendasar, masyarakat memandang pentingnya
kepastian lahan sebagai kebutuhan atas hak pengelolaan sumber daya alam.

Dari catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) selama tahun 2016 telah terjadi konflik agraria
sebanyak 450 kasus dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar
di seluruh provinsi di Indonesia. Jika di tahun sebelumnya tercatat 252 konflik agraria, maka terdapat
peningkatan signifikan di tahun ini, hampir dua kali lipat angkanya (Baca : KPA). Dari luas wilayah
konflik 1.265.027 hektar, perkebunan menempati urutan pertama dalam luasan wilayah, yakni 601.680
hektar. Disusul berturut-turut sektor kehutanan seluas 450.215 hektar, sektor properti seluas 104.379
hektar, sektor migas seluas 43.882 hektar, sektor infrastruktur seluas 35.824 hektar, sektor
pertambangan 27.393 hektar, sektor pesisir 1.706 hektar, dan terakhir sektor pertanian dengan luasan
5 hektar. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan dua kali lipat luasan
wilayah konflik di sektor perkebunan.

3
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

Konflik agraria tersebar di 34 Provinsi, dengan enam besar provinsi sebagai penyumbang konflik
tertinggi, antara lain: 1) Riau dengan 44 konflik (9,78 %), 2) Jawa Timur dengan 43 konflik (9.56 %), 3)
Jawa Barat sebanyak 38 konflik (8,44 %), 4) Sumatra Utara 36 konflik (8,00 %), 5) Aceh 24 konflik
(5,33 %), dan Sumatra Selatan 22 konflik (4,89 %).
Pada umumnya konflik-konflik yang sudah terjadi (sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, dll)
tersebut banyak yang berujung kepada tindak kekerasan yang dilakukan oleh negara maupun
perusahaan terhadap masyarakat lokal/adat bahkan tidak jarang sampai mengkriminalisasikan atau
memenjarakan warga masyarakat. Misalnya saja, kasus yang menimpa masyarakat adat kontu pada
tahun 2005, yang mana sebanyak 14 orang yang berasal dari anggota masyarakat Kontu ditangkap,
ditahan dan diperiksa di hadapan majelis pengadilan negeri Raha dengan tuduhan masyarakat telah
mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Vonispun
akhirnya dijatuhkan terhadap para terdakwa dengan pidana penjara antara 9 bulan sampai dengan 1
tahun kurungan (Firdaus,et al, 2007: 2).
Bahkan kondisi yang sangat miris lagi terkait dengan tata kelola lahan adalah telah terjadi ketimpangan
yang sangat jomlang sekali dalam penguasaan lahan di Indonesia. Dari data Badan Pertanahan
Nasional pada masa kepemimpinan Joyo Winoto, sebanyak 56% aset nasional yang berupa tanah,
mayoritas dalam bentuk konsesi perkebunan dikuasai oleh hanya 0,2% populasi Indonesia. Ironisnya
banyak tanah-tanah perkebunan itu justru dibiarkan terlantar atau berada dalan status konflik dengan
masyarakat (Shohibuddin, 2018;54). Kondisi ini semakin menambah buramnya permasalahan tata
kelola lahan di Indonesia. Berdasarkan gambaran-gambaran yang telah dismapaikan sebelumnya
tulisan ini hendak menjelaskan terkait dengan “Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi
Penyelesaiannya”
II. Pembahasan

 Gambaran Umum Terkait Tekanan dan Kerusakan Lahan

Sumberdaya lahan di muka bumi ini sebagian besar telah dikuasai oleh manusia. Luas lahan di bumi
kurang lebih 148 juta Km2 atau sekitar 14800 hektar (29%) berupa daratan dan 71% berupa perairan
terutama laut. FAO (1975) menjelaskan hanya lahan seluas 3400 juta hektar yang dapat optimal
dimanfaatkan untuk pertanian. Perkembangan jumlah penduduk dunia dari 6,3 milyar saat
ini diperkirakan mencapai 8,21 milyar pada tahun 2025, merupakan indikasi tekanan lahan oleh
manusia yang semakin tinggi dan berpengaruh pada tingkat kepemilikan lahan, alih fungsi lahan, dan
kerusakan lahan. Luas kepemilikan lahan rata-rata perkapita di dunia pada tahun 2000 tercatat 2,15
ha/kapita dan diperkirakan pada tahun 2025 berubah menjadi 1,63 ha/kapita. Dampak dari tekanan
lahan dan menurunnya tingkat kepemilikan lahan akan dirasakan oleh manusia seperti kesulitan bahan
makanan dan untuk tempat tinggal serta penurunan kualitas lingkungan hidup.

Lahan potensial untuk pertanian di Indonesia sekitar 100,7 juta hektar. Lahan pertanian terluas
terdapat di Sumatera yaitu 19.738.192 hektar (0,41%), Kalimantan 17.234.968 hektar (0,30%), di Jawa
lahan pertanian mencapai 6.779.346 hektar (0,53%), Bali dan Nusatenggara 3.360.922 hektar
(0,46%), dan di Sulawesi 6.269.736 hektar (0,32%). Lahan untuk tempat tinggal/bangunan di Pulau
Jawa sekitar 1.768.205 hektar (0,13%) dan lahan untuk tempat tinggal di Pulau Sumatera dan
Bali/Nusatenggara mencapai 0,04 %, sedangkan di Kalimantan dan Sulawesi relatif masih kecil
persentase lahan untuk tempat tinggal (0,01% dan 0,03%).

Gambaran tekanan lahan oleh aktivitas manusia dalam bidang pertanian dan non pertanian di Pulau
Jawa sangat tinggi seiring dengan jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun 1961 sebanyak
63.059.575 orang dan tahun 2002 menjadi 124.332.000 orang (hampir menyamai jumlah penduduk di

4
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

Indonesia tahun 1980). Gejala tekanan lahan mulai terlihat di Pulau Sumatera dan Bali serta
Nusatenggara yang ditunjukkan oleh perubahan penggunaan lahan seiring dengan pertambahan
jumlah penduduk di pulau tersebut. Perubahan penggunaan lahan oleh aktivitas manusia dan
pembangunan di bidang kehutanan, pertambangan, industri dan permukiman juga terjadi pula di Pulau
Kalimantan dan Sulawesi. Adanya perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi
kawasan dan potensi lahannya dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lahan dan lingkungan serta
bencana alam dalam suatu ekosistem. Alih fungsi lahan subur ke lahan industri perumahan (non
pertanian) di Indonesia tercatat 141.000 ha/tahun. Masalah ini perlu ditertibkan sesuai dengan tata
ruang wilayah.

Indonesia merupakan negara tercepat di dunia dalam hal terjadinya lahan kritis (Kompas 24 Mei 2005).
Pada tahun 2005 degradasi lahan hutan seluas 2,6 juta ha, oleh akibat penebangan hutan legal
maupun ilegal. Ini berarti kawasan hutan seluas lapangan sepak bola (± 0,7 – 1 ha) musnah hanya
dalam beberapa menit. Kerusakan lahan di Indonesia juga terjadi akibat penambangan baik yang
berijin maupun tak berijin, demikian juga kerusakan lahan oleh aktivitas industri, permukiman,
perikanan, peternakan, pariwisata. Sebaran kerusakan lahan secara ekologis mencakup lahan pantai,
dataran rendah, pegunungan, dan perbukitan dan sekitar sungai dan danau serta bendungan. Lahan
kritis yang terjadi di wilayah Daerah Aliran Sungai berakibat pada terjadinya DAS kritis yang mencapai
39 buah, pada tahun 1992 dan menjadi 62 DAS kritis pada tahun 2000. Kerusakan lahan oleh
pertambangan di Indonesia semakin sulit dikendalikan sebagai contoh kerusakan lahan sungai Progo
oleh penambang liar yang mengakibatkan rusaknya jembatan Srandakan, terkuburnya lahan subur
dan pemukiman oleh lumpur Lapindo dan masih banyak contoh kerusakan lahan lainnya.

 Kebijakan-Kebijakan Perbaikan Tata Kelola Lahan dan Sumber Daya Alam oleh Pemerintah

Tidak bisa kita pungkiri lahan merupakan sumber daya yang sejak zaman dulu hingga sekarang telah
diketahui daya manfaatnya bagi kehidupan manusia. Pada zaman sekarang penggunaan sumber daya
lahan tidak hanya berfungsi sebagai permukiman dan pertanian semata, akan tetapi pemanfaatannya
lebih bervariasi dan tidak terbatas untuk berbagai kepentingan seperti industri, peternakan, perikanan,
perkebunan, kehutanan, perkotaan, bangunan, pariwisata, dan perdagangan. Sejalan dengan
meningkatnya aktivitas pembangunan dan meningkatnya pertambahan jumlah penduduk, kebutuhan
akan lahan juga meningkat dengan pesat sedangkan ketersediaan dan luas lahan pada dasarnya
relatif tetap (tidak bertambah). Walaupun kriteria lahan yang diperlukan untuk setiap sektor berbeda,
akan tetapi pada kenyataannya masih sering terjadi benturan kepentingan dan alih fungsi lahan.

Penguasaan terhadap sumber daya lahan pun mulai sulit dikendalikan terutama terkait status
penggunaan lahan dan status kepemilikannya. Peradaban manusia modern menuntut sumberdaya
lahan sebagai tempat untuk mengoptimalkan kelangsungan hidupnya. Rekayasa pengelolaan lahan
dengan teknologi modern pun terus diterapkan seperti pemotongan lereng bukit, penimbunan rawa,
pembuatan dinding tanggul sungai, reklamasi wilayah pantai, penambangan dengan alat-lalat berat,
dan penebangan hutan dengan cara cepat. Pengelolaan sumberdaya lahan seperti ini hanya semata-
mata mengarah pada kepentingan ekonomi, namun bila tidak dikendalikan dengan baik tentu saja
dapat berdampak pada kerusakan sumber daya alam, lingkungan hidup dan konflik yang
berkepanjangan.

Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut rezim kepemimpinan di negeri ini terus melakukan
upaya-upaya untuk melakukan perubahan-perubahan terkait tata kelola lahan yang lebih baik dan
berkelanjutan. Kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada perbaikan tata kelola lahan terus didorong
oleh para pihak, baik dari kalangan masyarakat sipil maupun dari pemerintah sendiri. Saat sekarang
sudah ada beberapa kebijakan yang didorong oleh pemerintah untuk perbaikan tata kelola lahan.

5
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

Bercermin dari dinamika tata kelola lahan yang terjadi dari zaman dahulu hingga hari ini, telah banyak
menyisakan permasalahan yang tidak kunjung selesai. Sebab itu membangun tata kelola lahan yang
berkelanjutan sudah menjadi keniscayaan dan keharusan, sebagai upaya untuk menciptakan keadilan
dan kesinambungan bagi kehidupan masyarakat Indonesia.

Dalam upaya memperbaiki tata kelola lahan, sejauh ini sudah ada beberapa kebijakan yang
diimplementasikan oleh pemerintah, diantaranya; Pertama, mendorong Gerakan Nasional
Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA). GNPSDA ini pertama kali diluncurkan pada 19 Maret
2015 lalu di Istana Bogor, dengan disaksikan oleh Presidan Joko Widodo sebanyak 29 pimpinan
Kementrian dan Lembaga menandatangani Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama Gerakan
Penyelamatan Sumber Daya Alam di Indonesia (GNPSDA). Dalam kegiatan juga dilakukan deklarasi
institusi penegak hukum (KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan TNI) dalam mendorong penyelamatan SDA
di Indonesia.

Melalui GNPSDA yang melibatkan beberapa sektor termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
merupakan suatu upaya untuk mendorong tata kelola lahan dan sumber daya alam yang berkelanjutan
khususnya untuk sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Komisi Pemberantasan Korupsi
melakukan supervisi masalah perizinan usaha kehutanan, perkebunan sawit, dan pertambangan.
Pengecekan lapangan dilakukan untuk memastikan gambaran sebenarnya pengelolaan di areal
konsesi, dan mencari solusi penanganan atas maraknya aktivitas liar, seperti penambangan emas
tanpa izin, pembalakan, ataupun perambahan liar. Karena maraknya aktivitas liar dan tumpang tindih
lahan mengakibatkan besarnya potensi pendapatan negara yang hilang. Sepanjang tahun 2004 hingga
2013 saja, kerugian negara diperkirakan Rp 55 triliun per tahun akibat konversi hutan negara untuk
usaha tambang dan perkebunan (Baca; Kompas, 15 April 2016).

Kedua, Membangun Gerakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (perhutsos). Dalam upaya
perbaikan tata kelola lahan yang berkelanjutan pemerintah juga telah meluncurkan kebiajakan Reforma
Agraria dan Perhutanan Sosial. Reforma agraria merupakan cita-cita yang sudah lama menjadi
pekerjaan rumah yang tidak kunjung terealisasi oleh pemerintah. Namun pada masa pemerintahan
yang sekarang reforma agraria menjadi agenda yang telah dicanangkan secara nasional oleh
pemerintah. Targetan yang hendak dicapai melalui reforma agraria sekitar 9 juta hektar lahan akan di
redistribusikan kepada rakyat. Agenda ini tersebar di beberapa daerah yang mempunyai potensi terkait
tanah-tanah objek reforma agraria (tora).

Menurut Iwan Nurdin bahwa Inti dari pembaruan agraria adalah landreform yaitu redistribusi
kepemilikan dan penguasaan tanah. Tujuan pembaruan agraria menurut Undang-Undang
Pembaharuan Agraria (UUPA) adalah penciptaan keadilan sosial, peningkatan produktivitas dan
peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mewujudkan tujuan kemerdekaan bangsa yang terangkum
dalam Pembukaan UUD 1945 dan terjemahan dari praktek ekonomi negara dalam Pasal 33 UUD 1945.
Selama ini, akibat tidak dijalankannya pembaruan agraria dan dipetieskannya UUPA telah
menyebabkan semakin mendalamnya ketimpangan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan
sumber-sumber agraria khususnya tanah, maraknya konflik agraria dan kerusakan lingkungan dan
lahan. Maraknya konflik agraria yang merebak selama ini adalah tanda dari perlu dilaksanakannya
pembaruan agraria yang sejati (liht. www.kpa.or.id).

Oleh karena itu, pembaruan agraria sesungguhnya dimaksudkan untuk menata kembali struktur
kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria, sehingga dapat menjawab ketimpangan agraria
yang terjadi selama ini, selain itu dalam upaya untuk menuntaskan konflik agraria yang timbul di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu reforma agraria harus dilakukan secara kompherensif,
sehingga bisa berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan persoalan dalam pelekasanaannya. Hingga

6
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

tahun 2018 hasil capaian reforma agraria baru sekitar 4,2 juta hektar lahan yang telah direstribusikan
kepada masyarakat.

Sementara untuk pelaksanaan perhutanan sosial pemerintah juga telah menargetkan kawasan hutan
seluas 12,7 juta hektare untuk diberikan akses kelolanya kepada masyarakat yang berada didalam dan
sekitar kawasan hutan. Perhutanan sosial, sebenarnya merupakan mandat dari Undang-Undang
Kehutanan. Namun selama ini implementasinya tidak berkembang dengan baik. Tapi beberapa tahun
terakhir perogram perhutanan sosial menjadi program unggulan yang didorong oleh pemerintah lewat
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Program perhutanan sosial mempunyai tujuan
untuk memberikan akses kelola kawasan hutan kepada masyarakat yang berada di dalam dan sekitar
kawasan hutan dalam upaya untuk pemberdayaan dan peningkatan kesejahtraan ekonomi
masyarakat. Artinya perhutanan sosial diharapkan bisa menjadi program pengentasan kemiskinan
masyarakat yang berada di dalam dan disekitar kawasan hutan.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) sekitar 48,8 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di dalam dan
sekitar kawasan hutan dan 10,2 juta jiwa diantaranya masuk dalam klasifikasi penduduk miskin. Dari
data tersebut diketahui sekitar 6 juta jiwa penduduk memiliki mata pencaharian langsung dari hutan
dan skeitar 3,4 juta jiwa bekerja disektor kehutanan. Kebijakan pembangunan kehutanan yang
dilakukan oleh pemerintah selama ini belum mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahtraan
masyarakat disekitar hutan dengan optimal. Hal itu disebabkan karena tidak adanya saling
kepercayaan antara masyarakat dengan pemerintah dalam pengelolaan hutan, masyarakat dianggap
sebagai perusak hutan.

Selama ini ketidakpastian areal kawasan hutan juga merupakan salah satu yang menghambat
efektifitas tata kelola hutan di Indonesia. Dari seluruh kawasan hutan seluas 130 juta hektar maka areal
yang telah selesai ditatabatas (istilahnya “temu gelang”) baru sekitar 12 persen (14,2 juta hektar).
Ketidakpastian ini memicu munculnya konflik tenurial (lahan) dengan berbagai pihak yang
berkepentingan dengan kawasan hutan. Padahal setidak-tidaknya terdapat 50 juta orang yang
bermukim disekitar kawasan hutan dengan lebih dari 33 ribu desa yang berbatasan dengan kawasan
hutan (Baca; Potret kehutanan Indonesia).

Karena itu, perhutanan sosial dengan menggunakan skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan
(HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan dan Hutan Adat (HA) yang merupakan pemberian
akses atau hak pengelolaan kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan
hendaknya merupakan bentuk nyata kalau negara memang sungguh-sungguh ingin memperbaiki tata
kelola lahan dalam sektor kehutanan. Namun permsalahannya yang muncul saat sekarang dari data
laporan 3 tahun terakhir pemerintahan Joko Widodo, program perhutanan sosial yang terealisasi baru
mencapai 1,058.622,43 hektar, dengan rincian: Hutan tanaman rakyat 232.050,41 ha, Hutan
kemasyarakatan 244.434,67 ha, Kemitraan kehutanan 71.608,20 ha, Hutan desa 491.962,83 ha, Izin
perhutanan sosial dan areal perhutanan 4.674,90 ha, dan Hutan adat 13.918,42 ha. Tentu jumlah ini
masih jauh dari target yang sudah dicanangkan oleh pemerintah.

Ketiga, Kebijakan mendorong One Map Policy. Beberapa tahun terakhir pemerintah telah meluncurkan
kebijakan yang disebut dengan “One Map Policy”. Kebijakan ini diluncurkan pertama kali ketika
pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tahun 2010. Kemudian kebijakan ini terus
ditindak lanjuti oleh pemerintahan Joko Widodo. Kebijakan one map policy merupakan salah satu
kebijakan yang diluncurkan untuk mengurai benang kusut tata kelola lahan yang ada di Indonesia hari
ini.

7
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

Adanya kebijakan satu peta ini, tentu akan mempejelas terkait dengan tata kelola lahan dimasa yang
akan datang. Sehingga, ini akan bisa mengantisipasi terkait dengan tumpang tindih dalam pengelolaan
lahan. Misalnya, kalau ada izin-izin yang akan dikeluaran oleh pemerintah, maka akan cepat ketahuan
kalau di lokasi tersebut sudah ada izin atau belum. Kasus-kasus yang sering terjadi selama ini adalah
ketika izin HPH, HTI, HGU diberikan oleh pemerintah, maka ada pula izin pertambangan yang
dikeluarkan diatasnya. Sehingga dalam tata kelolanya terjadi tumpang tindih perijinan. Kondisi ini
memperburuk fotret pengelolaan lahan, yang juga berdampak munculnya konflik antara pemegang izin
yang bermuara kepada hancurnya lahan yang dikelola, karena saling berdalih atas izin yang dipegang.
Tentu kedepan ketika izin HPH, HTI, HGU diberikan, maka tidak akan ada lagi izin-izin yang muncul
diatasnya selain izin yang telah diberikan sebelumnya.

Karena itu, kebijakan One Map Policy ini diharapkan akan mampu untuk memperbaiki tata kelola lahan
yang lebih berkelanjutan. Dengan kebijakan ini, maka potensi konflik yang berbungan dengan tata
kelola lahan akan bisa diminimalisir dengan sendirinya. Sudah hampir delapan tahun kebijakan one
map policy di keluarkan oleh pemerintah, namun masih menuai banyak kendala. Sehingga
implementasinya dilapangan belum berjalan dengan baik. Kebijakan one map policy masih terkendala
oleh urusan operasional di beberapa intasi pemerintahan dalam upaya untuk menyiapkan satu peta
geospasial yang bisa dirujuk oleh semua pihak. Karena itu, perlu strategi yang terus menerus dilakukan
oleh pemerintah untuk mengoptimalkan kebijakan one map policy. Perlu menjadikan kebijakan ini
sebagai kebijakan nasional dibawah koordinasi menteri perekonomian atau dibawah koordinasi
langsung presiden. Sehingga semua pihak punya perhatian yang sama dalam mengupayakan
kebijakan ini untuk segera di impilementasikan dilapangan.

 Permasalahan dalam Upaya Perbaikan Tata Kelola Lahan

Bercermin dari buruknya tata kelola lahan yang telah menimbulkan berbagai persoalan baik konflik
antara masyarakat dengan pemerintah maupun dengan pihak swasta. Selain itu juga telah
menimbulkan kebocoran penerimaan negara dari sektor pengelolaan sumber daya alam, kerusakan
lingkungan (deforestasi dan degradasi) dan dampak negatif sosial ekonomi yang luas. Semua
disebabkan belum memadainya kapasitas pemangku kepentingan, penegakan hukum yang masih
lemah, lahan dan hutan dijadikan sebagai ladang korupsi, kurangnya transparansi dan keterlibatan
masyarakat, akses masyarakat yang terbatas untuk mendapatkan wilayah kelola. Situasi ini diperburuk
dengan rendahnya tingkat keterbukaan data dan akses informasi, yang mengakibatkan minimnya
kepercayaan dan koordinasi para pemangku kepentingan, tumpang tindih tata ruang dan penataan
lahan serta hutan, dan banyaknya pelanggaran terhadap syarat-syarat dan kepatuhan perijinan serta
standar praktek pertambangan yang baik. Ini lah faktor-faktor yang masih menjadi kendala dalam
upaya memperbaiki tata kelola lahan.

Dinamika reformasi tata kelola lahan di Indonesia sebenarnya terus digulirkan. Sistem tata kelola lahan
saat ini memberikan berbagai tanggung jawab kepada pemerintah kabupaten, provinsi dan nasional.
Hal ini mencakup aspek-aspek perencanaan tata ruang, pengalokasian perizinan untuk konsesi lahan
(seperti kegiatan pertambangan, perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri), usaha
perlindungan lingkungan serta anggaran bagi pengelolaan lingkungan hidup. Namun kepatuhan
terhadap peraturan dan prosedur yang berlaku, dalam banyak kasus masih rendah dan penegakan
hukum masih lemah. Alasan-alasan yang secara umum teridentifikasi yang mengakibatkan lemahnya
tata kelola meliputi: peraturan yang tumpang tindih atau tidak jelas, kurangnya kemampuan teknis dan
peta yang akurat, kepemilikan lahan tidak jelas, kurangnya transparansi dan partisipasi publik.

8
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

 Beberapa kasus Permasalahan Tata Kelola Lahan antara Masyarakat berhadapan dengan
Negara

Untuk menambah khazanah penulisan essay ini saya juga ingin menjelaskan beberapa kasus terkait
tata kelola lahan, dimana penulis terlibat langsung dalam melakukan pendampingan sekaligus
mengupayakan untuk mencoba mencari jalan penyelesaiannya. Kasus pertama, saya ingin
menjelaskan permasalahan tata kelola lahan „kawasan hutan” yang terjadi antara Kaum Datuk Imbang
Langit dengan pemerintah (Dinas Kehutanan), Kabupaten Pasaman Barat terkait dengan tata kelola
lahan di kawasan hutan. Permasalahan tata kelola lahan (kawasan hutan) yang terjadi antara Kaum
Datuk Imbang Langit dengan Pemerintah (Dinas Kehutanan) Kabupaten Pasaman Barat sudah
berlangsung selama berpuluh tahun. Konflik tersebut berhubungan erat dengan klaim penguasaan
sekaligus pengelolaan yang dilakukan oleh masing-masing pihak. Selama ini masyarakat setempat
mengelola kawasan hutan lindung yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Masyarakat setempat
mengelola lahan dengan menanami berbagai macam jenis tanaman, seperti kakao, jagung, nilam, dan
karet.

Sementara Pemerintah (Dinas Kehutanan) Kabupaten Pasaman Barat melarang masyarakat


mengelola atau memanfaatkan lahan karena berada di kawasan hutan lindung. Karena itu, terjadinya
konflik kehutanan antara kedua belah pihak tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya klaim
penguasaan dan pengelolaan masing-masing pihak terhadap kawasan hutan. Klaim penguasaan
tersebut berdasarkan pandangan dan persepsi masing-masing pihak.

Menurut Kaum Datuk Imbang Langit, kawasan hutan yang ada di daerah Kampung Air Maruok, Nagari
Kinali, Kabupaten Pasaman Barat merupakan hak ulayat/hutan ulayat/tanah ulayat di bawah
penguasaan/naungan Kaum Datuk Imbang Langit. Klaim kepemilikan masyarakat didasarkan atas
hukum adat yang berlaku di daerah tersebut. Dari penuturan Datuk Imbang Langit kawasan hutan yang
ada di daerah tersebut merupakan warisan dari nenek moyang mereka terdahulu. Para leluhur mereka
sejak dulunya sudah tinggal dan membangun pemukiman di dalam kawasan hutan tersebut. Bahkan
sistem adat babingkah tanah1 (tanah berbatas/bersepadan) menjadi landasan kuat bagi kaum Datuk
Imbang Langit dalam mengklaim kawasan hutan sebagai ulayat mereka.

Dalam ketentuan adat babingkah tanah yang berlaku di Nagari Kinali, menyatakan bahwa ada dua
belas (12) pangulu yang memiliki tanah ulayat. Ketentuan ini sesuai yang tertuang dalam istilah adat
yaitu anam koto di ateh, ampek koto di bawah, dua sako di tangah 2. Datuk Imbang Langit merupakan
salah satu pangulu kaum yang termasuk di dalam anam koto diateh. Berdasarkan hal tersebut Datuk
Imbang Langit mempunyai tanah ulayat tepatnya yang berada di daerah Kampung Air Maruok yaitu
persis kawasan hutan yang ada di kaki Gunung Pasaman. Sementara pangulu-pangulu yang lain juga
punya ulayat sesuai dengan ketentuan adat yang sudah diatur di Nagari Kinali.

Sama seperti masyarakat Minangkabau di daerah lainnya yang ada di Sumatera Barat, masyarakat
Kampung Air Maruok, Nagari Kinali mengklaim kawasan hutan lindung sebagai tanah ulayat yang tidak
bisa pisahkan dari keberadaan masyarakat yang sudah ada di daerah tersebut jauh sebelum adanya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Dulu masyarakat sudah melakukan pembukaan lahan

1 Adat Babingkah Tanah Merupakan sebuah sistem kepemilikan Tanah yang ada Di nagari Kinali. Artinya Setiap ninik
mamak atau mamak kaum yang ada di nagari Kinali mempunyai tanah ulayat, Seperti halnya Imbang Langit sebagai
mamak kaum di Kampung Air Maruok mempunyai tanah ulayat yang berbatasan dengan ninik mamak lainnya. Tanah
ulayat tersebut diperuntukkan untuk kaum untuk dikelola dalam mencukupi kebutuhan hidup.
2 Anaam koto diateh tertdiri dari : Dt. Simarajo, 2. Dt. Kando Marajo, 3. Dt. Tumandaro, 4. Dt Sanggo Marajo, 5. Dt. Imbang

Langit, 6. Dt. Majo Sadeo. Sedangkan ampek koto di bawah yaitu : 1. Dt. Bando Kayo, 2. Dt. Marajo, 3. Dt. Bandaro, 4. Dt.
Bagindo, Sementara duao sako ditangah yaitu : 1. Sako yang dipertuan, 2. Sako Rajo Batuang.

9
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

(manaruko) serta menggarap kawasan hutan tersebut. Maka sampai sekarang warga masyarakat
masih tetap menggarap tanah tersebut, karena mereka merasa memilikinya sebagai ulayat.
Hal yang mereka lakukan sama dengan yang ada di daerah lain. Dalam beberapa penelitian ditemukan
masyarakat hukum adat mempunyai klaim tersendiri terhadap wilayah adatnya. Misalnya Masyarakat
adat Ketemenggungan Sinyai Kabupaten Melawai, Kalimantan Barat mengklaim wilayah yang dijadikan
sebagai Tanam Nasioanl Bukit Baka dan Raya (TNBBR) sebagai wilayah adat mereka. Masyarakat
setempat pun mempunyai hukum adat/tata nilai dalam menentukan tataguna lahan di daerah tersebut.
Sesuai dengan hukum adat yang berlaku masyarakat setempat pun mengklaim kepemilikan terhadap
lahan yang dijadikan oleh pemerintah sebagai taman nasional tersebut (liht. Agus, 2010).

Dalam hukum adat Minangkabau pun dinyatakan bahwa hutan yang terletak diatas tanah adalah
bagian dari hak ulayat. Dinyatakan bahwa: sagalo nego utan tanah, kok ngalau nan bapaunyi, dari jirek
nan sabatang, sampai ka rumpuik nan sahalai, kok capo nan sarumpun atau batu nansabuah, kok aia
nan satitik, kalauik nan sadidih, kaateh taambun jantan, kabawawah takasiak bulan, adolah pangkek
pangulu nan punyo ulayat (segala nego hutan tanah, ngalau yang berpenghuni, dari jirek yang
sebatang, sampai rumput yang sehelai, capo yang serumpun, batu yang sebuah, air yang setetes,
kelaut yang sedidih, keatas terembun jantan (angkasa dan udara), kebawah terisi bulan (pitala bumi)
adalah pangkat penghulu yang punya ulayat3.

Pernyataan diatas adalah gambaran dari penguasaan tanah oleh pangulu termasuk di dalamnya
adalah kawasan hutan. Seperti itulah halnya yang diyakini oleh Kaum Datuk Imbang Langit di
Kampung Air Maruok Nagari Kinali. Klaim kepemilikan kawasan hutan yang ada didaerah tersebut
sebagai ulayat mereka.

Sementara menurut pemerintah (Dinas Kehutanan) Kabupaten Pasaman Barat penetapan kawasan
hutan sesuai dengan kebijakan atau aturan pemerintah yang berlaku terutama kebijakan yang
mengatur tentang kehutanan yaitu Undang-Undang Kehutanan (UUK) No. 41 tahun 1999. Dalam UUK
No. 41/1999 pasal 5 ayat 1 dijelaskan bahwa pembagian hutan berdasarkan statusnya terbagi atas
dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak atas tanah. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 5 ayat 1 tersebut hutan negara dapat
berupa hutan adat yaitu hutan negara yang pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat. Hutan
adat tersebut disebut sebelumnya hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan dan sebutan lainnya.
Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Biasanya
kepemilikan berdasarkan kepemilikan individu.

Berdasarkan kebijakan UUK No.41/1999 kawasan hutan yang ada di daerah Kampung Air Maruok,
Nagari Kinali merupakan hutan negara. Kawasan tersebut ditetapkan oleh pemerintah cq Dinas
Kehutanan Kabupaten Pasaman Barat sebagai kawasan hutan lindung. Bahkan sudah ada juga
kebijakan terbaru yaitu surat keputusan menteri kehutanan No.35/Menhut-II/2013. Keputusan tersebut
merupakan penetapan kawasan hutan di Kabupaten Pasaman Barat berdasarkan perubahan RTRW
pada tahun 2013. Namun untuk daerah Kampung Air Maruok Nagari Kinali tidak ada perubahan
kawasan hutan artinya hutan yang ada di daerah tersebut tetap berada pada konteks kawasan hutan
lindung sesuai dengan ketetapan yang ada di UUK No.41/1999.

Selanjutnya klaim kepemilikan pemerintah terhadap kawasan hutan sebagai hutan negara juga tidak
bisa dilepaskan dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu; bumi, air serta kekayaan alam lainnya dikuasai
oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Sehingga
3
Lihat Makalah Drs. M Sayuti, Dt. Rajo Panglu, M.PD. tentang Peranan adat dan kearifan lokal masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya hutan dan uapaya-upaya revitalisasi perangkat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di
Sumatera Barat, Padang 2013.

10
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

kawasan hutan merupakan salah satu kekayaaan alam yang penguasaannya berada ditangan negara.
Dalam kebijakan ini negara berhak untuk, menentukan, mengatur, menetapkan kawasan hutan.
Dari perbedaan klaim kepemilikan terhadap kawasan hutan antara kaum Datuk Imbang Langit dengan
Pemerintah (Dinas Kehutanan) Kabupaten Pasaman Barat yang dipaparkan diatas, menunjukkan
bahwa fakta dilapangan ada penafsiran yang salah dalam melihat status kawasan hutan. Negara
sebagai organisasi pemerintahan tertinggi, pada hakikatnya hanya memegang penguasaan terhadap
sumber daya alam termasuk sumber daya hutan, bukan merupakan hak kepemilikan. Karena itu,
negara memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu
yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan atau
mengubah status kawasan hutan, menetapkan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan
hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur tentang perbuatan hukum kehutanan.
Selanjutnya pemerintah juga mempunyai kewenangan untuk memberikan izin dan hak kepada pihak
lain untuk melakukan kegiatan dibidang kehutanan.

Namun hak penguasaan yang dimiliki oleh negara tersebut, seolah-olah menjadi hak kepemilikan
sekaligus. Hak Menguasai Negara (HMN) dalam Undang-Undang Kehutanan (UUK) menjadi sumber
permasalahan utama dimana secara sepihak negara melakukan klaim kepemilikan atas hak pada
tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat atau komunitas lokal secara komunal. Sehingga
dalam perakteknya berujung kepada konflik dengan masyarakat yang berada didalam dan pinggiran
kawasan hutan. Penguasaan negara mengakibatkan akses masyarakat untuk masuk kawasan hutan
menjadi terhambat. Masyarakat dilarang untuk masuk kawasan hutan dengan alasan kawasan hutan
lindung atau hutan negara.

Fakta dilapangan menunjukkan penyebab konflik tersebut juga tak bisa dilepaskan dari ketidakpastian
hukum terhadap status tanah-tanah yang dimiliki secara komunal oleh masyarakat hukum adat
terutama yang berada dikawasan hutan. Di sinilah sebenarnya kunci persoalan yang menyebabkan
munculnya konflik di sektor kehutanan antara masyarakat adat dengan pemerintah, khususnya dalam
hal ini Pemerintah (Dinas Kehutanan) Kabupaten Pasaman Barat dengan Kaum Datuk Imbang Langit,
Nagari Kinali Kab. Pasaman.

Dari persoalan tata kelola lahan (kawasan hutan) yang terjadi antara Kaum Datuk Imbang Langit
dengan pemerintah, disepakati jalan penyelesaiannya adalah mendorong pengelolaan kawasan hutan
dengan menggunakan skema perhutanan sosial dengan sistem Hutan Kemasyarakatan (HKm). Bagi
Pemerintah (Dinas Kehutanan) Kabupaten Pasaman Barat mendorong hutan kemasyarakatan sebagai
bentuk tata kelola yang disepakati adalah untuk menyelesaikan konflik tata kelola yang terjadi selama
ini antara pemerintah dengan Kaum Datuk Imbang Langit. Dengan skema hutan kemasyarakatan
pemerintah memberikan izin pemanfataaan atau pengelolaan kawasan hutan kepada Kaum Datuk
Imbang Langit sekaligus tetap malakukan perlindungan untuk menjaga kelestarian kawasan hutan.
Maraknya ladang berpindah dan illegal logging bisa diantisipasi dengan penerapan skema hutan
kemasyarakatan.

Melalui hutan kemasyarakatan pemerintah dapat membina dan mengarahkan serta mengikat
masyarakat dengan aturan yang berlaku dalam mengelola hutan. Pemerintah juga melakukan
pemberdayaan masyarakat dengan menyediakan anggaran dalam pengelolaan hutan
kemasyarakatan, selain itu juga memberikan pelatihan-pelatihan dalam memperkuat skill masyarakat
dalam pengelolaan hutan. Menurut pemerintah (Dinas Kehutanan) kebijakan hutan kemasyarakatan
merupakan kebijakan yang pro kepada masyarakat hukum adat yang berada di sekitar kawasan hutan.
Dengan memberikan hak pengelolaan, pemanfatan kepada masyarakat dan pelibatan masyarakat
secara partisipatif dalam pengelolaan hutan serta adanya pemberdayaan masyarakat yang berada di

11
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

dalam kawasan hutan, menurut Dinas Kehutanan Kabupaten Pasaman Barat akan dapat
menyelesaikan konflik kehutanan yang selama ini terjadi dengan Kaum Datuk Imbang Langit.

Bagi Kaum Datuk Imbang Langit menyepakati sistem tata kelola menggunakan skema hutan
kemasyarakatan adalah untuk memperkuat intervensi dalam pengelolaan lahan dan mengamankan
kawasan hutan dari ancaman pihak-pihak lain. Selain itu untuk mencegah maraknya kegiatan illegal
logging yang dilakukan oleh masyarakat setempat maupun warga dari luar. Karena dengan banyaknya
kasus illegal logging telah menyebabkan kawasan hutan menjadi kritis.

Kasus Kedua, permasalahan tata kelola lahan yang terjadi antara masyarakat Nagari Guguk Malalo,
Kabupaten Tanah Datar dengan Negara terkait dengan penguasaaan dan pengelolaan kawasan hutan.
Permasalahan ini berawal pada tahun 1980-an ketika negara (dinas kehutanan) melaksanakan Tata
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) di wilayah kawasan hutan yang ada di Nagari Guguk Malalo,
dimana Dinas Kehutanan melakukan pemancangan pal batas kawasan hutan lindung. Tindakan yang
dilakukan oleh negara, kemudian mendapat respon dari masyarakat Nagari Guguk Malalo, dengan
melakukan aksi pencabutan pal batas yang dibuat oleh Dinas Kehutanan. Permasalahan antara
masyarakat dengan negara kemudian diperparah dengan lahirnya kebijakan SK Menhut 422 tahun
1999 tentang penunjukan kawasan hutan. Sekitar 2000 ha kawasan hutan di nagari Guguk Malalo
ditunjuk oleh negara menjadi kawasan hutan lindung. Dimana sebahagian kawasan yang ditunjuk
tersebut bukan lagi hutan, melainkan sebenarnya merupakan daerah pemukiman, perkebunan dan
pertanian masyarakat setempat.

Bagi masyarakat Nagari Guguk Malalo, lahan (kawasan hutan) yang ada di daerah mereka, merupakan
hak ulayat yang tata kelolanya sudah diatur secara adat. Bagi masyarakat hutan “lahan” bukanlah
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi semata, melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan sosial,
budaya, ekologi dan religi. Masyarakat Guguk Malalo yang identik dengan masyarakat adat
Minangkabau, mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah. Penguasaannya secara adatpun telah
ditetapkan, dimana masyarakat setempat mengenal adanya ulayat suku, kaum dan nagari.

Dalam mengelola sumber daya alam khususnya lahan atau hutan dalam masyarakat Nagari Guguk
Malalo berlaku beberapa cara pengelolaan seperti;
1. Ladang/kebun merupakan lahan atau kawasan hutan yang dijadikan sebagai tempat becocok
tanam oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tempat ini bisanya dikelola
secara agroforestri, seperti; pala, lada, kopi, cengkeh, padi, dll.
2. Pemukiman merupakan lahan atau kawasan yang dijadikan untuk membangun rumah.
Kepemilikannya adalah induvidu maupun kaum
3. Hutan merupakan lahan atau kawasan hutan yang belum dijamah oleh masyarakat.
4. Pesisir Danau merupakan lahan yang dijadikan masyarakat sebagai tempat untuk mencari
ikan serta sebagai kawasan wisata bahari.

Dari tata kelola yang dimiliki oleh masyarakat Nagari Guguk Malalo memberikan gambaran bahwa
masyarakat mempunyai pengelolaan (tata kelola) terhadap wilayahnya. Hutan atau lahan yang dimiliki
oleh masyarakat telah ada peruntukannya tersendiri, sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku di
dalam masyarakat setempat. Sejauh ini pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat Nagari Guguk
Malalo terhadap sumber daya alam sangat kental dengan nilai-nilai yang selama ini hidup dan diyakini
dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam tata kelola lahan (kawasan hutan) masyarakat Nagari Guguk Malalo juga mengenal dengan
pembagian-pembagian, Pertama; Hutan larangan adalah hutan ulayat nagari yang belum terbagi
kepada sebelas suku yang letaknya diatas patok bosweisen dan tidak boleh dimanfaatkan baik

12
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

kayunya maupun non kayu, jadi kawasan ini sifatnya dilindungi (konservasi), Kedua, Hutan cadangan
hutan yang belum terbagi kepada suku dan dimanfaatkan sebagi parak ketika jumlah penduduk sudah
banyak. Baik kayu maupun non kayu sudah boleh dimanfaatkan dengan prosedur tertentu dengan izin
para ninik mamak dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Ketiga, Hutan olahan/paramuan
merupakan yang dikelola oleh masyarakat/anak kemanakan dimana masyarakat didalamnya
mengambil kayu untuk rumah. Hutan ini merupakan lahan yang telah terbagi kepada suku-suku dan
sudah boleh dimanfaatkan oleh anak nagari untuk perladangan, mengambil kayu dalam rangka
pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Permasalahan tata kelola yang terjadi antara masyarakat nagari Guguk Malalo dengan pemerintah,
diselesaikan dengan kesepakatan mendorong pengakuan hutan adat. Pada prinsipnya bagi
masyarakat nagari Guguk Malalo pengakuan negara terhadap kawasan hutan yang ada di daerah
mereka menjadi penting. Karena dalam tata kelola yang dijanlankan oleh masyarakat selama ini
berdasarkan nilai-nilai adat, sebenarnya singkron dengan apa yang dipraktekkan oleh negara. Ketika
negara menetapkan fungsi kawasan hutan dalam pengelolaan, seperti fungsi produksi, lindung dan
konservasi, maka masyarakat juga sesunggunya telah mengenal hal yang demikian, sekaligus juga
sudah mempraktekkannya. Namun untuk membangun tata kelola yang berkelanjutan, maka aspek
pengakuan hak tenurial juga melekat didalamnya dan aspek tersebut menjadi sangat penting bagi
masyarakat Nagari Guguk Malalo. Tanpa ada pengakuan tenurial terlebih dahulu, maka tata kelola
yang akan dilakukan tidak bisa berjalan dengan baik.

Kasus ketiga, permasalahan tata kelola lahan yang terjadi antara Suku Anak Dalam kelompok
Tumenggung Apung, Desa Muara Kilis, Kab. Tebo dengan PT. Wira Karya Sakti. Permasalahan ini
berawal ketika negara memberikan Izin HTI kepada PT. Wira Karya Sakti. Ternyata areal izin yang
diterbitkan oleh negara kepada pihak perusahaan, diatasnya ada hak penguasaan oleh Suku Anak
Dalam Kelompok Tumenggung Apung. Adanya tumpang tindih penguasaan dan pengelolaan akibat
dari kebijakan yang dikeluarkan oleh negara, menimbulkan konflik antara Suku Anak Dalam dengan
PT. Wira Karya Sakti. Lahan seluas 200 hektar diatas wilayah izin yang dimiliki oleh perusahaan
kemudian di okupasi oleh Suku Anak Dalam lalu dikelola dengan ditanami berbagai jenis tanaman,
kehidupan seperti kelapa sawit, pisang dan berbagai jenis tanaman lainnya. Menurut Suku Anak Dalam
Kelompok Tumenggung Apung areal yang dijadikan izin untuk PT. Wira Karya Sakti merupakan areal
pemakaman nenek moyang mereka terdahulu, dilokasi itu terdapat 7 makam dan mereka sudah tinggal
didaerah itu sejak dahulu kala. Namun karena sistem kehidupan mereka melangun, daerah tersebut
sutau ketika mereka tinggalkan. Namun pada waktu tertentu mereka kembali ketempat tersebut.

Permasalahan antara kelompok Suku Anak Dalam dengan PT. Wira Karya Sakti telah terjadi sejak
lama, hingga menyebabkan terjadinya konflik terbuka antara kedua belah pihak. Suku Anak Dalam
seringkali melakukan gangguan-gangguan terhadap kegiatan operasional perusahaan. Kondisi
tersebut membuat hubungan antara Suku Anak Dalam dengan PT. Wira Karya Sakti, semakin tidak
harmonis.

Sehingga untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara Suku Anak Dalam dengan PT. Wira
Karya Sakti adalah mengeluarkan lahan yang 200 hektar dari wilayah perizinan perusahaan yang
sebelumnya ternyata sudah dilakukan oleh pemerintah terlebih dahulu. Namun karena lokasi yang 200
hektar ini masuk dalam kawasan hutan produksi maka alternatif solusi permasalahan yang disepakati
adalah mendorong Perhutanan Sosial dengan memilih salah satu skama diantara lima skema yang
telah disediakan oleh pemerintah. Maka dengan memilih skema Hutan Kemasyarakatan sebagai
alternatif penyelesaian tata kelola lahan oleh Suku Anak Dalam Pun, maka hak kelola masyarakat pun
statusnya menjadi legal. Melalui Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Kab. Tebo akan

13
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

melakukan penguatan terhadap kelembagaan kelompok Suku Anak Dalam kelompok Tumenggung
Apung dalam melakukan pengelolaan lahan.

Melalui kesepakatn yang dibangun dengan Suku Anak Dalam, bagi PT Wira Karya Sakti akan sangat
memperkuat keamanan tata kelola wilayah konsesi dan operasional PT .Wira Karya Sakti. Hal ini
karena areal perhutanan sosial Suku Anak Dalam Kelompok Tumenggung Apung dapat berperan
sebagai areal penyangga wilayah konsesi, dan warga Suku Anak Dalam Kelompok Tumenggung
Apung dapat berperan sebagai pendukung pengamanan wilayah konsesi dan aktivitas PT Wira Karya
Sakti.

 Membangun Strategi dalam Penyelesaian Tata Kelola Lahan

Bagaimana membangun strategi penyelesaian tata kelola lahan yang semakin kompleks
permasalahannya? Ini menjadi tanggungjawab bersama terutama oleh pihak pemerintah maupun pihak
swasta dan juga masyarakat. Untuk penyelesaiannya sangat diperlukan adanya sebuah strategi yang
betul-betul bisa menjawab akar permasalahan tata kelola lahan di Indonesia. Strategi yang dimaksud
tidak hanya sekedar bagaimana keterlibatan dari pihak-pihak terkait untuk menanganinya namun juga
diperlukan keseriusan dan komitmen yang kuat dalam penanganannya. Salah satu strategi yang bisa
dilakukan adalah bagaimana membangun integrasi data berbasis hak penguasaan, terutama
penguasaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan aturan-aturan adatnya. Langkah-
langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang ada seperti Gerakan
Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA), Gerakan Reforma Agraria dan Perhutanan
Sosial serta One Map Policy, ini merupakan suatu langkah maju dalam upaya untuk perbaikan tata
kelola lahan.

Namun kebijakan-kebijakan tersebut mesti harus diintegrasikan dengan memperkuat hak tenurial
masyarakat yang didasarkan pada aturan-aturan adat yang berlaku dimasing-masing komunitas. Kalau
tida,k maka kebijakan-kebijakan tersebut tidak akan bisa berjalan dengan optimal. Misalnya, kebijakan
One Map Policy hanya akan bagus kelihatannya diatas kertas atau meja. Namun ketika di
operasionalkan dilapangan bisa mengalami persoalan. Basis hak penguasaan yang berlaku di dalam
sistem aturan masyarakat harus menjadi acuan bagi pemerintah dalam mengimplementasikan
kebijakan. Apa artinya kebijakan one map policy kalau didalamnya tidak mengakomodir basis klaim hak
yang telah dimiki oleh masyarakat.

Begitu juga halnya dengan kebijakan reforma agraria, tidak hanya sebatas melakukan redistribusi
tanah kepada rakyat. Melainkan kebijakan reforma agraria juga harus memastikan terjadinya aliran
manfaat yang bersifat lintas lapisan sosial, selain itu juga harus ada jaminan yang memberikan
perlindungan hak baik bersifat hak individual maupaun hak komunal. Selanjutnya reforma agraria juga
harus memberikan jaminan atas perlindungan produksi masyarakat. Perlu dilakukan pengembangan
kelembagaan produksi yang dapat meningkatkan produksi ekonomi masyarakat. Bahkan reforma
agraria juga harus bisa memberikan perlindungan pada aspek ekosistem. Bagaimana menjaga
keseimbangan antara produktivitas dengan daya dukung dan daya tampung alam.

Kebijakan perhutanan sosial juga tidak hanya sebatas memberikan legalitas akses kelola kepada
masyarakat, melaikan yang sangat penting bagaimana melakukan pemberdayaan dan pengembangan
kelembagaan dalam pengelolaan lahan yang telah diberikan kepada masyarakat. Sekalipun
masyarakat sudah mendapatkan hak dalam pengelolaan, namun kalau kelembagaanya tidak diperkuat
dan difasilitasi dengan baik, maka tata kelola lahan yang dijalankan oleh kelompok-kelompok
masyarakat tidak akan berjalan dengan optimal. Dalam implementasi perhutanan sosial pemerintah
juga perlu untuk memperhatikan basis hak yang dimiliki oleh masyarakat, artinya pemerintah tidak bisa

14
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

mendikte sistem pengelolaan yang harus diimplemnetasikan dengan menggunakan salah satu skema
yang ada di dalam program perhutanan sosial. Ketika itu tidak diperhatikan, maka tata kelola yang
akan dijalankan oleh masyarakat yang telah mendapatkan legalitas pun tidak akan berjalan dengan
baik.

Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan strategi yang mesti dilakukan dalam
penyelesaian permasalahan tata kelola lahan adalah perlu memperkuat basis hak kepemilikan yang
ditelah ada di dalam masyarakat berdasarkan aturan-aturan adat, kemudian di integrasikan dengan
kebijakan-kebijakan daerah maupun nasional yang akan dikeluarkan oleh pemerintah. Bangsa
Indonesia sebagai masyarakat yang multikultur tentu juga harus menjadi perhatian bagi pemerintah.
Tata kelola lahan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia cukup beragam dan mempunyai basis hak
yang berbeda-beda. Pemerintah harus bisa mengakomodir keberagaman tersebut dalam kebijakan
yang akan diimplementasikan. Penguatan basis hak ini juga sebagai upaya untuk membangun data
dan informasi yang sama diantara para pihak.

Selain itu, perlu untuk memperkuat kelembagaan masyarakat ditingkat lokal dalam upaya melakukan
tata kelola lahan. Selain basis hak, maka kelembagaan juga menjadi hal yang sangat penting diperkuat
dalam upaya memperbaiki tata kelola lahan. Kelembagaan-kelembagaan yang ada ditingkat lokal bisa
di integrasikan dengan lembaga-lembaga yang ada di level pemerintahan, baik tingkat desa,
kabupaten, propinsi maupun nasional.

Terkait tata kelola lahan pada sektor pertanian diperlukan perhatian yang lebih khusus karena
berkaitan langsung dengan keseimbangan ekologi yang berdampak langsung pada sistem pertanian
yang dijalankan. Solusi yang ditawarkan dapat berupa penguatan kembali kebijakan-kebijakan agraria
yang pro terhadap perlindungan lahan-lahan pertanian berupa pengawasan yang tegas terhadap
semua aktifitas yang mengancam keberadaan lahan-lahan yang produktif di Indonesia agar tidak
semakin berkurang karena alih fungsi lahan. Selain itu juga dibutuhkan upaya perbaikan kualitas lahan
pertanian di Inonesia yang benar-benar serius untuk memperbaiki kualitas lahan yang telah banyak
menurun kualitasnya.

III. Penutup

Dinamika tata kelola lahan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban bangsa Indonesia, memberikan
gabaran kalau selama ini banyak terjadi persoalan. Munculnya persoalan tata kelola lahan tak bisa
dilepaskan karena lahirnya kebijakan negara yang cenderung memonopoli dan mengekploitasi lahan
dan sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa ini. Kebijakan-kebijakan negara lebih cenderung
berpihak kepada pihak swasta, dibandingkan kepada masyarakat. Sehingga hak-hak masyarakat
cenderung terabaikan.

Pengelolaan lahan selama ini dilakukan dengan prinsip yang jauh dari rasa keadilan. Ideologi
pembangunanisme yang dipilih sebagai acuan paradigma pembangunan rezim yang berkuasa khususnya
semasa Orde Baru telah menjadikan lahan sebagai komoditas yang berorientasi kepada kepentingan kapitalis,
seraya meminimalisir peran serta masyarakat. Akibatnya lahan atau tanah tak lagi menjadi sumber berkah bagi
semua pihak terutama buat masyarakat, karena negara dan masyarakat saling berebut dan mengklaim untuk
saling menguasai.

Hubungan konflik pengelolaan lahan antara masyarakat dengan negara didasari monopoli dan manipulasi
proses eksploitasi lahan oleh negara, sehingga terjadi perbedaan akses. Akses yang berbeda tersebut
cenderung berpihak kepada pemerintah dan investor yang menikmati hasil lebih banyak, sementara kepentingan
masyarakat terabaikan. Kondisi seperti ini menimbulkan kesenjangan yang luar biasa antara para pihak,
sehingga muncul ketidakpuasan di kalangan masyarakat.

15
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

Konflik tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari adanya kontestasi ruang terhadap lahan. Lahan ataua tanah
sebagai hak ulayat masyarakat hukum adat merupakan bagian dari ruang hidup penting untuk melakukan
berbagai keperluan bahkan menjadi penanda identitas diri. Namun pemanfaatan lahan sebagai ruang untuk
kegiatan pengembangan perkebunan kelapa sawit, HTI, HPH tidak mengindahkan keberadaan dan kepentingan
masyarakat hukum adat. Negara dengan sengaja melakukan kooptasi terhadap lahan, sehingga menimbulkan
ketidakadilan bagi masyarakat hukum adat.

Berkaitan tata kelola lahan, bagi masyarakat ini sangat erat kaitannya dengan persoalan hak ulayat
dan tidak bisa dipisahkan dari konteks ekonomis, ekologi, sosial dan budaya masyarakat.. Hubungan
antara masyarakat sebagai subjek dengan lahan sebagai objek merupakan satu kesataun yang tidak
bisa dipisahkan satu sama lain. Sistem nilai dalam pengelolaan lahan oleh masyarakat merupakan
sisten nilai adat yang lahir dan beriringan dengan hadirnya masyarakat sebagai satu kesatuan
masyarakat hukum adat. Sisten nilai adat itulah yang merupakan dasar pengelolaan lahan oleh
masyarakat.

Namun pengelolaan lahan olen masyarakat ternyata tidak mendapatkan tempat yang layak dalam
kebijakan negara. Misalnya dalam tata kelola lahan yang berada di dalam kawasan hutan, dimana
kebijakan kehutanan mempunyai logika tersendiri dalam pengelolaan hutan yang disandarkan pada
pemerintah (negara) dan atau pemilik modal. Hal ini telah melahirkan irisan-irisan konflik antara
masyarakat di satu sisi dengan pemerintah dan atau pemilik modal disisi lain.

Karena itu, tata kelola lahan yang berkelanjutan sudah menjadi suatu keniscayaan, sebagai upaya
perwujudan dalam menciptakan kesinambungan dalam mewujudkan tata kehidupan ekonomi, ekologi,
sosial budaya masyarakat yang berkelanjutan. Tapi kondisi yang terjadi hari ini, tata kelola lahan masih
menjadi persoalan yang sangat serius di hadapi oleh bangsa Indonesia. Upaya-upaya untuk mencari
penyelesaiannya pun terus dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan.

Saat sekarang ini sudah ada beberapa kebijakan pemerintah dalam upaya penyelesaian tata kelola
lahan, diantaranya adalah melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA),
gerakan reforma agraria dan perhutanan sosial serta one map policy. Namun dalam implementasinya,
kebijakan tersebut tidak berjalan dengan optimal, ada banyak kendala-kendala yang dihadapi
dilapangan. Karena itu, untuk memperkuat strategi yang telah ada, maka upaya penyelesaian tata
kelola lahan perlu dilakukan dengan cara-cara yang lebih kompherensif. Memperkuat basis hak yang
dimiliki oleh masyarakat berdasarkan adat dan memperkuat kelembagaan yang dimiliki oleh
masyarakat serta melakukan pemberdayaan, yang kemudian di integrasikan dengan kebijakan yang
akan dikeluarkan oleh pemerintah baik di level desa, kabupaten, propinsi dan nasional merupakan
upaya dalam penyelesaian tata kelola kelola lahan. Semua element harus satu komitmen, pemahaman
dan pandangan dalam memperbaiki tata kelola lahan.

16
Essay_Mora Dingin
Dinamika Tata Kelola Lahan di Indonesia dan Strategi Penyelesaiannya

IV. Referensi

1. Afrizal, 2012, Kontestasi Ruang: Tinjauan Sosiologis Terhadap Keadilan Ekologis, Jurnal Ilmu
Sosial; Mamangan No 1, Volume 1, Program Study Pendidikan Sosiologi, STKIP PGRI: Padang
2. -----------2013, Institusi Penguasaan Tanah Dan Konflik Agraria Struktural di Indonesia: Kasus
Kehutanan Dan Perkebunan, Makalah, Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli: Medan
3. Agus, Agustinus dan Sentot Setyasiswanto, 2010, Setelah Kami Dilarang Masuk Hutan, Jakarta:
HuMa
4. Firdaus, Asep Yunan, et al, 2007, Mengelola Hutan dengan Memenjarakan Manusia, Jakarta:
HuMa
5. Firmansyah, Nurul, et al, 2007, Nasib Tenurial Adat Atas Kawasan Hutan, Jakarta: HuMa
6. ---------------.2007, Dinamika Hutan Nagari di Tengah Jaring-Jaring Hukum Negara, Jakarta: HuMa
7. Muhammad Shohibuddin, 2018, Perpekstif Agraria Kritis: Teori, Kabijakan dan Kajian Kritis,
Yogyakarta; STPN Press
8. Utomo. Muhajir.at.al. 1992. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Bandar Lampung
: Universitas Lampung.
9. Mangunsukardjo, K., 1977, Interpretasi Citra untuk Inventarisasi dan Evaluasi Sumberdaya Lahan,
PUSPICS, Fakultas Geografi UGM dengan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.
10. Mansuri, 1996, Analisis Tata Guna Tanah, Pelatihan Penataan Ruang Kabupaten Daera Tingkat
II, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal, Cipta Karya, Yogyakarta.
11. WWW. KPA. Or.Id
12. Undang Undang Dasar Tahun 1945
13. Undang-Undang Pembaharuan Agraria No. 5 Tahun 1960
14. Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999

17

Anda mungkin juga menyukai