Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sjachran Basah lebih cenderung untuk memilih dan menggunakan istilah

“Hukum Acara Pengadilan dala Lingkungan Peradilan Administrasi

(HAPLA), karena di situ termuat pengertian yan lebih luas mengenai hukum

acara Peradilan Tata Usaha Negara.1

Menurut Rozali Abdulllah, 2Hukum Acara PTUN adalah rangkaian peraturan-

peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain

untuk melaksanakan berjalannnya peraturan Hukum Tata Usaha Negara

(Hukum Administrasi Negara).

Putusan hakim adalah suatu pernyaaan yang oleh hakim, sebagai pejabat

negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan

bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa

antara para pihak.3

Kekuatan tata usaha negara digolongkan menjadi 2 yaitu hukum yang

memiliki kekuatan hukum yang abadi dan juga yang memiliki kekuatan

hukum yang sementara. Sedangkan mengenai pencabutan merupakan suatu

1
Sjachran Basah, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Admnistrasi (HAPLA),
Jakarta;Rajawali Pers, 1989, hlm. 1
2
RozaliAbdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Ketiga, Jakarta; PT
RajaGrafindo Persada, 1994, hlm. -2
3
Soedikno Merokoesomo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan Pertama Edisi Kedua,
Yogyakarta; Liberty, 1985, hlm. 172

1
putusan atau aturan yang tidak memenuhi syarat atau terjadi kesalahan atau

penyelewengan sehingga membuat aturan tersebut dicabut atau dihapus dan

dibatalkan suatu aturan tersebut oleh instansi pemerintah yang berwenang.

Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht Van

Gewijsde), yaitu putusan pengadilan yang tidak dapat diterapkan upaya hukum

lagi terhadap putusan tersebut.

Masyarakat sebagai obyek dari suatu Keputusan Tata Usaha Negara tentulah

harus memahami betul peraturan-peraturan apa yang mengatur hidupnya

sehari-hari. Namun kenyataannya banyak sekali masyarakat kita yang masih

belum memahami apa itu Keputusan Tata Usaha Negara dan syarat-syarat

sahnya, kapan dan dalam hal apa suatu keputusan tersebut dinyatakan tidak

berlaku lagi serta keputusan apa yang ideal dan dapat mengakomodir

keinginan seluruh masyarakat dan diwujudkan dalam suatu produk hukum

tertulis.

Permasalahan lain yang terjadi adalah, Pejabat Tata Usaha Negara yang

membuat suatu produk hukum, kurang memahami hal-hal apa saja yang

menjadi keinginan masyarakat untuk dijadikan suatu produk hukum. Hal ini

mengakibatkan produk hukum yang dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara

tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat.

Pelaksanaan suatu putusan pengadilan dalam kehidupan bernegara khususnya

negara hukum sangat penting demi menjamin kepastian hukum. Suatu

keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap

2
tidak dapat diganggu gugat lagi, maksudnya dapat dilaksanakan dan harus

ditaati oleh siapa pun juga termasuk Pemerintah. Hanya putusan Pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van gewisde) yang

dapat dilaksanakan.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah kekuatan keputusan pada PTUN ?

1.2.2 Apakah yang membatalkan keputusan PTUN ?

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kekuatan Hukum Keputusan Tata Usaha Negara

Pengertian Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-

Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana

telah diubah yaitu dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara dan terakhir dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara(“UU 5/1986”) yang berbunyi:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan

hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan

akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”4

Menururt Indroharto. penetepan tertulis (beschikking) itu selalu merupakan

salah satu bentuk dari Keputusan Badan atau Jabatan TUN yang merupakan

suatu tindakan hukum TUN (administratieve rechtschandeling)5

4
UU No 51 Tahun 2009
5
Indroharto, Peerbuatan Pmerintahan Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Jakarta;
Rajawali Pers, 1992, hlm.117

4
Dari sisi kekuatan hukum yang dimilikinya, Keputusan Tata Usaha Negara

dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kekuatan hukum yang kekal

dan abadi (mutlak).

Hal ini berarti apabila telah dikeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha

Negara, maka kekuatan hukumnya tetap berlaku terus. Tetapi ada juga

yang bersifat relatif, yaitu Keputusan Tata Usaha Negara yang digunakan

hanya sekali dalam satu tahap tertentu saja, misalnya Ijin Mendirikan

Bangunan (IMB).

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kekuatan hukum sementara.

Keputusan Tata Usaha Negara ini tegas menunjukan tenggang waktu dari

keputusan tersebut, misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat

Izin Mengemudi (SIM).

Ada juga Keputusan Tata Usaha Negara yang jangka waktunya sementara

tetapi samar-samar misalnya Surat Keterangan (SK) Pengangkatan Pegawai.

Keputusan Tata Usaha Negara ini tidak ditentukan waktunya tetapi dapat

dipercepat atau diperlambat berakhirnya. Dalam Hukum Acara Tata Usaha

Negara dikenal adanya beberapa kekuatan hukum dari putusan hakim di

lingkungan Tata Usaha Negara, yaitu;

a. Kekuatan pembuktian

5
Kekuatan pembuktian dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang

diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa dengan putusan tersebut

telah diperoleh bukti tentang kepastian sesuatu. Putusan hakim adalah

akta autentik, sehingga putusan hakim tersebut mempunyai kekuatan

pembuktian yang sempurna (Pasal 1868 jo Pasal 1870 KUH Perdata).

b. Kekuatan mengikat

Kekuatan mengikat dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang

diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut mengikat

yang berkepentingan untuk menaati dan melaksanakannya. Karena dalam

Peradilan Tata Usaha Negara berlaku asas erga omnes artinya putusan

berlaku bagi semua, maka yang dimaksud dengan pihak yang

berkepentingan adalah semua orang dan/atau semua badan hukum, baik

badan hukum perdata maupun badan hukum publik.

c. Kekuatan eksekutorial.

Kekuatan eksekutorial dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang

diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut dapat

dilaksanakan. Sebagai syarat bahwa suatu putusan hakim memperoleh

kekuatan eksekutorial adalah dicantumkannya irah-irah ”Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada putusan hakim tersebut.

Putusan Pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap adalah:

6
1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah tidak dapat dilawan atau

dimintakan pemeriksaan banding lagi;

2. Putusan pengadilan tinggi yang sudah tidak dimintakan pemeriksaan

kasasi lagi;

3. Putusan MA dalam tingkat kasasi.

Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht Van

Gewijsde), yaitu putusan pengadilan yang tidak dapat diterapkan upaya

hukum lagi terhadap putusan tersebut.

Pelaksanaan suatu putusan pengadilan dalam kehidupan bernegara khususnya

negara hukum sangat penting demi menjamin kepastian hukum. Suatu

keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum

tetap tidak dapat diganggu gugat lagi, maksudnya dapat dilaksanakan dan

harus ditaati oleh siapa pun juga termasuk Pemerintah. Hanya putusan

Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van

gewisde) yang dapat dilaksanakan.

Jangka waktu penghitungan suatu putusan yang telah dibacakan sampai

dengan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dalam pengadilan

Tata Usaha Negara mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hukum

acara Perdata, yang akhirnya akan bermuara pada eksekusi dari putusan

tersebut. Yang dimaksud dengan eksekusi sendiri adalah pelaksanaan putusan

pengadilan (executie).

7
Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan

setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat

pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas hari). Meskipun

putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak

yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan

Panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.

Tenggang waktu 14 (empat belas) hari di atas, dihitung sejak saat putusan

Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

2.2. Batalnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara

Apabila suatu Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) tidak memenuhi

persyaratan diatas dapat dinyatakan batal. Batal menurut Prof. Muchsan ada 3

(tiga), yaitu:

a. Batal mutlak.

Batal mutlak adalah semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap

belum pernah ada. Aparat yang berhak menyatakan adalah hakim melalui

putusannya.

b. Batal demi Hukum.

Terdapat 2 (dua) alternatif batal demi hukum, yaitu:

1. Semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada;

2. Sebagian perbuatan dianggap sah, yang batal hanya sebagiannya saja.

Aparat yang berhak menyatakan adalah yudikatif dan eksekutif.

c. Dapat dibatalkan.

8
Dapat dibatalkan adalah semua perbuatan yang dilakukan dianggap sah,

pembatalan berlaku semenjak dinyatakan batal. Aparat yang berhak

menyatakan adalah umum (eksekutif, legislatif dan lain-lain).

Menurut teori functionare de faite, suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetap

dianggap berlaku walaupun tidak memenuhi syarat diatas (formil dan

materiil), apabila memenuhi 2 (dua) syarat yang bersifat komulatif, yaitu:

a. Tidak absahnya keputusan itu karena kabur, terutama bagi penerima

keputusan;

b. Akibat dari keputusan itu berguna bagi kepentingan masyarakat.

3. Hapusnya Suatu Keputusan Tata Usaha Negara

Suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat dinyatakan hapus jika

memenuhi unsur-unsur dibawah ini:

a. Apabila sudah habis masa berlakunya;

b. Dicabut atau dinyatakan tidak berlaku oleh aparat yang berwenang

(yudikatif, eksekutif dan legislatif);

c. Apabila dikeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara baru

yang substansinya sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara

yang lama;

d. Apabila peristiwa hukum yang menjadi motifasi lahirnya

keputusan tersebut sudah tidak relevan lagi. Hal ini didasarkan

pada pendapat Van poe lie dalam teori rebus sic stantibus yang

9
menyatakan bahwa setiap peristiwa hukum terjadi karena adanya

motifasi-motifasi tertentu.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam menentukan pemahaman dan kekuatan hukum tata usaha negara

memang tidak semua sama tetapi dapat dibedakan menjadi 2 pilihan yaitu

KTUN mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan juga kekuatan hukumnya

hanya sementara tetapi disamping itu juga pemahaman mengenai pencabutan

keputusan tata usaha negara juga dikarenkan ada syarat yang harus

diperhatikan, dan apabila ketentuan atau syarat tersebut dilanggar maka

putusan atau aturan yang sudah dibuat dapat dibatalkan dan dihapus karena

sudah tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh pejabat pemerintah

yang berwenang.

Sehingga kekuatan keputusan tata usaha negara dan juga pencabutan tersebut

tidak dapat dipisahkan atau memang hal tersebut sudah menjadi satu paket

dalam melakukan kebijakan tata usaha negara

3.2 Saran

Memang dalam kekuatan keputusan tata usaha negara dan pencabutan

keputusan tata usaha negara tidak dapat dipisahkan karena hal tersebut sudah

menjadi hal yang berkesinanmbungan,, tetapi pemerintah atau pejabat

pemerintah tidak boleh bersikap atau bertindak sewenang – wenang terhadap

kekuatan dan pencabutan kepuusan dari tata usaha negara sehingga sistem

11
atau kebijakan dapat berjalan eektif dan saling melengkapi antara kekuatan

dan pencabutan keputusan tata usaha negara.

12
DAFTAR PUSTAKA

 Soegijatno R Tjakranegara , S.H , 1992, HUKUM ACARA

PERADILAN TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA, Sinar grafika,

jakarta.

 Wiyono R, S.H., 2005, HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA

NEGARA, Sinar grafika, jakarta.

 Indroharto, Peerbuatan Pmerintahan Menurut Hukum Publik dan Hukum

Perdata, Jakarta; Rajawali Pers, 1992.

 Sjachran Basah, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan

Admnistrasi (HAPLA), Jakarta;Rajawali Pers, 1989.

 RozaliAbdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan

Ketiga, Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 1994.

 Soedikno Merokoesomo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan

Pertama Edisi Kedua, Yogyakarta; Liberty, 1985.

 Bagir Manan, Good Governance hindarkan rakyat dari tindakan negara

yang merugikan, http//:www.transparansi.com.

 Philipus Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, 1997.

 Iskatrinah, Pelaksanaan fungsi hukum administrasi Negara dalam

mewujudkan pemerintahan yang baik, http//:www.dephan.go.id.

13
 Muchsan, Bahan Kuliah Hukum Tata Usaha Negara, Magister Hukum

UGM, Yogyakarta, 2008.

 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara.

 UU No 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

 http://studihukum.blogspot.co.id/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-2-

syarat_20.html

14

Anda mungkin juga menyukai