Referat DR Wil
Referat DR Wil
SYOK ANAFILAKSIS
Oleh:
Roudhoh Lubis
Pembimbing:
UNIVERSITAS ABDURRAB
2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur atas rahmat dan nikmat Allah SWT
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “syok anafilaksis”. Referat ini
diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti Kepanitraan Klinis Senior Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah tengku rafi’an Siak Sri Indrapura.
Dalam penyelesaian referat ini penulis banyak mendapat bantuan bimbingan dan dukungan
dari berbagai pihak hingga akhirnya referat ini dapat selesai tepat pada waktunya. Oleh karena itu
sepantas nya penulis mengucapkan terimakasih kepada Dokter Pembimbing dr.Wilson,
M.Biomed, Sp.A dan segenap Staff Bagian RSUD tengku rafi’an Siak Sri Indrapura atas
bimbingan dan pertolongannya selama menjalani Kepanitraan Klinis Senior Ilmu Kesehatan Anak
dan dapat menyelesaikan penulisan dan pembahasan referat ini.
Dalam penulisan ini, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna,
penulis memohon maaf atas segala kesalahan, sehingga kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan penulisan referat berikutnya.
Penulis
Roudhoh Lubis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL………………………………………………………………. iv
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Syok adalah ketidak mampuan memberikan perfusi darah teroksigenasi dan substrat
kedalam jaringan untuk mempertahankan fungsi organ. Pada umumnya hantaran oksigen terjadi
akibat berbagai keadaan yang berhubungan langsung dengan kandungan oksigen arteri (saturasi
oksigen dan konsentrasi hemoglobin dan curah jantung.1 Syok merupakan proses progresif yang
ditandai oleh 3 stadium yang berbeda yaitu stadium konpensasi, stadium dekonpensata dan
berujung gagal organ dan kematian pasien.1
Anafilaksis adalah suatu respon klinis hipersensitifitas yang berat dan menyerang berbagai
organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi hipersensitifitas tipe cepat (reaksi
hipersensitivitas tipe 1) yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibody spesifik (IgE) yang terikat
dengan sel mast. Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah obat-obatan, makanan,
cuaca, gigitan serangga, bisa ular dll.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti bertentangan/berlawanan dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang
diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan menghasilkan rilis mediator
kimia seperti sel mast dan basofil yang akan berpengaruh pada sistem kardiovaskuler yang ditandai
dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat, sistem pernapasan seperti depresi
nafas, dan sistem gastrointestinal.2
Anafilaksis alergi adalah suatu respon klinis hipersensitivitas akut,berat dan menyerang
berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (reaksi hipersensitivitas tipe 1), yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibody spesifik
(IgE) yang terkait pada sel mast. Sel mast dan basofilakan mengeluarkan mediator yang
mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam organ. Selain itu dikenal pula istilah
reaksi anafilaksis nonalergi (reaksi anafilaktoid) yang secara klinis sama dengan anafilaksis alergi,
akan tetapi tidak disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibody. Reaksi anafilaksis
nonalergi disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basophil sehingga
menyebabkan terlepasnya mediator.2
Angka kejadian anafilaksis diseluruh dunia tidak sepenuhnya diketahui, hal ini
dikarenakan “under-recognition” dari pasien dan paramedis serta “under diagnosis” dari tenaga
medis professional. Menurut the American college of allergy,asthma and immunology
epidemiology of anaphylaxis, insiden terjadinya anafilaksis didunia berkisar antara 30 – 950 kasus
per 100.000 orang tiap tahunnya. Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat
disebutkan bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling
2
banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60
menit penggunaan obat. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus
anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami
peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4kasus/10.000 total pasien anafilaksis.3,4
2.3 Etiologi
Berdasarkan etiologinya, reaksi anafilaksis terbagi menjadi tiga yaitu anafilaksis alergi,
anafilaksis non alergi dan anafilaksis idiopatik.
a. Anafilasis alergi
Bila reaksi diperantarai oleh suatu mekanisme imunologi. Anafilaksis alergi diperantarai
oleh IgE (Ig-E mediated allergic anaphylaxis).
b. Anafilaksis non alergi
Bila diperantarai oleh penyebab non imunologi atau disebut juga anafilaktoid
c. Anafilaksis idiopatik
Bila alergen penyebab maupun faktor fiisik yang merangsang tidak teridentifikasi.
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen, serum
kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon,
dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, terasiklin,
streptomisin, sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau
jamur, atau serum ATS, ADS dan anti bisa ular.2
3
Tabel 1. Faktor Penyebab Anafilaktik
Moluska: kerrang
Ikan
Buah beri
Dan lain-lain
Toxoid: ATS, ADS, SABUA Ekstrak alergen untuk uji kulit Dextran
Agen diagnostik-kontras
Bisa serangga Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
4
2.4 Patofisiologi Syok Anafilaktik
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya dengan
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama dan
sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap
oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana
ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi
sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian
terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Aktivasi mastosit dan basofil
menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP kemudian
penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula kedalam cairan ekstraselluler.
Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat pelepasan mediator. Obat-obatan yang
mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-
obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine
misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator
ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil
dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada
vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat
cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya mediator.6
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi
pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain
dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.7
5
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang
akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase efektor adalah waktu terjadinya respon
yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.7
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya reaksi maupun luas
dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik atau menit sesudah terpajan alergen
dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam meskipun diobati. Gejala dapat dimulai dengan
gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Gejala dapat terjadi
segera setelah terpapar dengan antigen, yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target, antara
lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran
kencing. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut,
gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas
dan sakit perut.9
Gejala yang timbul pada organ ialah:
a. Kardiovaskuler
Dapat terjadi sentral maupun perifer. Gangguan pada sirkulasi perifer dapat dilihat dari pucat
dan ekstremitas dingin. Selain itu kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna
6
dibandingkan penurunan tekanan darah. Dapat pula terjadi tekanan darah rendah, vena perifer
kolaps, CVP rendah, palpitasi, takikardi, hipotensi, aritmia, penurunan volume efektif plasma,
nadi cepat dan halus sampai tidak teraba, renjatan, pingsan, pada EKG dapat ditemukan
aritmia, T mendatar atau terbalik, irama nodal, fibrilasi ventrikel sampai asistol.2
b. Respirasi
Dapat terjadi pernapasan cepat dan dangkal, rhinitis, bersin, gatal dihidung, batuk, sesak,
mengi, stridor, suara serak, gawat napas, takipnea sampai apnea, kongesti hidung, edema dan
hiperemi mukosa, obstuksi jalan napas, bronkospasme, hipersekresi mukus, wheezing
dispnea, dan kegagalan pernafasan. 2
c. Gastrointestinal
Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual, muntah, sakit perut,
diare.2
d. Kulit
Manifestasi klinik syok Anafilaksis masih dibagi dalam derajat berat ringannya atau reaksi
sitemiknya, yaitu sebagai berikut:
a. Ringan
b. Sedang
7
c. Berat/parah
1. Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama
seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat ke arah
bronkospame, edema laring, dispnea berat dan sianosis.
2. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang. Henti jantung dan
koma jarang terjadi.2
1. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak
pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi
vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi
masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. 2
2. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa
penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi
saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada. 2
3. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi
anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. 2
8
2.7 Penatalaksanaan Syok Anafilaktik
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung
dan menaikkan tekanan darah. Posisi terlentang dengan kaki lebih tinggi mungkin membantu,
kecuali pada kondisi terlarang, misalnya dispnea atau emesis. Konsultasi dini dengan anestesi
sangatlah dianjurkan.9
Jalan napas harus dijaga tetap bebas dan dipastikan tidak ada sumbatan sama sekali.
Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, penarikan
mandibula ke anterior, dan membuka mulut. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring,
dapat terjadi obstruksi jalan napas total atau parsial. Pertimbangkan intubasi elektif awal
untuk pasien dengan suara serak yang signifikan dan edema lingual atau orofaringeal.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui
intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Pada pasien pediatri, intubasi mungkin
secara teknis sulit, menambah juga beratnya edema. Oleh karena itu, intubasi dengan sedasi
dapat dibenarkan.10
B. Breathing support
C. Circulation support
Cairan kristaloid harus diberikan lebih awal, sebelum pemberian obat anafilaktik. Pada
pasien anak, sebuah bolus cepat 20 ml / kg harus diberikan dan diulang seperlunya, sedangkan
9
pada dewasa dapat diberikan 500-1000 ml. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan
darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan
volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan
20–40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan
jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga
bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.10
3. Pemberian epinefrin
Administrasi langsung dengan dosis epinefrin yang memadai sangat penting untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun epinefrin memiliki indeks terapeutik
yang sempit (rasio risiko-manfaat), epinefrin mempunyai efek a1, b1, b2 agonis yang penting
dalam membalikan gejala anafilaksis. Efek agonis a1 penting terhadap resistensi pembuluh
darah perifer meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi edema
mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi merupakan efek agonis b1. Stimulasi dari
reseptor b2 menyebabkan bronkodilatasi dan penurunan pelepasan mediator sel mast dan
basofil.10
10
Epinefrin inhalasi sebaiknya tidak diberikan sebagai pengganti epinefrin
intramuskular dalam manajemen akut anafilaksis pada anak-anak. Peneliti menetapkan bahwa
anak-anak tidak efektif pada menghirup jumlah yang cukup dari epinefrin menggunakan
inhaler dosis terukur meskipun pelatihan ahli. Sebagai alternatif untuk injeksi intramuskular,
rute sublingual administrasi epinefrin-baru ini telah diselidiki dengan menggunakan model
kelinci. Meskipun hasil yang menjanjikan, ada data yang cukup untuk merekomendasikan
penggunaan rutin dalam pengobatan anafilaksis pada manusia. 10
4. Obat tambahan
Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah termasuk
antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Adalah penting untuk menyadari bahwa
antihistamin memiliki onset yang lambat dan tidak dapat memblokir peristiwa yang terjadi
setelah pengikatan reseptor histamin. Administrasi antihistamin H1 dan H2 dalam kombinasi
telah dilaporkan lebih efektif dalam memperbaiki beberapa manifestasi anafilaksis daripada
antihistamin H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin H1 generasi pertama, dapat diberikan
parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan
anafilaksis. 10
11
Tabel 3. Dosis Klorfenamin
Usia Dosis
RJP dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan pernafasan. Untuk
itu tidakan RJP yang dilakukan sama seperti pada umumnya. 10
Bilamana penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik fasilitasnya,maka
sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih dahulu. Sangatlah tidak bijaksana mengirim
penderita syok anafilaksis yang belum stabil penderita akan dengan mudah jatuh ke keadaan
yang lebih buruk bahkan fatal. Saat evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh dokter dan
perawat yang menguasai penanganan kasus gawat darurat. 10
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat dipulangkan karena
kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis. Sebaiknya penderita tetap dimonitor paling
tidak untuk 12-24 jam. Untuk keperluan monitoring yang kektat dan kontinyu ini sebaiknya
penderita dirawat di Unit Perawatan Intensif. 10
12
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Carcillo JA. Syok pada anak. Divition of Critical Care Medicine, Children’s Hospital of
Pittsburgh
2. Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N. 2008. Buku Ajar Alergi-Imunologin Anak. IDAI
3. Soenarjo, Jatmiko Dwi H. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran UNDIP/ RSUP Dr.Kariadi, Semarang. 2010
4. Muhiman, Muhardi, dkk, Anestesiologi, Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Penerbit : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Cetakan Pertama,
1989.
5. Bohlke K, Davis RL, et al. 2004. Epidemiology Of Anaphylaxis Among Children And
Adolescents Enrolled In A Health Maintenance Organization.
Journal Allergy Clin Immunology. 113(3):536 – 542.
8. Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL. 2001. Anaphylaxis in the United States, An Investigation Into Its
Epidemiology. Arch Intern Med. Page 161:15-21.
9. Johnson RF, Peebles RS. 2011. Anaphylactic Syok: Pathophysiology, Recognition, and Treatment.
Medscape. Available from URL: http://www.medscape.com/viewarticle/497498_2
10. Suryana K. 2003. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi Alergi Imunologi Bagian/SMF
Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar.
14
15