Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skizofrenia merupakan suatu sindrom penyakit klinis yang paling
membingungkan dan melumpuhkan. Gangguan psikologis ini adalah salah satu
jenis gangguan yang paling berhubungan dengan pandangan populer tentang
gila atau sakit mental. Skizofrenia juga sering kali menimbulkan rasa takut,
kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

Skizofrenia adalah bentuk paling umum dari penyakit mental yang parah.
Penyakit ini adalah penyakit yang serius dan mengkhawatirkan yang ditandai
dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas
(berupa halusinasi dan waham), gangguan kognitif (tidak mampu berpikir
abstrak) serta mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Skizofrenia menyerang jati diri seseorang, memutus hubungan yang erat antara
pemikiran dan perasaan serta mengisinya dengan persepsi yang terganggu, ide
yang salah, dan konsepsi yang tidak logis. Skizofrenia menyentuh semua aspek
kehidupan dari orang yang terkena. Episode akut dari skizofrenia ditandai
dengan waham, halusinasi, pikiran yang tidak logis, pembicaraan yang tidak
koheren, dan perilaku yang aneh.

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang yang berat dan dialami
manusia sejak muda dan dapat berkelanjutan menjadi sebuah gangguan yang
kronis dan menjadi lebih parah ketika muncul pada lanjut usia (lansia) karena
menyangkut perubahan pada segi fisik, psikologis dan sosial budaya.
Sebenarnya skizofrenia tidak hanya banyak dialami oleh orang lanjut usia saja,
banyak orang dewasa bahkan sampai anak-anak dan remaja pun bisa
mengalaminya. Skizofrenia bisa timbul pada usia 18-45 tahun, bahkan ada juga
usia 11-12 tahun sudah menderita skizofrenia.

Menurut hasil penelitian multinasional World Health Organization (WHO)


jumlah rata-rata penderita skizofrenia tampak serupa pada budaya maju maupun
budaya berkembang. WHO memperkirakan bahwa sekitar 24 juta orang di
seluruh dunia mengidap skizofrenia. Data American Psychiatric Association
(APA) menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.
Diperkirakan 75% penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25
tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang beresiko tinggi karena pada
tahap usia perkembangan ini banyak sekali stressor kehidupan. Sekitar 1% dari
populasi orang dewasa di Amerika Serikat menderita skizofrenia, dengan
jumlah keseluruhan lebih dari 2 juta orang.

Prevalensi skizofrenia di Indonesia adalah 0,3 – 1 %. Apabila diperkirakan


penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sebanyak 2 juta
jiwa menderita skizofrenia, sedangkan di daerah Surakarta, prevalensi
berdasarkan data rekam medik RSJD Surakarta (2010) terdapat sebanyak 2.381
pasien skizofrenia, yang terdiri dari 33 pasien skizofrenia hebefrenik, 10
skizofrenia katatonik, 333 tak terinci, 1 pasien depresi pasca skizofrenia,
residual 158, simpleks 4 pasien, lainnya 1.047 pasien, YTT 29 pasien.

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang sangat luas di Indonesia, dari data
yang telah dihimpun, lebih dari 80% penderita skizofrenia di Indonesia tidak
diobati. Penderita dibiarkan berkeliaran di jalanan, atau bahkan dipasung.
Padahal jika diobati dan dirawat baik oleh keluarga, sepertiga dari penderita
bisa pulih. Akan tetapi jika tidak diobati ataupun diberikan perawatan, penderita
akan terus mengalami kekambuhan, dan 20 – 25% dari mereka akan bersifat
resisten, sebanyak 80% penderita skizofrenia tidak mendapatkan pengobatan,
sebagian dari penderita gangguan jiwa ini menjadi tidak produktif, bahkan
ditelantarkan sebagai psikotik yang berkeliaran di jalanan.
Orang yang mengidap skizofrenia semakin lama semakin terlepas dari keluarga
ataupun masyarakat. Orang dengan skizofrenia gagal untuk berfungsi sesuai
peran yang diharapkan sebagai anggota masyarakat. Penderita gagal untuk
berfungsi sesuai peran yang diharapkan sebagai pelajar, pekerja, atau pasangan,
dan keluarga. Pada kebanyakan kasus, terjadi penurunan secara perlahan dan
berangsur-angsur dalam fungsi individu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada
persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif
tertentu dapat berkembang kemudian.

1.2 Epidemiologi
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang kompleks dengan berbagai
ekspresi fenotip. Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama
hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau
dewasa muda. Awitan pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada
perempuan antara 25-35 tahun. Prognosisnya lebih buruk pada laki-laki bila
dibandingkan dengan pada perempuan. Awitan setelah 40 tahun jarang terjadi.

Sebanyak 50% penderita skizofrenia mengalami disabilitas hampir seumur


hidup mereka. Di dunia, skizofrenia termasuk dalam sepuluh penyakit dengan
beban biaya terbesar. Perjalanan penyakitnya sangat heterogen. Sekitar 50%
membutuhkan rawat inap satu kali atau lebih, selama durasi sakitnya. Sebanyak
20% pasien dapat kembali bekerja sempurna dan 30% dapat mempertahankan
hubungan sosial yang baik.
1.3 Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain :
1.3.1. Faktor Genetik
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah
dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita
skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan
bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi
anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%;
bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua
telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 –
86%.

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang


disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat
mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-
tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan
mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang
mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko
untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin
banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini.

1.3.2. Faktor Biokimia


Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak
yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan
neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli
mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter
dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau
dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak
ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja
tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti
serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan.
1.3.3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin
lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya
hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang
patogenik dalam keluarga.

Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam


keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah
schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk
mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan
penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-
anaknya.

1.4 Gejala Skizofrenia


a. Gejala Positif :
1) Delusi atau Waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional.
Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu
tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.
2) Halusinansi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan.
Misalnya penderita mendengar bisikan - bisikan di telinganya padahal
tidak ada sumber dari bisikan itu.
3) Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya.
Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara
dengan semangat dan gembira berlebihan.
5) Merasa dirinya “Orang Besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan
sejenisnya.
6) Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman
terhadap dirinya.
7) Menyimpan rasa permusuhan.
b. Gejala Negatif :
1) Alam perasaan “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini
dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
2) Menarik diri atau mengasingkan diri tidak mau bergaul atau kontak
dengan orang lain, suka melamun.
3) Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.
4) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
5) Sulit dalam berfikir abstrak.
6) Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif dan
serba malas.

c. Gejala Afektif:
1) Mood depresi
2) Ansietas.

d. Gejala Kognitif:
1) Defisit memory kerja
2) Episodik
3) Atensi
4) Verbalisasi

1.5 Diagnosis Skizofrenia


Diagnosis skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of
Mental Disorder (DSM) V dan PPDGJ III yaitu:
 harus ada sedikitnya satu gejala sebagai berikut yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):
a.1 Thought echo: isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda.
a.2 Thought insertion or withdrawal: isi pikiran yang asing dari luar
masuk kedalam pikirannya atau isi pikirannya diambil keluar oleh
suatu dari luar dirinya.
a.3 Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya.
b.1 delusion of control: waham tentang dirinya dikendalikan oleh
sesuatu kekuatan tertentu dari luar.
b.2 delusion of influence: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh
sesuatu kekuatan tertentu dari luar.
b.3 delusion of passivity: waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar.
b.4 delusional perception: pengalaman inderawi yang tak wajar yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
c. halusinasi auditorik: suatu halusinasi yang berkomentar secara terus
meneruk terhadap perilaku pasien.
d. waham waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil.

 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
e. halusinasi yang menetap dari panca indra apa saja.
f. arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan tidak relevan.
g. perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh
tertentu (posturing), negativisme, mutisme dan stupor.
h. gejala gejala negatif.
 Adanya gejala gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu 1 bulan atau lebih
 Harus ada sesuatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu dan
penarikan diri secara sosial.

1.6 Tipe-tipe Skizofrenia


a. Skizofrenia Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah adanya waham yang mencolok
atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan
efek yang relatif masih terjaga. Wahamnya biasanya adalah waham
kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain misalnya
waham kecemburuan, keagamaan mungkin juga muncul.

Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe paranoid :


1) Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau sering
mengalami halusinasi auditorik.
2) Tidak ada ciri berikut yang mencolok : bicara kacau, motorik
kacau atau katatonik, efek yang tak sesuai atau datar.

b. Skizofrenia hebefrenik
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan senang
menyendiri namin tidak harus demikian untuk menentukan diagnosa.
untuk mendiagnosis hebefrenik yang meyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan:
 Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,
serta mannerisme, ada kecendrungan untuk selalu menyendiri dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan
 Afek pasien yang dangkal dan tidak wajar, sering disertai oleh
cekikikan atau perasaan puas diri, senyum sendiri, tertawa
menyeringai, mannerisme dan ungkapan kata yang diulang-ulang
 Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu serta inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi
biasanya tidak menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan
hilang serta sasaran yang ditinggalkan serta perilaku pendirita
memperlihatkan ciri khas yaitu perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud.

c. Skizofrenia Katatonik
Ciri utama pada skizofrenia tipe katatonik adalah gangguan pada
psikomotor yang dapat meliputi ketidak-bergerakan motorik, aktivitas
motor yang berlebihan, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi, gerakangerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain atau mengikuti tingkah laku orang lain.

Kriteria diagnostik skizofrenia tipe katatonik :


1) Aktivitas motor yang berlebihan.
2) Negativisme yang ekstrim (tanpa motivasi yang jelas, bersikap
sangat menolak pada segala instruksi atau mempertahankan
postur yang kaku untuk menolak dipindahkan) atau sama sekali
diam.
3) Gerakan-gerakan yang khas dan tidak terkendali.
4) Menirukan kata-kata orang lain atau menirukan tingkah laku
orang lain.

d. Skizofrenia Undifferentiated
Memenuhi kriteria umum skizofrenia tetapi tidak bisa digolongkan untuk
skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik, residual.

e. Skizofrenia residual
Diagnosa skizofrenia tipe residual diberikan bilamana pernah ada paling
tidak satu kali episode skizofrenia, tetapi gambaran klinis saat ini tanpa
simtom positif yang menonjol. Terdapat bukti bahwa gangguan masih
ada sebagaimana ditandai oleh adanya negatif simtom atau simtom
positif yang lebih halus.

Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe residual :


1) Tidak ada yang menonjol dalam hal delusi, halusinasi,
pembicaraan kacau, tingkah laku kacau atau tingkah laku
katatonik
2) Terdapat bukti keberlanjutan gangguan ini, sebagaimana ditandai
oleh adanya simtom-simtom negatif atau dua atau lebih simtom
yang terdaftar di kriteria A untuk skizofrenia, dalam bentuk yang
lebih ringan.

f. Skizofrenia Pasca Skizofrenia


Pasien telah menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir, gejala
skizofrenua masih tetap ada tetapi tidak lagi mendominasi gambaran
klinisnya dan gejala depresi menonjol dan mengganggu, memenuhi
paling sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dlam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu.

g. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa
didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode
psikotik disertai dengan peribahan perubahan perilaku pribadi yang
bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencoloj tidak
berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
1.7 Terapi Skizofrenia
a. Non farmakologi
1) Terapi psikososial
Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu
kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan
mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang
lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat,
pasien diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak
kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul.

2) Terapi psikoreligius
Terapi keagaman terhadap penderita skizofrenia ternyata
mempunyai manfaat misalnya, gejala-gejala klinis gangguan jiwa
skizofrenia lebih cepat hilang. Terapi keagamaan yang
dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti
sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan,
ceramah keagamaan dan kajian kitab suci.

b. Farmakologi
Obat-obat antipsikotik juga dikenal sebagai neuroleptik dan juga
sebagai trankuiliser mayor. Obat antipsikotik pada umumnya
membuat tenang dengan mengganggu kesadaran dan tanpa
menyebabkan eksitasi paradoksikal. Antipsikotik pada terapi psikosis
akut maupun kronik, suatu gangguan jiwa yang berat. Ciri terpenting
obat antipsikotik adalah:
1) Berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas
emosional pada pasien psikotik.
2) Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun
anesthesia.
3) Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau
ireversibel.
4) Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan
fisik dan psikis. Mekanisme Kerja Antipsikotik menghambat
(agak) kuat reseptor dopamine (D2) di sistem limbis otak dan di
samping itu juga menghambat reseptor D1/D2 ,α1 (dan α2)
adrenerg, serotonin, muskarin dan histamin. Akan tetapi pada
pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah ditemukan pula
blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut. Riset baru mengenai
otak telah menunjukkan bahwa blokade-D2 saja tidak selalu
cukup untuk menanggulangi skizofrenia secara efektif. Untuk ini
neurohormon lainnya seperti serotonin ( 5HT2), glutamate dan
GABA (gamma-butyric acid) perlu dipengaruhi. Golongan obat
antipsikotik ada 2 macam yaitu:
1. Golongan antipsikotik tipikal : chlorpromazine, fluperidol,
haloperidol, loxapine, molindone, mesoridazine,
perphenazine, thioridazine, thiothixene, trifluperezine.
2. Golongan antipsikotik atipikal : aripiprazole, clozapin,
olanzapine, quetiapine, risperidone, ziprasidone.

Chlorpromazine dan thioridazine : menghambat α1 adrenoreseptor


lebih kuat dari reseptor D2. Kedua obat ini juga menghambat reseptor
serotonin 5-HT2 dengan kuat. Tetapi afinitas untuk reseptor D1
seperti diukur dengan penggeseran ligan D1 yang selektif, relatif
lemah.

Perphenazine : bekerja terutama pada reseptor D2; efek pada reseptor


5-HT2 dan α1 ada tetapi pada reseptor D1 dapat dikesampingkan.

Klozapin : bekerja dengan menghambat reseptor-D2 agak ringan


(k.I.20%) dibandingkan obat-obat klasik (60-75%). Namun efek
antipsikotisnya kuat, yang bias dianggap paradoksal. Juga afinitasnya
pada reseptor lain dengan efek antihistamin, antiserotonin,
antikolinergis dan antiadrenergis adalah relative tinggi. Menurut
perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh blokade kuat dari
reseptor-D2,-D4, dan -5HT2. Blokade reseptor-muskarin dan –D4
diduga mengurangi GEP, sedangkan blokade 5HT2 meningkatkan
sintesa dan pelepasan dopamin di otak. Hal ini meniadakan sebagian
blokade D2, tetapi mengurangi risiko GEP.

Risperidone: bekerja dengan menghambat reseptor-D2 dan -5HT2,


dengan perbandingan afinitas 1:10, juga dari reseptor-α1,-α2, dan –
H1. Blokade α1 dan α2 dapat menimbulkan masing-masing hipotensi
dan depresi sedangkan blokade H1 berkaitan dengan sedasi.

Olanzapine : menghambat semua reseptor dopamine (D1s/d D5) dan


reseptor H1,-5HT2,-adrenergis dan –kolinergis, dengan afinitas lebih
tinggi untuk reseptor 5-HT2 dibandingkan D2.

Efek samping penggunaan antipsikotik:


1) Gejala ekstrapiramidal (GEP) dapat berbentuk antara lain:
a) Parkinsonisme (gejala penyakit parkinsonisme) yakni
hipokinesia (daya gerak berkurang, berjalan langkah demi
langkah) dan kekakuan anggota tubuh , kadang- kadang
tremor tangan dan keluar liur berlebihan.
b) Akathisia yaitu selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk
diam tanpa mengerakkan kaki, tangan atau tubuh.
c) Dyskinesia tarda yaitu gerakan abnormal tak-sengaja,
khususnya otot-otot muka dan mulut yang dapat menjadi
permanen.
d) Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan
otot dan GEP (gejala ekstrapiramidal).
2) Sedasi
3) Efek antikolinergis yang bercirikan mulut kering, penglihatan
guram, obstipasi, retensi kemih, terutama pada lansia.
4) Gejala penarikan, bila penggunaannya dihentikan mendadak
dapat terjadi sakit kepala, sukar tidur, mual, muntah, anorexia dan
rasa takut.

Efek samping yang ireversibel : tardive dyskinesia (gerak, di mana


tidur akan berulang, involunter pada lidah, wajah, mulut/rangka, dan
anggota gerak, di mana waktu tidur gejala tersebut menghilang).
Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang dan pasien lanjut
usia. Bila terjadi, obat antipsikosis harus dihentikan perlahan-lahan,
biasa dicoba pemberian obat 2,5 mg/hari (dopamine depleting
agent). Obat pengganti antpsikosis yang paling baik adalah klozapin
50-100 mg/hari. Pada pemakaian obat jangka panjang secara
periodik harus dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk deteksi
dini perubahan akibat efek samping obat.

Dapat terjadi sindrom neuroleptik maligna (SNM) yang dapat


mengancam kehidupan terutama pada pasien dengan kondisi
dehidrasi, kelelahan, atau malnutrisi, SNM ditandai dengan
hiperpireksia, rigitas, inkontinensia urin, dan perubahan status
mental serta kesadaran.

Apabila terjadi dengan penghentian obat, perawatan suportif, dan


agonis dopamine (bromokriptin 3 x 7,5-60 mg/hari, L-dopa 2x
100mg/ hari atau amantatadin 200mg/hari) (Mansjoer dkk, 1999).
Dalam memilih pertimbangan gejala psikosis yang dominan dan
efek samping obat. Contoh klorpromazin dan thioridazine yang efek
samping sedatif kuat terutama digunakan untuk sindrom psikosis
dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur,
kekacauan pikiran, perasaan, perilaku, dan lain-lain. Sedangkan
trifluperezine, fluperidol dan haloperidol yang memiliki efek sedatif
lemah di gunakan untuk sindrom psikosis dengan gejala dominan
apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif,
hipoaktif, waham, halusinasi, dan lain-lain.

Obat dimulai dengan awal sesuai dengan dosis anjuran. Dinaikkan


dosisnya setiap 2-3 hari sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul
peredaan gejala). Evaluasi dilakukan tiap dua minggu dan bila perlu
dosis dinaikkan, sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilitas), kemudian diturunkan
setiap dua minggu, sampai mencapai dosis pemeliharaan.
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi masa bebas obat 1-
2 hari/minggu). Kemudian tapering off, dosis diturunkan tiap 2-4
minggu dan dihentikan.

Obat antipsikosis long acting (flufenazin dekanoat 25mg/ml atau


haloperidol dekanoat 50 mg/ml i.m, untuk 2-4 minggu) sangat
berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat
ataupun yang efektif terhadap medikasi oral. Dosis mulai dengan 0,5
ml setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru ditingkatkan
menjadi 1 ml setiap bulan.

Penggunaan klorpromazin injeksi sering menimbulkan hipotensi


ortostatik. Efek samping ini dapat dicegah dengan tidak langsung
bangun setelah suntik atau tiduran selama 5-10 menit. Haloperidol
sering menimbulkan gejala eksrapiramidal, maka diberikan tablet
triheksifenidil (Artane®) 3-4 x 2 mg/hari atau sulfus atropine 0,5-
0,75 mg i.m. Kontraindikasi untuk obat ini adalah penyakit hati,
penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi,
ketergantungan alkohol, penyakit susunan syaraf pusat, dan
gangguan kesadaran.
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari refrat ini adalah:
1. Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada
persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang
2. Skizofrenia memiliki gejala negatif, positif, afektif dan kognitif
3. Diagnosis skizofrenia adalah adanya waham dan halusinasi minimal 1
bulan terakhir
4. Skizofrenia memiliki tipe paranoid, hebefrenik, katatonik,
undifferentiated, pasca skizofrenia, residual dan simpleks.
5. Tatalaksana skizofrenia menggunakan nonfarmakologi dan farmakologi
DAFTAR PUSTAKA

Abrams, DJ., Rojas, DC., Arciniegas, DB. 2008. Is Schizoaffective disorder a


distinct clinicalcondition. Journal of Neuropsychiatric Disease and Treatment
4(6) 1089– 1109

American Psychiatric Association. 2000. Diagnosis dan statistical manual of mental


disorders (DSM IV TR). APA:Washington DC.

Brannon GE, MD. 2012. Schizoaffective Disorder.


http://emedicine.medscape.com/article/294763overview#aw2aab6b2b5aa
Diakses pada tanggal 10 november 2018.

Cantor-Graae E, Nordstrom LG, McNeil TF. 2001. Substance abuse in


schizophrenia: a review of the literature and a study of correlates in Sweden.
Schizophr Res; 48:69-82.

Depkes RI. 2006. Profil Kesehatan 2005, Jakarta.

Elvira, Sylvia D & Hadisukanto, Gitayanti 2015. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Keefe RSE, Fenton WS. 2007. How should DSMV criteria for schizophrenia
include cognitive impairment Schizophr Bul; 33:912-20.

Maslim R. (editor). 2013.Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-


III dan DSM-5.Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Maramis, Willy F . 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi Dua. Airlangga
University Press. Surabaya.
Smith MJ., Wang L., Cronenwett W., Mamah D., Barch DM., Csernansky JG.
2011.Thalamic Morphology in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder. J
Psychiatr Res 45(3): 378 – 385.

Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2003. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Prilaku Psikiatri Klinis Jilid 1.Jakarta: Binarupa Aksara

Sadock, Benjamin J. and Sadock V. A., 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis Edisi 2. Jakarta : EGC.

The ICD-10. 1993. Classification of mental and behavioural disorders clinical


descriptions and diagnostic guidelines. Geneva: World Health Organization.

World Health Organization, 2005. Mental Health. Genewa_2007. International


Psychopharmacology Algorithm Program (IPAP), Genewa.

Anda mungkin juga menyukai