PENDAHULUAN
Skizofrenia adalah bentuk paling umum dari penyakit mental yang parah.
Penyakit ini adalah penyakit yang serius dan mengkhawatirkan yang ditandai
dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas
(berupa halusinasi dan waham), gangguan kognitif (tidak mampu berpikir
abstrak) serta mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Skizofrenia menyerang jati diri seseorang, memutus hubungan yang erat antara
pemikiran dan perasaan serta mengisinya dengan persepsi yang terganggu, ide
yang salah, dan konsepsi yang tidak logis. Skizofrenia menyentuh semua aspek
kehidupan dari orang yang terkena. Episode akut dari skizofrenia ditandai
dengan waham, halusinasi, pikiran yang tidak logis, pembicaraan yang tidak
koheren, dan perilaku yang aneh.
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang yang berat dan dialami
manusia sejak muda dan dapat berkelanjutan menjadi sebuah gangguan yang
kronis dan menjadi lebih parah ketika muncul pada lanjut usia (lansia) karena
menyangkut perubahan pada segi fisik, psikologis dan sosial budaya.
Sebenarnya skizofrenia tidak hanya banyak dialami oleh orang lanjut usia saja,
banyak orang dewasa bahkan sampai anak-anak dan remaja pun bisa
mengalaminya. Skizofrenia bisa timbul pada usia 18-45 tahun, bahkan ada juga
usia 11-12 tahun sudah menderita skizofrenia.
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang sangat luas di Indonesia, dari data
yang telah dihimpun, lebih dari 80% penderita skizofrenia di Indonesia tidak
diobati. Penderita dibiarkan berkeliaran di jalanan, atau bahkan dipasung.
Padahal jika diobati dan dirawat baik oleh keluarga, sepertiga dari penderita
bisa pulih. Akan tetapi jika tidak diobati ataupun diberikan perawatan, penderita
akan terus mengalami kekambuhan, dan 20 – 25% dari mereka akan bersifat
resisten, sebanyak 80% penderita skizofrenia tidak mendapatkan pengobatan,
sebagian dari penderita gangguan jiwa ini menjadi tidak produktif, bahkan
ditelantarkan sebagai psikotik yang berkeliaran di jalanan.
Orang yang mengidap skizofrenia semakin lama semakin terlepas dari keluarga
ataupun masyarakat. Orang dengan skizofrenia gagal untuk berfungsi sesuai
peran yang diharapkan sebagai anggota masyarakat. Penderita gagal untuk
berfungsi sesuai peran yang diharapkan sebagai pelajar, pekerja, atau pasangan,
dan keluarga. Pada kebanyakan kasus, terjadi penurunan secara perlahan dan
berangsur-angsur dalam fungsi individu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada
persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif
tertentu dapat berkembang kemudian.
1.2 Epidemiologi
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang kompleks dengan berbagai
ekspresi fenotip. Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama
hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau
dewasa muda. Awitan pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada
perempuan antara 25-35 tahun. Prognosisnya lebih buruk pada laki-laki bila
dibandingkan dengan pada perempuan. Awitan setelah 40 tahun jarang terjadi.
c. Gejala Afektif:
1) Mood depresi
2) Ansietas.
d. Gejala Kognitif:
1) Defisit memory kerja
2) Episodik
3) Atensi
4) Verbalisasi
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
e. halusinasi yang menetap dari panca indra apa saja.
f. arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan tidak relevan.
g. perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh
tertentu (posturing), negativisme, mutisme dan stupor.
h. gejala gejala negatif.
Adanya gejala gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu 1 bulan atau lebih
Harus ada sesuatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu dan
penarikan diri secara sosial.
b. Skizofrenia hebefrenik
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan senang
menyendiri namin tidak harus demikian untuk menentukan diagnosa.
untuk mendiagnosis hebefrenik yang meyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan:
Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,
serta mannerisme, ada kecendrungan untuk selalu menyendiri dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan
Afek pasien yang dangkal dan tidak wajar, sering disertai oleh
cekikikan atau perasaan puas diri, senyum sendiri, tertawa
menyeringai, mannerisme dan ungkapan kata yang diulang-ulang
Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu serta inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi
biasanya tidak menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan
hilang serta sasaran yang ditinggalkan serta perilaku pendirita
memperlihatkan ciri khas yaitu perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud.
c. Skizofrenia Katatonik
Ciri utama pada skizofrenia tipe katatonik adalah gangguan pada
psikomotor yang dapat meliputi ketidak-bergerakan motorik, aktivitas
motor yang berlebihan, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi, gerakangerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain atau mengikuti tingkah laku orang lain.
d. Skizofrenia Undifferentiated
Memenuhi kriteria umum skizofrenia tetapi tidak bisa digolongkan untuk
skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik, residual.
e. Skizofrenia residual
Diagnosa skizofrenia tipe residual diberikan bilamana pernah ada paling
tidak satu kali episode skizofrenia, tetapi gambaran klinis saat ini tanpa
simtom positif yang menonjol. Terdapat bukti bahwa gangguan masih
ada sebagaimana ditandai oleh adanya negatif simtom atau simtom
positif yang lebih halus.
g. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa
didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode
psikotik disertai dengan peribahan perubahan perilaku pribadi yang
bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencoloj tidak
berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
1.7 Terapi Skizofrenia
a. Non farmakologi
1) Terapi psikososial
Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu
kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan
mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang
lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat,
pasien diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak
kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul.
2) Terapi psikoreligius
Terapi keagaman terhadap penderita skizofrenia ternyata
mempunyai manfaat misalnya, gejala-gejala klinis gangguan jiwa
skizofrenia lebih cepat hilang. Terapi keagamaan yang
dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti
sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan,
ceramah keagamaan dan kajian kitab suci.
b. Farmakologi
Obat-obat antipsikotik juga dikenal sebagai neuroleptik dan juga
sebagai trankuiliser mayor. Obat antipsikotik pada umumnya
membuat tenang dengan mengganggu kesadaran dan tanpa
menyebabkan eksitasi paradoksikal. Antipsikotik pada terapi psikosis
akut maupun kronik, suatu gangguan jiwa yang berat. Ciri terpenting
obat antipsikotik adalah:
1) Berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas
emosional pada pasien psikotik.
2) Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun
anesthesia.
3) Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau
ireversibel.
4) Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan
fisik dan psikis. Mekanisme Kerja Antipsikotik menghambat
(agak) kuat reseptor dopamine (D2) di sistem limbis otak dan di
samping itu juga menghambat reseptor D1/D2 ,α1 (dan α2)
adrenerg, serotonin, muskarin dan histamin. Akan tetapi pada
pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah ditemukan pula
blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut. Riset baru mengenai
otak telah menunjukkan bahwa blokade-D2 saja tidak selalu
cukup untuk menanggulangi skizofrenia secara efektif. Untuk ini
neurohormon lainnya seperti serotonin ( 5HT2), glutamate dan
GABA (gamma-butyric acid) perlu dipengaruhi. Golongan obat
antipsikotik ada 2 macam yaitu:
1. Golongan antipsikotik tipikal : chlorpromazine, fluperidol,
haloperidol, loxapine, molindone, mesoridazine,
perphenazine, thioridazine, thiothixene, trifluperezine.
2. Golongan antipsikotik atipikal : aripiprazole, clozapin,
olanzapine, quetiapine, risperidone, ziprasidone.
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari refrat ini adalah:
1. Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada
persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang
2. Skizofrenia memiliki gejala negatif, positif, afektif dan kognitif
3. Diagnosis skizofrenia adalah adanya waham dan halusinasi minimal 1
bulan terakhir
4. Skizofrenia memiliki tipe paranoid, hebefrenik, katatonik,
undifferentiated, pasca skizofrenia, residual dan simpleks.
5. Tatalaksana skizofrenia menggunakan nonfarmakologi dan farmakologi
DAFTAR PUSTAKA
Elvira, Sylvia D & Hadisukanto, Gitayanti 2015. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Keefe RSE, Fenton WS. 2007. How should DSMV criteria for schizophrenia
include cognitive impairment Schizophr Bul; 33:912-20.
Maramis, Willy F . 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi Dua. Airlangga
University Press. Surabaya.
Smith MJ., Wang L., Cronenwett W., Mamah D., Barch DM., Csernansky JG.
2011.Thalamic Morphology in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder. J
Psychiatr Res 45(3): 378 – 385.
Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2003. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Prilaku Psikiatri Klinis Jilid 1.Jakarta: Binarupa Aksara
Sadock, Benjamin J. and Sadock V. A., 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis Edisi 2. Jakarta : EGC.