Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2019

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN GERIATRI

Disusun Oleh :

Alif Adeyani, S.Ked.

10542 0583 14

Pembimbing :

dr. H. Zulfikar Djafar, M. Kes, Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Alif Adeyani, S.Ked.


Stambuk : 10542 0583 14
Judul Laporan kasus : Manajemen Anestesi pada Pasien Geriatri

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Anestesiologi Fakultas kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Mei 2019

Pembimbing

dr. H. Zulfikar Djafar, M. Kes, Sp. An

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya serta segala kemudahan yang diberikan dalam setiap kesulitan hamba-
Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul
Manajemen Anestesi pada Pasien Geriatri. Tugas ini ditulis sebagai salah satu
syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesiologi.

Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas Laporan Kasus ini,


namun berkat bantuan saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-
teman sehingga tugas ini dapat terselesaikan.

Penulis sampaikan terima kasih banyak kepada, dr. H. Zulfikar Djafar,


M. Kes, Sp. An, selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan
tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses
penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih jauh dari yang
diharapkan oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan senang menerima
kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan tugas ini. Semoga Laporan
Kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis secara khusus.

Makassar, Mei 2019

Alif Adeyani, S.Ked

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS ........................................................................... 2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 7

BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................... 25

BAB V KESIMPULAN .................................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA 31

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan


jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang diderita.1
Dengan perbaikan pelayanan kesehatan baik dalam segi pencegahan maupun
pengobatan, harapan hidup manusia menjadi semakin panjang, sehingga jumlah manusia
berusia lanjut (manula) akan bertambah besar. Di Indonesia, persentase orang yang berumur
>50 tahun adalah 9,64% dari jumlah penduduk. Para manula ini mempunyai kekhususan yang
perlu diperhatikan dalam anestesia dan pembedahan, karena terdapat kemunduran sistem
fisiologis dan farmakologi sejalan dengan penambahan usia. Kemunduran ini mulai jelas
terlihat setelah usia 40 tahun. Dalam suatu penelitian di Amerika, diduga, setelah usia 70
tahun, mortalitas akibat tindakan bedah menjadi 3 kali lipat (dibandingkan dengan usia 18-40
tahun) dan 2% dari mortalitas ini disebabkan oleh anestesia. Batas usia seseorang disebut
manula tidak pasti, karena kecepatan proses menjadi tua setiap individu tidak sama. Akan
tetapi biasanya kita sudah harus waspada terhadap kelainan akibat proses ketuaan pada pasien
yang berumur 50-60 tahun. Di atas usia 65 tahun biasanya sudah mulai jelas kelainan fisiologi
akibat proses ketuaan.1
Tujuan dari pembuatan Laporan Kasus ini adalah agar mahasiswa kedokteran
memahami mengenai pemilihan obat dan dosis obat anestesi pada geriatri.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. CR
Jenis Kelamin : Perempuan
Tgl Lahir : 01/12/1959
Usia : 59 tahun
Berat Badan : 60 kg
Agama : Islam
Alamat : Borong Raukang
No. RM : 53 05 10
Diagnosis : Oculus Sinistra Stafiloma
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan tanggal 30 April 2019. Informasi diberikan oleh pasien.
Keluhan utama : Penglihatan Mata Kiri Berkurang
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien perempuan tua dengan umur 59 tahun datang ke Poli Mata Rumah Sakit Umum
Daerah Syech Yusuf Gowa dengan keluhan penglihatan mata kiri berkurang, kabur disertai
mata merah dan nyeri sejak 3 minggu yang lalu keluhan disertai dengan penglihatan mata
kiri silau, terasa ada yang mengganjal, keluar air mata terus-menerus, kelopak mata juga
terasa nyeri bila ditekan. Keluhan tidak disertai dengan pusing, nyeri kepala, mual ataupun
muntah. Pasien mengaku 3 minggu yang lalu bekerja memanen padi dan pada saat
memanen, gabah padi tersebut mengenai mata kirinya. Pasien sempat langsung mencuci
matanya dengan air, namun mata tetap merah dan terasa ada yang menghalangi sampai saat
ini. Pasien sebelumnya berobat ke puskesmas namun tidak ada perubahan. Sebelumnya
pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini. Riwayat trauma sebelumnya disangkal,
riwayat penggunaan kacamata maupun lensa kontak disangkal, riwayat penggunaan obat-
obatan dalam jangka waktu yang lama baik obat mata maupun obat sistemik serta riwayat
alergi disangkal. Pasien juga mengatakan bahwa keluarganya tidak ada yang pernah
mengalami keluhan serupa.

2
C. PEMERIKSAAN FISIK
 GCS : E4V5M6 = 15
 KU : Sakit Sedang
 Gizi : Baik
 Vital Sign :
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Nadi : 84 x/menit
- Suhu : 36,7C
- Pernafasan : 20 x/menit
 Status Generalis
o Kulit : Warna kecoklatan, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit cukup.
o Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma.
o Rambut : Distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
o Mata : Terdapat konjungtiva anemis
o Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : Tidak terdapat jejas
- Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid.
o Pemeriksaan Thorax
a. Jantung
 Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae sinistra
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi :
Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra
Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra
Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra
 Auskultasi : S1 & S2 murni reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.
b. Paru
 Inspeksi : Dinding dada simetris, tidak ditemukan retraksi.
 Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri.
 Perkusi : Sonor kedua lapang paru
 Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonki dan wheezing

3
c. Pemeriksaan Abdomen
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Inspeksi : Ikut gerak napas
 Perkusi : Timpani
 Palpasi : Tidak teraba massa, nyeri tekan (-)
d. Pemeriksaan Ekstremitas :
 Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
 Turgor kulit cukup, akral hangat
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 9,2 11,5-16 g/dL
Leukosit 5,1 4.0-10.0 103/mm3
Eritrosit 3,61 3.80-5.80x106/
Trombosit 454000 150000-500000/L
CT/BT 9’15”/3’10”

Kimia Klinik
SGOT 15 <32 U/L
SGPT 3 <31 U/L
Ureum 34 0-50 mg/dL
Creatinin 0,9 <1,1 mg/dL
GDS 105 ≤ 140 mg/dL

Seroimmunologi
HbsAg Non Reaktif Negatif

2. Radiologi
Pemeriksaan Foto Thorax PA : Kesan Cardiomegaly.

4
E. KESAN ANESTESI
Perempuan 59 tahun menderita OS Stafiloma ASA PS II
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a. Intravena fluid drip (IVFD) Asering 20 tpm
b. Rencana eviserasi
c. Konsul ke Bagian Anestesi
d. Informed Consent Operasi
e. Informed Conset Pembiusan Dilakukan operasi dengan General Anestesi dengan status
ASA PS II
f. Premedikasi : Alprazolam 0,5 mg 0-0-1
g. Puasa minimal 6-8 jam, dimulai pukul 00.00 WITA
G. KESIMPULAN
ACC ASA PS II

H. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Oculus Sinistra Stafiloma
2. Diagnosis Pasca Bedah
Oculus Sinistra Stafiloma
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus Asering 960cc/8 jam
4. Penatalaksanaan Anestesi
Jenis Pembedahan : OS Eviserasi
Jenis Anestesi : General Anesthesia
Teknik Anestesi : Intubasi Endotracheal Tube
Mulai Anestesi : 30 April 2019, pukul 13.00 WITA
Mulai Operasi : 30 April 2019, pukul 13.05 WITA
Premedikasi : Midazolam 3 mg
Fentanyl 50 mcg
Induksi : Propofol 70 mg

5
Relaksasi : Rokuronium Bromida (Novoren) 30 mg. Pada saat
relaksasi, dilakukan intubasi oral dengan ETT no.
6,5. Cek pengembangan paru dan suara nafas D/S.
Fiksasi ETT, hubungkan dengan aparatus anestesi.
Pernapasan pasien dibantu sampai napas spontan.
Maintanance : 02 8-10 lpm via nasal kanul
Sevofluran 2 vol %
IVFD Asering 960 cc/8 jam
Posisi : Supine
Selesai Operasi : 13.35 WITA
Keadaan Post Operasi : Durasi operasi : 30 menit

6
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Geriatri
Geriatri atau Lanjut Usia adalah ilmu yang mempelajari tentang aspek-aspek klinis
dan penyakit yang berkaitan dengan orang tua. Dikatakan pasien geriatri apabila :
 Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia
 Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif
 Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila : a) Ketergantungan pada
orang lain b) Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena
berbagai sebab
 Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) yang
progresif.
Batasan lanjut usia menurut WHO
 Middle age (45-59 th)
 Elderly (60-70 th)
 Old/lansia (75-90 th)
 Very Old/sangat tua (>90 th)(1)
2. Perubahan Fisiologis
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat betahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan
kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menumpuk makin banyak distorsi
metabolik dan struktural yang disebut penyakit degeneratif (hipertensi, aterosklerosis,
DM, dan kanker). Perubahan fisiologis penuaan dapat mempengaruhi hasil operasi
tetapi penyakit penyerta lebih berperan sebagai faktor risiko. Secara umum pada usia
lanjut terjadi penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan juga menurunnya
respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat dan juga mudah
terjadi hipotermia.1

7
Sistem Kardiovaskuler
Penting untuk membedakan antara perubahan pada fisiologi yang normalnya
menyertai proses penuaan dan patofisiologi dari penyakit yang umum pada populasi
geriatri. Penurunan dari elastisitas arterial yang disebabkan oleh fibriosis adalah bagian
dari proses penuaan yang normal. Penurunan komplians arterial menghasilkan
peningkatan afterload, peningkatan tekanan darah sistolik, dan hipertropi ventrikel kiri.
Myokardial fibrosis dan kalsifikasi dari katup jantung juga umum terjadi.1
Kemampuan cadangan kardiovaskular menurun, sejalan dengan pertambahan usia
di atas 40 tahun. Penurunan kemampuan cadangan ini sering baru diketahui pada saat
terjadi stres anestesia dan pembedahan. Akibat proses penuaan pada sistem
kardiovaskular, yang tersering adalah hipertensi. Pada pasien manula hipertensi harus
diturunkan secara perlahan lahan sampai tekanan darah 140/90 mmHg. Pada manula,
tekanan sistolik sama pentingnya dengan tekanan diastolik. Tahanan pembuluh darah
perifer biasanya meningkat akibat penebalan serat elastis dan peningkatan kolagen
serta kalsium di arteri-arteri besar. Kedua hal tersebut sering menurunkan isi cairan
intra-vaskuler. Waktu sirkulasi memanjang dari aktivitas baroreseptor menurun.1
Disfungsi distolik yang jelas dapat terlihat pada hipertensi sistemik, penyakit arteri
koroner, cardiomiopati, dan penyakit katup jantung, umumnya stenosis aorta. Pasien dapat
asimptomatis, atau dapat mengeluhkan ketidak mampuan untuk berolahraga, dispneu,
batuk atau pingsan. Disfungsi diastolik mengakibatkan peningkatan ventricular-end
diastolik pressure yang relatif besar dengan volume ventrikel kiri yang sedikit berkurang.
Pelebaran atrial adalah predisposisi terjadinya atrial fibrilasi dan atrial flutter. Pasien
beresiko terjadinya congestif heart failure.1
Terdapat peningkatan tonus vagal dan penurunan sensitivitas reseptor adrenergic
yang memicu penurunan laju jantung. Fibrosis dari sistem konduksi dan berkurangnya sel
sinoatrial node meningkatkan insidensi disritmia, artrial fibrilasi dan artrial flutter.1
Terjadi penurunan respon terhadap rangsangan simpatis, dan kemampuan
adaptasi serta autoregulasi menurun. Perubahan pembuluh darah seperti di atas juga
terjadi pada pembuluh koroner dengan derajat yang bervariasi, disertai penebalan
dinding ventrikel. sistem konduksi jantung juga dipengaruhi oleh proses penuaan,
sehingga sering terjadi LBBB, perlambatan konduksi intraventikular, perubahan-
perubahan segmen ST dan gelombang T serta fibrilasi atrium. Semua hal di atas
mengakibatkan penurunan kemampuan respon sistem kardiovaskuler dalam
menghadapi stres. Pemulihan anestesi juga memanjang.1

8
Sistem Respirasi
Pada pasien usia lanjut, elastisitas paru-paru, pengembangan paru-paru dan
dinding dada, total lung capacity / kapasitas paru total (TLC),forced vital capacity
/ kapasitas vital paksa (FVC), forced expiratory volume in one second / volume ekspirasi
paksa dalam satu detik (FEV1),vital capacity / kapasitas vital (VC) dan inspiratory reserve
volume /volume cadangan inspirasi (IRV) semuanya mengalami penurunan yang disertai
dengan peningkatan volume residu. Meskipun functional residual capacity / kapasitas
residual fungsional (FRC) tidak berubah. PaO2 juga menurun seiring dengan pertambahan
usia (PaO2 = 13.3-umur/30 kPa, atau Pao2 = 100-umur/4mmHg) meskipun PaCO2 tetap
konstan.8
Penurunan elastisitas paru-paru diakibatkan oleh penurunan sebesar 15% dari
fungsi alveolar pada usia 70 tahun, sehingga keadaan ini tampak seperti pada emfisema.
Kehilangan fungsi alveoli pada daerah lapangan paru tertentu menyebabkan peningkatan
volume dead space yang meningkatkan ketidaksesuaian ventilasi-perfusi (V / Q ). Hal ini
meningkatkan gradien O2 alveoli-arterial dan mengurangi PaO2 istirahat. meningkatnya
ketidakserasian antara ventilasi dan perfusi, mengganggu mekanisme ventilasi, dengan
akibat menurunnya kapasitas vital dan cadangan paru, meningkatnya pernafasan
diafragma, jalan nafas menyempit dan terjadilah hipoksemia. Menurunnya respons
terhadap hiperkapnia, sehingga dapat terjadi gagal nafas.6, 8
Penurunan pengembangan dinding dada meningkatkan kerja pernapasan dan
mengurangi ventilasi maksimal permenit. Kehilangan massa otot skelet dinding dada lebih
memperburuk proses ini. Karena penurunan recoil elastis paru-paru, volume akhir
respirasi meningkat sedemikian rupa sehingga melebihi kapasitas residual fungsional pada
usia > 65 tahun.6, 8
Proteksi jalan nafas yaitu batuk, pembersihan mucociliary, refleks laring dan
faring pada geriatri juga menurun sehingga berisiko terjadi infeksi dan kemungkinan
aspirasi isi lambung lebih besar.1
Pencegahan terjadinya hipoksia perioperatif meliputi, periode preoksigenasi yang
lebih panjang, pemberian konsentrasi oksigen inspirasi yang lebih tinggi selama anastesi,
kenaikan kecil pada tekanan positive end expiratory dan toilet pulmoner yang agresif.
Aspirasi pneumonia adalah komplikasi yang umum dan berpotensial untuk
membahayakan nyawa. Predisposisi dari terjadi nya aspirasi pneumonia adalah adanya
penurunan protektic laryngeal reflek yang terjadi seiring dengan penuaan.1

9
Sistem Metabolik dan Endokrin
Konsumsi oksigen basal dan maksimal menurun seiring dengan usia. Setelah
mencapai berat maksimal pada usia 60 tahun, kebanyakan pria dan wanita akan mulai
mengalami penurunan berat badan, umumnya hingga mencapai berat kurang dari berat
orang-orang usia muda kebanyakan. Produksi panas menurun, kehilangan panas
meningkat, dan pusat pengaturan suhu di hipotalamus menjadi lebih rendah dari
sebelumnya. Peningkatan resistensi insulin memicu penurunan progresif kemampuan
tubuh untuk mengatur beban glukosa. Respon neuroendokrin terhadap stres cenderung
stabil atau sedikit menurun pada kebanyakan pasien tua yang sehat. Penuaan berkaitan
dengan penurunan respon terhadap agen β-adrenergic (endogenous β-blockade). Level
norepinefrin yang bersirkulasi dalam darah mengalami peningkatan pada pasien tua.1
Sistem Renalis
Pada ginjal jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi glomerulus ( LFG)
menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat. Hal ini disebabkan karena
glomerulus dan tubular di ginjal di gantikan oleh lemak dan jaringan fibrotik. Respon
terhadap hormon diuretik dan hormon aldosteron berkurang Respons terhadap
kekurangan Na juga menurun, sehingga berisiko terjadi dehidrasi. Kemampuan
mengeluarkan garam dan air berkurang, dapat terjadi over load cairan dan juga
menyebabkan kadar hiponatremia. Ambang rangsang glukosuria meninggi, sehingga
glukosa urin tidak dapat dipercaya. Produksi kreatinin menurun karena berkurangnya
massa otot, sehingga meskipun kreatinin serum normal, tetapi LFG telah menurun.
Perubahan-perubahan di atas menuurunkan kemampuan cadangan ginjal, sehingga
manula tidak dapat mentoleransi kekurangan cairan dan kelebihan beban zat terlarut.
Pasien-pasien ini lebih mudah mengalami peningkatan kadar kalium dalam darahnya,
apalagi bila diberikan larutan garam kalium secara intravena. Kemampuan untuk
mengekskresi obat menurun dan pasien manula ini lebih mudah jatuh ke dalam
asidosis metabolik. Kemungkinan terjadi gagal ginjal juga meningkat.1
Sistem Hepatobilier dan Gastrointestinal
Massa hepar berkurang seiring dengan penuaan, dengan diikuti oleh penurunan
hepatic blood flow. Fungsi hepar menurun sesuai dengan berkurang nya massa hepar.
Dengan demikian laju biotransformasi dan produksi albumin berkurang. Level plasma
colinesterasi pada pria tua juga berkurang. Pasien manula mungkin sekali lebih mudah
mengalami cedera hati akibat obat-obat, hipoksia dan transfusi darah. Terjadi
pemanjangan waktu paruh obat-obat yang diekskresi melalui hati.1

10
Tingkat keasaman lambung cenderung meningkat, meski masa pengosongan
lambung diperpanjang. Akibat menurunnya fungsi persarafan sistem gastrointestinal,
sfingter gastro-esofageal tidak begitu baik lagi, disamping waktu pengosongan
lambung yang memanjang sehingga mudah terjadi regurgitasi.1
Sistem Saraf Pusat
Pada sistem saraf pusat, terjadi perubahan-perubahan fungsi kognitif, sensoris,
motoris, dan otonom. Kecepatan konduksi saraf sensoris berangsur menurun. Perfusi otak
dan konsumsi oksigen otak menurun sampai 10%-20%. Berat otak menurun karena
berkurangnya jumlah sel neuron, terutama di korteks otak maupun otak kecil. Berat otak
pada orang dewasa muda rata-rata 1400 g, akan menurun menjadi 1150 g pada usia
80 tahun. Dikatakan, terdapat korelasi positif antara berat otak dan harapan hidup.
Ukuran neuron berkurang, dan neuron kehilangan kompleksitas pohon dendrit, dan
jumlah sinaps juga berkurang. Terdapat juga penurunan fungsi neurotransmiter. Sintesis
dari beberapa neurotransmiter seperti domapin, dan jumlah dari reseptor mereka
berkurang. Serotonic, adrenergic, dan γ-aminobutyric acid (GABA) binding site juga
berkurang. Sedangkan jumlah astrosit dan sel microglial bertambah. Degenerasi sel saraf
perifer mengakibatkan kecepatan konduksi yang memanjang dan atropi otot skeletal.
Konsentrasi alveolar minimum dari anestetika juga menurun dengan bertambahnya
usia.1
Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan manula lebih mudah dipengaruhi
oleh efek samping obat terhadap sistem saraf. Pasien tua sering memerlukan lebih
banyak waktu untuk sembuh total dari efek CNS yang diakibatkan oleh anastesi umum.
Umumnya mereka mengalami kebingungan atau disorientasi preoperatif. Banyak pasien
tua mengalami berbagai derajat dari acute confusional state, delirium atau cognitive
disfungsi postoperatif. Etiologi dari cognitif disfungsi postoperatif (POCD) biasanya
multifaktorial, termasuk efek samping obat, nyeri, demensia, hipotermia dan gangguan
metabolik. Pasien tua juga biasanya sensitif terhadap agen kolinergic yang bekerja sentral,
seperti scopolamin dan atropin.1
Sistem Musculoskeletal
Massa otot berkurang, neuromuscular junction juga menipis. Kulit mengalami
atropi seiring dengan usia, dan mudah mengalami trauma akibat pemasangan selotape,
electrocautery pad, dan electrocardiography electroda. Vena rapuh dan mudah pecah
akibat pada pemasangan infus intravena. Sendi artritis mudah terganggu oleh perubahan

11
posisi. Penyakit degeneratif servikal tulang belakang dapat membatasi ekstensi leher
sehingga membuat intubasi menjadi sulit.1

3. Farmakologi Klinis pada geriatri


Faktor-faktor yang mempengaruhi respons farmakologi pasien berusia lanjut
meliputi :
a. Ikatan protein plasma
Protein pengikat plasma yang utama untuk obat-obat yang bersifat asam
adalah albumin dan untuk obat-obat dasar adalah α1-acid glikoprotein. Kadar
sirkulasi albumin akan menurun sejalan dengan usia, sedangkan kadar α1-acid
glikoprotein meningkat. Dampak gangguan protein pengikat plasma terhadap efek
obat tergantung pada protein tempat obat itu terikat, dan menyebabkan perubahan
fraksi obat yang tidak terikat. Hubungan ini kompleks, dan umumnya perubahan kadar
protein pengikat plasma bukanlah faktor redominan yang menentukan bagaimana
farmakokinetik akan mengalami perubahan sesuai dengan usia.5
b. Perubahan komposisi tubuh
Perubahan komposisi tubuh terlihat dengan adanya penurunan massa tubuh,
peningkatan lemak tubuh, dan penurunan air tubuh total. Penurunan air tubuh
total dapat menyebabkan mengecilnya kompartemen pusat dan peningkatan
konsentrasi serum setelah pemberian obat secara bolus. Selanjutnya, peningkatan
lemak tubuh dapat menyebabkan membesarnya volume distribusi, dengan potensial
memanjangnya efek klinis obat yang diberikan.5

c. Metabolisme obat
Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, gangguan hepar dan klirens
ginjal dapat terjadi sesuai dengan penambahan usia. Tergantung pada jalur
degradasi, penurunan reversi hepar dan ginjal dapat mempengaruhi profil
farmakokinetik obat.5
d. Farmakodinamik.
Respons klinis terhadap obat anestesi pada pasien usia lanjut mungkin
disebabkan karena adanya gangguan sensitivitas pada target organ
(farmakodinamik). Bentuk sediaan obat yang diberikan dan gangguan jumlah
reseptor atau sensitvitas menentukan pengaruh gangguan farmakodinamik efek
anestesi pada pasien usia lanjut. Umumnya, pasien berusia lanjut akan lebih

12
sensitif terhadap obat anestesi. Jumlah obat yang diperlukan lebih sedikit dan efek obat
yang diberikan bisa lebih lama.5
Respons hemodinamik terhadap anestesi intravena bisa menjadi berat
karena adanya interaksi dengan jantung dan vaskuler yang telah mengalami
penuaan. Kompensasi yang diharapkan sering tidak terjadi karena perubahan
fisiologis berhubungan dengan proses penuaan normal dan penyakit yang
berhubungan dengan usia. Apapun penyebab efek farmakologik yang terganggu,
pasien berusia lanjut biasanya memerlukan penurunan dosis pengobatan yang
secukupnya.5
Anestesi Inhalasi
Konsentrasi alveolar minimum ( minimum alveolar concentration = MAC)
mengalami penurunan kurang lebih 4% per dekade pada mayoritas anestesi
inhalasi. Mekanisme kerja anestesi inhalasi berhubungan dengan gangguan pada
aktivitas kanal ion neuronal terhadap nikotinik, asetilkolin, GABA dan reseptor
glutamat. Mungkin adanya gangguan karena penuaan pada kanal ion, aktivitas
sinaptik, atau sensitivitas reseptor ikut bertanggung jawab terhadap perubahan
farmakodinamik tersebut.3
Konsentrasi minimum alveolar (MAC) dari semua obat-obatan inhalasi
berkurang sekitar 4-5% per dekade di atas usia 40 tahun. Oleh karena itu pasien usia
lanjut membutuhkan volume anestesi inhalasi yang lebih rendah untuk mencapai efek
yang sama dengan pasien yang lebih muda. Isoflurane adalah mungkin yang paling
sesuai, karena relatif stabil dalam sistem kardiovaskuler, memiliki onset dan durasi
kerja yang singkat dan hanya 0,2% dari dosis diberikan yang dimetabolisme. Terdapat
efek depresi miokard dari anestesi volatile yang berlebihan pada pasien usia lanjut,
sedangkan isoflurane dan desflurane jarang menimbulkan efek takikardi. Dengan
demikian isoflurane dapat mengurangi curah jantung dan denyut jantung pada pasien
usia lanjut.3
Obat-obatan inhalasi yang kurang larut seperti sevofluran dan desflurane
mengalami metabolisme yang minimal dan sebagian besar diekskresikan oleh paru-
paru. Halotan memiliki keuntungan dengan kurang menimbulkan iritasi pada saluran
pernapasan, meskipun obat ini meningkatkan sensitifitas miokardium terhadap
katekolamin dan mungkin dapat memicu takiaritmia. Eter telah digunakan dengan baik
selama bertahun-tahun, dan pada pasien usia lanjut sebaiknya diberikan pada

13
konsentrasi rendah dengan dukungan ventilasi. Hal ini memungkinkan pasien untuk
bangun lebih cepat daripada anestesi dengan konsentrasi eter yang lebih tinggi.1, 8
Pemulihan dari anestesi dengan obat-obatan anestesi volatile mungkin dapat
memanjang karena adanya peningkatan volume distribusi (lemak tubuh meningkat),
penurunan fungsi hepar (penurunan metabolisme halotan), dan penurunan pertukaran
gas paru. Eliminasi cepat dari desflurane dapat menjadi alasan sebagai anestesi yang
dipilih untuk pasien usia lanjut.2
Anastesi Intravena dan Benzodiazepine

Tidak ada perubahan sensitivitas otak terhadap tiopental yang berhubungan


dengan usia. Namun, dosis tiopental yang diperlukan untuk mencapai anestesia
menurun sejalan dengan pertambahan usia. Penurunan dosis tiopental sehubungan
dengan usia disebabkan karena penurunan volume distribusi inisial obat tersebut.
Penurunan volume distribusi inisial terjadi pada kadar obat dalam serum yang
lebih tinggi setelah pemberian tiopental dalam dosis tertentu pada pasien berusia
lanjut. Sama seperti pada kasus etomidate, perubahan farmakokinetik sesuai usia
(disebabkan karena penurunan klirens dan volume distribusi inisial), bukan
gangguan responsif otak yang terganggu, bertanggung jawab terhadap penurunan
dosis etomidate yang diperlukan pada pasien berusia lanjut. Otak menjadi lebih
sensitif ter hadap efek propofol, pada usia lanjut. Selain itu, klirens propofol juga
mengalami penurunan. Efek penambahan ini berhubungan dengan peningkatan
sensitivitas terhadap propofol sebesar 30-50% pada pasien dengan usia lanjut.3

Dosis yang diperlukan midazolam untuk menghasilkan efek sedasi selama


endoskopi gastrointestinal atas mengalami penurunan sebesar 75% pada pasien
berusia lanjut. Perubahan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak
dan penurunan klirens obat.3

Opiat

Usia merupakan prediktor penting perlu tidaknya penggunaan morfin post


operatif, pasien berusia lanjut hanya memer lukan sedikit obat untuk
menghilangkan rasa nyeri. Morfin dan metabolitnya morphine-6- glucuronide
mempunyai sifat analgetik. Klirens morfin akan menurun pada pasien berusia
lanjut. Morphine-6-glucuronide tergantung pada eksresi renal. Pasien dengan
insufisiensi ginjal mungkin menderita gangguan eliminasi morfin glucuronides,

14
dan hal ini bertanggung jawab terhadap peningkatan analgesia dari dosis morfin
yang diberikan pada pasien berusia lanjut.3
Sufentanil, alfentanil, dan fentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada
pasien berusia lanjut. Penemuan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak
terhadap opioid sejalan dengan usia, bukan karena gangguan farmakokinetik.
Penambahan usia berhubungan dengan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik dari remifentanil. Pada usia lanjut terjadi peningkatan sensitivitas
otak terhadap remifentanil. Remifentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada
pasien usia lanjut, dan dosis yang diperlukan adalah satu setengah kali bolus.
Akibat volume kompar temen pusat, VI, dan penurunan klirens pada usia lanjut,
maka diperlukan kurang lebih sepertiga jumlah infus.3, 7
Pelumpuh Otot
Umumnya, usia tidak mempengaruhi farmakodinamik pelumpuh otot.
Durasi kerja mungkin akan memanjang, bila obat tersebut tergantung pada
metabolisme ginjal atau hati. Diperkirakan terjadi penurunan pancuronium pada pasien
berusia lanjut, karena ketergantungan pancuronium terhadap eksresi ginjal.
Perubahan klirens pancuronium pada usia lanjut masih kontroversial. Atracurium
bergantung pada sebagian kecil metabolisme hati dan ekskresi, dan waktu paruh
eliminasinya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Tidak terjadi perubahan klirens
dengan bertambahnya usia, yang menunjukkan adanya jalur eliminasi alternatif
(hidrolisis eter dan eliminasi Hoffmann) penting pada pasien berusia lanjut.
Klirens vecuronium plasma lebih rendah pada pasien berusia lanjut. Durasi
memanjang yang berhubungan dengan usia terhadap kerja vecuronium
menggambarkan penurunan reversi ginjal atau hepar.3, 7
Anastesi neuraksial dan blok saraf perifer
Persentase obat anestesia tidak berdampak terhadap durasi blokade motorik
dengan pemberian anestesi bupivacaine. Waktu onset akan menurun,
bagaimanapun juga penyebaran anestesi akan lebih baik dengan pemberian cairan
bupivacaine hiperbarik. Dampak usia terhadap durasi anestesia epidural tidak
terlihat pada pemberian bupivacaine 0,5% . Waktu onset akan memendek, dan
kedalaman blok anestesia akan bertambah besar. Terlihat klirens plasma lokal
anestesi yang menurun pada pasien berusia lanjut. Hal ini dapat menjadi faktor
yang mengurangi penambahan dosis dan jumlah infus selama pemberian dosis
berulang dan teknik infus berkesinambungan.3, 7

15
Keuntungan Obat-obat Spesifik pada Pasien Usia Lanjut
Penyakit penyerta preoperatif merupakan determinan yang lebih besar
terhadap komplikasi post operatif dibandingkan dengan penatalaksanaan anestesi.
Beberapa pendapat menitikberatkan pada penatalaksanaan farmakologi dan fisiologi
terhadap usia lanjut. Metode titrasi opioid mungkin lebih baik menggunakan opioid
dngan kerja singkat seperti remifentanil. Dengan menambahkan dosis bolus dan
infus, variabilitas farmakokinetik remifentanil akan lebih rendah bila dibandingkan
dengan opioid intrvena lainnya. Sama halnya dengan pilihan menggunakan
pelumpuh otot dengan kerja yang lebih singkat. Beberapa penelitian menunjukkan
adanya peningkatan insidens komplikasi pulmoner dan blok residual postoperatif
pada pasien yang diberikan pancuronium bila dibandingkan dengan atracurium
atau vecuronium. Penggunaan sugammadex sebagai obat reversal untuk
rocuronium akan meningkatkan penggunaan pelumpuh otot pada pasien berusia
lanjut. Bila dibandingkan dengan anestesi inhalasi, tidak ditemukan perbedaan yang
bermakna pada pemulihan profil fungsi kognitif.3

4. Evaluasi dan Manajemen Preoperatif


Terdapat dua prinsip yang harus diingat pada saat melakukan evaluasi pre-
operatif pasien geriatri :
 Pasien harus selalu dianggap mempunyai risiko tinggi menderita penyakit yang
berhubungan dengan penuaan. Penyakit-penyakit biasa pada pasien dengan usia
lanjut mempunyai pengaruh yang besar terhadap penanganan anestesi dan
memerlukan perawatan khusus serta diagnosis. Penyakit kardiovaskuler dan diabetes
umumnya sering ditemukan pada populasi ini. Komplikasi pulmoner mempunyai
insidens sebesar 5,5% dan merupakan penyebab morbiditas ketiga tertinggi pada
pasien usia lanjut yang akan menjalani pembedahan non cardiac.4
 Harus dilakukan pemeriksaan derajat fungsional sistem organ yang spesifik dan
pasien secara keseluruhan sebelum pembedahan. Pemeriksaan laboratorium dan
diagnostik, riwayat, pemeriksaan fisik, dan determinasi kapasitas fungsional harus
dilakukan untuk mengevaluasi fisiologis pasien. Pemeriksaan laboratorium harus
disesuaikan dengan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan prosedur pembedahan
yang akan dilakukan, dan bukan hanya berdasarkan atas usia pasien saja.4

16
a. Evaluasi Preoperatif
Penilaian preoperasi memainkan bagian penting dalam mengurangi komplikasi
pasca operasi. Pemahaman tentang status fisik pasien akan memberikan panduan
terhadap penilaian jenis penyakit komorbid dan tingkat keparahannya, jenis
monitoring yang diperlukan, optimasi preoperasi dan prediksi akan timbulnya
komplikasi pasca operasi. Pemahaman riwayat penyakit yang mendetail, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan penilaian risiko tindakan pembedahan harus
difokuskan selama evaluasi preoperasi.6
1) Informed Consent
Pasien, anggota keluarga atau wali pasien harus diberitahu tentang
intervensi bedah dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. Kapasitas
putusan merupakan prasyarat untuk suatu informed consent yang sesuai dengan
hukum dan moral. Pasien usia lanjut mungkin tidak sepenuhnya memahami
intervensi yang direncanakan, sehingga kerabat terdekat harus terlibat untuk
memperoleh informed consent yang terperinci. Status mental dan kognitif pasien
harus dipertimbangkan dan didokumentasikan.6
2) Riwayat Penyakit dan Status Gizi
Riwayat kondisi medis lengkap dan operasi sebelumnya harus dicatat
karena pasien usia lanjut biasanya sedang menjalani banyak terapi obat-obatan.
Defisiensi nutrisi yang sering dialami oleh pada usia lanjut harus dinilai secara
akurat. Hitung darah lengkap yang menunjukkan anemia, kadar albumin serum
yang kurang dari 3.2g/dl dan kolesterol kurang dari 160mg/dl telah terbukti
sebagai penanda risiko outcome pasca operasi yang merugikan. Indeks massa
tubuh yang kurang dari 20 kg/m2 pada pasien usia lanjut mungkin mengarahkan
peningkatan morbiditas karena penyembuhan luka yang tertunda, sehingga
suplemen gizi pra operatif harus dipertimbangkan.5
3) Pemeriksaan fisik
Meskipun pasien usia lanjut memiliki riwayat medis yang panjang, mereka
biasanya tidak memberikan rincian penyakit mereka, ini merupakan konsekuensi
yang tidak dapat dihindari akibat usia tua. Pemeriksaan fisik harus mencakup
informasi yang mendetail tentang status hidrasi, gizi, tekanan darah, nadi dan
kondisi sistemik.5

17
Penilaian status mental pra operasi sangat penting karena biasanya
mencerminkan status kognitif pasca operasi. Demensia pra operasi merupakan
prediktor yang penting dari outcome bedah yang buruk.5
4) Pemeriksaan Penunjang Pra operasi
Pasien usia lanjut harus menjalani berbagai tes yang akan membantu
menentukan parameter kesehatan pasien, bahkan pada mereka yang sehat dan
termasuk diantaranya:
 Hitung darah lengkap: Hb, jumlah limfosit
 Urem, kreatinin dan elektrolit akan memberikan informasi tentang fungsi
ginjal karena akan mengalami perubahan secara bertahap dengan
pertambahan usia. Bersihan kreatinin merupakan indeks penting.
 Gula darah dan kolesterol harus diperiksa karena tingginya insiden diabetes
mellitus dan ateroskleorsis.
 Kadar albumin dan fungsi pembekuan darah
 Pemeriksaa elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan pada semua pasien
yang berusia di atas 60 tahun, terlepas dari ada riwayat penyakit jantung atau
tidak.
 Rontgen dada dan tes fungsi paru pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronis.
 Pemeriksaan jantung.
b. Manajemen perioperatif
Tidak ada istilah "terlalu tua" untuk tindakan operasi. Pada umumnya hal yang
harus dipikirkan adalah bahwa komorbiditas meningkat dengan pertambahan usia
lebih penting dari usia pasien itu sendiri. Penelitian Forrest terhadap 17.201 pasien
menunjukkan bahwa, risiko outcome yang berat menurun dari 3% menjadi 2% dari
umur 20-an ke umur 40-an, namun meningkat secara linear setelahnya (dari 2% pada
umur 40-an sampai 6% pada umur 80-an).10

Penyakit yang umumnya ditemukan pada usia lanjut memiliki dampak yang
signifikan terhadap tindakan anestesi dan memerlukan perawatan khusus, sehingga
penting untuk menentukan status fisik pasien dan memperkirakan cadangan fisiologis
dalam evaluasi preanestesi. Jika kondisi dapat dioptimalkan sebelum operasi, maka
operasi dapat dilakukan tanpa penundaan. Penundaan operasi yang lama dapat
meningkatkan morbiditas. Diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskular adalah

18
penyakit yang paling sering dialami oleh pasien geriatri. Komplikasi paru adalah salah
satu penyebab utama morbiditas pascabedah pada pasien usia lanjut. Untuk pasien ini
diperlukan optimasi paru-paru. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan laboratorium dan diagnostik sangat penting. Masalah yang yang harus
selalu dipikirkan pada pasien geriatri adalah kemungkinan terjadinya depresi,
malnutrisi, imobilitas dan dehidrasi. Sehingga penting untuk menentukan status
kognitif seorang pasien usia lanjut. Defisit kognitif berkaitan dengan outcome yang
buruk dan morbiditas perioperatif yang lebih tinggi. Namun masih kontroversial
apakah anestesi umum dapat mempercepat perkembangan demensia senilis. 6,10

Walaupun masih terdapat banyak pertanyaan, bukti-bukti yang ada


menunjukkan bahwa risiko kardiovaskuler dapat dicegah dengan mencari ada
tidaknya β-blockade perioperatif pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang
diketahui, terutama bila muncul beberapa minggu terakhir sebelum operasi. Pada
pasien usia lanjut yang menggunakan terapi β-blocker jangka panjang, tampaknya β-
blocker long-acting akan lebih efektif dibandingkan dengan β-blocker short-
acting dalam mengurangi resiko infark miokard perioperatif. Protokol yang
menyertakan pemberian β-blocker pada pagi hari sebelum operasi dilakukan dan
diteruskan selama operasi berhubungan dengan peningkatan insidens stroke dan
semua penyebab mortalitas.

5. Manajemen Intraoperatif
Manajemen intraoperatif diarahkan untuk membatasi stres akibat pembedahan dan
menghindari kejadian yang lebih memperburuk cadangan fisiologis pasien. Tidak ada
teknik universal khusus yang disetujui untuk pasien usia lanjut tetapi beberapa intervensi
dapat meningkatkan outcome.10
a. Induksi Anestesi:
Pada pasien usia lanjut, preoksigenasi agresif yang setara untuk anestesi
inhalasi menurun secara linear dengan pertambahan usia, oleh karena itu dosis obat
yang mempengaruhi SSP perlu dikurangi untuk mengantisipasi efek sinergi obat.
Penggunaan bersama propofol, midazolam, opioid dapat meningkatkan kedalaman
anestesi. Hipotensi adalah kejadian yang umum didapatkan sehingga dosis obat-
obatan ini harus dititrasi. Dipilih obat yang bekerja singkat. Stimulasi intubasi trakea
tidak memberikan efek hipotensi pada pasien usia lanjut. 10

19
Efek puncak obat mengalami penundaan, diantaranya: midazolam 5 menit,
fentanil 6-8 menit, dan propofol 10 menit. Untuk meminimalkan kedalaman dan durasi
hipotensi, dosis propofol tanpa suplementasi opioid disesuaikan dengan cara dikurangi
1,0-1,5 mg / kg lean body weight (LBW)dan 0.5-1.0mg/kg jika diberikan opioid secara
bersamaan khususnya jika disertai juga dengan pemberian ketamin dosis rendah dan
midazolam.8
Penggunaan profilaksis aspirasi dan rapid sequence intubation (RSI) harus
dilakukan secara rutin, khususnya pada pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit
refluks dan prosedur darurat. Antisipasi pemanjangan durasi obat neuromuskuler yang
bersifat organ based klirens. Seiring pertambahan usia, obat-obatan intermediate
acting bekerja lebih lama (kecuali atrakurium dan cisatrakurium), dapat menurunkan
suhu tubuh, menyebabkan diabetes dan obesitas (jika dosisnya dihitung berdasarkan
berat badan total) dan peningkatan blok neuromuskuler. Dosis antikolinesterase
inhibitor juga harus dikurangi dan pasien dipantau dengan ketat di unit perawatan
pasca-anestesi (PACU) untuk tanda-tanda rekurarisasi.10
Obat-obatan non-steroid anti-inflammatory drug (NSAID) untuk
menghilangkan rasa sakit pasca operasi harus diberikan dengan dosis dikurangi untuk
menghindari komplikasi seperti gastritis, gagal ginjal akut. NSAID harus dihindari
pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi ginjal preoperatif (peningkatan kadar
urea / kreatinin) atau jika pasien mengalami hipovolemia.10
b. Anestesi umum atau regional
Anestesi regional mungkin memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
anestesi umum, termasuk jarang menimbulkan tromboemboli, gangguan kesadaran
dan pernafasan pasca-bedah. Anestesi dengan blok tungkai dan pleksus ideal untuk
operasi perifer. Hernia dan katarak umumnya dilakukan dengan anestesi lokal.
Hipotensi lebih sering ditemukan pada pasien usia lanjut yang menjalani anestesi
spinal / epidural karena terjadi gangguan fungsi otonom dan penurunan penyesuaian
arteri. 10,8
Pada pasien dengan penyakit jantung berat yang memerlukan kontrol tekanan
darah ketat, anestesi umum mungkin lebih baik. Tinjauan Cochraneterhadap 17
penelitian anestesi untuk operasi fraktur tulang pinggul (melibatkan lebih dari 2.800
pasien) membandingkan anestesi umum dan regional. Penulis menyimpulkan bahwa
anestesi regional dapat mengurangi mortalitas pada satu bulan pasca operasi, tetapi

20
baik anestesi regional dan umum menghasilkan outcome yang sama untuk mortalitas
jangka panjang.8
Pertimbangan tindakan anestesi regional pada pasien geriatri diantaranya:
Peningkatan kepekaan terhadap anestesi lokal, risiko mati rasa, nerve
palsy, komplikasi neuralgia, pemanjangan durasi blok, blok tingkat tinggi, hipotensi
dan bradikardi. Terdapat penurunan dramatis dalam hal kebutuhan sedasi dengan blok
neuraxial. 10
Anestesi regional blok dapat mempertahankan status gizi dan normothermia.
Teknik ini ini juga dapat mengurangi sensitisasi sentral sehingga mengurangi
kebutuhan analgesik opioid pasca operasi dan meningkatkan outcome pada paru-paru,
jantung dan ginjal sekaligus mengurangi insiden komplikasi tromboemboli. Tinjauan
oleh Rodgers dkk menyimpulkan bahwa terdapat penurunan mortalitas dalam 30 hari
dan throbosis vein thrombosis (DVT) pada kelompok anestesi regional.10
c. Hipotermia
Pembedahan umumnya dapat menyebabkan hipotermia karena faktor
lingkungan dan tindakan anestesi yang menginduksi inhibisi mekanisme
termoregulator normal. Pasien usia lanjut lebih beresiko untuk mengalami hipotermia
karena anestesi yang mengubah mekanisme termoregulator dan tingkat metabolisme
basal yang rendah. Hipotermia intraoperatif dapat menjadi faktor risiko jantung
independen untuk penyakit jantung pasca operasi pada usia lanjut. Oleh karena itu,
pada pasien usia lanjut harus dilakukan upaya untuk mencegah kehilangan panas.
Langkah-langkah untuk mencegah hipotermia adalah: pembersihan pasca operasi
dengan cairan yang hangat, menggunakan sistem pemanasan, menghangatkan cairan
IV, menjaga suhu lingkungan tetap hangat, menutupi pasien dengan selimut sebelum
dan setelah operasi. 10
d. Manajemen cairan
Mengelola volume intravaskular yang tepat sangat penting dengan
menghindari kelebihan dan kekurangan pemberian cairan. Karena adanya peningkatan
afterload, penurunan respon inotropik atau chronotoropic serta gangguan respon
vasokonstriksi menyebabkan pasien usia lanjut sangat tergantung pada preload yang
memadai. Pasien usia lanjut juga rentan terhadap dehidrasi karena penyakit,
penggunaan diuretik, puasa pra operasi dan penurunan respon haus. Asupan cairan
oral hingga 2 - 3 jam sebelum operasi, dan terapi pemeliharaan cairan yang cukup
serta menghindari terapi diuretik sebelum operasi dapat menghindarkan kejadian

21
hipotensi mendadak segera setelah induksi anestesia. Hidrasi yang berlebihan juga
harus dihindari pada usia lanjut dengan ganggaun jantung karena mereka lebih rentan
untuk terjadinya kegagalan sistolik, perfusi organ yang jelek dan penurunan GFR.10
Penting pula untuk melakukan pemantauan kateter vena sentralis atau arteri
pulmonalis intraoperatif untuk mengukur volume darah sentral khusus pada pasien
usia lanjut yang cenderung memiliki penurunan volume darah dalam jumlah besar atau
pergeseran cairan. Penting untuk menjaga tekanan vena sentral pada kisaran 8 - 10
mmHg dan tekanan arteri pulmonalis 14 - 18 mm Hg untuk mempertahankan output
jantung yang memadai.10
6. Manajemen pasca operasi
a. Manajemen jalan napas
Perubahan fungsi faring, refleks batuk, dapat diperburuk oleh efek dari anestesi,
instrumentasi faring dan operasi yang dapat meningkatkan kemungkinan aspirasi
pascaoperasi pada usia lanjut. Pembalikan efek blok neuromuskuler, penggunaan pipa
nasogastrik, mengembalikan refleks faring dan laring, motilitas gastrointestinal dan
ambulasi dini dengan konversi intake oral setelah operasi dapat meminimalkan insiden
aspirasi pasca operasi.1
b. Terapi oksigen
Dianjurkan untuk memberikan terapi oksigen pasca-operasi untuk semua pasien
usia lanjut, terutama setelah pembedahan abdomen atau dada, penyakit kardiovaskuler
atau pernapasan, kondisi kehilangan darah yang signifikan, atau bila telah diberikan
analgetik opioid. Nasal kanul sering ditoleransi lebih baik daripada masker. 12
c. Perawatan intensif
Jika pasien sangat tergantung pada perawatan tingkat tinggi atau tersedia
fasilitas perawatan intensif, hal ini dapat meningkatkan outcome jangka panjang dari
pasien usia lanjut, khususnya mereka yang menjalani operasi darurat. 12
d. Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah berusia lanjut, dimana
nyeri pasca operasi dapat menghasilkan efek yang berbahaya. Kontrol nyeri yang
kurang optimal dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut karena
komorbiditas terkait seperti penyakit jantung iskemik, penurunan cadangan ventilasi,
perubahan metabolisme.10
Pertimbangkan pemberian analgetik sederhana seperti parasetamol, dan NSAID
dengan hati-hati. Titrasi morfin IV menggunakan protokol usia lanjut (> 70 tahun)

22
yang sama dengan pasien yang lebih muda tampaknya aman. Dua sampai tiga miligram
morfin IV setiap 5 menit untuk skor analog visual lebih dari 30 dilaporkan dapat
memberikan kontrol nyeri yang memadai. Opioid kerja singkat seperti fentanil atau
sufentanil dan strategi manajemen nyeri intensif dengan bolus intermiten atau patient
controlled analgesia (PCA) secara parenteral atau dengan blok neuraxial dilaporkan
paling bermanfaat untuk pasien usia lanjut beresiko tinggi atau pasien usia lanjut
dengan risiko rendah yang menjalani operasi berisiko tinggi dengan mengurangi
respon stres terhadap pembedahan dan ambulasi dini.10,12
e. Pertimbangan lainnya
Fisioterapi dini dan kontinyu serta mobilisasi dapat membantu pemulihan
pasca-operasi dan dapat mengurangi lama perawatan di rumah sakit secara signifikan.
Pertimbangkan profilaksis deep vein thrombosis (DVT) dimana pasien usia lanjut
adalah kelompok berisiko tinggi, terutama mereka dengan fraktur kolum femoris atau
mereka yang tirah baring selama beberapa hari. Cari kemungkinan munculnya
komplikasi pascaoperasi. Komplikasi yang paling sering termasuk infeksi (terutama
luka, dada, saluran kemih), DVT dan emboli paru. Dapat pula timbul delirium dan
mungkin disebabkan oleh sepsis, dehidrasi, overhidrasi, ureum dan elektrolit yang
abnormal, hipoksia, sindrom putus alkohol / obat atau gangguan kognitif / demensia.12
7. Komplikasi Pasca Operasi
Disfungsi Kognitif Postoperatif
Perubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif selama hari pertama sampai
beberapa minggu setelah operasi telah dicatat dengan baik dan biasanya mencakup
beberapa kognitif seperti, perhatian, memori, dan kecepatan psikomotorik. Penurunan
kognitif awal setelah pembedahan sebagian besar akan membaik dalam waktu 3
bulan. Pembedahan jantung berhubungan dengan 36% insidens terjadinya penurunan
kognitif dalam waktu 6 minggu setelah operasi. Insidens disfungsi kognitif setelah
pembedahan non-jantung pada pasien dengan usia lebih dari 65 tahun adalah 26% pada
minggu pertama dan 10% pada bulan ketiga. Risiko-risiko terjadinya penurunan
kognitif postoperatif adalah usia, tingkat pendidikan yang rendah, gangguan kognitif
preoperatif, depresi, dan prosedur pembedahan. Disfungsi kognitif jangka pendek
setelah pembedahan dapat disebabkan karena berbagai etiologi, termasuk mikroemboli
(terutama pada pembedahan jantung), hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (bypass
kardiopulmoner), anestesia, depresi, dan faktor- faktor genetik (alel E4).2

23
Ada tidaknya kontribusi anestesi terhadap disfungsi kognitif postoperatif jangka
panjang masih kontroversi dan memerlukan penelitian yang intensif. Pada prosedur
non-cardiac, anestesia mempunyai pengaruh yang paling ringan terhadap terjadinya
penurunan kognitif jangka panjang, walaupun efek ini mungkin akan meningkat
sejalan dengan bertambahnya usia. Penurunan kognitif post-operatif setelah
pembedahan non-cardiac akan kembali nor mal pada kebanyakan kasus, tetapi bisa
juga menetap pada kurang lebih 1% pasien.2

24
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien perempuan tua An. Ny. CR dengan umur 59 tahun tiba di ruang operasi pada
tanggal 30 April 2019. Pasien dengan keluhan penglihatan mata kiri berkurang, kabur disertai
mata merah dan nyeri sejak 3 minggu yang lalu keluhan disertai dengan penglihatan mata kiri
silau, terasa ada yang mengganjal, keluar air mata terus-menerus, kelopak mata juga terasa
nyeri bila ditekan. Keluhan tidak disertai dengan pusing, nyeri kepala, mual ataupun muntah.
Pasien mengaku 3 minggu yang lalu bekerja memanen padi dan pada saat memanen, gabah
padi tersebut mengenai mata kirinya. Pasien sempat langsung mencuci matanya dengan air,
namun mata tetap merah dan terasa ada yang menghalangi sampai saat ini. Pasien sebelumnya
berobat ke puskesmas namun tidak ada perubahan. Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami
keluhan seperti ini. Riwayat trauma sebelumnya disangkal, riwayat penggunaan kacamata
maupun lensa kontak disangkal, riwayat penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu yang
lama baik obat mata maupun obat sistemik serta riwayat alergi disangkal. Pasien juga
mengatakan bahwa keluarganya tidak ada yang pernah mengalami keluhan serupa.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 130/80 mmHg; nadi
84x/menit; respirasi 20x/menit; suhu 36,7OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi yang
dilakukan didapatkan hasil dengan : Rbc : 3,61x106 Wbc : 5,1x103 Hb 13,2g/dl ; waktu
pembekuan : 9’15” menit, waktu perdarahan : 3’10’’ menit dan HBsAg non reaktif. Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk
dalam ASA PS 2.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu 2cc/kgBB/jam,
sehingga kebutuhan perjam dari penderita adalah 120cc/jam. Sebelum dilakukan operasi pasien
dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari
obat-obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama
anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 8x maintenance.
Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 8 jam ini adalah 960cc/8jam.
Dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 130/80mmHg; Nadi 84x/menit, dan
SpO2 100%. Dilakukan injeksi midazolam 3 mg, fentanyl 50 mikrogram. Penggunaan
premedikasi pada pasien ini bertujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan
pemberian analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir.

25
Selanjutnya diberikan obat induksi yaitu propofol 70 mg. Karena dilakukan prosedur operasi
Eviserasi maka dokter anestesi memilih untuk melakukan intubasi endotrakeal agar tidak
mengganggu operator sepanjang operasi dilakukan dan supaya pasien yang tetap dianestesi
dapat bernafas dengan adekuat.
Sebelum pemasangan ETT, dilakukan anamnesis singkat dan penilaian adanya kesulitan
intubasi kepada pasien. Dan dari hasil pemeriksaan fisis didapatkan tidak ada kelainan pada
gigi geligi serta faring, uvula dan palatum molle terlihat jelas. Mallampati skor 1.
Pasien dalam posisi terlentang, kepala diusahakan dalam keadaan ekstensi serta trakhea
dan laringoskop berada dalam satu garis lurus, kemudian dilakukan anastesi dan pelumpuh otot
berupa Noveron 5 ml dalam spoit 5cc dengan dosis 30mg, dan berikan oksigen 100% dengan
melakukan bagging selama 2 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu
kerja dari pelemas otot sebelum memasukkan laringoskop ke dalam mulut pasien untuk di
pasangkan pipa endotrakheal, Setelah ETT terpasang, pangkal ETT pasien dihubungkan
dengan konekta kemudian dihubungkan ke mesin anastesi yang menghantarkan gas
(sevoflurane) dengan ukuran 2vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien.
Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari
anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak
merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan).
Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka dialirkan
sevofluran 2 vol%, oksigen. Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas 18 x/ menit.
Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi
perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat
melakukan nafas spontan menjelang operasi hampir selesai.
Setelah operasi selesai di berikan penawar pelumpuh otot yakni reversal dengan isi
Neostigmin 0,5mg/ml dan Atropin 0,25 mg/ml yaitu 3:2, Neostigmin bersifat muskarinik
sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, pandangan kabur, hipermotilitas
usus sehingga pemberiannya harus disertai dengan antikolinergik seperti atropin (0,01-0,02
mg/kg) untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien,
mesin anestesi diubah ke manual supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevofluran
dihentikan karena pasien sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi
endotracheal secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.

26
Pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD 120/80 mmHg; Nadi
80x/menit, dan SpO2 100%. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).
Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat
serta kesadaran composmentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil
yaitu 120/80 mmHg.

27
BAB V

KESIMPULAN

Anestesi pada geriatri atau pasien tua berbeda dengan anastesi pada dewasa muda
pada umumnya. Penurunan faal tubuh dan perubahan degeneratif yang mempengaruhi
banyak sistem organ membuat respon pasien tua terhadap agen-agen anestesi menjadi
berbeda. Perubahan fisiologis seperti

1. Sistem kardiovaskular
o Elastisitas pembuluh darah berkurang -> Compliance arteri menurun &
menyebabkan tekanan darah sistolik meningkat. Tekanan darah diastolik tidak
mengalami perubahan bahkan bisa menurun
o CO menurun
o Tonus vagal meningkat
2. Sistem respirasi
Pada paru dan sistem pernafasan elastisitas jaringan paru berkurang,
kontraktilitas dinding dada menurun, meningkatnya ketidakserasian antara ventilasi
dan perfusi, sehingga mengganggu mekanisme ventilasi, dengan akibat menurunnya
kapasitas vital dan cadangan paru, meningkatnya pernafasan diafragma, jalan nafas
menyempit dan terjadilah hipoksemia. Proteksi jalan nafas yaitu batuk, pembersihan
mucociliary berkurang, refleks laring dan faring juga menurun sehingga berisiko
terjadi infeksi dan kemungkinan aspirasi isi lambung lebih besar

3. Sistem metabolik dan endokrin


o Konsumsi oksigen basal dan maksimal menurun.
o Produksi panas menurun, kehilangan panas meningkat, dan pusat pengatur
temperatur hipotalamik mungkin kembali ke tingkat yang lebih rendah.
o Peningkatan resistensi insulin menyebabkan penurunan progresif terhadap
kemampuan menangani asupan glukosa.

28
4. Sistem renalis
o GFR dan creatinin clerance menurun 1% mulai umur 40 th
o BUN meningkat 0,2 mg/ tahun
o Serum kreatinin tidak berubah karena massa otot juga ikut berkurang
o homeostasis terhadap cairan menurun
5. Sistem hepatobilier dan gastrointestinal
Berkurangnya massa hati berhubungan dengan penurunan aliran darah hepatik,
menyebabkan Fungsi hepatik juga menurun sebanding dengan penu-runan massa hati.

o Biotransformasi dan produksi albumin menurun.


o Kadar kolinesterase plasma berkurang.
o Ph lambung cenderung meningkat, sementara pengosongan lambung
memanjang.
6. .Sistem saraf pusat
o Aliran darah serebral dan massa otak menurun sebanding dengan kehilangan
jaringan saraf. Autoregulasi aliran darah serebral tetap terjaga.
o Degenerasi sel saraf perifer menyebabkan kecepatan konduksi memanjang dan
atrofi otot skelet.
o Penuaan dihubungkan dengan peningkatan ambang rangsang hampir semua
rangsang sensoris misalnya, raba, sensasi suhu, proprioseptif, pendengaran dan
penglihatan.
7. Sistem muskuloskeletal
o Massa otot berkurang. Pada tingkat mikroskopik, neuromuskuler junction
menebal.
o Sendi yang mengalami arthritis dapat mengganggu pemberian posisi (misalnya,
litotomi) atau anestesi regional (misalnya, blok subarakhnoid).

Usia lanjut bukan merupakan kontraindiksi untuk anestesi umum maupun


regional. Pasien usia lanjut sangat rentan dan sangat sensitif terhadap stres akibat trauma,
operasi, hospitalisasi, dan anestesi dengan mekanisme yang hanya sebagian dipahami. Penyakit
yang umumnya ditemukan pada usia lanjut memiliki dampak yang signifikan terhadap
tindakan anestesi dan memerlukan perawatan khusus, sehinggan penting untuk menentukan
status fisik pasien dan memperkirakan cadangan fisiologis dalam evaluasi preanestesi. Oleh
karena itu, meminimalkan risiko perioperatif pada pasien geriatri memerlukan suatu penilaian

29
preoperatif yang bijaksana terhadap fungsi organ, manajemen intraoperatif yang teliti untuk
gangguan yang menyertai, dan kontrol nyeri pasca operasi yang optimal.

Dosis kebutuhan obat-obatan anestesi lokal (minimum anesthetic concentration) dan


umum (minimum alveolar concentration) berkurang pada usia lanjut. Administrasi suatu agen
anestesi epidural pada volume tertentu cenderung menghasilkan penyebaran cephalad yang
lebih luas pada pasien usia lanjut, tetapi dengan durasi analgesia dan blok motorik yang lebih
singkat.

Terdapat sejumlah pasien usia lanjut yang mengalami berbagai tingkat keadaan
konfusional akut, delirium, atau disfungsi kognitif pasca operasi.

Penuaan menghasilkan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Penyakit yang


berhubungan dengan perubahan dan variasi antarindividu yang luas bahkan pada populasi yang
sama menyebabkan generalisasi yang tidak konsisten. Pasien usia lanjut menunjukkan
kebutuhan dosis yang rendah rendah untuk propofol, etomidate, barbiturat, opioid, dan
benzodiazepin.

Dalam beberapa aspek, anestesi regional dapat menunjukkan manfaat yang


mengutungkan bagi pasien usia lanjut. Teknik ini kurang menyebabkan tromboemboli,
gangguan kesadaran dan pernafasan pasca-bedah. Pada pasien dengan penyakit jantung berat
yang memerlukan kontrol tekanan darah ketat, anestesi umum mungkin lebih baik. Pada teknik
anestesi umum, sangat penting untuk titrasi dosis obat dan lebih bijaksana untuk menggunakan
obat-obatan kerja pendek.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Darmojo B. Geriatri Ed. 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009.


2. Allison B., Forest Sheppard. Geriatric Anesthesia. In : World Journal of
Anesthesiology. USA: Departemen of Anesthesiology National Naval Medical Centre;
2009;4:323-336.
3. Shafer SL. The Pharmacology of Anesthetic Drugs In Elderly Patient. Journal of
Anesthesiology. England: Departemen of Anesthesiology; 2000;18:1-29.
4. Miller R. Miller’s Anesthesia 2 Ed. 7. 71:2261-73
5. Burnett. Mary. Anasthesia for The Eldery. Available at :
http://www.unmc.edu/media/intmed/geriatrics/lectures/anesthesia_for_the_elderly.
htm. Accessed on 8 May 2019
6. Kanonidou. Z. Anasthesia for The Eldery. Available at :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2552979/#!po=21.4286 Accessed
on 8 May 2014
7. Priebe HJ. The aged cardiovascular risk patient. British Journal of Anaesthesia 85 (5):
763±78 (2000) [cited 2019 May 8]. Available from:
http://www.bja.oxfordjournals.org/content/85/5/763.long
8. Ceba RC, Sprung J, Gajic O, Warner DO. The aging respiratory system: anesthetic
strategies to minimize perioperative pulmonary complications. Dalam: Silverstein JH,
Rooke GA, Reves JG, Mcleskey CH. Geriatric anesthesiology 2nd Edition. New York.
2008.
9. Stoelting RK, Hillier SC. Physiology of the newborn and elderly. Dalam: Handbook of
pharmacology and physiology in anesthetic practice, 2nd ed. Philadelphia, 2006.
10. Kumra VP. Issues in geriatric anaesthesia. SAARC J. Anesthesia. New Delhi, 2008.
11. Anonym. Geriatrics (Anesthesia Text) [cited 2019 May 8]. Available
from: http://www.OpenAnesthesia.org
12. Kelly F. Anesthesia for the erderly patient. [cited 2019 May 8]. Available from:
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/15/u15513_01.htm

31

Anda mungkin juga menyukai