Anda di halaman 1dari 44

ASUHAN KEPERAWATAN PADA DELIRIUM

MAKALAH

Oleh:
Kelompok D1 dan D2
Kelas D angkatan 2016

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
ASUHAN KEPERAWAATAN PADA DELIRIUM

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis
Dosen Pengampu:Ns. Siswoyo, M.Kep

Oleh:
Kelompok D1 dan D2
Kelas D angkatan 2016

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala limpahan
rahmat, karunia dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul ”Asuhan Keperawaatan Pada DELIRIUM” ini
tepat pada waktunya.
Dalam penulisan makalah ini tentunya banyak pihak yang turut membantu
penulis dalam proses penyusunannya, untuk itu penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada :
1. Dosen penanggung jawab mata kuliah Ns. Muhammad Zulfatul A’la, M.Kep
yang telah memberikan tugas makalah Keperawatan Kritis,
2. Dosen pembimbing Ns. Siswoyo, M.Kep yang telah membimbing penulis
dalam proses pembuatan makalah ini,
3. Keluarga besar kelas D angkatan 2016 Fakultas Keperawatan Universitas
Jember yang selalu kompak dan saling berbagi ilmu, dan
4. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah berbagi
pengetahuan ilmu serta pengalaman.
Penulis menyadari dalam penyusunan karya tulis ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak dan
rekan-rekan pembaca. Dan mudah-mudahan karya tulis yang sederhana ini dapat
memberikan manfaat dan dapat menjadi sumber referensi bagi para pembaca.

Jember, Mei 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 1
1.1 Definisi.............................................................................................................. 1
1.2 Epidemologi ..................................................................................................... 2
1.3 Etiologi ............................................................................................................. 3
1.4 Klasifikasi ........................................................................................................ 5
1.5 Patofisiologi...................................................................................................... 6
1.6 Manifestasi Klinis ............................................................................................ 7
1.7 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................. 8
1.8 Penatalaksanaan Medis ................................................................................ 10
1.9 Pathway .......................................................................................................... 12
1.10 Zat Psikoaktif ............................................................................................... 13
1.11 Delirium yang Diinduksi Zat Psikoaktif ................................................... 14
BAB 2. ASUHAN KEPERAWATAN................................................................ 16
2.1 Pengkajian ..................................................................................................... 16
2.2 Diognosa ......................................................................................................... 23
2.3 Intervensi ....................................................................................................... 26
2.4 Evaluasi .......................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 30

iv
1

BAB 1. TINJUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Delirium merupakan suatu sindrom serebral organik dengan penyebab yang


tidak spesifik. Karakteristik deliriumdalah gangguan fungsi kesadaran, atensi,
persepsi, berpikir, memori, psikomotor, emosi, serta pola tidur-bangun.
Delirium dapat ditandai dengan perubahan status mental, kesadaran, dan juga
perhatian yang bersifat akut serta fluktuatif. Delirium memiliki insidensi yang
tinggi pada pasien dengan penyakit kritis. Delirium merupakan kelainan serius
yang berhubungan dengan pemanjangan lama perawatan di ruang rawat
intensif/rumah sakit, biaya yang lebih tinggi, memperlambat pemulihan
fungsional, dan peningkatan morbiditas serta mortalitas (Adiwinata, 2016)
Delirium adalah sindrom neuropsikiatrik akut, sementara, biasanya
reversibel. Dianggap sebagai masalah serius dalam pengaturan perawatan akut.
Meskipun delirium ditemukan pada semua kelompok umur, lansia dianggap
sebagai kelompok berisiko tinggi untuk perkembangan delirium. Delirium pada
dasarnya mencerminkan dekompensasi fungsi otak, sebagai hasil dari satu atau
lebih proses patofisiologis (Grover & Avasthi, 2018)
Delirium merupakan suatu keadaan mental yang abnormal dan bukan
merupakan suatu penyakit. Gangguan ini dapat terlihat dengan ditemukannya
sejumlah gejala yang menunjukkan penurunan fungsi mental. Berbagai keadaan
atau penyakit seperti dehidrasi ringan sampai keracunan obat atau infeksi yang
bisa berakibat fatal, bisa menyebabkan delirium. Gangguan delirium ini sendiri
paling sering terjadi pada usia lanjut dan penderita yang otaknya telah
mengalami gangguan, termasuk di sini adalah orang yang sakit berat, orang
yang mengkonsumsi obat yang menyebabkan perubahan pikiran atau perilaku
dan orang yang mengalami demensia (Widyastuti, 2017)
Delirium adalah gangguan neuropsikiatrik kompleks yang ditandai oleh
perubahan tingkat kesadaran, disfungsi atensi, gangguan dalam domain kognitif
lain termasuk memori, orientasi, dan bahasa, dan perubahan terkait dalam
domain non-kognitif dari perilaku motorik, persepsi, pengaruh, siklustidur-
bangun, dan proses berpikir (Harrington & Vardi, 2014)
2

1.2 Epidemiologi
Beban delirium yang dilaporkan dalam ICU sangat bervariasi. Dalam satu
studi cross-sectional dari 590 pasien ICU, tingkat delirium adalah 20% dan
memiliki angka kematian ICU yang lebih tinggi (27% berbanding 3%; P
<0,001). Sebuah studi prospektif baru-baru ini dari 726 pasien ICU Eropa
melaporkan bahwa 15% dari pasien ini didiagnosis mengalami delirium selama
tinggal di rumah sakit, tingkat yang 50% pada pasien di atas usia 85 tahun.
Penelitian prospektif lain dari 309 pasien yang dirawat di rumah sakit ICU,
menemukan prevalensi delirium 19%, dengan tingkat kejadian 2 bulan 9% di
antara mereka yang bebas dari delirium pada awal. Demikian pula, dalam studi
prospektif terbesar hingga saat ini oleh Naksuk et al, tingkat kejadian delirium
di antara 11.079 pasien di ICU adalah 8% (Ibrahim, dkk., 2018)
Di Indonesia, prevalensi delirium bervariasi yaitu 14-56%, dengan angka
kematian dirumah sakit sekitar 25-30%. Kejadian delirium di rumah sakit dr.
Cipto Mangunkusumo (RSCM) berkisar 17- 47,3%. Sedangkan angka kejadian
delirium di ICU RSHS Bandung cukup tinggi sebesar 37%. (Adiwinata, dkk.,
2016).
1.3 Etiologi Delirium
Delirium biasanya memiliki etiologi multifaktorial. Telah dilaporkan bahwa
90% pasien dengan delirium memiliki tiga hingga empat faktor etiologi yang
dapat diidentifikasi, 27% memiliki dua faktor, dan hanya 16% memiliki satu
faktor etiologi yang dapat diidentifikasi. Etiologi delirium kompleks dan
multifaktorial, dengan interaksi faktor pencetus pada pasien yang rentan dengan
kondisi predisposisi.
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang membuat pasien rentan
mengalami delirium. Faktor predisposisi yang menyebabkan delirium pada
seseorang adalah :
a. Usia
Salah satu faktor predisposisi yang paling penting adalah usia. Baik
populasi geriatri dan pediatrik beresiko terkena delirium. Orang tualebih
rentan terhadap delirium karena hilangnya cadangan kolinergik terkait
3

usia yang diperlukan untuk memori, pembelajaran, perhatian, dan


kesadaran (Maclullich et al., 2008). Di antara kelompok usia ini, salah
satu faktor risiko paling umum untuk delirium adalah demensia, dengan
dua pertiga dari kasus delirium lansia menderita komorbiditas demensia.
Delirium dan demensia keduanya terkait dengan defisiensi kolinergik
dan penurunan aliran darah atau metabolisme, sifat-sifat umum ini
mungkin menjelaskan hubungan antara kedua kondisi ini. Seperti yang
disebutkan di atas, mekanisme utama yang membuat orang lanjut usia
mengalami delirium adalah berkurangnya cadangan kolinergik, di sisi
lain usia yang ekstrem adalah anak-anak yang juga rentan mengalami
delirium karena perkembangan otak struktural yang belum matang dan
berkembang.
b. Gangguan neurologis
Demensia adalah faktor predisposisi utama untuk delirium, meta-analisis
yang menunjukkan risiko bahwa sekitar 45% pasien dengan demensia
mengalami delirium selama dirawat di rumah sakit. Pasien lanjut usia
dengan demensia memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami delirium
tidak hanya karena mereka memiliki penurunan asetilkolin yang
berkaitan dengan usia seperti yang dijelaskan sebelumnya, tetapi juga
memiliki kehilangan fokus asetilkolin karena kematian sel kolinergik
dalam basalis nukleus Meynert sebagai hasil dari proses penyakit.
c. Fraktur pinggul
Pasien fraktur pinggul berisiko lebih tinggi mengalami delirium karena
trauma yang terkait dengan cedera dan perkembangan cepat ke rawat
inap dan pembedahan, di samping rasa sakit dan kehilangan fungsi.
Delirium telah dilaporkan terlihat pada 20% -40% pasien dengan fraktur
panggul pada saat masuk rumah.Penyakit parah, traumatis atau sistematis
Komorbiditas medis seperti luka bakar, kanker, penyakit kardiovaskular
dan alkoholisme adalah salah satu faktor predisposisi untuk delirium.
Gangguan sensorik seperti gangguan visual dan ketergantungan
fungsional juga mempengaruhi individu untuk mengalami delirium.
d. Jenis kelamin
4

Jenis kelamin laki-laki ditemukan menjadi faktor risiko dalam beberapa


studi delirium.Pasien pria dilaporkan menderita lebih banyak komplikasi
pasca operasi dan memiliki angka kematian jangka panjang yang lebih
tinggi. Faktor-faktor ini mungkin berkontribusi pada peningkatan risiko
delirium pada pria. Faktor lain yang berkontribusi terhadap peningkatan
risiko delirium pada pria mungkin adalah keengganan pria untuk
berkonsultasi dengan dokter. Pria dengan masalah kesehatan lebih besar
kemungkinannya dibandingkan wanita untuk melakukan kontak dengan
dokter tanpa memandang pendapatan atau etnis. Keengganan ini berarti
bahwa pria sering tidak mencari bantuan sampai suatu penyakit telah
berkembang.
e. Depresi
Depresi telah dilaporkan sebagai faktor predisposisi untuk delirium pada
orang tua dan pada pasien bedah non-jantung. Berkurangnya konektivitas
fungsional di otak manusia yang berhubungan dengan depresi
dihipotesiskan sebagai salah satu mekanisme yang membuat pasien
depresi mengalami delirium.
2. Faktor pencetus
Faktor pencetus adalah faktor yang memicu mekanisme yang
mengakibatkan. Faktor-faktor pencetus delirium adalah :
a. Pembedahan
Insiden delirium pasca operasi berkisar antara 5% hingga 15%.
Kelompok berisiko tinggi tertentu mengalami peningkatan tingkat
delirium. Delirium telah dilaporkan pada 16,3% setelah operasi jantung.
Tingkat tertinggi 30,2% adalah setelah operasi pinggul dan 50% telah
dilaporkan pada pasien usia. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko
delirium pada pasien bedah termasuk gangguan elektrolit, peningkatan
usia, demensia, curah jantung yang rendah, hipotensi perioperatif,
hipoksia pasca operasi, dan penggunaan obat antikolinergik. 70% dari
pasien ICU yang menjalani pembedahan dan mengalami trauma
gabungan memiliki setidaknya satu episode delirium .
5

b. Obat-obatan
Delirium ditandai oleh disfungsi serebral global yang menghasilkan
pengurangan umum dalam metabolisme oksidatif serebral dan
ketidakseimbangan beberapa neurotransmiter di otak. Setiap obat yang
mengganggu sistem neurotransmitter ini atau dengan pasokan atau
penggunaan substrat untuk metabolisme sistem saraf pusat dapat
menyebabkan delirium.
1.4 Klasifikasi

Klasifikasi sindrom delirium berdasarkan aktifitas psikomotor


(tingkat/kondisi kesadaran, aktifitas perilaku) yakni:
1. Hiperaktif
Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi.
Pada pasien terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi
medis, dan tindakan dispruptif lainnya. Kadang diperlukan pengawas
karena pasien mungkin mencabut selang infus atau kathether, atau
mencoba pergi dari tempat tidur. Pasien delirium karena intoksikasi,
obat antikolinergik, dan alkohol withdrawal biasanya menunjukkan
perilaku tersebut.
2. Hipoaktif

Bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh para
klinisi. Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit
dibedakan dengan keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan
dengan mudah dibangunkan dan dalam berada dalam tingkat kesadaran
yang normal. Rangsang yang kuat diperlukan untuk membangunkan,
biasanya bangun tidak komplet dan transient. Penyakit yang mendasari
adalah metabolit dan ensepalopati.Pasien yang hiperaktif paling mudah
dikenali di ruang rawat karena sangat menyita perhatian. Pasien bisa
berteriak-teriak, jalan mondar-mandir, atau mengomel sepanjang hari.
Dibandingkan dengan tipe lain, pasien yang hiperaktif mempunyai
prognosis lebih baik
6

1.5 Patofisiologi
Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan
mempengaruhi berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru
menunjukkan defisiensi jalur kolinergik dapat merupakan salah satu faktor
penyebab delirium. Delirium yang diakibatkan oleh penghentian substansi
seperti alkohol, benzodiazepin, atau nikotin dapat dibedakan dengan delirium
karena penyebab lain. Pada delirium akibat penghentian alkohol terjadi
ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan eksitasi pada system
neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara reguler dapat menyebabkan inhibisi
reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi reseptor GABA-A
(gammaaminobutyric acid-A). Disinhibisi serebral berhubungan dengan
perubahan neurotransmitter yang memperkuat transmisi dopaminergik dan
noradrenergik, adapun perubahan ini memberikan manifestasi karakteristik
delirium, termasuk aktivasi simpatis dan kecenderungan kejang epileptik. Pada
kondisi lain, penghentian benzodiazepine menyebabkan delirium melalui jalur
penurunan transmisi GABA-ergik dan dapat timbul kejang epileptik. Delirium
yang tidak diakibatkan karena penghentian substansi timbul melalui berbagai
mekanisme, jalur akhir biasanya melibatkan defisit kolinergik dikombinasikan
dengan hiperaktivitas dopaminergik.Perubahan transmisi neuronal yang
dijumpaipada delirium melibatkan berbagai mekanisme, yang melibatkan tiga
hipotesis utama, yaitu:
a. Efek Langsung
Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem neurotransmiter,
khususnya agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut, gangguan
metabolik seperti hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung
mengganggu fungsi neuronal dan mengurangi pembentukan atau pelepasan
neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada wanita dengan kanker
payudara merupakan penyebab utama delirium.
b. Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti
penyakit inflamasi, trauma, atau prosedur bedah. Padabeberapa kasus,
respons infl amasi sistemik menyebabkan peningkatan produksi sitokin,
7

yang dapat mengaktivasi mikroglia untuk memproduksi reaksi infl amasi


pada otak. Sejalan dengan efeknya yang merusak neuron, sitokin juga
mengganggu pembentukan dan pelepasan neurotransmiter. Proses infl
amasi berperan menyebabkan delirium pada pasien dengan penyakit utama
di otak (terutama penyakit neurodegeneratif )
c. Stres
Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih
banyak noradrenalin, dan aksis hipotalamuspituitari- adrenokortikal untuk
melepaskan lebih banyak glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia
dan menyebab kan kerusakan neuron.

1.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari pasien delirium antara lain adalah sebagai berikut.

a. Gejala yang Mudah Ditemui


Gejala yang dapat ditemui pada pasien delirium adalah gangguan kognitif
global berupa gangguan memori (recent memory atau memori jangka
pendek), gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), atau gangguan proses pikir
(disorientasi waktu, tempat,orang) (Widyastuti dan Mahasena, 2017).
b. Gejala yang Mudah Ditemui Namun Sering Terlewatkan
Gejala yang mudah diamati pada pasien delirium namun justru sering
terlewatkan adalah terdapat komunikasi yang tidak relevan atau autonamnesis
yang sulit dipahami, pasien kadang terlihat seperti mengomel terus-menerus,
atau terdapat ide-ide pembicaraan yang melompat-lompat (Widyastuti dan
Mahasena, 2017).
c. Gejala Lainnya
Gejala lain pada pasien delirium meliputi perubahan aktivitas psikomotor,
baik hipoaktif (25 %), hiperaktif (25 %), atau campuran keduanya (35 %)
(Widyastuti dan Mahasena, 2017).Sebagian pasien menunjukkan aktivitas
psikomotor normal dan gangguan siklus tidur (siang hari tertidur sedangkan
malam hari terjaga) (Widyastuti dan Mahasena, 2017).
d. Gejala Menurut Rudolph dan Marcantonio
8

Menurut Rudolph dan Marcantonio (dalam Widyastuti dan Mahasena, 2017),


memasukkan gejala perubahan aktivitas psikomotor ke dalam klelompok
perubahan kesadaran yaitu setiap kondisi kesadaran selain compos mentis,
termasuk di dalamnya keadaan hipoaktivitas serta hiperaktivitas.
1.7 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya dan sesegera mungkin
ditentukan penyebabnya. Kriteria diagnostik untuk delirium yaitu :
1. Kemampuan terbatas untuk mempertahankan daya perhatian terhadap
rangsang dari luar (misalnya pertanyaan harus diulang karena daya perhatian
melantur) dan secara wajar dapat mengalihkan kearah rangsang eksternal yang
baru.
2. Alam pikiran yang kacau, yang ditujukan oleh cara bicara yang ngawur dan tak
jelas (asalbersuara), soalnya tidak relevan, atau daya bicara inkoheren.
3. Sedikitnya dua dari yang tercantum di bawah ini :
a. Kesadaran yang menurun (contoh : sulit mempertahankan kesadara nsaat
pemeriksaan)
b. Gangguan persepsi: mis interpretasi, ilusi, atau halusinasi
c. Gangguan siklus tidur dengan insomnia atau mengantuk di siang hari
d. Kegiatan psikomotor meningkat atau menurun
e. Disorientasi terhadap waktu, tempat atau orang
f. Gangguan daya ingat (contoh : tidak mampu belajar materi baru, seperti
nama beranekaragam benda yang tak terkait setelah 5 menit, atau untuk
mengingat peristiwa yang telah lalu, seperti riwayat dari episode gangguan
sekarang)
4. Gambaran klinis yang timbul yang berkembang dalam waktu yang singkat
(biasanya dalam jam atau hari) dan cenderung untuk naik turun dalam sehari.
5. Salah satu dari poin di bawah ini :
a. Terbukti dari riwayat, pemeriksan fisik, atau uji laboratorik tentang satu atau
beberapa faktororganik yang khas yang dapat diduga sebagai penyebab
yang terkait dengan gangguan itu.
b. Bila tidak adanya bukti ini, factor penyebab organik yang dapat diduga bila
gangguannya tidak dapat diperkirakan adalah disebabkan oleh gangguan
9

mental nonorganik (contoh : episode manik yang merupakan sebab untuk


menjadi agitatif dan gangguan tidur).
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan adalah :
a. Anamnesa terutama riwayat medis menyeluruh, termasuk penggunaan
obat-obatan atau medikasi.
b. Pengkajian Intensive Care Delirium Screening Checklist (ICDSC)
Intensive Care Delirium Screening Checklist (ICDSC)
Berikan skor "1" untuk masing-masing dari 8 item di bawah ini jika
pasien dengan jelas memenuhi kriteria yang ditentukan instruksi
penilaian. Berikan skor "0" jika tidak ada manifestasi atau tidak dapat
memenuhi kriteria. Jika skor pasien> 4, beri tahu dokter. Diagnosis
delirium dibuat setelah penilaian klinis. Dokumen dalam catatan
Penilaian dan Intervensi (RN) dan catatan kemajuan (MD).

Pengkajian Penilaian
Tingkat perubahan kesadaran  Ketika MAAS dari VAMAAS
adalah 0 (tidak ada respons)
atau 1 (respons
hanya stimulus berbahaya),
catat "U / A" (tidak mampu
memenuhi kriteria) dan tidak
masuk dalam screening.
Skor "0" jika skor MAAS
adalah 3 (tenang, kooperatif,
berinteraksi dengan
lingkungan tanpa disuruh)
 Skor “1” jika skor MAAS 2, 4,
5 atau 6 (skor MAAS 2 adalah
pasien yang hanya berinteraksi
atau merespons ketika
distimulasi dengan sentuhan
ringan atau
10

suara - tidak ada interaksi atau


gerakan spontan; 4, 5 dan 6
adalah
tanggapan berlebihan).
 Jika MAAS ≠ 0 atau 1, nilai
screening item 2-8 dan skor
total semua 8 item.
Inattention Pasien mendapat skor "1" untuk hal-
hal berikut:
 Kesulitan mengikuti
percakapan atau instruksi
 Mudah terganggu oleh
rangsangan eksternal
 Kesulitan dalam mengalihkan
fokus
Disorientation Skor 1 untuk pasien yang salah dalam
orientasi tempat dan waktu.
Halusinasi/Delusi/Psikosis Skor "1" untuk salah satu dari kriteria
berikut:
 Manifestasi dari halusinasi
atau perilaku mungkin karena
halusinasi (mis. menangkap
objek yang tidak ada)
 Delusi
 Penurunan nilai yang
mencolok dalam pengujian
realitas
Agitasi atau keterlambatan Skor "1" untuk hal-hal berikut:
psikomotorik  Hiperaktif yang membutuhkan
obat penenang atau pengekang
tambahan untuk
11

mengendalikan potensi bahaya


(mis. menarik keluar jalur IV,
memukul staf)
 Hipoaktivitas atau
perlambatan psikomotorik
yang terlihat secara klinis.
Berbeda dengan depresi oleh
fluktuasi kesadaran dan
kurangnya perhatian.
Inappropriate speech or mood Skor “1” untuk hal-hal berikut (skor 0
jika tidak dapat menilai):
 Berbicara yang tidak pantas,
tidak terorganisir atau tidak
koheren.
 Tampilan emosi yang tidak
pantas terkait dengan peristiwa
atau situasi.
Bangun tidur/gangguan siklus tidur Skor "1" untuk hal-hal berikut:
 Tidur kurang dari 4 jam atau
sering terbangun di malam hari
(jangan pertimbangkan bangun
yang disebabkan oleh staf
medis atau lingkungan yang
mengganggu).
 Tidur di hamper sepanjang
hari.
Gejala Fluktuasi Skor "1" untuk manifestasi fluktuasi
atau gejala apa pun di atas 24 jam
(mis., dari satu shift ke shift lainnya).
12

Total Skor : Skor >4 menunjukkan delirium. Skor >4 bukan merupakan
indikasi tingkat keparahan delirium.

c. Pengkajian Confusion Assessment Method for the Intensive Care Unit


(CAM-ICU)
Confusion Assessment Method for the Intensive Care Unit (CAM-
ICU)

Salah satu pengkajian tingkat keparahan delirium pada pasien di


intensive care unit (ICU) adalah dengan versi 7-Point Rating Scale dari
Confusion Assessment Method for the Intensive Care Unit (CAM-ICU-
7), instrumen ini reliabel dengan nilai alfa Cronbach 0,85 dan valid
dengan nilai koefisien korelasi 0,64 (Khan dkk., 2017). Item dan
penilaian CAM-ICU-7 adalah sebagai berikut.

Item Penilaian Skor


1. Onset Akut atau Fluktuasi Status Mental 0: tidak ada

Apakah pasien berbeda dengan status mental 1: ada


dasarnya?
Atau
Pernahkah pasien mengalami fluktuasi status
mental dalam 24 jam terakhir sebagaimana
dibuktikan oleh fluktuasi pada sedasi / skala
tingkat kesadaran (mis., Richmond Agitation
Sedation Scale [RASS] / Sedation-Agitation
Scale [SAS]), Glasgow Coma Scale (GCS),
atau penilaian delirium sebelumnya?
2. Ketidakpedulian 0: tidak ada
(pasien benar 8)
Katakan kepada pasien, “Saya akan
membacakan serangkaian 10 huruf untuk 1: tidak peduli
Anda. Setiap kali Anda mendengar huruf ‘A’, (pasien benar 4-7)
tunjukkan dengan meremas tangan saya”.
13

Baca huruf dari daftar huruf berikut dengan 2: tidak peduli parah
nada normal dalam jeda 3 detik: (pasien benar 0-3)
SAVEAHAART
(Kesalahan dihitung ketika pasien gagal
meremas pada saat huruf “A” dibacakan, dan
ketika pasien meremas pada saaat huruf apa
pun selain “A” dibacakan)
3. Tingkat Kesadaran yang Berubah 0: tidak ada
(skor RASS: 0)
“Ada” jika skor RASS Aktual adalah apa pun
selain “waspada” dan “tenang” (nol). 1: tingkat berubah
(skor RASS: 1, -1)

2: tingkat berubah
parah
(skor RASS: >1, <-1)
4. Pikiran Tidak Teratur 0: tidak ada
(pasien benar 4)
Pertanyaan ya/tidak
a. Akankah batu mengapung di atas air? 1: pikiran tidak teratur
b. Apakah ada ikan di laut? (pasien benar 2-3)
c. Apakah satu pound beratnya lebih dari dua
pound? 2: pikiran tidak teratur
d. Bisakah Anda menggunakan palu untuk parah
memukul paku? (pasien benar 0-1)
Kesalahan dihitung ketika pasien salah
menjawab pertanyaan.
Perintah:
Katakan kepada pasien “Angkatlah jari
sebanyak ini” (angkat dua jari di depan
pasien). “Sekarang lakukan hal yang sama
14

dengan tangan lainnya” (jangan ulangi jumlah


jari).
Kesalahan dihitung jika pasien tidak dapat
menyelesaikan seluruh perintah.
Sumber: Khan dkk. (2017) Menurut Khan dkk. (2017), tingkat keparahan delirium
berdasarkan penjumlahan skor tersebut digolongkan sebagai berikut.

a) Tidak Delirium (skor 0-2)


b) Delirium Ringan sampai Sedang (skor 3-5)
c) Delirium Parah (skor 6-7)
d. Pemeriksaan fisik lengkap terutama dilakukan secara rutin pada pasien yang
rawatinap.
e. Pemeriksaan neurologis, termasuk status mental, tesperasaan (sensasi), berpikir
(fungsikognitif), dan fungsi motorik. Pemeriksaan status kognitif mencakup :

1. Tingkat kesadaran
2. Kemampuanberbahasa
3. Memori
4. Apraksia
5. Agnosia dan gangguan citra tubuh
f. Pemeriksaan penunjang berupa :
1. Uji darah
Tujuannya untuk memeriksa adanya gangguan organik, memeriksa
komplikasi fisik akibat gangguan psikiatri untuk menemukan gangguan
metabolik. Uji darah serologis, biokimia, endokrin dan hematologis yang
harus dilakukan termasuk :
a. Pemeriksaan darah lengkap
b. Urea danelektrolit
c. Uji fungsi tiroid
d. Uji fungsi hati
e. Kadar vitamin B12 dan asam folat
f. Serologisifilis
15

2. Uji urin
Skrining obat terlarang dalam urine perlu dilaksanakan untuk
memeriksa penyalahgunaan zat psikoaktif yang samar.
3. Elektroensefalogram (EEG)
Pemeriksaan EEG secara karakteristik menunjukkan perlambatan
aktivitas secara umum dan berguna untuk mebedakan delirium dengan
deprisi ataupun psikosis. EEG pada delirium kadang-kadang menunjukkan
area hiperaktivitas fokal. Pada delirium akibat putus alkohol ataupun zat
sedatif EEG menunjukkan aktivitas voltase rendah yang cepat.
4. X-ray dada
5. CT scan kepala
6. MRI scan Kepala
7. Analisis cairan serebrospinal (CSF)
8. Kadar obat, alkohol (toksikologi)
9. Uji genetic
Penggolongan kariotipe merupakan pemeriksaan penunjang klinik
kedua yang bisa memastikan adanya gangguan akibat kelainan kromosom.
Uji ini terutama berguna untuk menyelidiki orang dengan disabilitas
belajar (retardasi mental).
1.8 Penatalaksanaan Medis
a. Manajemen nyeri pada Delirium
Penanganan nyeri pada pasien delirium harus memperhatikan resiko
kesehatan yang mungkin akan mengikuti seperti :
1. Sensitivitas terhadap beberapa mediasi atau pengobatan (contohnya
benzodiazepin dan opioid).
2. Kemungkinan interaksi dengan obat lain.
3. Perubahan fisiologis seperti pengurangan massa otot, peningkatan
distribusi lemak, dan pengurangan fungsi ginjal yang mungkin akan
mempengaruhi metabolisme dalam memproses obat.
(Hartjes dkk, 2016)
Pada penatalaksanaan operatif pemberian obat nyeri efektif diberikan
sebelum operasi dan menggunakan neuraxsial blokade dan intervensi
16

farmakologi seperti nonopioid, adjuvant atau opioid baik melalui oral maupun
IV tergantung sekala nyeri pasien.

WHO Pain Guidline (2016) :

1. Pemberian dosis pada pengobatan nyeri harus berdasarkan kondisi individu


2. Rute oral lebih dianjurkan kecuali pasien mengalami mual muntah karena
terdapat masalah pada rute parenteral
3. Insomnia harus ditangan dengan serius karena dapat mempercepat kematian
4. Pasien yang tidak cocok pada beberapa obat harus dimonitoring dan ditangani
secara sistematis
5. Beberapa pasien mungkin membutuhkan pengobatan adjuvant seperti anti
depresan, anti cemas, anti koonfusan, neuroleptik atau kortikosteroid
6. Perkembangan pasien harus dikontrol dengan ketat.
7. Pengobatan nyeri harus menggunakan tata cara berikut (the ladder):
a) Step 1( untuk nyeri ringan sampai sedang) : berikan analgesik non
opioid dan jika nyeri tidak kunjung membaik atau berkurang atau
semakin meningkat lanjutkan ke penanganan nyeri step 2
b) Step 2 (untuk nyeri sedang) : berikan opioid ringan dan non opioid
dan jika nyeri tidak berkurang atau semakin meningkat lanjutkan ke
step 3
c) Step 3 (untuk nyeri berat) : berikan opioid kuat dan non opioid
(Hartjes dkk, 2016)
Sedangkan intervensi non farmakologis yang dapat diberikan pada
nyeri akut adalah intervensi fisik (kompres hangat dingin, pijatan,
stimulasi syaraf melalui elektrikal transkutan), intervensi
komplementer (relaksasi, membayangkan, distraksi), intervensi
psikologis (terapi kognitif, terapi behavioral, biofeed back) (Hartjes
dkk, 2016).
b. Mengurangi Kecemasan
Obat penenang adalah depresan yang tergolong pada kelompok obat yang
disebut 'benzodiazepine'. Obat-obat ini diresepkan oleh para dokter untuk
mengurangi stres, kecemasan, untuk membantu orang tidur dan kegunaan
17

kedokteran lainnya. Kegunaan Benzodiazepine saat ini terutama untuk


penyebab penyakit yang dihubungkan dengan gangguan psikiatri dan non
psikiatri seperti kesulitan tidur, menghilangkan kecemasan, pengobatan
delirium tremens, sedasi sebelum proses operasi, untuk menghilangkan kejang
epilepsi dan juga pada spasme otot. Enzodiazepin dapat digunakan untuk
delirium yang disebabkan oleh withdrawal alkohol atau benzodiazepin. Obat
yang menjadi pilihan adalah lorazepam 0,5–1 mg, dapat diulang 1–2 jam sesuai
kebutuhan secara per oral atau intravena(Lutfiani, 2011).
c. Kontrol Penggunaan Obat Sedasi
Tiga tujuan utama terapi delirium yaitu (Menkes RI, 2015):
1. Mencari dan mengobati penyebab delirium (diperlukan pemeriksaan fisik
yang cermat dan pemeriksaan penunjang yang adekuat. Pemeriksaan darah
lengkap, elektrolit, analisis gas darah, fungsi hati, dan fungsi ginjal, serta
EEG atau pencitraan otak bila terdapat indikasi disfungsi otak).
2. Memastikan keamanan pasien
3. Mengobati gangguan perilaku terkait dengan delirium, misalnya agitasi
psikomotor.
a) Terapi farmakologi untuk mengatasi delirium
Sangat bijak bila tidak lagi menambahkan obat pada obat yang sudah
didapat oleh pasien (biasanya pasien sudah mendapat berbagai obat dari
sejawat lain) kecuali ada alasan yang sangat signifikan misalnya agitasi
atau psikotik (dicatat di rekam medik alasan penggunaan obat).
Interaksi obat harus menjadi perhatian serius.
Penggunaam antiprikotika harus dimulai dengan dosis rendah dan
ditingkatkan secara bertahap jika diperlukan. Pemberian antipsikotika
juga dapat dipertimbangkan bila ada tanda dan gejala psikosis, misalnya
halusinasi, waham atau sangat agitatif (verbal atau fisik) sehingga
berisiko terlukanya pasien atau orang lain. Berikut ini pemberian terapi
dengan delirium(Menkes RI, 2015):
1. Haloperidol mempunyai rekam jejak terpanjang dalam mengobati
delirium, dapat diberikan per oral, IM, atau IV..
18

2. Dosis Haloperidol injeksi adalah 2-5 mg IM/IV dan dapat diulang


setiap 30 menit (maksimal 20 mg/hari).
3. Efek samping parkinsonisme dan akatisia dapat terjadi.
4. Bila diberikan IV, dipantau dengan EKG adanya pemanjangan
interval QTc dan adanya disritmia jantung
5. Pasien agitasi yang tidak bisa menggunakan antipsikotika (misalnya,
pasien dengan Syndrom Neuroleptic Malignance) atau bila tidak
berespons bisa ditambahkan benzodiazepin yang tidak mempunyai
metabolit aktif, misalnya lorazepam tablet 1–2 mg per oral.
Kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan pernafasan.
b) Terapi non-farmakologi dengan pasien delirium, yaitu(Menkes RI,
2015):
1. Psikoterapi suportif yang memberikan perasaan aman dapat
membantu pasien menghadapi frustrasi dan kebingungan akan
kehilangan fungsi memorinya.
2. Perlunya reorientasi lingkungan, misalnya tersedia jam besar
3. Memberikan edukasi kepada keluarga cara memberikan dukungan
kepada pasien
d. Koreksi Kondisi Fisiologis Akibat Penyakit Kronis
penderita yang mengalami sindrom delirium disebabkan penyakit dasar
terbanyak adalah CVA (cerebral vascular attack) sebesar 56,7 %. Hal ini
dikarenakan banyak penyakit dasar seperti (diabetas melitus, emboli,
thrombosis) yang menjadi penyebab terjadinya CVA (cerebral vascular attack).
Pada penderita CVA (cerebral vascular attack) infark sering terjadi penekanan
pada lobus parietal kanan dan medial dorsal thalamus, sehingga menyebabkan
delirium dengan hasil rekaman EEG (electroencephalogram) menunjukkan
gambaran simetrik lambat serta gambaran yang tidak spesifik yang menunjang
penyebaran disfungsi cerebral. gangguan pasokan darah ke otak. Hal ini dapat
disebabkan oleh iskemia (kekurangan aliran darah) yang disebabkan oleh
penyumbatan (trombosis, emboli arteri), atau perdarahan (kebocoran darah).
Sehingga daerah otak yang terkena tidak berfungsi. Stroke atau CVA adalah
hilangnya fungsi otak secara cepat, seperti ketidakmampuan untuk
19

memindahkan satu atau lebih anggota badan pada satu sisi tubuh,
ketidakmampuan untuk memahami atau merumuskan suatu masalah, dan
ketidakmampuan untuk melihat satu sisi dari bidang visual. Dari ketiga tanda-
tanda tersebut merupakan ciri-ciri pasien terkena sindrom delirium( Sunarti,
dkk. 2015)
menyebabkan gangguan pada saraf tepi meliputi gangguan pada saraf
motorik, sensorik dan otonom. mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah
yaitu adanya perfusi ke jaringan saraf yang menurun dan terjadi perlambatan
konduksi saraf. mengalami penurunan fungsi persepsi sensori (sistem
penglihatan) (Purwanti L, 2016)
e. Penatalaksanaan Penyakit Kronis yang Mendukung
Program Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan status
kesehatan para lansia khususnya dengan penyakit kronis adalah peningkatan
dan pemantapan upaya kesehatan para Lansia di pelayanan kesehatan primer,
khususnya Puskesmas dan kelompok Lanjut Usia (Posyandu lansia atau Pos
Binaan Terpadu) melalui konsep Puskesmas Santun Lansia. Tujuan dari
program ini adalah melakukan perencanaan lebih terarah dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan pada lansia sesuai kebutuhan. Pelayanan yang proaktif
dan komprehensif serta berkualitas pada lansia. Memberikan kemudahan lansia
mendapatkan pelayanan kesehatan, menurunkan jumlah kesakitan dan
kematian akibat berbagai penyakit, terutama akibat penyakit kronis degeneratif
dan meningkatkan kualitas hidup lansia sehingga selalu produktif dan bahagia
(Zulfitri, 2016).
20

1.9 Pathway
21

1.10 Zat Psikoaktif


Zat psikoaktif adalah zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan
perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran. Zat psikoaktif merupakan zat yang
memiliki efek psikologis yang beredar secara luas di masyarakat, baik yang
digunakan secara sengaja ataupun tidak (Ditjen PP, 2010).
Zat psikoaktif sering disebut sebagai NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan
Zat Adiktif lain), yaitu bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia
akan memengaruhi tubuh terutama otak/ susunan saraf pusat, sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi
kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA.
Ada 3 kelompok besar dari zat psikoaktif yang disalahgunakan, yaitu:
1. Depresan
Depresan adalah obat yang menghambat atau menekan aktivitas SSP, obat
ini mengurangi rasa tegang dan cemas, menyebabkan gerakan melambat
dan merusak proses kognitif. Contoh depresan: alkohol, barbiturate,
benzodiazepine, dan opioid.
2. Stimulan
Stimulan merupakan obat yang meningkatkan aktivitas SSP. Beberapa jenis
obat ini menyebabkan perasaan euforia dan percaya diri. Contoh stimulan:
amfetamin, ekstasi, kokain dan nikotin
3. Halusinogen
Halusinogen adalah obat yang menghasilkan distorsi sensoria atau
halusinasi, termasuk perubahan besar dalam persepsi warna dan
pendengaran. Contoh halusinogen: Lysergic acid diethylamide (LSD),
phencyclidine (PCP) dan marijuana
Menurut American Psychiatric Association (APA), penyalahgunaan zat
psikoaktif mempunyai kriteria bahwa pemakaian zat-zat dilakukan secara berkala
dan berkesinambungan dalam jangka waktu pemakaian minimal 12 bulan. Zat-zat
yang disalahgunakan termasuk alkohol, amphetamine (stimulan sintetis), kafein,
ganja, kokain, halusinogen, inhalant, nikotin, opium, fensiklidin dan obat
penenang.
22

1.11 Delirium yang Diinduksi Zat Psikoaktif


Delirium pada putus alkohol merupakan bentuk putus zat yang paling parah
dan juga disebut sebagai delirium tremens (DT). Delirium pada putus alkohol
merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang dapat mengakibatkan morbiditas
dan mortalitas yang sangat signifikan. Pasien delirium dapat membahayakan
dirinya dan orang lain, karena pada pasien delirium pasien dapat menyerang atau
bunuh diri atau bertindak sesuai halusianasi atau pikiran wahamnya seolah-olah
dirinya dalam keadaan berbahaya. (Gunther dkk., 2008)
Delirium pada intoksikasi alkohol mencakup hiperaktivitas otonom seperti
takikardi, daforesis, demam, ansietas, insomnia, hipertensi, distorsi presepsi (paling
sering dalam keadaan halusinasi visual dan taktil), dan tingkatan aktifitas
psikomotor yang berfluktuasi. Sedangkan pada delirium yang diakibatkan oleh
penggunaan amfetamin biasanya muncul akibat dari penggunaan dosis yang terlalu
tinggi atau terus menerus sehingga deprivasi tidur mempengaruhi tampilan klinis.
Delirium akibat intoksifikasi kanabis ditandai dengan hendaya kognisi dan tugas
perfoma yang nyata. Bahkan dosis sedang kanabis juga daoat mengganggu tingkat
kesadaran pengguna menimbulkan efek nyata pada pengukuran kognitif. (Gunther
dkk., 2008)
Kriteria diagnosis dilerium karena intoksikasi zat (DSM IV-TR)
a. Gangguan Kesadaran (Penurunan tingkat kewaspadaan terhadap keadaan
sekitar) disertai dengan penurunan kemampuan memusatkan,
mempertahankan, atau mengalihkan perhatian
b. Perubahan Kemampuan Kognitif (Seperti penurunan daya ingat,
disorientasi, gangguan berbahasa dan presepi) atau pembentukkan
gangguan presepsi yang bukan dikarenakan sebelumnya ada, menetap, dan
merupakan dementia
c. Gangguan ini terjadi dalam waktu yang singkat (biasanya dalam beberapa
jam atau hari) dan endering berubah-ubah sepanjang hari
d. Adanya bukti dari riwayat pemeriksaan fisik atau temuan menunjukan
bahwa gangguan ini:
1. Gejala pada a dan b berkembang selama intoksikasi zat
23

2. Penggunaan intoksikasi disini untuk mengatasi penyebab yang ada


hubungannya dengan gangguannya
Intoksikasi zat yang menimbulkan delirium antara lain alkohol,
amfetamin, kanabis (ganja), kokain, halusinogen-inhalan, opioid,
hipnotik, anxiolitik dan sebagainya (APA, 2000)

Kriteria diagnosis delirium karena putus zat (DSM IV-TR)


a. Gangguan Kesadaran (Penurunan tingkat kewaspadaan terhadap keadaan
sekitar) disertai dengan penurunan kemampuan memusatkan,
mempertahankan, atau mengalihkan perhatian
b. Perubahan Kemampuan Kognitif (Seperti penurunan daya ingat,
disorientasi, gangguan berbahasa dan presepi) atau pembentukkan
gangguan presepsi yang bukan dikarenakan sebelumnya ada, menetap, dan
merupakan dementia
c. Gangguan ini terjadi dalam waktu yang singkat (biasanya dalam beberapa
jam atau hari) dan endering berubah-ubah sepanjang hari
e. Adanya bukti dari riwayat pemeriksaan fisik atau temuan menunjukan
bahwa gangguan ini berkembang selama atau dalam waktu singkat sesudah
sindroma putus zat (APA, 2000)
24

BAB 2. ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
2.1.1 Pengkajian
a. Identitas diri
(Menyesuaikan Kasus)
b. Keluhan Utama
Keluhan yang umumnya timbul berdasarkan kriteria diagnosis yakni
(Kepmenkes, 2015):
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2. Perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia).
3. Gangguan Psikomotor berupa hipoaktivitas atau hiperaktivitas,
pengalihan aktivitas yang tidak terduga, waktu bereaksi yang lebih
panjang, arus pembicaran yang bertambah atau berkurang, reaksi
terperanjat yang meningkat.
4. Gangguan siklus tidur berupa insomnia, atau pada kasus yang berat tidak
dapat tidur sama sekali atau siklus tidurnya terbalik yaitu mengantuk
siang hari. Gejala memburuk pada malam hari dan mimpi yang
mengganggu atau mimpi buruk yang dapat berlanjut menjadi halusinasi
setelah bangun tidur.
5. Gangguan emosional berupa depresi, ansietas, takut, lekas marah,
euforia, apatis dan rasa kehilangan akal.
c. Riwayat
1. Faktor Predisposisi
a) Delirium terjadi apabila ada gangguan structural (anatomis) atau
neurokimiawi pada pusat saraf yang bertanggung jawab pada
kesadaran dan perhatian, pusat kesadaran yaitu ascending reticular
25

activating system (RAS) dan proyeksi bilateral pada thalamus, sedang


perhatian merupakan fungsi dari input neurocortical dan limbic ke
sistem tersebut. Neurotransmitter primer dalam RAS adalah
asetilkolin, sehingga medikasi misalnya obat-obat yang berefek
antikolinergik, atau kondisi yang mengganggu konsentrasi asetilkolin
di pusat tersebut dapat menyebabkan munculnya delirium.
Neurotransmitter lain (dopamine) merupakan fasilitator efek eksitasi
neuron dalam system saraf pusat pada mekanisme terjadinya agitasi,
yang mana pelepasan dopamine akan meningkat pada adanya
gangguan metabolism oksidatif (misalnya kondis hipoksik pada
neuron dopaminergik) Pada pasien dengan sepsis berat dan shock
septik yang disertai delirium terjadi gangguan autoregulasi
serebrovaskuler, ini dapat dideteksi dengan Doppler sonografi
(Widodo, U., 2014)
b) Mediator inflamasi, mediator inflamasi seperti TNF-Ƚ , IL-1, dan lain-
lain sitokin dan kemokin mempunyai kontribusi dalam proses patologi
kerusakan endothelial, pembentukan thrombin dan disfungsi
mikrovaskuler dalam system saraf pusat dan berkontribusi untuk
terjadinya delirium(Widodo, U., 2014)
c) Gangguan metabolism oksidatif. Menurut hipotesis ini bahwa
delirium diakibatkan oleh insufi siensi serebral yang terjadi secara
sekunder dari gangguan oksidatif.(Widodo, U., 2014)
d) Tingginya asam amino netral. Peningkatan ambilan (uptake) triptofan
dan tirosin oleh sel-sel otak maka akan meningkatkan kadar serotonin,
dopamine dan norepinefrin dalam system saraf pusat. Perubahan
ketersediaan asam-asam amino ini meningkatkan risiko terjadinya
delirium(Widodo, U., 2014).
2. Faktor Risiko
Adapun kelompok factor risiko yang berkaitan dengan terjadinya
delirium-agitasi pada pasien-pasien di ICU (Widodo, U., 2014):
26

a) Sifat sakit ( acute physiologic of illness) : hiper-hiponatremia, hiper-


hipoglikemia, hiper-hipotiroidism, hiper-hipotermia, BUN/Creatinin
ratio, gagal ginjal,patologi hepar, shock kardiogenik,hipoksia.
b) Kondisi yang ada sebelumnya (chronic physiologic of illness) : umur
> 70 th,pindah dari rawat rumah, riwayat-riwayat: depressi, dementia,
stroke, kejang, pemabuk (alcohol), overdosis obat, gagal, jantung, HIV,
dan malnutrisi
c) Lingkungan (iatrogenic): Pemberian obat psikoaktif, nutrisi melalui
pipa (NGT), terpasangnya kateter urin atau kateter rectal, kateter vena
sentral, pengekangan fisik

D. Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran : E3V4M5
2. Tekanan darah/nadi : 140/90 mmHg
3. Nadi : 68 x/menit
4. Laju respirasi : 20 x/menit
5. Suhu Axilla : 36,00C
6. Antropometri
Berat badan : 29 kg
Tinggi badan : 150 cm
BMI : 13 kg/m2
Tinggi lutut : - cm
Lingkar lengan atas : 15 cm (kanan dan kiri)
Kesimpulan : Gizi Buruk
7. Kulit
Kekeringan : Tidak Ada
Bercak kemerahan : Tidak ada
Lesi kulit lain : Tidak ada
Curiga keganasan : Tidak ada
Dekubitus : Tidak ada
27

8. Pendengaran
Dengar suara normal : Ya
Pakai alat bantu dengar : Tidak ada
9. Penglihatan
Membaca huruf koran dengan kacamata : Tidak
Jarak penglihatan : Memendek
Jarak baca : Memendek
Katarak : Tidak ada
Temuan funduskopi : Tidak dievaluasi
Anemis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Refleks pupil : +/+ Isokor
Edema palpebra : Tidak ada
10. Mulut
Hygiene mulut : Kurang
Gigi palsu : Tidak ada
Gigi palsu terpasang baik : Tidak ada
Lesi di bawah gigi palsu : Tidak ada
Kelainan yang lain : Tidak ada
11. Leher
Derajat gerak : Normal
Kelenjar tiroid : Normal
Bekas luka pada tiroid : Tidak ada
Massa lain : Tidak ada
Kelenjar limfa membesar : Tidak ada
JVP : PR + 0 cmH2O
12. Thorax
Massa teraba : Tidak ada
Kelainan lain : Tidak ada
13. Paru
Inspeksi : Simetris
Palpasi : N/N
28

Perkusi : Sonor / Sonor


Auskultasi suara dasar : Vesikuler +/++/++/+
14. Auskultasi suara tambahan : Ronki +/+ Wheezing -/- +/+ -/-+/+ -
/-
15. Jantung dan pembuluh darah
Irama : Reguler
Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba MCL
16. sinistra ICS V
Perkusi : Batas atas: ICS II,
batas kiri : MCL S ICS V,
batas kanan : PSL D
Bising : Tidak ada
Gallop : Tidak ada
Bising A. Karotis :Tidak ada
Bising A. Femoralis : Tidak ada
17. Denyut A. Dorsalis pedis : Teraba
Edema pedis : Tidak ada
Edema tibia : Tidak ada
Edema sacrum : Tidak ada
18. Abdomen
Bising : Normal
Hati membesar : Tidak ada
Massa perut : Tidak ada
Limpa membesar : Tidak ada
19. Otot dan kerangka
Deformitas : Tidak Ada
Gerak terbatas : Ada
Nyeri : Tidak Ada
Benjol/ radang : Tidak Ada
20. Saraf
Penghidu :Kesan normal
29

Ketajaman penglihatan :Tidak Normal


Lapangan penglihatan : Kesan normal
Fundus : Tidak dievaluasi
Pupil : Kesan normal
Ptosis : Tidak ada
Nistagmus : Tidak ada
Gerakan bola mata : Kesan normal
Sensasi kulit occuli : Kesan normal
Sensasi kulit mandibularis : Kesan normal
Sensasi kulit maksilaris : Kesan normal
Otot mengunyah : Kesan normal
Refleks kornea : Normal
Jerk jaw : Tidak ada
Saraf muka simetris : Normal
Kekuatan otot wajah : Normal
Pendengaran : Normal
Uvula : Normal
Refleks trapesius : Kesan normal
Otot trapesius : Normal
Sternokleidomastoideus : Normal
Lidah : Normal
21. Motorik
Anggota tubuh atas Kekuatan Tonus Refleks
Bahu (5)/(5) (N)/(N) (+)/(+)
Siku (5)/(5) (N)/(N) (+)/(+)
Pergelangan tangan (5)/(5) (N)/(N) (+)/(+)
Anggota tubuh bawah
Paha (5)/(5) (N)/(N) (+)/(+)
Lutut (5)/(5) (N)/(N) (+)/(+)
Pergelangan kaki (5)/(5) (N)/(N) (+)/(+)
22. Sensorik
Anggota tubuh atas Anggota tubuh bawah
30

Tajam (Nyeri) kanan (+) kiri (+) kanan (+) kiri (+)
Raba kanan (+) kiri (+) kanan (+) kiri (+)
Getar kanan (+) kiri (+) kanan (+) kiri (+)
Suhu kanan (+) kiri (+) kanan (+) kiri (+)
23. Koordinasi
Jari ke hidung : Normal
Tumit ke lutut : Normal
E. Psikososial
Karena gangguan yang umumnya muncul pada pasien delirium
seperti gangguan kognisi dan kesadaran membuat perubahan
presepsi seseorang seperti klien menganggap bahwa keluarga yang
paling penting dan orang lain tidak penting.
F. Status Mental
a. Klien mengalami keglisahan dan agitasi
b. Berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap lingkungan
yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
c. Klien mengalami defisit memori
d. Klien mengalami perubahan presepsi
e. Klien berbicara keras, cepat dan inkoheren
f. Klien mengalami halusinasi penglihatan pendengaran
G. Kebutuhan Klien Sehari-hari
1. Klien mengalami penurunan nafsu makan
2. Klien mengalami gangguan dalam pemenuhan tidur seperti
terbangung di tengah malam dan sulit untuk tidur lagi. Tidurnya
terganggu sepanjang malam, sehingga tidak merasa segar dipagi
hari yang ditandai adanya klien tampak mengantuk, mata merah.
3. Klien terganggu dalam hal eliminasi sehingga harus dibantu dan
kadang-kadang ngompol dan maupun konstipasi karena tidak
mau BAB
31

b. Diagnosa
No Data Etiologi Masalah
.
1. DS : Delirium Konfusi
1. Keluarga mengatakan bahwa klien Akut
kadang melihat bayangan yang Gangguanneurologis
mendekati dirinya di setiap ruangan
yang bercahaya minimal. Gangguanpersepsi
2. Keluarga kadang memegangi klien
dikala sedang gelisah dan tidak enak Halusinasi
duduk dan tidur serta berkeinginan
untuk melepaskan jarum infus yang Disorganisasi dan
terpasang tidak masuk akal

Meyakini bahwa
DO :
perubahan persepsi
1. Usia klien 68 tahun sensorinya nyata
2. Klien ketika didekati perawat
mengatakan bahwa ditempat
terpasangnya infuse ada kecoa yang
hinggap.
3. Klien Nampak gelisah, berontak,
ngomel-ngomel, tidak enak duduk dan
tidak enak tidur, mata merah
4. Kontak mata klien saat bertatap muka
kurang dan kadang salah
mengucapkan namanya bila diajak
berkenalan dan sering tidak fokus saat
diajak bicara
32

2. DS : Delirium Hambatan
1. Keluarga mengatakan klien kadang- Interaksi
kadang berbicara sendiri dengan nada Gangguankognitif sosial
yang agak keras
2. Keluarga mengatakan klien sudah Gangguan proses
tidak berhubungan dengan orang- piker dangangguan
orang disekitarnya lagi akhir-akhir ini komunikasi
DO :
1. Saat perawat mencoba berinteraksi Kegagalan
dengan klien, klien kurang rasa mempertahankan
percayapada orang lain, sukar komunikasi dengan
berinteraksi dengan orang lain, orang lain
komunikasi yang tidak realistik,
kontak mata yang kurang. Harga diri rendah

Menarik diri (isos)


3. DS : Delirium Ketidakseim
1. Keluarga mengatakan sudah dua hari bangan
ini klien tidak mau makan dan kalau Kerusakankognitif nutrisi
mau hanya bisa menghabiskan makan kurang dari
dua atau tiga suap nasi yang disajikan Gangguan proses kebutuhan
DO : piker dan komunikasi tubuh
1. Berat badan menurun,
2. Membrane mukosa keringdan Putusasa
3. Terjadi kelemahan
Merasa tidak berharga

Tidak nafsu makan

Asupan diet kurang


33

4. DS : Delirium Defisit
1. Keluarga mengatakan klien sudah dua perawatan
hari belum mandi Gangguan fungsi diri
2. Klien kadang-kadang masih ngompol kognitif
dan kadang bilang kalau ingin kencing
dengan menggunakan pispot Keterbatasan aktivitas
DO :
1. Penampilan kurang rapi dan muka Kemauan perawatan
agak kusut kebersihan diri
2. Celana Nampak basah menurun
3. Bau badan klien kurang sedap
Penampilan tidak rapi

1. Konfusi akut b.d gangguan kognitif, gangguan presepsi d.d klien sering
berhalusinasi, klien terlihat gelisah, kontak mata klien saat bertatap muka kurang
dan sering tidak fokus saat diajak berbicara
2. Hambatan interaksi sosial b.d gangguan proses pikir dan kendala komunikasi d.d
keluargamengatakanklienkadang-kadang berbicara sendiri dengan nada yang agak
keras, keluarga mengatakan klien sudah tidak berhubungan dengan orang-orang
disekitarnya lagi akhir-akhir ini, klien kurang rasa percayapada orang lain, kontak
mata yang kurang saat diajak berbicara
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan diet kurang d.d
keluarga mengatakan sudah dua hari ini klien tidak mau makan dan kalau mau
hanya bisa menghabiskan makan dua atau tiga suap nasi yang disajikan, mukosa
bibir kering, BB klien menurun
4. Defisit perawatan diri b.d kelemahan d.d keluarga mengatakan klien sudah dua hari
belum mandi, klien kadang-kadangmasihngompol, penampilan kurang rapi, bau
badan yang kurang sedap
34

2.3 Intervensi Keperawatan


N Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
o
1. Konfusi akut b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Halusinasi (6510) :
gangguan kognitif selama 2x24 jam, masalah konfusi 1. Catat perilaku klien yang
akut dapat teratasi dengan kriteria menunjukan halusinasi
hasil : 2. Bangun hubungan
1. Tingkat Delirium (0916) : interpesonal dan saling
a. Halusinasi percaya dengan klien
b. Gangguan memori 3. Berikan klien kesempatan
c. Gangguan kognisi untuk mendiskusikan
halusinasinya
4. Fokuskan diskusi
mengenai perasaan yang
mendasari daripada isi
halusinasi
5. Monitor status fisik klien
6. Libatkan klien dalam
aktivitas berbasis realitas
yang mungkin
mengalihkan perhatian
dari halusinasi
2. Hambatan interaksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan Peningkatan sosialisasi (5100) :
sosial b.d gangguan selama 2x24 jam, masalah hambatan 1. Anjurkan kegiatan sosial
proses pikir dan interaksi sosial dapat teratasi dengan dan masyarakat
kendala komunikasi kriteria hasil : 2. Minta dan harapkan
1. Keterampilan interaksi sosial komunikasi verbal
(1502) : 3. Rujuk pasien pada
a. Menggunakan perilaku asertif kelompok keterampilan
yang tepat interpersonal atau
b. Terlibat dengan orang lain program dimana
pemahaman mengenai
35

c. Menunjukan penerimaan transaksi dapat


terhadap orang lain ditingkatkan secara tepat
d. Menunjukan sikap tenang 4. Bantu meningkatkan
kesadaran pasien
mengenai kekuatan dan
keterbatasan keterbatasan
dalam berkomunikasi
dengan orang lain.
5. Anjurkan pasien untuk
mengubah lingkungannya.
3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Nutrisi (1100) :
nutrisikurangdarike selama 2x24 jam, 1. Instruksikan pasien
butuhantubuh b.d masalahKetidakseimbangannutrisikur mengenai kebutuhan
asupan diet kurang angdarikebutuhantubuh dapat teratasi nutrisi
dengan kriteria hasil : 2. Tentukan jumlah kalori
1. Status Nutrisi (1004) : dan jenis nutrisi yang
a. Asupan Gizi dibutuhkan untuk
b. Asupan Makanan memenuhi persyaratan
c. Asupan cairan gizi
d. Energi 3. Berikan pilihan makanan
e. Rasio berat badan atau tinggi sambil menawarkan
badan bimbingan terhadap
pilihan makanan yang
lebih sehat, jika
diperlukan
4. Tawarkan makanan ringan
yang padat gizi
5. Monitor kecenderungan
terjadinya penurunan dan
kenikan berat badan
6. Pastikan diet mencakup
makanan tinggi
36

kandungan serat untuk


mencegah konstipasi
4. Defisit perawatan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Bantuan perawatan diri :
diri b.d kelemahan selama 2x24 jam, masalah defisit Mandi / Kebersihan (1801) :
perawatan diri dapat teratasi dengan 1. Fasilitasi pasien untuk
kriteria hasil : mandi sendiri dengan
1. Perawatan Diri : Kebersihan (0305) tepat
: 2. Jaga ritual kebersihan
a. Membersihkan area perineum 3. Monitor kebersihan kuku,
b. Mempertahankan kebersihan sesuai dengan kemampuan
tubuh merawat diri pasien
c. Mempertahankan penampilan 4. Berikan bantuan sampai
yang rapi pasien benar-benar
mampu merawat diri
secara mandiri

2.4 Evaluasi

No. Diagnosa Evaluasi Paraf

1. Konfusi Akut S: klien mengatakan masih melihat £


bayangan yangmendekatinya
ketika ruangan terasa gelap
O:klien tampak gelisah, kontak
mata kurang dan terkadang sulit
fokus saat diajak berkomunikasi
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
2. Hambatan Interaksi S: keluarga mengatakan klien £
Sosial kadang-kadang masih berbicara
sendiri
O: kontak mata kurang, masih sulit
berinteraksi dengan orang lain
37

A: masalah teratasi sebagian


P: lanjutkan intervensi
3. Ketidakseimbangan S: keluarga mengatakan bahwa klien £
nutrisi kurang dari masih sulit makan, hanya
kebutuhan tubuh beberapa sendok
O: badan klien terlihat lemah
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
4. Defisit Perawatan Diri S: keluarga mengatakan bahwa klien £
sudah bisa BAK menggunakan
pispot
O: penampilan klien terlihat lebih
rapi meskipun masih dibantu
oleh keluarga, sudah tidak
tercium bau yang kurang sedap
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
38

DAFTAR PUSTAKA

Adiwinata, R., dkk. 2016. Angka Kejadian Delirium dan Faktor Risiko di Intensive
Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Anestesi
Perioperatif . Vol 4 (1). Hal 36-41. Universitas Padjajaran : Fakultas
Kedokteran

American Psychiatric Association. 2016. Diagnostic and statistical manual of


mental disorders. (4th ed.,textrevision). Washington D. C.

Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
420/Menkes/SK/ii/2010. Pedoman Layanan Terapi Dan Rehabilitasi
Komprehensif Pada Gangguan Penggunaan Napza Berbasis Rumah Sakit.
Hal: 1-92

Grover, S., Avasthi, A. 2018. Clinical Practice Guidelines for Management of


Delirium in Elderly. Indian Journal of Psychiatry. Vol.60 (3): 329-240.

Harrington, C.J., Vardi, K. 2014. Delirium: Presentation, Epidemiology, and


Diagnostic Evaluation (Part 1). Identifying and Managing Psychiatric
Emergencies.

Hartjes Tonja M,. Meece L., Horgas Ann L. 2016. Asseing and Managing Pain,
Agitation, and Delirium in Hospitalized Older Adults. American Journal of
Nursing. 116(10):38-46

Ibrahim, K., dkk. 2018. Delirium in the Cardiac Intensive Care Unit. Journal of the
American Heart Association. America : Wiley

Kocabasoglu.N., G.Karacetin.,R.Bayar dan T.Demir. 2012. A Review Of The


Etiology Delirium. Epidemiology insights

Lutfiani, I. M. 2011. Produksi program news investiagsi intip (investigasi tiap


pekan) episode “penyalahgunaan obat penenang”. Skripsi. Semarang:
fakultas ilmu computer. Universitas dian nuswantoro
39

Menteri Kesehatan RI. 2015. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. 26


Februari 2015. Jakarta.

Menteri Kesehatan RI, 2015. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor HK. 02/MENKES/73/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Jiwa

Nanda.2018. Nanda-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-2020.


Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Pedoman Klinis NICE. 2010. Delirium: diagnosis, pencegahan dan manajemen

Purwanti, L, Maghfirirah S.. 2016. Faktor resiko kompilkasi kronis (kaki diabetes )
dalam diabetes meliitus tipe 2. The indonesian jurnal of health science.

Sunarti, Sti., Rahayu, Masturoh., Desetyaputra, D.R. 2015. Profil pasien geriatri
dengan delirium di rumah sakit umum saiful anwar malang periode januari
2005 sampai juni 2010. Mnj. vol 1 No 2: 61-67

Wahyu, S., Wijanarko, W., Galih,W., Azhari., Maharani, P., Vitriana,V., Tria, A.,
Agung, D., Umayah, S., Stiyani, L., Fatchin. 2016. Asuhan Keperawatan
Pada Lansia dengan Gangguan
Delirium.https://www.academia.edu/36355630/Asuhan_Keperawatan_Pad
a_Lansia_Dengan_Gangguan_Delirium. (diakses tanggal 20 Mei 2019)

Widyastuti, K. 2017. Delirium.Denpasar :FakultasUnud/Sanglah Denpasar.

Widyastuti, K. dan Mahasena. 2017. Delirium.


http://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/84f792be708bd93a
0e18dde1c592ca79.pdf. [Diakses pada 20 Mei 2019].
Widodo, U. 2014. Nyeri, Agitasi, dan Delirium pada Pasien Kritis di Intensive Care
Unit (ICU). Jurnal Komplikasi Anestesi. 1 (3)

Widyastuti, K. 2017. Delirium. Program Studi Neurologi FK UNUD.

Zulfitri, R. 2015. Analisis Kebijakan Pelayanan Kesehatan Primer Dalam Manajemen


Penatalaksanaan Penyakit Kronis Lansia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas:
Program Studi S-1 Kesehatan Masyarakat.
40

Anda mungkin juga menyukai