Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Al Qabisi

Al-Qabisi memiliki nama lengkap “Abu al-Hasan bin Muhammad bin


Khalaf, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Qabisi, seorang ahli
fiqih dari golongan Qairawan.1 Ia dilahirkan pada tahun 935 M. dan
meninggal dunia pada tahun 1012 M. Ibn Khalikan berpendapat, al-
Qabisi dilahirkan pada hari Senin setelah hari hari yang kedua bulan Rajab tahun
324 H. Sedangkan al-Sayuthi, Ibn al-Imad al-Hanbali ibn Fadhlullah al-Umari,
dan Abd al-Rahman tidak menyebutkan tentang hari kelahirannya, akan tetapi
mereka sepakat bahwa al-Qabisi dilahirkan pada tahun 324 H. bertepatan dengan
935 M.2
Menurut catatan sejarah, bahwa pada masa khalifah Umar bin Khaththab
tentara Islam telah sampai ke Afrika Utara bagian Tarablis yang dipimpin oleh
Amru bin Ash, kemudian dilanjutkan pada masa khalifah Utsman bin Affan yang
dipimpin oleh Abdullah bin Said bin Abi Sarah. Pada masa inilah tentara Islam
telah sampai ke Qairawan kota kelahiran al-Qabisi. Penaklukan Afrika Utara
berakhir pada masa Khalifah Muawiyah, khalifah mengutus 10.000 tentara kaum
muslimin yang dipimpin oleh Uqbah bin Nafi’. Ketika Abdul Malik bin Marwan
diangkat menjadi Khalifah ia mengutus Zuhair bin Qais untuk memerangi suku
Barbar, kemudian Zuhair kembali memasuki Afrika dan Qairawan, kemudian
Abdul Malik bin Marwan memerintahkan Hasan bin Ni’man al-Ghasani untuk
memperkuat tentara kaum muslimin dan menetap tinggal di sana bersama kaum

1 Abu al-Falah „Abd al-Hayy ibn al-„Imad al-Hanbali, Syadzarat al-Dzahab fi


Akhbar Man Dzahab, Jilid 3, (t.t. : Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 169

2 Ahmad Fu`ad al-Ahwani, Al-Tarbiyah al-Islamiyah aw al-Ta’lim fi Ra`y al-


Qabisi, (Cairo : Dar Ihya` al-Kutub al-„Arabiyah, 1955), hlm. 21-25

1
muslimin lainnya untuk berkhidmat bagi negeri tersebut dan menyiarkan agama
Islam. Maka kaum muslimin yang pertama membawa Islam dan berkhidmat di
Afrika Utara ialah mereka yang terdiri dari para sahabat Nabi dan para tabi’in
besar, seperti Abdullah bin Abi Sarah, Ma’bad bin Abbas bin Abdul Muthalib,
Marwan bin Hakim bin Abi Ash bin Umaiyah, Haris bin Hakim, Abdullah bin
Zubair bin Awam, Abdullah bin Umar ibn Khaththab dan Abdurrahman bin Abi
Bakr.
Penyebarluasan Islam yang dilakukan oleh kaum muslimin ke negara-negara
yang belum Islam, baik sejak dari Nabi Muhammad SAW. dan para khalifah
sesudahnya, senantiasa memberikan ketenangan dan menjadi rahmat bagi suatu
wilayah yang dikuasainya. Oleh sebab itu, selama Islam masih berkuasa di suatu
negara atau wilayah, negara tersebut akan senantiasa kondusif dalam tataran
masyarakat yang Islami, sehingga mewarnai seluruh aktivitas masyarakat, dan
tidak dapat dinafikan bahwa lingkungan yang agamis ketika itu memberikan
kontribusi yang positif bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam,
sekaligus akan mewarnai pendidikan secara keseluruhan. Oleh sebab itu, nilai-
nilai pendidikan senantiasa bernuansakan Islami, tidak heran jika al-Qabisi,
sebagaimana anak-anak yang lainnya, mempelajari ilmu-ilmu agama terlebih
dahulu dan penanaman akhlak-akhlak yang mulia sejak dini, seperti mempelajari
shalat, menghafal al-Qur'an dan lain sebagainya.
Namun, tidak berhenti di situ saja, sudah menjadi tradisi di zaman ini,
bahwa para penuntut ilmu senantiasa melakukan perjalanan atau rihlah ke luar
daerah baik ke negeri Timur, seperti Makkah dan Madinah maupun ke negeri
Barat seperti Andalusia atau Spanyol untuk menemui ulama-ulama yang ahli di
bidangnya dan mereka mempelajari ilmunya sesuai dengan keahlian yang mereka
inginkan secara berhadapan langsung.3 Al-Qabisi sendiri, menurut catatan
sejarah, melakukan hijrah ke negeri Timur, yakni Makkah dan Madinah, di

3 Husain Abdul „Ali, Al-Tarbiyah al-Islamiyah fi Qarni al-Rabi’ al-Hijri, (Beirut


: Dar al-Fikri al-Arabi, t.th.), hlm. 156

2
samping menuntut ilmu, beliau juga menunaikan ibadah haji. Dalam
perjalanannya ke Timur al-Qabisi juga singgah dan menetap beberapa waktu di
Iskandariyah dan Mesir untuk menuntut ilmu.
Di Mekah, beliau mempelajari ilmu fiqh dan hadis Bukhari melalui ulama
terkenal Ali Abu al-Hasan bin Ziyad al-Iskandari salah seorang ulama yang
termashur dalam meriwayatkan Imam Malik. Hal inilah yang membuat ia menjadi
seorang ahli fiqh Imam Malik. Demikian halnya selama beliau di Iskandariyah
beliau juga belajar hadis dengan Abu al-Hasan Ali bin Ja’far. Perjalanannya ke
negeri Timur ini memberikan kefakihan dan menambahnya wawasan beliau
dalam ilmu-ilmu keislaman, sehingga ia dapat memberikan corak pendidikan
Islam walaupun dalam bentuk sederhana. Salah satu kegemilangan yang beliau
peroleh dari perjalanannya ke Timur ialah al-Qabisi adalah orang yang pertama
kali membawa kitab Shahih Bukhari ke Afrika Utara.
Oleh sebab itu, para ulama banyak memberikan interpretasi tentang
keilmuan yang dimiliki al-Qabisi dan begitu juga tentang sifat-sifat atau
keutamaan beliau, al-Suyuti misalnya, mengatakan bahwa al-Qabisi adalah
seorang huffazh, dan al-Qabisi juga orang yang banyak hafal hadis, ahli teologi,
dan ahli fiqh, bersifat zahid dan wara’. Sedangkan Ibn Khaldun berkomentar
bahwa al-Qabisi adalah seorang yang ahli hadis, baik dari segi maknanya maupun
dari segi sanad hadis. Demikian halnya Qadhi Iyad berpendapat selain al-Qabisi
juga seorang yang wara’, beliau juga seorang da’i yang mashur dan ahli fiqih di
Qairawan.

B. Konsep Pemikiran Pendidikan al-Qabisi

Dalam konsep pendidikan al-Qabisi, ada beberapa pemikiran atau


pandangan, yaitu tentang pendidikan anak, tujuan pendidikan, kurikulum, tenaga
pendidik, metode dan teknik belajar, hukuman, percampuran belajar antara murid
laki-laki dan perempuan dan demokrasi dalam pendidikan.

3
1. Pendidikan Anak-anak

Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak


yang berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak
merupakan upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan
Negara, oleh karena itu pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh
kesungguhan dan ketekunan yang tinggi.[4]

Al-Qabisi tidak menentukan usia tertentu untuk menyekolahkan anak di


lembaga al-Kuttab. Oleh karena pendidikan anak merupakan tanggung jawab
orang tuanya semenjak mulai anak dapat berbicara fasih yakni pada usia mukallaf
yang wajib diajar bersembahyang (menurut hadis Nabi). Rasulullah saw
bersabda: ”Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan sholat pada waktu
usia tujuh tahun dan pukullah mereka pada waktu usia sepuluh tahun.” Dari
sabda Nabi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam dimulai pertama-
tama di rumah. Pendidikan anak di lembaga al-Kuttab hanyalah kelanjutan
daripada tugas pendidikan yang wajib ditunaikan oleh kedua orang tua di rumah.
Anak-anak yang belajar di kuttab mula-mula diajar menghafal alqur’an, lalu diajar
menulis, dan pada waktu dzuhur mereka pulang ke rumah masing-masing untuk
makan siang, kemudian kembali lagi ke kuttab untuk belajar lagi sampai sore.

2. Tujuan Pendidikan

Sejalan dengan sikapnya yang berpegang teguh kepada agama dengan


spesialisasi pada bidang fiqh yang berdasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah, Al-
Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuh
kembangkan pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. Dalam
hubungan ini Ali Al-Jumbulati mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan yang
dipegangi oleh Al-Qabisi adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak,
menumbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta
berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni. Namun demikian
Al-Qabisi juga menghendaki tujuan pendidikan yang mengarahkan agar anak
dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung

4
kemampuannya mencari nafkah. Dalam hubungan ini ia mengatakan bahwa pada
hakikatnya pendidikan keterampilan kerja setelah memperoleh pendidikan agama
dan akhlak, akan menolong anak itu terampil bekerja, mencari nafkah dengan
didasari rasa takut kepada Allah dalam bekerja.

3. Kurikulum

Dilihat dari segi isi mata pelajaran (kurikulum) yang diajarkan kepada anak
didik, Al- Qabisi membagi kurikulum ke dalam dua bagian, dengan uraian sebagai
berikut.

a. Kurikulum Ijbari

Kurikulum ijbari secara harfiah berarti kurikulum (mata pelajaran) yang


merupakan keharusan atau kewajiban bagi setiap anak. Kurikulum model ini
terdiri dari kandungan ayat-ayat-ayat al-Qur’an seperti sholat dan do’a - do’a,
ditambah dengan penguasaan terhadap ilmu nahwu dan bahasa arab yang
keduanya merupakan persyaratan mutlak untuk memantapkan bacaan al-Qur’an,
tulisan dan hafalan al-Qur’an. Kurikulum yang berkenaan dengan baca tulis al-
Qur’an serta ilmu bahasa itu diberikan kepada anak-anak tingkat pendidikan dasar
seperti yang berlangsung di kuttab-kuttab .

Lebih lanjut Al-Qabisi melihat bahwa dengan mengintegrasikan antara


kewajiban mempelajari al-Qur’an dengan sholat dan berdo’a, berarti telah
mengintegrasikan antara aspek berpikir, merasa dan berbuat (beramal). Prinsip
kurikulum demikian itu sesuai dengan pandangannya mengenai ilmu jiwa yang di
tetapkan melalui tiga prinsip yang logis, yaitu :

a. Menumpahkan perhatian kepada pengajaran al-Qur’an, karena ia adalah jalan


yang ditempuh untuk menambah ma’rifat kepada Allah serta mendekatkan
kepada-Nya.
b. Pentingnya ilmu nahwu bagi anak agar dapat memahami kitab suci al-Qur’an
secara benar.

5
c. Mengajarkan bahasa arab sebagai alat memahami makna ayat al-Qur’an
beserta huruf hijaiyahnya agar anak dapat menuliskan ayat-ayatnya dan
mengucapkannya dengan lancar.

Uraian tentang kurikulum menurut pandangan Al-Qabisi yang telah


disebutkan diatas adalah untuk jenjang pendidikan dasar, atau pra dasar, yakni
pendidikan di al-kuttab, sesuai dengan jenjang yang telah dikenal pada masa itu,
dan pada masa sekarang kurikulum tersebut dipakai pada jenjang pendidikan
tingkat dasar (ibtidaiyah).

b. Kurikulum Ikhtiyari (tidak wajib atau pilihan)

Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu nahwu, bahasa arab,
syair, kisah-kisah masyarakat arab, sejarah Islam, ilmu nahwu dan bahasa arab
lengkap. Lebih lanjut Al-Qabisi mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmu-
ilmu ikhtiyari ini dengan ilmu ijbari adalah dari segi jarak jauh sampai dekatnya
ilmu tersebut untuk pembinaan rasa keagamaan yang kuat, dimana ilmu-ilmu
ijbariyah lebih dekat jaraknya dengan pembinaan dengan keagamaan. Disinilah
letak begitu kuatnya motivasi keagamaan dalam merumuskan konsep
kurikulumnya.

Selanjutnya kedalam kurikulum ikhtiyari ini Al-Qabisi memasukkan


pelajaran keterampilan yang dapat menghasilkan produksi kerja yang mampu
membiayai hidupnya dimasa yang akan datang.

Dengan demikian menurut pandangan Al-Qabisi bahwa memberikan


pelajaran keterampilan kerja untuk mencari nafkah hidupnya sesudah selesai tiap
jenjang pendidikan yang ditempuhnya dengan dasar pengetahuan akan al-Qur’an
serta ketaatan dalam menjalankan ibadah menunjukkan adanya pandangan yang
menyatukan antara tujuan pendidikan keagamaan dengan tujuan pendidikan
pragmatis. Dengan demikian pendidikan keterampilan yang menolong mencari
nafkah yang dilakukan setelah seseorang memperoleh pendidikan agama dan
akhlak akan menolong seseorang menjadi orang yang seimbang, yaitu seseorang

6
yang dapat membiayai hidupnya sendiri serta senantiasa taat dalam menjalankan
perintah-perintah Allah.

4. Tenaga Pendidik

Menurut al-Qabisi, guru harus menjadi contoh teladan sebagai pendekatan


untuk merubah tingkah laku anak didik. Oleh sebab itu guru harus menjauhkan
sifat-sifat buruk seperti bersifat kasar, meninggalkan waktu mengajar karena
adanya pekerjaan lain, meminta sesuatu terhadap siswa seperti hadiah atau
makanan, dan sebagainya. Seyogyanya motivasi yang dijadikan guru untuk
mengajar tidak karena ingin mendapatkan pujian atau kehormatan melainkan
semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah. Adapun mengenai gaji dalam
mengajar menurut al-Qabisi seorang guru tidak salah untuk menerimanya karena
sebagai usahanya atau jerih payahnya dalam mengajar.

5. Metode dan teknik belajar


Selain membicarakan kurikulum, al-qabisi juga berbicara tentang metode dan
teknik mempelajari mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum itu. Ia
misalnya telah berbicara mengenai teknik dan langkah-langkah menghafal Al-
Quran dan belajar menulis. Menurutnya bahwa langkah-langkah penting dalam
menghafal Al-Quran dan belajar menulis ditetapkan berdasarkan pemilihan
waktu-waktu yang terbaik yang dapat mendorong mengkaitkan kecerdasan
akalnya, yaitu pada waktu pagi-pagi selama seminggu terus-menerus dan baru
beristirahat sejak waktu setelah dzuhur hari Kamis sampai dengan hari jumat.
Kemudian belajar lagi pada hari Sabtu pagi hingga minggu berikutnya.

Selanjutnya al-Qabisi mengemukakan metode belajar yang efektif, yaitu


menghafal, melakukan latihan dan demonstrasi. Belajar dengan baik akan
membantu hafalan yang baik. Pendidikan modern sekarang ini menganjurkan agar
mengajar anak-anak dengan cara menghafalkan pelajaran agama serta memahami
maksudnya secara jelas.

7
6. Hukuman dalam Pendidikan
Dalam memberikan hukuman, al-Qabisi menyarankan kepada guru untuk
tidak memberikan hukuman terlebih dahulu, kecuali setelah memberikan
nasehat, pengajaran. Jika hukuman juga harus dilakukan kepada siswa,
hendaklah hukuman itu atas dasar unsur mendidik. Tidak bersifat kasar atau
balas dendam. Karena hukuman yang dilakukan melalui kekerasan akan
menimbulkan kesan yang buruk, baik secara fisik maupun secara psikis. Oleh
sebab itu, dalam memberi hukuman memiliki tahapan- tahapan sebagai berikut:
a. Guru menegur terlebih dahulu, dan berusaha untuk membimbingnya agar
anak tidak melakukan kesalahan itu lagi.
b. Jika anak masih melakukannya, guru mencela perbuatan itu, misalnya
dengan membedakan dengan teman-temannya, secara otomatis anak tersebut
akan mengetahui bahwa perbuatannya itu salah, karena dibandingkan
dengan temannya yang lain yang tidak melakukan perbutannya.
c. Apabila dengan cara yang kedua juga tidak memberikan kesan, anak masih
juga melakukan kesalahan-kesalahan, maka untuk menjaga agar perbuatan
anak yang bersalah ini tidak ditiru teman-temannya yang lain guru boleh
melakukan pilihan terakhir yaitu hukuman fisik, dengan catatan tidak
sampai merusak fisik anak.

Ketika guru telah akan melaksanakan hukuman, menurut al-Qabisi,


hendaklah guru tersebut mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a. Dalam melaksanakan hukuman guru tidak dalam keadaan emosional. Sebab
bila guru dalam keadaan emosi, dikhawatirkan akan melampaui batas yang
akan mengakibatkan kepatalan terhadap anak didik. Al-Qabisi
mencontohkan perbuatan Umar bin Abdul Aziz yang menyuruh seseorang
untuk memukul seseorang. Namun, ketika Umar bin Abdul Aziz melihat
orang yang dia suruh hendak memukul dengan emosi, Umar melarangnya
kembali untuk melaksanakan pemukulan.
b. Guru mesti menyadari hukuman yang dia lakukan bertujuan untuk
kemaslahatan dan sebagai ancaman bagi anak didik dengan tujuan agar anak

8
didik melakukan perbuatannya itu kembali. Jadi motif hukuman yang
dilakukan guru untuk memperbaiki akhlak siswa.
c. Dalam melaksanakan hukuman tidak menimbulkan bekas atau cacat tubuh
anak-anak.
d. Hendaklah guru melakukan hukuman dengan sendirinya tanpa melibatkan
pelajar atau orang lain, sebab akan menimbulkan perselisihan di antara
mereka dan rusaknya persaudaraan.
e. Guru tidak dibenarkan memukul bagian tubuh yang sensitif seperti kepala
atau muka.
f. Guru juga dilarang menghukum anak didik dengan cara menghalanginya
untuk tidak makan atau istirahat.
Al-Qabisi berpendapat bahwa memberikan hukuman terhadap anak didik
dibolehkan dalam Islam, karena Allah sendiri memberikan hukuman dan
ganjaran kepada hambanya baik yang masih hidup di dunia maupun kelak di
akhirat. Namun makna eksplisit dalam melaksanakan hukuman itu ialah harus
diyakini seorang guru sebagai usaha terakhir dalam rangka merubah tindak-
tanduk siswa dari yang tidak baik atau kurang terpuji menjadi yang lebih baik.

7. Percampuran Belajar antara Murid Laki-Laki dan Perempuan

Percampuran belajar antara murid laki-laki dan perempuan dalam satu


tempat atau yang dikenal dengan istilah Co-Educational Classes juga menjadi
perhatian Alqabisi. Ia tidak setuju bila murid laki-laki dicampur dengan murid
perempuan dalam Alkuttab, sehingga anak itu harus tetap belajar sampai usia
baligh (dewasa). Menurut Alqabisi, bahwa percampuran anak laki-laki dan
perempuan di kuttab untuk belajar adalah suatu hal yang tidak baik. Pendapat ini
tampak kelihatan kuno dan tidak dapat diterima masyarakat modern yang
menuntut kesamaan derajat dan kemitraan sejajar. Hal lain juga didasarkan pada
pandangannya bahwa dorongan syahwat biologis (seksual) termasuk dorongan
yang paling kuat, dan jika berdekatan dengan wanita dikhawatirkan akan terjadi
pelanggaran seksual yang dapat merendahkan martabatnya dan menjauhkan dari
keimanan dan ketaqwaan yang ada dalam dirinya. Dengan demikian, sikapnya itu

9
tampak lebih didasarkan pada sikap yang amat berhati-hati dalam manjaga moral
agama. Disini dilihat dengan jelas betapa prinsipnya yang demikian kuat
berpegang kepada agama dan taat beribadah kepada Allah.

8. Demokrasi dalam Pendidikan

Selanjutnya Alqabisi memiliki pandangan tentang demokrasi dalam


pendidikan. Menurut Alqabisi, bahwa anak-anak yang masuk di kuttab tidak ada
perbedaan derajat atau martabat. Baginya pendidikan adalah hak semua orang
tanpa ada pengecualian. Ia menghendaki agar penyelenggaraan pendidikan anak-
anak muslim dilaksanakan dalam satu ruang dan memperoleh pengetahuan dari
pendidik yang satu, sehingga tidak perlu dibagi-bagi menjadi tingkat atau jenjang.
Pendapatnya yang demikian mengisyaratkan adanya paham demokrasi dalam
pendidikan.

Selanjutnya Alqabisi mengajak para guru agar mengajar anak-anak kaum


Muslimin tanpa terpengaruh oleh pandangan dari lingkungan masyarakat dan oleh
perbedaan stratifikasi sosial ekonomi dan keuangan masyarakat yang ada. Atas
dasar pandangan yang demikian, maka guru harus mengajar anak orang yang
tidak mampu dengan anak yang mampu secara bersama-sama berdasarkan atas
rasa persamaan dan penyediaan kesempatan belajar bagi semua secara sama.

Alqabisi juga mengatakan bahwa antara anak laki-laki dan perempuan


memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Menurutnya bahwa
pendidikan bagi anak-anak perempuan merupakan suatu keharusan ,sama dengan
pendidikan bagi anak laki-laki, meskipun dipisahkan kelasnya antara keduanya
sebagaimana yang telah diuraikan diatas.

Untuk mendukung terlaksananya demokrasi atau pemerataan dalam bidang


pendidikan ini, Alqabisi menganjurkan agar orang–orang islam yang
berkemampuan material hendaknya mau berbuat banyak untuk menolong
memberikan bantuan biaya pendidikan kepada anak-anak yang kurang mampu,
atau yang lebih dikenal sebagai orang tua asuh. Berkaitan dengan ini, Alqabisi

10
menganjurkan agar dibentuk Baitul Mal yang tugasnya antara lain memberikan
bantuan biaya pendidikan,termasuk biaya untuk tenaga pengajar (guru).

Pemberian biaya pendidikan ini menjadi kewajiban pemerintah yang harus


ditunaikan selaku wakil kaum dhu’afa (fakir miskin) yang tidak memiliki
kemampuan untuk membiayai pendidikan. Dengan kata lain bahwa biaya
pendidikan, termasuk gaji guru yang mengajar anak-anak yang kurang mampu
sudah menjadi tanggung jawab pemerintah.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nama lengkap Al-Qabisi adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Khalaf
al-Ma’arif al-Qabisi. Ia lahir di kairawan Tunisia pada bulan rajab tahun
224H/tanggal 13 Mei 936M. ia pernah eranau ke timur tengah selama 5 tahun,
kemudian kembali ke negeri asalnya dan meninggal dunia pada tanggal 3 Rabiul
awal 403 H/23 Oktober 1012 M.

Pemikirannya dalam pendidikan itu tampak dipengaruhi oleh sikap dan


pendiriannya sebagai ulama ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah yang mendasarkan
setiap usaha dan pemikirannya pada ajaran yang terdapat pada al-Qur’an dan al-
Hadits. Sikap ini juga tampak dipengaruhi oleh corak masyarakatnya, serta segi-
segi pandangan dari gerakan-gerakan keagamaan yang ada dalam masyarakat itu.
Mengabdi pada pendidikan, pengajaran anak, dan hidup sebagai guru serta mau
menyusun kurikulum pendidikan, metode pengajaran, dan sarana pendidikan yang
ada merupakan kewajiban mulia bagi semua umat Islam.

Dalam konsep pendidikan al-Qabisi, ada beberapa pemikiran atau


pandangan, yaitu tentang pendidikan anak, tujuan pendidikan, Pendidik,
kurikulum, metode dan teknik belajar, hukuman, percampuran belajar antara
murid laki-laki dan perempuan dan demokrasi dalam pendidikan.

B. Saran

Dari pemaparan makalah diatas, maka penulis dapat memberikan saran


bahwa kita sebagai calon pendidik harus bisa mengambil pelajaran dari sejarah-
sejarah pendidikan Islam terdahulu serta kita dapat mempelajari dan menerapkan
konsep-konsep pendidikan dari para tokoh pemikir pendidikan Islam.

12
DAFTAR PUSTAKA

o Evi Afifah Maksum. Konsep Kurikulum Pendidikan Islam Menurut Al-


Qabisi Dalam Kitab “Ahwal Al-Muta’allim Wa Ahkam Mu’allimin Wa Al-
Muta’allimin”. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.2014

Diunduh dari

http://digilib.uin-suska.ac.id/15355/2/09410131_bab-i_iv-atau-v_daftar-
pustaka.pdf

o https://srizkaaa.blogspot.com/2016/01/pemikiran-pendidikan-al-
qabisi.html

o Muslim. Konfigurasi Pemikiran Al-Qabisi Tentang Pendidikan Islam.


Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia
diunduh dari http://ejornal.uin-
suska.ac.id/index.php/potensial/article/download/2538/1607

13

Anda mungkin juga menyukai