Anda di halaman 1dari 8

“ORIENTALISME DALAM PEMIKIRAN SEKULERISME

MUSTAFA KEMAL ATATURK”

disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Kebudayaan


dan Hubungan Internasional

Disusun Oleh ;

Afriany Aulia Al Aziz (0801516002)

HI 16 A

Dosen Pengampu :

Nizar Umar S.IP., M.Si

Nanda Avalist S.IP., M.Si

M. Adian Firnas, M.Si

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA

2019
PENDAHULUAN

Wacana orientalisme pada dasarnya adalah wacana klasik yang dapat ditelusuri
kemunculannya pada masa pasca-Perang Salib yang berlangsung selama dua abad, yaitu
antara 1097-1295. Namun ada pula yang mengaitkan kemunculan orientalisme bersamaan
dengan munculnya imperialisme dan kolonialisme Eropa ke dunia Islam (Timur) abad XVIII
Masehi, di saat melemahnya kekuasaan Daulah Usmaniyah (Turki Usmani) yang dianggap
sebagai garis pemisah antara Eropa dengan negara-negara Timur. Sejarah orientalisme pada
masa-masa pertama adalah pertarungan antara dunia barat Nasrani abad pertengahan dengan
dunia timur Islam, baik dalam keagamaan maupun ideologi Bagi dunia barat Nasrani Islam
merupakan problema masa depan secara keseluruhan di Eropa (Mannan Buchori, 2006 : 1).
Dari sisi kesejarahan tersebut, orientalisme kemudian menjadi proyek kepentingan-
kepentingan manusia yang hendak menciptakan konsep pertentangan (dikotomi) antara dua
istilah; ‘superioritas’ dunia Barat (dan tentunya manusianya) dan ‘inferioritas’ dunia Timur
(beserta manusianya juga). Argumen seperti ini bukannya tanpa alasan, karena muatan
kepentingan Barat untuk mendikotomikan dirinya dengan Timur bertujuan untuk menguasai,
memanipulasi, dan bahkan memdominasi dunia Timur (Rohanda dan Nurrachman, 15, 2017 :
378).

Menurut Edward W. Said, orientalisme secara kritis adalah suatu cara untuk
memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia
Barat Eropa. Ia memandang orientalisme berkedok ilmiah dan menilai dirinya sebagai
‘obyektif dan netral’ (Edward W. Said, 2010 : 4). Namun, dalam perkembangannya,
orientalisme menjadi cabang ilmu pengetahuan yang subyektif, karena intervensi kolonial
serta kecenderungan-kecenderungan emosional. Akibatnya, orientalisme tidak lebih dari alat
kekuasaan kolonial atau ekspressi emosional belaka. Para orientalis dengan dukungan
penjajah telah berhasil memalsukan dan memutarbalikkan ajaran-ajaran Islam (Mannan
Buchori, 2006 : 1).

Latar belakang pengkajian orientalisme sangatlah komplek. Motif-motif yang ada


dibalik orientalisme antara lain; Pertama, motif Keagamaan, yakni dengan memahami ajaran
Islam maka para Orientalis dapat menentukan strategi misi mereka untuk menghadapi umat
Islam. Selain itu menjadikan seorang Muslim jauh dari agamanya bahkan jika perlu beralih
pada agama mereka. Kedua, motif Keilmuan, sebelum Barat bangkit karena revolusi
industrinya, Islam lebih unggul dibandingkan mereka. Oleh karena itu mereka perlu

1
menterjemahkan karya-karya dari orang Muslim. Ketiga, Persoalan Ekonomi. Dengan
berkembangnya industrialisasi, Barat memerlukan daerah jajahan sekaligus pasar. Dunia
Muslim yang saat itu sedang terpuruk menjadi sasaran empuk bagi Barat. Keempat, Politik.
Islam bagi Barat adalah peradaban yang di masa lalu telah tersebar dan menguasai peradaban
dunia dengan begitu cepat. Barat sebeagai peradaban yang baru bangkit dari kegelapan
melihat Islam sebagai ancaman langsung yang besar bagi kekuatan politik dan agama mereka
(Muhammad Bahar Akkase Teng, 4, 2016 : 49).

Dalam upaya untuk mengalahkan kekuatan Islam, Barat tidak hanya menggunakan
cara melalui memutarbalikkan ajaran-ajaran Islam. Selain itu, Barat juga melancarkan
tujuannya dengan membenamkan umat Islam ke dalan pemikiran-pemikiran yang
menyesatkan untuk memalingkan mereka dari agama, salah satunya adalah memalui
pemikiran sekularisme (Muhammad Bahar Akkase Teng, 4, 2016 : 54). Sekularisme adalah
propaganda sesat yang bertopengkan intelektualisme, yaitu memisahkan antara ilmu dengan
agama. Sekularisme adalah apa yang di propagandakan oleh Orientalis untuk merusak
pemikiran Islam. Gerakan ini mulai bangkit di Eropa setelah terjadinya persaingan antara
ilmuwan dengan pemuka-pemuka Gereja yang berkuasa di zaman Pertengahan. Ketika terjadi
persaingan tersebut, agama (kristen) harus memisahkan diri dari urusan dunia dan urusannya
diambil oleh aliran ilmu tanpa agama (Muhammad Bahar Akkase Teng, 4, 2016 : 56).

PEMBAHASAN

Mustafa Kemal, yang selanjutnya dikenal sebagai Ataturk, lahir pada tahun 1881 di
Thessaloniki (Salonika) – sekarang Yunani Utara. Pada tahun 1894, Kemal memulai
pendidikan militer nya di Salonika Military Preparatory School. Pada titik ini adalah pertama
kalinya Kemal memulai ketertarikannya pada Sejarah dan Pemikiran Barat. Ia mengambil
peminatan pada Revolusi Perancis dan pemikir dari Pencerahan, termasuk, Comte,
Montesquieu, Rousseau dan Voltaire. Ia lulus dengan reputasi yang sangat baik pada aspek
kemampuan dan kepemimpinan. Hal tersebut menjadikannya memenuhi syarat untuk masuk
kedalam Akademi Militer Ottoman. Kemal fokus pada militer tetapi menghabiskan banyak
waktunya mempelajari politik. Dalam Akademi Perang, Kemal menjadi bersemangat dalam
berpolitik dan bergabung dalam kelompok perwira yang berpikiran sama dalam menentang
rezim Sultan Abdul Hamid II (Edward J. Erickson, 2013). Pada tahap ini, kita dapat melihat

2
bahwa Kemal muda telah mendapatkan pendidikan yang dipengaruhi oleh pemikiran Barat
yang kemudian memberikan pengaruh pada pandangan politiknya.

Turki yang saat itu merupakan sebuah Kesultanan Ottoman Turki yang sangat kental
dengan warisan peradaban Islam yang dipengeruhi oleh peradaban Arab dan Persia dengan
beberapa unsur-unsur budaya Barat yang modern, dianggap oleh Kemal sebagai sebuah
hambatan untuk kemajuan Turki. Ia menginginkan peradaban baru bagi Turki yang dapat
mengantarkan Turki pada kejayaannya di abad ke-20 melalui peradaban Barat dengan
sekularisasinya di segala aspek (Isputaminingsih, 3, 2014 : 13).

Persoalan mengenai banyaknya unsur-unsur dan pemikiran dari Barat, Islam dan
Turki sendiri menjadi pembahasan yang telah lama dibicarakan oleh tokoh-tokoh dan gerakan
masyarakat di Turki. Secara garis besar, gerakan yang dapat dikatakan sebagai gerakan
modernisasi ini terbagi menjadi tiga kelompok, yakni; Islamisme, Westernisasi dan
Nasionalisme (Labib Syauqi, 13, 2012 : 227). Pertama, Islamisme merupakan gerakan yang
berorientasi dan masih berpegang pada prinsip-prinsip Islam. Mereka berpendapat bahwa
agama Islam tidak pernah menghambat kemajuan. Menurut golongan ini, kelemahan umat
Islam selama ini terletak pada syariat yang tidak dijalankan dengan semestinya oleh umat
Islam dan terutama oleh khalifah. Mereka tidak pernah menolak kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang mungkin datang dari Barat, bahkan mereka setuju dengan dimasukkannya
ke dalam kurikulum sekolah madrasah, akan tetapi mereka menolak konsep sekularisasi yang
diterapkan melalui pendidikan. Kedua, Westernisasi merupakan gerakan yang mengadopsi
pemikiran, sikap hidup atau terilhami oleh peradaban Barat. Pada dasarnya, golongan ini
mengedepankan ide-ide sekularisme. Mereka berpendapat bahwam sistem pemerintah perlu
disekulerisasikan untuk memperjelas kepentingan bernegara yang berdasar negara dan
kepentingan agama hanya berdasarkan agama. Rasionalisasi pemikiran harus dilakukan
dengan berkaca pada Barat yang maju karena sikap rasionalitas dalam kehidupannya.
Rasionalisasi dalam beragama mereka lakukan dengan menafsirkan al-Qur’an maupun
sunnah sesuai dengan tuntunan zaman. Islam harus kontekstual dan diusahan cocok dengan
pemikiran agama. Terakhir, Nasionalisme merupakan gerakan yang menitiberatkan aspek
keaslian Turki atau secara kenegaraaan mereka selalu mementingkan sikap, pola pikir, dan
tindakan yang bersandar pada nilai-nilai lokal Turki. Menurut para tokoh nasional Turki,
solusi terbaik adalah dengan mengganti peradaban ini dengan peradaban Eropa yang modern
dengan tetap berpegang pada kultur Turki. Turki hendaknya harus mereproduksi kembali
nilai-nilai hukum yang berkembang di Barat dan disesuaikan dengan kondisi rakyat. Turki

3
tidak perlu memakai syariat Islam sebagai negara. Negara hanya dapat berjalan berjalan
dengan perundangan negara, bukan dengan perundangan agama. Jadi sekularisasi dalam
sistem pemerintahan masih dipertahankan (Labib Syauqi. 13. 2012 : 228-231).

Mustafa Kemal merupakan tokoh nasionalis yang berusaha menggabungkan


kepentingan Islam, Barat dan Nasionalisme Turki. Westernisasi, Sekularisme dan
Nasionalisme merupakan dasar dari pemikirannya. Makna dari konsep Sekularisme Kemalis
adalah pelaksanaan strategi modernisasi yang berlandaskan pada visi dunia positivis, dimana
agama dipandang sebagai penghambat kemajuan dalam proses modernisasi masyarakat dan
negara (Erik J. Zurcher. 2003 : 306). Konsep nasionalisme yang dipahami berasal dari
konteks barat yang berarti bangsa Turki akan eksis bukan sebagai kelompok rakyat yang
memiliki kesamaan masa lalu, tetapi sebgai kelompok rakyat yang memiliki kesaman masa
depan diantara bangsa-bangsa yang berperadaban. Pada dasarnya, sekularisme yang
dilakukan oleh Kemal merupakan pengertian dari sekularisme yang ditawarkan oleh
pemikiran Barat yaitu Negara harus dipisahkan dari agama. Dalam implementasinya, institusi
negara, sosial, hukum, politik dan pendidikan di Turki dibebaskan dari kekuasaan agama dan
syari’at walaupun negara tetap menjamin kebebasan beragama bagi rakyatnya (Labib Syauqi.
13. 2012 : 234).

Langkah pertama yang dilakukan Kemal sebagai pemimpin negara, adalah merubah
bentuk negara dari Kesultanan menjadi Republik dengan menyingkirkan kekuasaan Sultan
serta mengangkat keluarga Sultan yaitu Abdul Majid sebagai Khalifah yang akan
dijadikannya sebagai lambang atau simbol pemersatu agama dan tidak menjadi penguasa
politik. Dalam perkembangannya, Kemal menghapuskan lembaga Kekhalifahan tahun 1924.
Tahun 1928, Kemal menghapuskan pasal tentang ”pencantuman Islam sebagai agama negara
sehingga antara agama dan negara tidak ada lagi sangkut pautnya. Dan secara resmi tahun
1937, prinsip sekularisme sebagai dasar konstitusional diberlakukan”. Sejak saat itu negara
Turki resmi menjadi negara Sekular .

Dapat dilihat dengan jelas bahwa setiap pemikiran dan tindakan yang dilakukan oleh
Kemal merupakan pengaruh dari pemikiran Barat. Tidak hanya memodernisasikan negara, ia
pun mengajukan pemikiran tentang nasionalisme agama. Ia melakukan serangkaian upaya
dengan mengganti bentuk dan suasana mesjid seperti bentuk dan suasana gereja di negara-
negara Barat, dengan menekankan pada pentingnya masjid yang bersih, dengan bangku-
bangku dan ruang tempat menyimpan mantel, mewajibkan jamaah masuk dengan sepatu

4
yang bersih, menggantikan bahasa Arab dengan bahasa Turki, menyediakan alat-alat musik
ditempat shalat untuk memperindah bentuk shalat, dan mengubah teks-teks khutbah yang
telah ada dengan khutbah yang berisi pemikiran agama berdasarkan filsafat Barat. Pada tahun
1932 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengganti pengucapan azan ke dalam bahasa
Turki, yang amat ditentang oleh mayoritas masyarakat Muslim Turki. Kemal berpandangan
”jika pengaruh Islam sama sekali sudah hilang, barulah Turki bisa maju menjadi bangsa
modern dan dihormati” (Isputaminingsih, 3, 2014 : 19).

KESIMPULAN

Pemahaman tektual mengenai Orientalisme merupakan cara untuk memahami dunia


Timur. Akan tetapi, secara realita, hal tersebut hanya sebuah kedok untuk mencari cara agar
menjatuhkan kekuatan timur yang diistilahkan sebagai “dunia Timur”. Dalam
perkembanganya, Orientalis melakukan serangkaian upaya dengan menyebarluaskan ajaran-
ajaran Islam yang palsu, melakukan propaganda atas nama Islam dan membenamkan umat
Islam pada pemikiran yang menyesatkan agar mereka berpaling dari agamanya. Salah satu
pemikiran menyesatkan tersebut adalah Sekularisme. Sekularisme adalah propaganda sesat
yang bertopengkan intelektualisme, yaitu memisahkan antara ilmu dengan agama.
Sekularisme adalah apa yang di propagandakan oleh Orientalis untuk merusak pemikiran
Islam.

Mustafa Kemal, yang selanjutnya dikenal sebagai Ataturk. Sejak terdaftar sebagai
murid di akademi militer di Solanika adalah pertama kalinya Kemal memulai ketertarikannya
pada Sejarah dan Pemikiran Barat. Ia mengambil peminatan pada Revolusi Perancis dan
pemikir dari Pencerahan, termasuk, Comte, Montesquieu, Rousseau dan Voltaire. Dapat
dikatakan bahwa sejak muda, Kemal telah mendapatkan pendidikan yang dipengaruhi oleh
pemikiran Barat yang kemudian memberikan pengaruh pada pandangan politiknya di masa
depan.

Sejak masuk dalam ranah politik, Kemal menginginkan peradaban baru bagi Turki
yang dapat mengantarkan Turki pada kejayaannya di abad ke-20 melalui peradaban Barat
dengan sekularisasinya di segala aspek. Ia merupakan tokoh nasionalis yang berusaha
menggabungkan kepentingan Islam, Barat dan Nasionalisme Turki. Westernisasi,
Sekularisme dan Nasionalisme merupakan dasar dari pemikirannya. Makna dari konsep
Sekularisme Kemalis adalah pelaksanaan strategi modernisasi yang berlandaskan pada visi

5
dunia positivis, dimana agama dipandang sebagai penghambat kemajuan dalam proses
modernisasi masyarakat dan negara. Akhirnya pada tahun 1928, Kemal menghapuskan pasal
tentang ”pencantuman Islam sebagai agama negara sehingga antara agama dan negara tidak
ada lagi sangkut pautnya. Dan secara resmi tahun 1937, prinsip sekularisme sebagai dasar
konstitusional diberlakukan”. Sejak saat itu negara Turki resmi menjadi negara Sekular.

Dengan berdirinya negara Republik Turki yang berlandaskan sekularisme, maka


berakhir pula peradaban Islam satu-satunya ditengah peradaban Eropa saat itu. Orientalisme
dalam pemikiran sekularisme Mustafa Kemal dengan mengatasnamakan “nasionalisme” di
Turki dapat terlihat dengan jelas melalui bagaimana Ia memisahkan seluruh unsur agama
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat Turki.

6
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Buchori, Mannan. 2006. “Menyingkap Tabir Orientalisme”. Jakarta: Amzah.

J. Erickson, Edward. 2013. “Mustafa Kemal Ataturk”. Oxford : Osprey Publishing.

J. Zurcher, Erik. 2003. “Sejarah Modern Turki”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

W. Said, Edward. 2010. “Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan

Timur sebagai Subjek”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

JURNAL :

Akkase Teng, Muhammad Bahar. 2016. “Orientalis dan Orientalisme dalam Perspektif

Sejarah”. Jurnal Ilmu Budaya. Universitas Hasanuddin. Vol. 4. No. 1.

Isputaminingsih. 2014. “Sejarah Islam : Kasus Sekularisme Turki”. Criksetra : Jurnal

Pendidikan Sejarah. Universitas Sriwijaya. Vol. 3. No. 1.

Rohanda dan Nurrachman. 2017. “Orientalisme Vs Oksidentalisme: Benturan dan

Dialogisme Budaya Global”. Jurnal Lektur Keagamaan. Kementerian Agama

Republik Indonesia. Vol. 15. No. 2.

Syauqi, Labib. 2012. “Pengaruh Modernisasi di Turki terhadap Penafsiran Bediuzzaman Said

Nursi”. Jurnal Refleksi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Vol. 13. No. 2.

Anda mungkin juga menyukai