Anda di halaman 1dari 5

Septiawan Jiwandono

11/319956/SA/16184
REVIEW

JOURNAL DIASPORA STUDIES


A decolonial critique of diaspora identity theories and the notion of superdiversity
(Finex Ndhlovu)
A. Kegagalan Multikultural
Artikelnya tulisan Finex Ndhlovu ini memuat komentar-komentar kritis dari beberapa
pemikir mengenai ketidakberdayaan teori multikultural dan superdiversitas baik secara
teoritis maupun secara praktis. Lebih jauh lagi, secara praktis penerapan multikultural yang
menawarkan pemahaman keberagaman justru memberi dampak problematis terkait dengan
keberagaman itu sendiri, khususnya dalam hal kesetaraan. Ndhlovu mengutip apa yang
dikatakan oleh Turner and Khondker yaitu,:
‘multiculturalism as an idea of political cultural accommodation or as
a policy option remains embroiled in complex controversies’ (2010, 175).
Multiculturalism and its associated policy ideals have, in fact, been
criticized for unintentionally contributing to the further isolation, negative
stereotyping and marginalization of immigrants and other ethnic
minorities (Kymlicka 2012).
Mengenai pernyataan ini, multikulturalisme tidak sanggup menjelaskan secara mendalam
terkait fenomena diaspora dalam masyarakat, khususnya masyarakat “barat”. Multikultural
hanya akan mengkotak-kotakan kelompok kolektif dan hanya mampu menjelaskan fenomena
ini secara permukaan. Kegagalan tersebut semakin terlihat nyata ketika dirasuki politik yang
berakhir kepada isolasi, steriotipe, dan marginalisasi terhadap kelompok minoritas. Dengan
begitu, muncul perspektif untuk kelompok superordinat yang sekaligus mengindikasi
asimilasi kolektif. Lebih jauh lagi, keadaan ini juga menciptakan struktur hirarki antar
budaya, yaitu antara masyarakat barat dengan yang dianggap non-barat. Ada dua pertanyaan
dasar yang tidak dapat dijawab oleh teori multikulturalisme yaitu: (1) Apakah pemahaman
multikulturalisme mampu mengartikulasi transnasional untuk memahami identitas diaspora?
Dan (2) bagaimana multikulturalisme memberikan jawaban terhadap masalah-masalah
diaspora luar biasa di Negara-negara barat? Melalui kedua pertanyaan tersebut, Ndhlovu
menggambarkan bagaimana multikultural menjadi sebuah kegagalan yang diterapkan di
beberapa negara seperti di Afrika dan Australia.
Secara pribadi, Ndhlovu berpendapat bahwa kebijakan yang menggunakan
multikulturalisme telah sukses menciptakan banyak monokultur, monolingustik, dan identitas
monopolitik yang ada dalam suatu wilayah geopolitik atau bangsa. Selain itu, permasalahan
utama terkait kebijakan multikultural bukan pada imigran, melainkan pada ketidak-realistisan
logika multikutural untuk menggapai ide masyarakat global. Hal ini dikarenakan dasar dari
multikulturalisme itu sendiri yang memang bertujuan untuk memusatkan wawasan sentralis. 1
Mungkin kita dapat membayangkan tujuan dasar dari ide multikulturalis adalah “one wins
person”, atau satu kelompok yang menang. Namun disisi lain, pandangan multikultural justru
sedikit agak buram dengan wawasan kebangsaan. Hal ini berkaitan dengan pandangan diatas
1
p.31
1
sebelumnya, bahwa negara mengadopsi konsep multikultural kedalam kebijakan. Oleh karena
itu, kita dapat membedakan antara multikultural dengan wawasan berkebangsaan dengan apa
yang dikatakan oleh Anderson, bahwa wawasan berkebangsaan ini pada akhirnya
memproduksi “komunitas imajiner” (Anderson 1991, 6).

B. Superdiversitas
Dalam perkembangannya, hal menarik yang dikemukaan oleh para pemikir
multikulturalis adalah munculnya multikulturalime versi baru atau “pasca-multikultural”
yang salah satunya adalah “superdiversitas”. Pemikiran utama dari superdiversitas ini adalah
untuk mengetahui bagaimana konseptual dan pemahaman akan sumberdaya perlu diakui.
Oleh karena itu, superdiversitas harus memikirkan bagaimana manusia atau kolektif tidak lagi
terkotak-kotak dalam konteks globalisasi. Dengan begitu kita dapat mengetahui dua pola
dasar dari diaspora manusia, yaitu (1) pola tujuan masyarakat untuk berdiaspora melintasi
batas geopolitik, dan dilanjutkan oleh masyarakat selanjutnya. Masyarakat yang berdiaspora
sudah tentu membawa kebudayaan asal (Ndhlovu menyebutnya dengan istilah sumberdaya),
menuju ke tempat dimana kebudayaan itu tidak ada disana. Selain itu, kebudayaan ini juga
telah berinteraksi dengan berbagai kebudayaan lain selama perjalanan si pemilik budaya itu
menuju tempat tujuan. Selanjutnya pada pola kedua (2), berkaitan dengan berkembangnya
teknologi yang belakangan ini sudak tidak mengenal batas geopolitik. Seseorang dapat bebas
mengakses berbagai informasi di dunia global, sehingga secara tidak langsung terjadi
interaksi antar budaya.
Sebenarnya pemikiran superdiversitas bukanlah sesuatu hal yang baru. Berdasarkan pola
yang sudah dijabarkan sebelumnya, pada pola pertama menunjukan bahwa seseorang
berdiaspora sambil membawa kebudayaan asal. Dengan begitu, apa yang diusung oleh
konsep superdiversitas bukanlah suatu fenomena baru. Perpindahan manusia berserta
kebudayaannya sudah lama ada, bahkan sudah ada sejak zaman pra-modern. Ndhlovu
memberikan contoh tentang adanya dua masjid tertua di China yang berada di Guanzhou dan
Xian. Keberadaan masjid tersebut berguna untuk kepentingan keagamaan bagi bangsa-bangsa
dari Jazirah Arab yang datang untuk berdagang (Turner dan Khondker, 2010).
Sementara itu jika melihat di negara dunia ketiga, pergerakan mobilitas manusia juga
sudah ada sejak zaman pra-modern di wilayah Afrika. Pergerakan ini pun memiliki tujuan
yang lebih kompleks dari pada contoh sebelumnya, yaitu perdagangan barter, penjelajahan,
migrasi pastoral musiman dan sebagainya. Tragisnya, karakteristik diaspora ini justru
mendapat pandangan sebelah mata, bahkan dikatakan sebagai bentuk hinaan. Bagi bangsa
barat, diaspora di negara dunia ketiga dikatakan dengan istilah “nomaden” yang menurut
Ndhlovu telah menghilangkan nilai dan bentuk migrasi masyarakat Afrika pra-kollonial.
Terkait dengan berkembangnya pemahaman superdiversitas, ternyata masih mengandung
banyak kritik yang dilontarkan oleh beberapa ahli. Dari semua permasalahan yang
dilontarkan, dapat disimpulkan menjadi dua pertanyaan yaitu: Apakah kompeksitas
intelaktual yang penuh dengan esoterik2 mampu menyesuaikan diri dalam keberagaman
budaya masyarakat? Dan apakah pencarian identitas seseorang atau suatu kelompok yang
mencerminkan dirinya identik, bertujuan untuk memandang kompleksitas masyarakat sebagai
pendekatan mencari kesamaan dan “mendekati” perbedaan dengan positif?

2
Bersifat khusus/rahasia (KBBI), suatu hal yang diajarkan sulit atau mudah untuk dimengerti suatu kelompok
(Wikipedia)
2
Hal ini tidak terjawab dengan perspektif multikultural klasik maupun superdiversitas.
Oleh karena itu, Ndhlovu menyarankan bahwa hal yang dibutuhkan dalam memandang
keberagaman lebih baik diterapkan secara praktis dan bukan dalam bentuk kebijakan-
kebijakan kenegaraan. Ndhlovu mengatakan:
“This is about putting the shoulder on the wheel and getting one’s
hands dirty – living and meeting with the other, with his or her differences
in skin colour, dress, beliefs, customs, linguistic repertoires, habits and
intellectual logic. The conceptual frames of superdiversity, just like those
of multiculturalism, are illequipped to meet this premium largely due to
their idealism that does not easily translate into practical reality”.3
Jelas dari pemikiran Ndhlovu ini bahwa dasar dari pemikiran multikultural dan
superdiversitas dianggap seperti sebuah angan-angan belaka. Multikultural dan
superdiversitas hanyalah sebuah wacana tanpa mampu terealisasi dalam kehidupan
masyarakat diaspora. Baginya yang terpenting adalah tindakan praktis, bagaimana seseorang
sanggup keluar dari batas kebudayaannya dan sangup turut ikut serta terjun kedalam
kebudayaan lain. Bahkan Ndhlovu dengan tegas mengatakan konsep multikultural dan
superdiversitas dilarang diterapkan dalam praktik ini, dikarenakan justru akan menganggu
proses internalisasi akan pemahaman positif dari keberagaman tersebut.
Oleh karena keterbatasan yang dimiliki konsep multikultual berserta versi-versi terbaru
dari konsep tersebut, Ndhlovu lebih melirik konsep pluralisme untuk menjelaskan bagaimana
dispora dapat terkoneksi dengan dunia global. Ndhlovu memulainya dengan epistimologi
dekolonial yang berkaitan erat dengan faktor historis. Dengan menggunakan epistimologi
dekolonial ini, maka hal yang dikaji terkait aspek gelap dari modernitas yaitu merkantilisme,
perdagangan budak, imperialisme, kolonialisme, apartheid, neo-kolonialisme,
keterbelakangan, neoliberalisme, dan globalisasi. Pola pengungkapan secara historis seperti
ini, akan mencegah kita dan terhindar dari cara pemikiran ala barat seperti didalam
multikultural dan superdiveritas.

C. Mengedepankan Pluralisme Dengan Dekolonial


Dalam tulisannya, Ndhlovu menyebutkan konsep multikulturan dan konsep
superdiversitas merupakan suatu konsep yang ditawarkan dengan cara pandang bangsa barat
sebagai konsep “Utara”. Sedangkan untuk konsep yang dia rekomendasikan adalah konsep
yang berlawanan dengan yang dicanangkan selama ini yaitu konsep“Selatan”. Konsep ini
secara garis besar tidak merubah kerangka berfikir, ataupun penegasan teori yang ada pada
konsep “utara”. Namun lebih tepatnya, konsep yang direkomendasikan ini mampu
menyajikan cara pandang dengan kasus yang berbeda, dan serta dapat dihubungkan dengan
wacana pengetahuan, kekuasaan, demokrasi dan identitas.
Konsep pluralisme dengan epistimologi dekolonial ini pun diklam sebagai metode
terbaru untuk memahami bagaimana dominasi dalam masyarakat diaspora dapat terbentuk.
Banazak dan Ceja mengatakan:
“Through its unique take on power, knowledge, culture, history,
human existence and globalization, decolonial epistemology aims at
elaborating not just another paradigm within the typically modern way of

3
P.34
3
thinking but a totally new paradigm that shatters such thinking” (Banazak
dan Ceja 2010, 113).
Dengan kata lain, pemikiran dekolonial tidak hanya menentang cara paradigma modern,
tetapi juga memperhatikan akan kebutuhan paradigma baru dan melangkah lebih jauh dari
sebelumnya. Ndhlovu dalam tulisannya tersebut mengandalkan perspekstif dari Quijano
(2000). Perspektif yang dapat diandalkan menurut Ndhlovu dengan mengadopsi tiga dari
empat bentuk kolonialitas yaitu coloniality of power, coloniality of knowledge, dan
coloniality of being.
 coloniality of power
coloniality of power diartikan sebagai kolonialitas kekuasaan yang fokus terhadap
keterkaitan praktis sekaligus warisan koloniaisme eropa terhadap tatanan sosial dan
bentuk pengetahuan. Maksud dari warisan kekuasaan kolonial ini, adalah dampak
dalam sistem dan cara pengetahuan masyarakat setelah terjadinya kolonialisasi
bangsa eropa lebih relatif cenderung mengacu kepada pemahaman ala “barat”. Dalam
tulisannya, Ndhlovu memberikan contoh apa yang terjadi pada masyarakat Afrika
setelah pasca kolonial. Pada masa saat ini, Afrika tengah terjerat dengan cara pandang
bangsa “barat” dan terlalu mengesampingkan bagaimana cara pandang mereka sendiri
dalam hal ilmu pengetahuan. Sehingga pada akhirnya tanpa disadari terbentuk sistem
hirarki didalam struktur masyarakat.. Hal ini yang disayangkan oleh Ndhlovu
terhadap para ilmuan Afrika, yang dianggap lupa dan tidak menyadari struktur hirarki
yang tidak terlihat didalam masyarakatnya.
 coloniality of knowledge
kolonialitas pengetahuan ini yang dimaksud adalah pandangan mendasar berupa
eurosentris terhadap sistem ilmu pengetahuan. Pandangan ini menjadi dasar
hubungan yang terjalin antara bangsa Eropa dengan non-Eropa, atau bangsa kolonial
dengan bangsa “bekas” kolonialisasi. Hubungan yang terjalin diantara kedua belah
pihak ini seakan-akan memberikan legitimasi terhadap keilmuan bangsa Eropa
sebagai guru atau patokan dari keilmuan bangsa non-Eropa. Sangat disayangkan
memang, mengetahui cara pandang non-Eropa (pengetahuan lokal) tersingkirkan
padahal pemahaman ala eropa tidaklah selalu sesuai dengan realitas di negara dunia
ketiga.
 coloniality of being
coloniality of being atau kolonialitas keberadaan, merupakan sebuah wacana yang
dicanangkan dalam bentuk apresiasi terhadap mereka yang bukan “Eropa”. Wacana
ini dibangun dengan dasar subjektivitas tinggi, sehingga bangsa kolonial
meninggalkan subjektivitas tersebut mengenai bentuk kehidupan, tubuh fisik, dan
cara berfikir masyarakat negara berkembang.
Ketiga aspek tersebut menurut Ndhlovu dapat membuka jalan pemikiran mengenai diaspora
manusia yang terhubung dengan dunia secara global. Tentunya dengan konsep ini, hubungan
yang dapat dilihat dibatasi dalam bingkai dominasi dan perkembangan pemicunya
berdasarkan historis.

D. Kesimpulan dan Komentar


Berdasarkan uraian diatas, maka pendekatan yang saya rasa cocok untuk menjalankan
konsep pluralisme dekolonial adalah pendekatan historis dan live history. Hal ini dikarenakan
untuk melihat warisan kolonial, perlu memperhatikan hal-hal kontekstual yang berkaitan
dengan sejarah, wawasan, dan bentuk praktek dari warisan tersebut. Kita bisa mengambil
penggambaran, sama halnya seperti melihat luar angkasa dengan teleskop, yaitu melihaat
4
sesuatu yang kecil untuk mendapat penjelasan mengenai sesuatu yang lebih besar. Dengan
melihat bagaimana praktek hirarki kekuasan masih mencengkram di beberapa negara dunia
ketiga, maka dapat dikaitkan dengan hubungan sejarah kolonial di negara tersebut. Dengan
begitu kita akan mendapat penjelasan mengenai hubungan dominasi dan struktur kekuasaan
di wilayah diaspora dan semua itu terkoneksi dengan dunia global.

Satu hal yang ditegaskan dalam konsep yang direkomendasi oleh Ndhlovu, yaitu semua
ini dalam rangka untuk menjalankan dekolonialisasi. Secara garis besar, dekolonialisasi dapat
diartikan sebagai suatu upaya perombakan total terhadap warisan-warisan kolonial. Dengan
begitu yang saya pahami mengenai apa yang dimaksud oleh Ndhlovu adalah: Konsep
multikultural dan superdiversitas tidak mampu menjadi solusi dari problematika kekuasaan
masyarakat diaspora. Justru sebaliknya, konsep tersebut akan menambah kontras perbedaan
dan hirarki dalam masyarakat terutama terhadap masyarakat pasca-kolonial. Kegagalan ini
sudah tercerminkan di beberapa tempat seperti Afrika dan Australia. Oleh sebab itu, kedua
konsep tersebut harus dihindari sejauh mungkin jika kita ingin mencapai kesetaraan
horizontal.
Setelah mencoba memahami artikel tersebut, saya mengerti bahwa konsep yang
direkomendasi oleh Ndhlovu cukup tepat sasaran dengan mengfokuskan terhadap masyarakat
diaspora pasca-kolonial. Namun konsep tersebut yang mana memiliki tujuan mencapai
kesetaraan, dalam artikel lain ternyata cukup sulit untuk dijalankan. Dalam proses dekolonial
haruslah dilaksanakan dengan hati-hati, dan tidak tergesa-gesa. Dampak buruk dari
dekolonialisasi pun juga sudah ada contohnya da nada di bangsa kita sendiri. Contohnya
seperti yang terjadi di Timor Timur, dimana proses dekolonial diakselerasi secepat mungkin
diera Orde Baru. Dampak yang muncul adalah disintegrasi dalam masyarakat.4

E. Referensi
Ndlhlovu, F. (2016). A decolonial critique of diaspora identity theories and the notion of
superdiversity. JOURNAL DIASPORA STUDIES (vol. 9), 28-40.
Syufi, Ch. T. (2016). Bunga Rampai Indonesia: Sebuah Proposal Ringkas Papua. Yogyakarta:
DEEPUBLISH.

4
Bunga Rampai Indonesia: Sebuah Proposal Ringkas Papua. 2016.
5

Anda mungkin juga menyukai