(Review) Finex Ndhlovu - A Decolonial Critique of Diaspora Identity Theories and The Notion of Superdiversity
(Review) Finex Ndhlovu - A Decolonial Critique of Diaspora Identity Theories and The Notion of Superdiversity
11/319956/SA/16184
REVIEW
B. Superdiversitas
Dalam perkembangannya, hal menarik yang dikemukaan oleh para pemikir
multikulturalis adalah munculnya multikulturalime versi baru atau “pasca-multikultural”
yang salah satunya adalah “superdiversitas”. Pemikiran utama dari superdiversitas ini adalah
untuk mengetahui bagaimana konseptual dan pemahaman akan sumberdaya perlu diakui.
Oleh karena itu, superdiversitas harus memikirkan bagaimana manusia atau kolektif tidak lagi
terkotak-kotak dalam konteks globalisasi. Dengan begitu kita dapat mengetahui dua pola
dasar dari diaspora manusia, yaitu (1) pola tujuan masyarakat untuk berdiaspora melintasi
batas geopolitik, dan dilanjutkan oleh masyarakat selanjutnya. Masyarakat yang berdiaspora
sudah tentu membawa kebudayaan asal (Ndhlovu menyebutnya dengan istilah sumberdaya),
menuju ke tempat dimana kebudayaan itu tidak ada disana. Selain itu, kebudayaan ini juga
telah berinteraksi dengan berbagai kebudayaan lain selama perjalanan si pemilik budaya itu
menuju tempat tujuan. Selanjutnya pada pola kedua (2), berkaitan dengan berkembangnya
teknologi yang belakangan ini sudak tidak mengenal batas geopolitik. Seseorang dapat bebas
mengakses berbagai informasi di dunia global, sehingga secara tidak langsung terjadi
interaksi antar budaya.
Sebenarnya pemikiran superdiversitas bukanlah sesuatu hal yang baru. Berdasarkan pola
yang sudah dijabarkan sebelumnya, pada pola pertama menunjukan bahwa seseorang
berdiaspora sambil membawa kebudayaan asal. Dengan begitu, apa yang diusung oleh
konsep superdiversitas bukanlah suatu fenomena baru. Perpindahan manusia berserta
kebudayaannya sudah lama ada, bahkan sudah ada sejak zaman pra-modern. Ndhlovu
memberikan contoh tentang adanya dua masjid tertua di China yang berada di Guanzhou dan
Xian. Keberadaan masjid tersebut berguna untuk kepentingan keagamaan bagi bangsa-bangsa
dari Jazirah Arab yang datang untuk berdagang (Turner dan Khondker, 2010).
Sementara itu jika melihat di negara dunia ketiga, pergerakan mobilitas manusia juga
sudah ada sejak zaman pra-modern di wilayah Afrika. Pergerakan ini pun memiliki tujuan
yang lebih kompleks dari pada contoh sebelumnya, yaitu perdagangan barter, penjelajahan,
migrasi pastoral musiman dan sebagainya. Tragisnya, karakteristik diaspora ini justru
mendapat pandangan sebelah mata, bahkan dikatakan sebagai bentuk hinaan. Bagi bangsa
barat, diaspora di negara dunia ketiga dikatakan dengan istilah “nomaden” yang menurut
Ndhlovu telah menghilangkan nilai dan bentuk migrasi masyarakat Afrika pra-kollonial.
Terkait dengan berkembangnya pemahaman superdiversitas, ternyata masih mengandung
banyak kritik yang dilontarkan oleh beberapa ahli. Dari semua permasalahan yang
dilontarkan, dapat disimpulkan menjadi dua pertanyaan yaitu: Apakah kompeksitas
intelaktual yang penuh dengan esoterik2 mampu menyesuaikan diri dalam keberagaman
budaya masyarakat? Dan apakah pencarian identitas seseorang atau suatu kelompok yang
mencerminkan dirinya identik, bertujuan untuk memandang kompleksitas masyarakat sebagai
pendekatan mencari kesamaan dan “mendekati” perbedaan dengan positif?
2
Bersifat khusus/rahasia (KBBI), suatu hal yang diajarkan sulit atau mudah untuk dimengerti suatu kelompok
(Wikipedia)
2
Hal ini tidak terjawab dengan perspektif multikultural klasik maupun superdiversitas.
Oleh karena itu, Ndhlovu menyarankan bahwa hal yang dibutuhkan dalam memandang
keberagaman lebih baik diterapkan secara praktis dan bukan dalam bentuk kebijakan-
kebijakan kenegaraan. Ndhlovu mengatakan:
“This is about putting the shoulder on the wheel and getting one’s
hands dirty – living and meeting with the other, with his or her differences
in skin colour, dress, beliefs, customs, linguistic repertoires, habits and
intellectual logic. The conceptual frames of superdiversity, just like those
of multiculturalism, are illequipped to meet this premium largely due to
their idealism that does not easily translate into practical reality”.3
Jelas dari pemikiran Ndhlovu ini bahwa dasar dari pemikiran multikultural dan
superdiversitas dianggap seperti sebuah angan-angan belaka. Multikultural dan
superdiversitas hanyalah sebuah wacana tanpa mampu terealisasi dalam kehidupan
masyarakat diaspora. Baginya yang terpenting adalah tindakan praktis, bagaimana seseorang
sanggup keluar dari batas kebudayaannya dan sangup turut ikut serta terjun kedalam
kebudayaan lain. Bahkan Ndhlovu dengan tegas mengatakan konsep multikultural dan
superdiversitas dilarang diterapkan dalam praktik ini, dikarenakan justru akan menganggu
proses internalisasi akan pemahaman positif dari keberagaman tersebut.
Oleh karena keterbatasan yang dimiliki konsep multikultual berserta versi-versi terbaru
dari konsep tersebut, Ndhlovu lebih melirik konsep pluralisme untuk menjelaskan bagaimana
dispora dapat terkoneksi dengan dunia global. Ndhlovu memulainya dengan epistimologi
dekolonial yang berkaitan erat dengan faktor historis. Dengan menggunakan epistimologi
dekolonial ini, maka hal yang dikaji terkait aspek gelap dari modernitas yaitu merkantilisme,
perdagangan budak, imperialisme, kolonialisme, apartheid, neo-kolonialisme,
keterbelakangan, neoliberalisme, dan globalisasi. Pola pengungkapan secara historis seperti
ini, akan mencegah kita dan terhindar dari cara pemikiran ala barat seperti didalam
multikultural dan superdiveritas.
3
P.34
3
thinking but a totally new paradigm that shatters such thinking” (Banazak
dan Ceja 2010, 113).
Dengan kata lain, pemikiran dekolonial tidak hanya menentang cara paradigma modern,
tetapi juga memperhatikan akan kebutuhan paradigma baru dan melangkah lebih jauh dari
sebelumnya. Ndhlovu dalam tulisannya tersebut mengandalkan perspekstif dari Quijano
(2000). Perspektif yang dapat diandalkan menurut Ndhlovu dengan mengadopsi tiga dari
empat bentuk kolonialitas yaitu coloniality of power, coloniality of knowledge, dan
coloniality of being.
coloniality of power
coloniality of power diartikan sebagai kolonialitas kekuasaan yang fokus terhadap
keterkaitan praktis sekaligus warisan koloniaisme eropa terhadap tatanan sosial dan
bentuk pengetahuan. Maksud dari warisan kekuasaan kolonial ini, adalah dampak
dalam sistem dan cara pengetahuan masyarakat setelah terjadinya kolonialisasi
bangsa eropa lebih relatif cenderung mengacu kepada pemahaman ala “barat”. Dalam
tulisannya, Ndhlovu memberikan contoh apa yang terjadi pada masyarakat Afrika
setelah pasca kolonial. Pada masa saat ini, Afrika tengah terjerat dengan cara pandang
bangsa “barat” dan terlalu mengesampingkan bagaimana cara pandang mereka sendiri
dalam hal ilmu pengetahuan. Sehingga pada akhirnya tanpa disadari terbentuk sistem
hirarki didalam struktur masyarakat.. Hal ini yang disayangkan oleh Ndhlovu
terhadap para ilmuan Afrika, yang dianggap lupa dan tidak menyadari struktur hirarki
yang tidak terlihat didalam masyarakatnya.
coloniality of knowledge
kolonialitas pengetahuan ini yang dimaksud adalah pandangan mendasar berupa
eurosentris terhadap sistem ilmu pengetahuan. Pandangan ini menjadi dasar
hubungan yang terjalin antara bangsa Eropa dengan non-Eropa, atau bangsa kolonial
dengan bangsa “bekas” kolonialisasi. Hubungan yang terjalin diantara kedua belah
pihak ini seakan-akan memberikan legitimasi terhadap keilmuan bangsa Eropa
sebagai guru atau patokan dari keilmuan bangsa non-Eropa. Sangat disayangkan
memang, mengetahui cara pandang non-Eropa (pengetahuan lokal) tersingkirkan
padahal pemahaman ala eropa tidaklah selalu sesuai dengan realitas di negara dunia
ketiga.
coloniality of being
coloniality of being atau kolonialitas keberadaan, merupakan sebuah wacana yang
dicanangkan dalam bentuk apresiasi terhadap mereka yang bukan “Eropa”. Wacana
ini dibangun dengan dasar subjektivitas tinggi, sehingga bangsa kolonial
meninggalkan subjektivitas tersebut mengenai bentuk kehidupan, tubuh fisik, dan
cara berfikir masyarakat negara berkembang.
Ketiga aspek tersebut menurut Ndhlovu dapat membuka jalan pemikiran mengenai diaspora
manusia yang terhubung dengan dunia secara global. Tentunya dengan konsep ini, hubungan
yang dapat dilihat dibatasi dalam bingkai dominasi dan perkembangan pemicunya
berdasarkan historis.
Satu hal yang ditegaskan dalam konsep yang direkomendasi oleh Ndhlovu, yaitu semua
ini dalam rangka untuk menjalankan dekolonialisasi. Secara garis besar, dekolonialisasi dapat
diartikan sebagai suatu upaya perombakan total terhadap warisan-warisan kolonial. Dengan
begitu yang saya pahami mengenai apa yang dimaksud oleh Ndhlovu adalah: Konsep
multikultural dan superdiversitas tidak mampu menjadi solusi dari problematika kekuasaan
masyarakat diaspora. Justru sebaliknya, konsep tersebut akan menambah kontras perbedaan
dan hirarki dalam masyarakat terutama terhadap masyarakat pasca-kolonial. Kegagalan ini
sudah tercerminkan di beberapa tempat seperti Afrika dan Australia. Oleh sebab itu, kedua
konsep tersebut harus dihindari sejauh mungkin jika kita ingin mencapai kesetaraan
horizontal.
Setelah mencoba memahami artikel tersebut, saya mengerti bahwa konsep yang
direkomendasi oleh Ndhlovu cukup tepat sasaran dengan mengfokuskan terhadap masyarakat
diaspora pasca-kolonial. Namun konsep tersebut yang mana memiliki tujuan mencapai
kesetaraan, dalam artikel lain ternyata cukup sulit untuk dijalankan. Dalam proses dekolonial
haruslah dilaksanakan dengan hati-hati, dan tidak tergesa-gesa. Dampak buruk dari
dekolonialisasi pun juga sudah ada contohnya da nada di bangsa kita sendiri. Contohnya
seperti yang terjadi di Timor Timur, dimana proses dekolonial diakselerasi secepat mungkin
diera Orde Baru. Dampak yang muncul adalah disintegrasi dalam masyarakat.4
E. Referensi
Ndlhlovu, F. (2016). A decolonial critique of diaspora identity theories and the notion of
superdiversity. JOURNAL DIASPORA STUDIES (vol. 9), 28-40.
Syufi, Ch. T. (2016). Bunga Rampai Indonesia: Sebuah Proposal Ringkas Papua. Yogyakarta:
DEEPUBLISH.
4
Bunga Rampai Indonesia: Sebuah Proposal Ringkas Papua. 2016.
5