Anda di halaman 1dari 5

3.

Ruang Lingkup Kriminologi Mengacu pada semua definisi Kriminologi yang dikemukakan pada
perkembangan

wilayah kajian Kriminologi di atas, yang dengan sendirinya memperlihatkan lingkup kajian sebagai bidang
studinya, maka dapat diketahui yang menjadi ruang lingkup Kriminologi adalah kejahatan, pelaku
kejahatan (penjahat), sebab-sebab kejahatan (etiologi kriminal), penologi, reaksi masyarakat terhadap
kejahatan dan pelaku kejahatan beserta efektivitasnya, masalah prevensi kejahatan, proses-proses
formal dan informal dari kriminalisasi dan dekriminalisasi, situasi kejahatan penjahat dan masyarakat,
reaksi-reaksi dan tanggapan

tanggapan resmi dan tidak resmi terhadap kejahatan, penj ahat, dan masyarakat oleh pihak lain di luar
kalangan penjahat. Selain hal tersebut, jika kita simak kembali pendapat Sutherland, maka ruang lingkup
Kriminologi akan mencakup juga proses-proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-
undang, dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang. Ruang lingkup tersebut akan menjadi
bertambah lagi, jika dihubungkan lagi dengan pernyataan W.H. Nagel yakni

victimologi dan sosiologi hukum pidana. Ruang lingkup Kriminologi ini masih dapat lagi diperluas dengan
mengambil pendapat Martin L. Haskel dan Lewis Yablonsky, yakni perkembangan hukum pidana dan
pelaksanaan peradilan pidana, ciri-ciri penjahat, pembinaan penjahat, pola-pola kriminalitas, dan akibat
kejahatan atas perubahan sosial. Ruang lingkup tersebut masih bertambah lagi, karena menurut Stephen
Schafer bidang kajian Kriminologi selain mempelajari sebab-sebab kejahatan dan rehabilitasi penjahat,
juga mempelajari efisiensi sistem pemidanaan. Terakhir ruang lingkup Kriminologi akan semakin
bertambah luas jika dimasukkan pendapat Walter C. Reckless di atas.

Menyimak pengetahuan-pengetahuan yang menjadi ruang lingkup Kriminologi, dapat diketahui, bahwa
keilmuan Kriminologi bersifat sangat kompleks serta memiliki banyak bidang kerja. Menjadi tidak salah
kalau penulis katakan, bahwa “Kriminologi mempelajari kejahatan dengan segala aspek dan
permasalahan ikutannya sebagai akibat dilakukannya, terjadinya, dan diatumya kejahatan dalam suatu
peraturan perundang-undangan”. Mengingat hal tersebut, baik dalam rangka pembelajaran maupun
penerapannya terhadap kasus konkret, Kriminologi sangat memerlukan pengetahuan-pengetahuan yang
menjadi bagian dari disiplin ilmu lain yang telah disebutkan dalam ruang lingkup tadi, seperti
pengetahuan biologi, antropologi, psikologi, psihiatri, paedagogi, ekonomi, hukum, penologi, sosiologi,
dan lain sebagainya. Dalam konteks demikian inilah pendapat Sutherland yang mengatakan, bahwa
Kriminologi terdiri atas “kumpulan pengetahuan” untuk menjelaskan realitas kejahatan “barangkali”
menjadi benar adanya. Dan menjadi benar juga pendapat Donald R. Taft yang mengatakan '. "
criminology’ is not the complete science... ".
2. Perkembangan Wilayah Kajian Kriminologi

Diskursus tentang wilayah kajian Kriminologi, sejatinya tidak dapat dipisahlepaskan dengan substansi dari
pengertian dan atau definisi yang dibuat oleh para Kriminolog. Definisi dikemukakan di atas barulah
sebagian kecil saja, sehingga wilayah kajian yang ditunjukkan juga sedikit. Oleh karena itu, untuk
mengetahui wilayah kajian secara lebih komprehensif akan dikemukakan lagi beberapa pengertian
Kriminologi untuk mengetahui wilayah kajian dan sekaligus perkembangannya serta ruang lingkupnya.
Jika diteliti mengenai perkembangan wilayah kajiannya, di dalam pustaka Kriminologi ternyata tidak
hanya mengkaji (dan meneliti) “perilaku” yang dikualitikasikan sebagai

“kejahatan” dan atau “perilaku menyimpang” dan “manusia” dengan segenap totalitasnya yang
melakukan “perilaku” demikian, tetapi mengkaji dan meneliti pula “etiologi kriminal” (criminal etiology).
Memperhatikan perkembangan wilayah kajian Kriminologi, sampai dengan abad ke 20 wilayah “etiologi
kriminal” inilah yang menjadi “trade mark“ Kriminologi. Pada masa-masa itu, Kriminologi seolah-olah di-
idemdilo-kan dengan “etiologi kriminal”. Testimoninya merujuk pada rasionalisasi ajaran Bonger yang
sangat terkenal: “untuk mencegah kejahatan hal terkardinal harus diketahui adalah sebab-sebabnya,
dengan mengetahui faktor penyebabnya, kejahatan itu sedini mungkin sudah akan dapat dicegah”.
Ajaran beliau ini terimaji dari ajaran Baccon seorang filosuf Prancis, yang kemudian dijadikan adagium
dalam Kriminologi, yakni “vere scire est percausas scire” (mengetahui sesuatu dengan sebenar-benarnya
adalah mengetahui sebab-sebabnya).

Jika definisi*Bonger dikemukakan di atas dirujuk kembali, maka dapat diketahui, Kriminologi focus
mengkaji faktor “etiologi kriminal”. Hal ini dapat disimak dari rumusan definisinya . . bertuj uan
menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya".

Menurut Bonger, “bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya” berarti mencakup seluruh gejala
seperti : kemiskinan, pelacuran, kenakalan remaja, alkoholisme, gelandangan dan lain sebagainya, yang
satu dengan yang lain saling berhubungan serta kebanyakan mempunyai sebab yang sama atau terdapat
dalam satu etiologi. Faktor etiologi

demikian itu oleh-Bonger disebut Kriminologi Teoretis atau Murni, yang diartikan sebagai:
“Ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman seperti ilmu pengetahuan lainnya

yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala dan mencoba menyelidiki sebab-sebab dari

gejala tersebut dengan cara yang ada padanya”).

Merujuk pada pengertian Kriminologi Teoretis atau Murni yang dikemukakannya itu, dapat disimpulkan,
bahwa penelitian gejala kejahatan menurut Bonger meliputi penelitian sebab-sebab dari gejala
kejahatan (etiologi kriminal). Ini berarti, Kriminologi oleh Bonger diartikan sama dengan "etiologi
kriminal". Pernyataan demikian itu dapat diverifikasi kembali dari pernyataan Bonger tentang Kriminologi
teoretis dikemukakan di atas.

Pengaruh ajaran Bonger sampai dewasa ini masih diterima dan “etiologi kriminal“ tetap sul/le menjadi
salah satu wilayah kajian Kriminologi. Namun dalam upaya penanggulangan

kejahatan, sebagai cerminan dari “Kriminologi sebagai ilmu yang diamalkan”, diperkenalkan

nomenklatur baru di dalam Kriminologi, yaitu: hygiene criminal dan politik kriminal.

Pertama, hygiene criminal, diambil dari ilmu kedokteran yang berarti “mencegah le, baik daripada
menyembuhkan”. Kebenaran ilmu kedokteran ini oleh Bonger diterapkan juga dalam Kriminologi, yakni
“mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat untuk menjadi orang baik
kembali”. Lebih baik di sini juga berarti: lebih mudah, lebih mencapai tujuannya, lebih murah.18 Kedua,
politik kriminal, yang dimaksud adalah tindakan-tindakan yang harus diambil terhadap penjahat.19
Untuk menjelaskan hal ini, Bonger terlebih dahulu menanyakan, “tindakan apa yang diambil terhadap
penjahat”? Menjawab pertanyaannya tersebut pada intinya dikatakan, “pertama-tama harus diselidiki
kesehatan jiwanya, jika tidak sehat diambil tindakan yang sesuai, yakni disembuhkan jiwanya

oleh dokter. Jika jiwanya sehat, dipertimbangkan hukuman (pidana, pen.) yang dinilai paling
tepat, apakah hukuman denda atau hukuman badan atau hukuman bersyarat”

Berkaitan dengan wilayah kajian “etiologi kriminal“, di dalam pustaka Kriminologi menunjukkan,
berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, telah disepakati bahwa suatu kejahatan
terjadi karena disebabkan oleh multiple factor. Artinya, banyak factor yang menyebabkan terjadinya
kejahatan, dan itu dapat dicari dan ditemukan tidak hanya secara internal di dalam diri pelaku kejahatan,
tetapi juga secara eksternal di luar diri pelaku kejahatan. Dalam studi Kriminologi, dengan adanya
wilayah kajian “etiologi kriminal“ inilah menyebabkan berkembang berbagai macam “teori-teori
kejahatan”, termasuk oleh para filosuf Yunani kuno dengan hanya menggunakan metode kontemplatif,
sampai pada abad modern sekarang ini yang dilakukan melalui penelitian-penelitian ilmiah dengan
menggunakan metode-metode ilmiah tertentu.

Menyinggung diskursus mengenai “politik kriminal”, hal ini pun sekaligus menjadi wilayah kajian
Kriminologi berikutnya. Kriminologi di samping mempelajari kejahatan dan factor etiologikalnya, secara
langsung juga mempelajari upaya-upaya “penanggulangannya” sebagai wujud “reaksi masyarakat”
terhadap kejahatan dan penjahat. Upaya-upaya dimaksud dapat dilakukan dengan menggunakan sarana
“nonpenal” dan “penal”.

Sarana "nonpenal" dilakukan dengan menerapkan metode abolisionistik dan moralistik. Upaya ini harus
intensif dilakukan, karena bersifat sangat strategis. Hasilnya sangat berpengaruh positif terhadap
pelaksanaan penanggulangan kejahatan secara keseluruhan, khususnya dengan menggunakan sarana
penal (hukum pidana) (criminal policy by penal).

Pertama, metode “abolisionistik” maksudnya, upaya pencegahan kejahatan dilakukan

dengan menghilangkan akar kriminalitas yang secara langsung potensial menjadi kejahatan, untuk
kemudian dicarikan dan ditemukan upaya penanggulangannya yang relevan dengan akar yang menjadi
penyebab kejahatan tersebut. Pada dewasa ini, penggunaan sarana “nonpenal” dapat dilakukan dengan
memfungsionalkan instrument-instrumen hukum lain selain hukum pidana, dengan cara mengancamkan
sanksi administrasi atau sanksi keperdataan dalam suatu kebijakan legislasi yang secara khusus mengatur
suatu perbuatan tertetu. Tujuannya agar hukum pidana tidak difungsikan secara primum remedium.
Kedua, metode "moralistik" maksudnya kejahatan ditanggulangi dengan cara melakukan pembinaan
terhadap moral hazard masyarakat, melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah di
bidang agama dan keagamaan, hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang-bidang terkait
lainnya.

Berkaitan dengan penggunaan sarana "penal" dalam “politik kriminal, yang pada pelaksaannya harus
disimultankan dengan sarana “nonpenal”, ditujukan pada perbuatan yang telah ditetapkan sebagai
kejahatan dan atau tindak pidana dalam suatu peraturan perundangundangan dengan memberikan
ancaman pidana terhadap perbuatan demikian itu. Pidana yang diancamkan yang nantinya dijatuhkan
oleh hakim (pengadilan), diharapkan memiliki efek jera bagi pelakunya (special deterrent) dan bagi
anggota masyarakat pada umumnya untuk

tidak melakukan kejahatan atau tindak pidana (general deterrent). Tujuan akhimya tetap

bermuara pada upaya “penanggulangan kejahatan”.

Anda mungkin juga menyukai