@Cakragakti Hanya untuk koleksi pribadi,
bukan untuk tujuan komersill “(ri
C
LE NVEAIEINDSZNG
fe SELENEPepre ponies ety listines
pearls yeh
‘Komik masih scring mempunyai kesan "kurang positip"| Namun. sebagai sarana
kkornunikasi, ae penyampaian pesan, ternyaia beneuk visual jauh lebih efektif,
komik pewayangan yang diguli dart katanah kebudayaan nasional,
perlu kita lestarikan dan sebar luaskan.
| Nilai-nilai suri tauladan yang terkandung di dalam intiseri ceritera pewayangan
dapat membencak karakeer manusia; Dalam pe in| kami tampitkan sesuatu
yang lain dari pada yang lain, balk bestuk maupun mucunya (berwarna) shingga
menjadi Behan yang ingen dan menanik agi uk wid pemblca, trian
puter puter kita yang aclaly haus akan ceritascerta yang balk. Dis
pron akan lebih mengenal tokoh-tokoh paklawan: — kebenaran se
Hanoman, — kebijakoanaan seperti Kresna dar
dan Sri Rama,
‘Kami pereay usaha kami ini akan mendapat dukungan moril dari berbagai pihak
yang terkait, baik Tangsung maupun tidak Jangsung, dalam pelestarian kasanah ~
budaya bangsa,
Athienya pepatah nenek mayang kita mengatakan “Tinde Gading yong tak retak’
Demikian pula dalam penerbitan ini, kami yakin masih cerdapat banyak keku
‘rangannya, Untuk itu, umpan balik para pembaca dalam bentuk saran dan kritik
akan kami terima dengan tangan terbuka.
‘Terima kasih.Prakata
Oleh Jan Mintaraga
‘ampaknya, sesudah becusia hampir setengah abad, komik Indo-
nesia masih memerlukan orang tua asuh. Untuk meraih gengsi
yang pantas masih terasa tidak mudah, meski di negeri sendiri.
Komik Indonesia masih merupakan Warga Negara Klas Il, kendati
banyak pihak mencoba mengangkat pada tempat yang layak.
Karena banyaknya cabang hiburan yang lain hingga banyak menyedot
pembacanya’
Atau komik ex Iuar negeri tampil lebih menggelegar?
‘Alau komik karya seniman lokal tidak paedagogis?
Masih belasan atau yang lain. Semua bisa saja ditahbiskan jadi kam-
bing hitam yang mulus.
Beiapapun, usaha untuk meraih tingkat warga negara kelas satu tetap
jadi dambaan kaum senimannya. Apa lagi di negeri sendiri, Kita tidak
perlu memberi KTP pada orang asing dan menganggapnya sebagai tuan
rumah di negeri kita.
Kalan pada masa yang lalv hal ini masih terasa sebagai sebuah utopia,
dengan tampilnya penerbit Misurind dalam kancah penerbitan, tam
paknya semua dapat teratasi. Tetapi hal ini tidak berarti memhendunp
terbitan komik Ivar negeri. Kita tetap memerlukannya. Hanya saja,
imal kita bisa berdiri tegak sama tinggi.
“Misurind” berani tampil ke depan dengan mengangkat warisan bu-
daya nenek moyang dalam pakaian serba glamor, gemerlapan dan
sedikit arojan, untuk mengejar ketinggalan kaum seniman komik lokal.
Yang harus membuat saya angkat topi adalah, Misurind meletakkan
missi dagangnya bukan sebagai sasaran utama (meski bukan berarti
mau rugi), tetapi "mission’’-nya yang mau mengangkat warisan budaya
teluhur.
Nah, selamat berkiprah buat Misurind, modah-mudahan langkah ini
mengaugah badan penerbit lain untuk berbuat yang sama.