Anda di halaman 1dari 30

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN’ JAKARTA

PRESENTASI KASUS
SPINAL CORD INJURY DENGAN SENTRAL CORD SYNDROM

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc

Disusun Oleh :
Linna Asni Zalukhu 1610221027

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN’ JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
PERIODE : 2 JANUARI – 3 FEBRUARI 2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS:
Spinal Cord Injury dengan Sentral Cord Syndrom

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh :
Linna Asni Zalukhu 1610221027

Telah disetujui oleh Pembimbing :

dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan nikmatnya berupa kesehatan, ilmu dan pikiran, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul “Spinal Cord Injury dengan Sentral Cord
Syndrome” dan berterima kasih kepada pembimbing dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S,
M.Sc sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” di
RSUD Ambarawa. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus
ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak.
Penulis berharap agar laporan kasus ini bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan
serta pemahaman tentang “Spinal Cord Injury dengan Sentral Cord Syndrome” terutama
bagi penulis sendiri dan bagi teman – teman mahasiswa yang tengah menjalani kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Penyakit Saraf.

Ambarawa, Januari 2018

Penulis
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. SM
Usia : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Gentan 5/8 Truko Bringin Kab. Semarang
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Status : Menikah
Masuk Rumah Sakit : 9 Januari 2018

B. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 10 Januari,
pukul 14.00 WIB di Bangsal Teratai RSUD Ambarawa.

C. KELUHAN UTAMA:
Kelemahan keempat anggota gerak sejak 1 hari lalu

D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:


Pasien mengeluh kelemahan keempat anggota gerak sejak 1 hari yang lalu. kelemahan
dirasakan setelah pasien terjatuh terpeleset di sawah saat sedang membawa hasil panen yang
diletakan di kepala pasien, menurut pasien hasil panen tersebut beratnya sekitar 30 kg. Pasien
terjatuh dengan posisi pasien terduduk, dan posisi kepala leher tegap, dengan beban panen
masih di atas kepala pada jam 08.00 tanggal 9 Januari 2018. Setelah terjatuh pasien tetap
sadar namun beberapa saat tidak bisa bicara karena shock, kurang lebih sekitar 5 menit pasien
baru berteriak untuk meminta pertolongan karena merasa semua anggota gerak tidak bisa
digerakan dan seperti mati rasa. Sebelum terjatuh pasien dapat beraktivitas normal seperti
biasanya. Kemudian pasien langsung dibawa oleh Puskesmas ± 1 jam setelah terjatuh.
Di Puskesmas pasien segera mendapat perawatan, pasien diberikan oksigen dan obat
obatan segera, namun pasien tidak mengetahui obat apa yang diberikan di puskesmas, pasien
mendapat penanganan awal di puskesmas, namun karena terbatasnya fasilitas kesehatan di
puskemas tersebut, pasien dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk dilakukan foto Rontgen.
Kemudian pasien dibawa ke RSUD Ambarwa pada pukul 23.00.
Di IGD pasien segera dipasang cervical collar, oksigen dan kateter urin. Pasien tidak
merasakan sakit saat dipasang kateter urin. Warna urin kuning jernih. Oleh dokter jaga IGD
pasien dilakukan foto rontgen kepala dan leher. Pasien merasakan kebas dan kehilangan
sensasi pada seluruh badannya termasuk ke empat anggota geraknya. Selain itu pasien
mengeluh nyeri seperti ditusuk-tusuk disertai rasa kesemutan pada seluruh tubuhnya. Jika
diberikan skala nyeri pasien memberikan skala nyeri 8 dari 10 untuk rasa nyerinya. Nyeri
dirasakan terus menerus. Keluhan nyeri bertambah bila badan maupun anggota geraknya di
gerakan. Pasien masih dapat berkomunikasi dan tidak merasa kehilangan memori dan
gangguan orientasi. Pasien juga mengeluh nyeri kepala. Keluhan mual, muntah, pusing
berputar, sesak nafas, gangguan penglihatan, sulit menelan maupun kejang disangkal. Tidak
keluar darah dari telinga maupun hidung. Kemudian pasien dirawat inapkan di ruang teratai.
Satu hari setelah dirawat inap pasien masih merasakan kelemahan pada ke empat anggota
gerak, kesemutan dan masih kehilangan sensasi raba pada daerah leher kebawah. BAK yang
tertampung berwarna kuning jernih dan belum dapat BAB, kentut juga jarang setelah
kejadian hanya kentut 2 kali.

E. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:


 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
 Riwayat asma dan alergi : disangkal
 Riwayat kelemahan anggota gerak : disangkal
 Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
 Riwayat kejang : disangkal
 Riwayat epilepsi : disangkal
 Riwayat keganasan : disangkal

F. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :


 Riwayat epilepsi : disangkal
 Riwayat keganasan : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
 Riwayat asma dan alergi : disangkal

G. RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL EKONOMI :


Pasien merupakan seorang petani sejak muda. merokok dalam 1 hari habis 1 bungkus
rokok. Pembayaran pasien dengan BPJS.

H. ANAMNESIS SISTEM :
 Sistem Serebrospinal : nyeri kepala diakui
 Sistem Kardiovaskuler : Tidak ada keluhan
 Sistem Respirasi : Tidak ada keluhan
 Sistem Gastrointestinal : belum BAB, kentut jarang
 Sistem Muskuloskeletal : kelemahan dan nyeri ke empat
anggota gerak
 Sistem Integumen : rasa kesemutan dan kehilangan
sensasi pada daerah leher kebawah
 Sistem Urogenitalia :tidak terasa sakit saat dipasang
kateter urin
I. RESUME ANAMNESIS
Seorang laki-laki usia 52 tahun mengalami kelemahan ke empat anggota gerak sejak 1
hari SMRS, keluhan disertai rasa nyeri, kesemutan dan kehilangan sensasi dari leher sampai
ujung kaki setelah pasien terjatuh di pinggir sawah saat sedang membawa hasil panen yang
diletakan di atas kepalanya, saat terjatuh pasien dalam posisi terduduk. Pasien tetap sadar dan
mengeluh nyeri kepala. Selang 1 jam setelah kejadian pasien sudah berada di puskesmas dan
mendapatkan penanganan awal, namun karena terbatasanya fasilitas foto rontgen kemudian
pasien dirujuk ke Rumah sakit terdekat, pasien dibawa ke RSUD Ambarawa setelah 14 jam
penanganan di Puskesmas. Saat pasien di IGD RSUD Ambarawa, pasien dipasang cervical
collar, oksigen dan kateter urin. Air kencing berwarna kuning jernih. Kemudian pasien
dilakukan foto rontgen kepala dan leher. Pasien belum BAB sejak terjatuh dan kentut
dirasakan jarang.
DISKUSI I
Dari anamnesa tersebut didapatkan seorang pasien laki-laki usia 52 tahun mengalami
kelemahan ke empat anggota gerak, kesemutan dan kehilangan sensasi dari leher sampai
ujung kaki setelah pasein terjatuh terduduk dengan membawa beban 30 kg diatas kepalanya.
Hal tersebut memungkinkan terjadinya trauma pada bagian tulang belakang. Keluhan
kemungkinan disebabkan Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak
berupa ligamen, diskus dan faset tulang belakang dan medulla spinalis. Pada cedera medulla
spinalis dapat didapatkan keluhan berupa kelemahan, kelumpuhan, kesemutan, kehilangan
refleks pada bagian tubuh yang persarafannya terganggu akibat adanya lesi pada medulla
spinalis pada segmen tersebut. Selain itu informasi mengenai gangguan saraf otonom (belum
BAB, kentut jarang) memberikan petunjuk adannya lesi medulla spinalis. Penyebab trauma
pada medula spinalis adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga (22%),
terjatuh dari ketinggian (24%).

CEDERA MEDULA SPINALIS

Definisi
Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera yang
mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik,
sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian.1

Epidemiologi
Menurut NSCISC, di USA terjadi 11.000 kasus cedera medula spinalis tiap tahun.1
Penyebab utama cedera medula spinalis antara lain kecelakaan (50,4%), terjatuh (23,8%), dan
cedera yang berhubungan dengan olahraga (9%). Sisanya akibat kekerasan terutama luka
tembak dan kecelakaan kerja.1,3
Anatomi
Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat (SSP). Terbentang dari
foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut conus
terminalis atau conus medullaris (Gambar 1). Terbentang dibawah conus terminalis serabut-
serabut bukan saraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat.
8 pasang saraf servikal

12 pasang saraf torakal

5 Pasang saraf lumbal

5 Pasang saraf sakral


1 Pasang saraf koksigeal

Gambar 1. Anatomi medula spinalis.4


Terdapat 31 pasang saraf spinal: 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf torakal, 5
pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral dan 1 pasang saraf koksigeal. Akar saraf lumbal
dan sakral terkumpul yang disebut dengan kauda equina. Setiap pasangan saraf keluar
melalui intervertebral foramina. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan
juga oleh meningen spinal dan CSF.
Struktur internal medula spinalis terdiri dari substansi abu abu dan substansi putih
(Gambar 2). Substansi Abu-abu membentuk seperti kupu-kupu dikelilingi bagian luarnya
oleh substansi putih. Terbagi menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior median fissure san
median septum yang disebut dengan posterior median septum.
Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal.
Substansi abu-abu mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak
bermyelin, saraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Substansi abu-abu
membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior, posterior dan komisura
abu-abu. Bagian posterior sebagai input /afferent, anterior sebagai output/efferent, komisura
abu-abu untuk refleks silang dan substansi putih merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.

Gambar 2. Struktur internal medula spinalis.5


Patofisiologi
Patofisiologi cedera medula spinalis bersifat kompleks, meliputi cedera mekanik primer
seperti kompresi, penetrasi, laserasi, robekan dan atau regangan. Cedera primer memicu
terjadinya cedera sekunder seperti5:
1. Gangguan vaskuler yang menyebabkan penurunan aliran darah, gangguan
autoregulasi, gangguan sirkulasi mikro, vasospasme, trombosis dan perdarahan.
2. Perubahan elektrolit, perubahan permeabilitas, hilangnya integritas membran sel,
hilangnya energi metabolisme.
3. Perubahan biokimia seperti akumulasi neurotransmitter, pelepasan asam arakidonat,
produksi radikal bebas, peroksidasi lemak yang menyebabkan disrupsi aksonal dan
kematian sel.
Keadaan yang terpenting yang mendasari banyak keadaan patologis dan defisit
neurologis sesudah trauma adalah iskemia medula spinalis. Iskemia dapat bersifat lokal dan
sistemik. Perubahan vaskuler lokal disebabkan karena cedera langsung medula spinalis,
vasospasme pasca cedera, yang menyebabkan hilangnya autoregulasi aliran darah medula
spinalis. Gangguan vaskuler sistemik menyebabkan penurunan denyut jantung, ireguleritas
ritme jantung, penurunan tekanan darah arteri rerata, penurunan resistei vaskuler perifer dan
gangguan output jantung. Keadaan ini semua menyebabkan hipotensi sistemik5.
Pada cedera medula spinalis, terutama daerah cervical, dapat menyebabkan insufusiensi
pernafasan dan disfungsi pulmonal yang pada gilirannya menyebabkan perburukan keadaan
iskemik pada medula spinalis5.
Pada trauma medula spinalis juga terjadi suatu proses pada tingkat bioseluler. Terjadi
spasme arteri, agregasi platelet, pelepasan epinefrin, endorfin, enkefalin menyebabakna
iskemia dan gangguan autoregulasi. Integritas endotel hilang, menyebabkan edema medula
spinalis (maksimal dalam 2-3 hari). Iskemia berkaitan dengan peningkatan asam amino
eksitatori yang mengaktifkan reseptor asam amino eksitatorik, depolarisasi membran, influks
sodium, inaktivasi pompa Na-K yang mencegah repolarisasi. Terjadi influks ion kalsium,
aktivasi ATPase dan konsumsi ATP yang mengurangi cadangan energi. Akibat iskemia
terjadi metabolisme glikolisis anaerob menyebabkan asidosis laktat dan penurunan produksi
ATP. Influks ion kalsium menyebabkan aktivasi fosfolipase dan pelepasan asam arakidonat,
hipoperikoksidasi dan pembentukan radikal oksidatif bebas. Hasil akhir proses diatas adalah
kegagalan metabolisme mitokondria dan retikulum endoplasmik serta kematian neuronal5.
Berdasarkan jenisnya, cedera medula spinalis dapat pula dibagi menjadi5:
1. Cedera primer
1. Akibat trauma langsung, hematoma, SCIWORA.
2. Pada 4 jam pertama terjadi infark pada substansia alba.
3. Pada 8 jam terjadi infark pada substansia grisea dan paralisis yang irreversibel.
2. Cedera sekunder
1. Hipoksia
2. Hipoperfusi
3. Syok neurogenik
4. Syok spinal
5. Lesi diatas C5 menyebabkan kerusakan diafragma menyebabkan penurunan
kapasitas vital sebesar 20%
6. Lesi pada tingkat Torakal 4-6 dapat pula menurunkan kapasitas vitas akibat
paralisis saraf dan otot interkostal..

Klasifikasi
Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA) berdasarkan
hubungan antara kelengkapan dan level cedera dengan defisit neurologis yang timbul
(Gambar 4.):6
A. Komplit: Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang tersisa pada segmen sakral S4-S5
B. Inkomplit: Terdapat fungsi sensorik tanpa fungsi motorik di bawah lesi termasuk segmen
sakral S4-S5.
C. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh memiliki
kekuatan otot kurang dari 3.
D. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh memiliki
kekuatan otot 3 atau lebih.
E. Normal: Fungsi motorik dan sensorik normal.

Gambar . Kategori pasien cedera medula spinalis berdasarkan tingkat dan derajat
defisit neurologis menurut sistem ASIA.6
glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha
Klasifikasi Berdasarkan Keparahan.
1. Klasifikasi Frankel:
a. Grade A : Motoris (-), sensoris (-)
b. Grade B : Motoris (-), sensoris (+)
c. Grade C : Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
d. Grade D : Motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
e. Grade E : Motoris (+) normal, sensoris (+)
2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
a. Grade A : Motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
b. Grade B : Hanya sensoris (+)
c. Grade C : Motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
d. Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
e. Grade E : Motoris dan sensoris normal

Gejala Klinis
Tanda dan Gejala
Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan kehilangan fungsi
saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu, hilangnya reflek pada segment
dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus, kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter
ani) dan reflek tendon dalam. Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah
dan kadar ion pada lesi. Pada trauma medula spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa
fungsi di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis dapat kembali
seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi kembali membaik secara
bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah trauma.2
Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik dapat
menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi dari terjadinya
cedera. Defisit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang atau tersisa) dapat digambarkan
dari pola kerusakan medula dan radiks dorsalis demikian juga sebaliknya, antara lain:2,6,7
1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan fungsi
transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah lesi.
Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang parah mereduksi diameter
kanalis spinalis dan menghancurkan medula. Konsekuensinya bisa terjadi paraplegia
atau quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi otonomik termasuk
fungsi bowel, bladder dan sensorik.
2. Lesi Inkomplit
a. Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada separuh bagian
ventral medula (traktus spinotalamikus dan traktus kortikospinal) dengan kolumna
dorsalis yang masih intak dan sensasi raba (propioseptif), tekan dan posisi masih
terjaga, meskipun terjadi paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri (nosiseptif
dan termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan mekanisme herniasi diskus akut
atau iskemia dari oklusi arteri spinal.
b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medula spinalis secara ekstensif pada
salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan (paralisis) dan kehilangan kontrol
motorik, perasaan propioseptif ipsilateral serta persepsi nyeri (nosiseptif dan
termosepsi) kontralateral di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi akibat luka tusuk atau
tembak.
c. Sindrom medula sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada sentral medula
spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai cedera yang konkusif. Cedera
tersebut mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas atas lebih buruk dibandingkan
ekstremitas bawah disertai parestesi. Namun, sensasi perianal serta motorik dan
sensorik ekstrimitas inferior masih terjaga karena distal kaki dan serabut saraf
sensorik dan motorik sakral sebagian besar terletak di perifer medula servikal. Lesi
ini terjadi akibat mekanisme kompresi sementara dari medula servikal akibat
ligamentum flavum yang tertekuk selama trauma hiperekstensi leher. Sindroma ini
muncul pada pasien stenosis servikal.
d. Sindroma konus medularis. Cedera pada regio torakolumbar dapat menyebabkan sel
saraf pada ujung medula spinalis rusak, menjalar ke serabut kortikospinal, dan radiks
dorsaliss lumbosakral disertai disfungsi upper motor neuron (UMN) dan lower motor
neuron (LMN).
e. Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang atau ekstrusi
diskus pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks dorsalis kompresi lumbosakral
dibawah konus medularis. Pada umumnya terdapat disfungsi bowel dan bladder,
parestesi, dan paralisis.
Gambar 5. Pola Cedera medula spinalis.6
Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan apakah trauma
terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan lokasi trauma:
1. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal
2. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah;
kehilangan refleks brachioradialis.
3. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi siku
masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
4. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
5. C8 sampai T1
Horner’s syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki.
6. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
7. T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut
8. Cauda Equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan sangat sensitive
terhadap sensasi, kehilangan control bowel dan baldder.
9. S3 sampai S5 atau Conus Medullaris pada L1
Kehilangan control bowel dan blodder secara total.
Gambar 2.5 manifestasi klinis dan lokasi spinal injury yang terjadi
(sumber: www.jasper-sci.com)
Tanda dan gejala yang akan muncul:
1. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
2. Bengkak/edema
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
3. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan
sekitarnya.
4. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
5. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
6. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot.
7. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakkan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
8. Defirmitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
9. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis klinis : Tetraparase spastik Susp. Spinal cord Injury
Diagnosis topic : Medula spinalis, Sentral korda
Diagnosis etiologi : Spinal Cord Injury, sentral cord syndrome

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari ke 1 perawatan yang dilakukan di bangsal teratai
tanggal 10 Januari 15.00 WIB:
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
VAS :5
Tanda vital
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36.5 oC
Status gizi : kesan normoweight

Status Generalis
Kepala : mesocephal, nyeri kepala atas (+) skala 3/10, hematoma (-)
Mata : edema palpebra (-), refleks pupil (+/+), isokor (3 mm / 3 mm)
Telinga : secret (-), tinnitus (-), discharge (-)
Hidung : nafas cuping hidung, epistaksis (-), obstruksi (-)
Mulut : sianosis (-), lesi (-)
Leher : simetris, terpasang Collar Neck, vulnus ekskoriatum (-)
Thoraks : Normochest, simetris, jejas (-), hipostesia setinggi cervical V
Pulmo : VBS +/+ normal, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : S1-S2 normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, BU menurun, supel, nyeri tekan 9 regio (-), jejas (-),
hipostesia seluruh regio abdomen
Genitalia : Dalam batas normal, terpasang DC, hematuri (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-)

Status Psikiatrik
Tingkah laku : Normoaktif
Perasaan hati : Normoritmik
Orientasi : Orientasi orang, waktu, dan tempat baik
Kecerdasan : Dalam batas normal
Daya ingat : Dalam batas normal

Status Neurologis
Sikap Tubuh : Simetris
Gerakan Abnormal : tidak ada
Cara berjalan : tidak dapat dinilai

Pemeriksaan Saraf Kranial


Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N. I. Olfaktorius Daya penghidu N N
N. II. Optikus Daya penglihatan N N
Pengenalan N N
warna
Lapang pandang N N
N. III. Okulomotor Ptosis – –
Gerakan mata ke N N
medial
Gerakan mata ke atas N N
Gerakan mata ke N N
bawah
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya + +
langsung
Refleks cahaya + +
konsensual
N. IV. Troklearis Strabismus divergen – –
Gerakan mata ke lat- – –
bwh
Strabismus – –
konvergen
N. V. Trigeminus Menggigit – –
Membuka mulut – –
Sensibilitas muka – –
Refleks kornea N N
Trismus – –
N. VI. Abdusen Gerakan mata ke N N
lateral
Strabismus – –
konvergen
N. VII. Fasialis Kedipan mata N N
Lipatan nasolabial Simetris Simetris
Sudut mulut Simetris Simetris
Mengerutkan dahi Simetris Simetris
Menutup mata N N
Meringis N N
Menggembungkan N N
pipi
N. VIII. Mendengar suara + +
Vestibulokoklearis bisik
Mendengar bunyi + +
arloji
Tes Rinne TDL TDL
Tes Schwabach TDL TDL
Tes Weber TDL TDL
N. IX. Arkus faring Simetris Simetris
Glosofaringeus Daya kecap lidah 1/3 N
post
Refleks muntah N
Sengau –
Tersedak –
N. X. Vagus Denyut nadi 80 x/menit
Arkus faring Simetris Simetris
Bersuara N
Menelan N
N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala sulit dinilai sulit dinilai
Sikap bahu N N
Mengangkat bahu - -
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N. XII. Sikap lidah N
Hipoglossus Artikulasi N
Tremor lidah –
Menjulurkan lidah Simetris
Trofi otot lidah –
Fasikulasi lidah –

Anggota gerak atas Kanan Kiri


Gerakan - Terbatas
Kekuatan 2 3
Tonus hipertonus hipertonus
Trofi Eutrofi Eutrofi
Refleks fisiologis meningkat meningkat
Hoffman trommer + +
Sensitibilitas hipestesia hipestesia
Anggota gerak bawah Kanan Kiri
Gerakan Terbatas Terbatas
Kekuatan 4 4
Tonus hipertonus hipertonus
klonus + +
Trofi Eutrofi Eutrofi
Refleks fisiologis sdn sdn
Refleks patologis - -
Sensitibilitas hipestesia hipestesia

Pemeriksaan Fungsi Vegetatif :


 Miksi : terpasang DC, warna urin kuning jernih
 Defekasi : -

Pemeriksaan Kognitif
Secara umum tidak terdapat gangguan fungsi kognitif pada pasien. Pasien dapat dengan
mudah menyebutkan tanggal dan hari.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (10/01/2018)

Pemeriksaan Nilai rujukan Satuan


Hasil
Darah Rutin
Hemoglobin 13,2 – 17,3 g/dl
13,1

Leukosit 8,8 3,8 – 10,6 ribu


Eritrosit
4,46
4,4 – 5,9 juta
Hematokrit %
39,9
40 - 52
Trombosit 150 - 400 Ribu
228
MCV 82 – 98 fL
89,4
MCH 27 – 32 Pg
29,3
MCHC 32 – 37 g/dl
32,8
RDW 10 – 16 %
13,3
MPV 7 – 11 mikro m3
7,9
Limfosit 1,0 - 4,5 103/mikro m3
1,63
Monosit 0,2 - 1,0 103/mikro m3
0,32
Eusinofil 0,04 – 0,8 103/mikro m3
0,00

KIMIA KLINIK

SGOT 20 0-50 U/L


SGPT 17 0-50 IU/L
UREUM 49,5 10-50 Mg/dL
Kreatinin 0,67 0,62-1,1 Mg/dL
HDL
HDL DIRECT 47 28-62 Mg/dL
LDL+CHOLESTEROL 118,0 <150 Mg/dL
CHOLESTEROL 175 <200 Mg/dL
TRIGLISERIDA 50 70-140 Mg/dL
2. Rontgen Cranial AP/ Lateral (9/01/2018)

Kesan:

 Aligment lurus
 Spondilosis cervicalis
 Tak tampak kompresi maupunlistesisVC 1-6
 Tak tampak penyempitan diskus intervertebralis

DISKUSI II
Berdasarakan pada data-data tersebut diatas, maka pada pasien ini didapatkan VAS 5
yang artinya merasakan nyeri derajat sedang pada tubuhnya. Pasien mengalami kelemahan
anggota gerak yang terjadi secara tiba-tiba sesaat setelah pasien terjatuh dengan posisi kepala
hiperekstensi disertai gangguan sensorik berupa rasa baal. Posisi jatuh dengan kepala hiper-
ekstensi dapat menyebabkan peregangan ligamentum longitudinal anterior, yang merusak
ruangan diskus vertebralis atau bagian marginal tulang vertebra. Hal dapat mengakibatkan
fraktur batas anterior superior atau inferior tulang belakang. Pada bagian posterior secara
serentak meng-alami kompresi, sehingga mengakibatkan fraktur prosesus spinosus, serta
lamina dan permukaannya. Pada kasus ini tidak dijumpai fraktur tulang servikal yang dapat
dilihat dari hasil foto rontgen cervikal
Pada kasus ini pemeriksaan status motorik awal menunjukkan trofi normal, tanpa
fasikulasi dan klonus. Pada keempat ekstremitas bilateral ditemukan kekuatan otot yang
menurun sedangkan tonus otot normal. Refleks fisiologik masih normal, tidak ditemukan
refleks patologik. Status sensorik hipestesi eksteroseptif setinggi segmen medula spinalis C5
ke bawah, dan proprioseptif terganggu. Inkontinensia urin et alvi tidak ditemukan.
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan inkomplit berdasar-kan
ada/tidaknya fungsi yang dipertahan-kan di bawah lesi (Tabel 1). Terdapat 5 sindrom utama
cedera medula spinalis inkomplit menurut American Spinal Cord Injury Association, yaitu:
(1) Central cord syndrome; (2) Anterior cord syndrome; (3) Brown-Sequard syndrome; (4)
Cauda equina syndrome; dan (5) Conus medularis syndrome. Sindrom inkomplit yang sangat
jarang terjadi yaitu Posterior cord syndrome . Pada pasien di atas tipe sindrom cedera medula
spinalis yang paling sesuai ialah central cord syndrome (CCS).
CCS terjadi akibat cedera inkomplit pada bagian sentral segmen servikal medula spinalis,
paling sering pada segmen servikal bagian tengah hingga bagian bawah. Kasus CCS di
masyarakat sering terjadi melalui mekanisme cedera hiperekstensi pada kasus spondilosis
servikal.
Pada pemeriksaan fisik kasus CCS biasanya terbatas pada kelainan sistem neurologik,
terdiri atas gabungan lesi UMN dan lower motor neuron (LMN) yang memasok ekstremitas
atas dan mengakibatkan paralisis flaksid parsial; serta lesi yang lebih dominan pada UMN
yang memasok ekstremitas bawah mengakibatkan paralisis spastik. Kelainan ekstremitas atas
biasanya lebih parah daripada kelainan ekstremitas bawah, dan terutama terjadi pada otot-otot
tangan bagian distal. Kehilangan kemampuan sensorik terjadi hingga derajat tertentu,
meskipun sensasi sakral biasanya masih utuh.
Mekanisme cedera medula spinalis yang lainnya bisa terjadi akibat kontusio medula
spinalis. Kontusio ini terjadi karena medula spinalis terapung dalam cairan serebrospinal.
Pada goncangan misalnya akibat terjatuh maka terjadi osilasi, yang bila tidak teratur dapat
mengakibatkan benturan medula spinalis ke vertebra, dengan akibat terjadi stasis aliran
aksoplasma, sehingga lebih cenderung terjadi cedera yang edematosa dari-pada hematomielia
destruktif.
Mekanisme cedera di atas mengakibatkan kerusakan yang paling parah pada bagian
sentral medula spinalis dan kerusakan yang lebih ringan pada bagian perifer medula spinalis.
Cedera pada area ini mengakibatkan kerusakan traktus spinotalamikus lateralis dan traktus
kortikospinalisis dengan gejala yang khas.
Gangguan motorik maupun sensorik pada CCS terjadi akibat pola laminasi traktus
kortikospinalis dan traktus spino-talamikus yang khas pada medula spinalis. Traktus
spinotalamikus lateralis memiliki susunan laminasi dengan pola somato-topik, dimana serat-
serat yang berasal dari segmen sakral terletak paling dorsolateral, selanjutnya oleh serat
segmen lumbal dan torakal, sedangkan serat segmen servikal terletak paling ventromedial.
Karena CCS disebabkan oleh cedera pada bagian sentral, maka serat-serat bagian servikal
yang mengalami cedera parah sedangkan serat-serat bagian sakral tidak mengalami cedera.
Kerusakan inkomplit pada traktus ini mengakibatkan hilangnya kemampuan sensorik hingga
batas-batas tertentu dalam penghantaran impuls rasa nyeri dan suhu; juga hilangnya
kemampuan motorik yang berhubungan dengan rasa penuh pada kandung kemih, keinginan
untuk miksi, serta rasa nyeri pada kandung kemih, uretra, dan ureter, yang mengakibatkan
disfungsi kandung kemih
Kerusakan traktus kortikospinalisis dapat mengakibatkan hilangnya kemampu-an untuk
mengadakan pergerakan di bawah kemauan terutama pada bagian distal ekstremitas baik atas
maupun bawah. Oleh karena tipe laminasi traktus kortikospinalis dengan serat-serat yang
melayani tangan terletak lebih medial daripada serat-serat yang melayani kaki, maka cedera
inkom-plit di sentral segmen servikal medula spinalis akan mengakibatkan kelemahan
ekstremitas atas yang lebih parah daripada ekstremitas bawah. Sendi-sendi yang terletak di
sebelah proksimal maupun gerakan-gerakan yang bersifat kasar bisanya tidak terlalu
terpengaruh. Jika terjadi cedera yang mengakibatkan perda-rahan atau trombosis (seperti
pada CCS) yang mengenai traktus ini, maka awalnya tonus otot-otot yang bersangkutan akan
hilang. Setelah beberapa hari atau minggu, tonus otot akan kembali secara berangsur-angsur
hingga dapat terjadi spastisitas. Jika kerusakan serat UMN yang melayani ekstremitas bawah
cukup berat, refleks Babinsky akan positif.
Pemeriksaan penunjang yang disaran-kan meliputi pemeriksaan laboratorik darah dan
pemeriksaan radiologik, dianjur-kan dengan 3 posisi standar (antero-posterior, lateral, dan
odontoid) untuk vertebra servikal, serta posisi AP dan lateral untuk vertebra torakal dan
lumbal. Pada kasus ini tidak menunjukkan adanya kelainan radiologik pada foto cervikal,
pemeriksaan lanjutan CT-Scan dan MRI sangat dianjurkan. MRI merupakan alat diagnostik
yang paling baik untuk mendeteksi lesi medula spinalis akibat cedera/trauma.
Belum BAB dengan kentut yang jarang ditandai bising usus melemah dan tidak sakitnya
pasien saat dimasukan DC sebagai kateter urin menandakan telah adanya gangguan pada
saraf otonom yang mengatur sistem pencernaan dan urinaria akibat dari cedera medula
spinalis
Terjadinya parestesia/ rasa kesemutan dan mialgia pada ke empat anggota gerak dapat
disebabkan karena adanya penyempitan diskus akibat spondilosis atau proses inflamasi post
trauma yang menyebabkan terhimpitnya pembuluh darah dan saraf yang menginervasi bagian
ekstremitas atas dan bawah sehingga menimbulkan iritasi pada jaringan saraf yang terganggu
dan bermanifestasi dengan rasa kesemutan yang dirasakan oleh pasien dan nyeri saat
ekstremitas digerkakkan.
Selain itu pasien mengeluhkan nyeri kepala dapat timbul akibat perubahan
neurotransmitter seperti epinefrin, serotonin, endorphin ataupun enkefalin yang terjadi selama
proses cedera. Perubahan biokimia tersebut mengaktifkan jalur nyeri terhadap otak dan
mengganggu kemampuan otak untuk menekan nyeri. Rasa nyeri juga dapat disebabkan oleh
adanya tekanan, traksi, displacement maupun proses kimiawi dan inflamasi terhadap
nosiseptor-nosiseptor pada struktur peka nyeri di daerah leher akibat trauma9.
Cedera pada medula spinalis biasanya hanya berupa memar atau iskemia akibat oklusi
sementara arteri vertebralis diikuti oleh perbaikan secara spontan. Gejala klinis memberikan
gambaran yang beragam, mulai dari ringan dan sembuh secara spontan hingga kerusakan
yang bersifat ireversibel.
Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata harapan
hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi normal. Penurunan rata-
rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera. Penyebab kematian utama adalah
komplikasi disabilitas neurologik yaitu : pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal
ginjal.
Penelitian Muslumanoglu dkk terhadap 55 pasien cedera medula spinalis traumatik (37
pasien dengan lesi inkomplet) selama 12 bulan menunjukkan bahwa pasien dengan cedera
medula spinalis inkomplet akan mendapatkan perbaikan motorik, sensorik, dan fungsional
yang bermakna dalam 12 bulan pertama.
Penelitian Bhatoe dilakukan terhadap 17 penderita medula spinalis tanpa kelainan
radiologik (5 menderita CentralCord Syndrome). Sebagian besar menunjukkan hipo/isointens
pada T1 dan hiperintens pada T2, mengindikasikan adanya edema. Seluruh pasien dikelola
secara konservatif, dengan hasil: 1 orang meninggal dunia, 15 orang mengalami perbaikan,
dan 1 orang tetap tetraplegia. Pemulihan fungsi kandung kemih baru akan tampak pada 6
bulan pertama pasca trauma pada cedera medula spinalis traumatika.

DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Klinik : tetraparesis spastik, cephalgia, retensio alvi
Diagnosis Topik : Medula Spinalis setinggi segmen Cervical 5, sentral korda
Diagnosis Etiologi: Spinal Cord Injury dengan Sentral Cord Syndrome
PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
 Infus RL 20 tpm
 Injeksi metil prednisolon 125 mg/8 jam
 Inj ceftriaxone 2x 1 gr
 Inj ranitidin 2x1 amp
 Inj mecobalamin 1x1

2. Non Farmakologi
 Rawat inap
 Bed rest
 Konsul fisioterapi

PROGNOSIS
 Death : dubia ad malam
 Disease : dubia ad malam
 Disability : dubia ad malam
 Dissatisfaction : dubia ad malam
 Discomfort : dubia ad malam
 Destituation : dubia ad malam

DISKUSI III
Tatalaksana pada pasien ini meliputi tatalaksana non medikamentosa dan
medikamentosa. Pada kasus ini pasien melewati Golden hours pada pengobatan cedera
medula spinalis, dimana pasien baru dibawa ke rumah sakit sekitar 14 jam setelah terjatuh
dimana sebelumnya dirawat di puskesmas dengan fasilitas yang minim. Hal ini karena
pemberian kortikosteriod pada kurang dari 3 jam pertama setelah trauma dapat
mengurangkan pemburukan gejala pada pasien. Sehingga penangan yang melewati dari
golden hours memiliki prognosis kedepannya yang buruk, pada pasien ini tetap diberikan
kortikosteroid dengan tujuan prognosis tidak menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Tatalaksana nonmedikamentosa meliputi tirah baring, edukasi dan rehabilitasi medik.
Pemberian medikamentosa pada pasien dengan cedera medula spinalis
Asering
Infus asering diindikasikan untuk perawatan darah dan kehilangan cairan,
hipokalsemia, kekurangan kalium, ketidakseimbangan elektrolit, inkonsistensi pH, natrium
yang rendah dalam darah dan kondisi lainnya5

Metilprednisolon
Metilprednisolon adalah suatu glukokortikoid alamiah dan diabsorpsi cepat di saluran
cerna. Metilprednisolon bekerja dengan menduduki reseptor spesifik dalam sitoplasma sel
yang responsive. Ikatan steroid reseptor ini lalu berikatan dengan DNA yang kemudian
mempengaruhi sintesis berbagai protein. Beberapa efek yang timbul adalah berkurangnya
produksi prostaglandin dan leukotrein, berkurangnya degranulasi sel mast, berkurangnya
sintesis kolagen. Steroid juga berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid,
mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis, menghambat
pelepasan endorfin dari hipofisi dan menghambat respon radang. Studi NACIS II (The
National Acute Spinal Cored Injury Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30 mg/ kg BB
secara bolus IV selama 15 menit dilanjutkan 5,4 mg/ kg BB/ jam selama 23 jam. Selanjutnya
diberikan 2x125 mg selama 48 jam. Hal ini sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan
sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang oleh
kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan sekunder.

Ceftriaxone
Ceftriaxone adalah golongan antibiotik cephalosporin yang dapat digunakan untuk
mengobati beberapa kondisi akibat infeksi bakteri, seperti pneumonia, sepsis, meningitis,
infeksi kulit, gonore atau kencing nanah, dan infeksi pada pasien dengan sel darah putih yang
rendah. Selain itu, ceftriaxone juga bisa diberikan kepada pasien yang akan menjalani
operasi-operasi tertentu untuk mencegah terjadinya infeksi.

Citicoline
Citicolin golongan nootropik dan neurotonik/ neurotropik, vasodilator perifer &
aktivator serebral. Obat resep ini berfungsi mencegah degenerasi saraf dan melindungi
kerusakan mata akibat degenerasi saraf optik, meningkatkan phosphatidylcholine,
meningkatkan metabolisme glukosa di otak, dan meningkatkan aliran darah dan oksigen otak5.
Ketorolac
Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi penggunaan
ketorolac adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal selama 5
hari. Ketorolac selain digunakan sebagai anti inflamasi juga memiliki efek anelgesik

Ranitidin
Ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Pada pemberian
ranitidine, sekresi asam lambung dihambat. Ranitidine juga berfungsi sebagai gastroprotektor
dan mencegah efek samping dan interaksi dengan obat lain.

Meticobalamin
Mecobalamin merupakan bentuk vitamin B12 dengan gugus metil aktif yang berperan
dalam reaksi transmetilasi dan merupakan bentuk paling aktif dibandingkan dengan homolog
vitamin B12 lainnya dalam tubuh, dalam hal kaitannya dengan metabolisme asam nukleat,
protein dan lemak. Mecobalamin/methylcobalamin meningkatkan metabolisme asam nukleat,
protein dan lemak. Mecobalamin bekerja sebagai koenzim dalam sintesa metionin.
Mecobalamin terlibat dalam sintesis timidin pada deoksiuridin dan mempercepat sintesis
DNA dan RNA. Pada penelitian lain ditemukan mecobalamin mempercepat sintesis lesitin,
suatu komponen utama dari selubung mielin.

Follow UP:
Tanggal S O A P
Rabu 10/01/18 Pasien mengatakan Ku: Lemah Spinal Cord Injury Infus RL 20 tpm
keempat anggota Kesadaran: CM dengan sentral cord Injeksi metil prednisolon
gerak masih GCS : E4 V5 M6 sindrome H-II 3x 125 mg/8 jam (Tapp
terbatas untuk TD: 130/70 Off)
digerakan. Tangan N: 63, RR: 20 Inj ceftriaxone 2x 1 gr
kanan tidak dapat S: 36 Inj ranitidin 2x1 amp
digerakan, kedua motorik Inj mecobalamin 1x1
kaki sedikit bisa 2 3 Program:
digerakan namun 4 4 Konsul fisioterapi
terbatas. Nyeri Sensorik :
kepala (+), rasa baal tetraparesis
dan kesemutan
berkurang(+), BAK
(+), BAB(-) sejak 1
hari SMRS
Kamis 11/01/18 Kedua tangan Ku: Lemah Spinal Cord Injury Infus RL 20 tpm
masih terbatas Kesadaran: CM dengan sentral cord Injeksi metil prednisolon
digerakan. Nyeri GCS : E4 V5 M6 sindrome H-III 2x 125 mg/8 jam (Tapp off)
pada punggung (+). TD: 130/90 Inj ceftriaxone 2x 1 gr
Nyeri kepala (-), N: 85, RR: 20 Inj ranitidin 2x1 amp
rasa baal dan S: 36 Inj mecobalamin 1x1
kesemutan motorik Program:
berkurang(+), BAK 2 3 Konsul fisioterapi:
(+), BAB(-) sejak 2 4 4 Pemasangan Collar Neck
hari SMRS Sensorik :
tetraparesis
Jumat 12/01/18 Tangan kanan Ku: Lemah Spinal Cord Injury Infus RL 20 tpm
masih sulit Kesadaran: CM dengan sentral cord Injeksi metil prednisolon
digerakan. Saat GCS : E4 V5 M6 sindrome H-V 1x 125 mg/8 jam
coba digerakan TD: 170/100 Inj ceftriaxone 2x 1 gr
terasa nyeri (+). N: 80, RR: 20 Inj ranitidin 2x1 amp
Nyeri pada S: 36 Inj mecobalamin 1x1
punggung (+). motorik Program:
Nyeri kepala (-), 2 3 PO;
rasa baal dan 4+ + 4 Laxadin syr 3xc2
kesemutan Amlodipin 1x10 mg
berkurang(+), BAK Metilprednisolone 2x16 mg
(+), BAB(-) sejak 3 (Tapp off)
hari SMRS
Sabtu 13/01/18 Tangan kanan Ku: Sedang Spinal Cord Injury Infus RL 20 tpm
masih sedikit bisa Kesadaran: CM dengan sentral cord Injeksi metil prednisolon
digerakan namun GCS : E4 V5 M6 sindrome H-VI 2x 16mg mg (tapp off)
terbatas. Nyeri pada TD: 130/90 Inj ceftriaxone 2x 1 gr
punggung (+). N: 90, RR: 20 Inj ranitidin 2x1 amp
Nyeri kepala (-), S: 36 Inj mecobalamin 1x1
rasa baal dan motorik
kesemutan 2 4
berkurang(-), BAK 5 5
(+), BAB(-) sejak 4
hari SMRS
Minggu 14/01/18 Tangan kanan Ku: Sedang Spinal Cord Injury Infus RL 20 tpm
masih sedikit bisa Kesadaran: CM dengan sentral cord Injeksi metil prednisolon
digerakan namun GCS : E4 V5 M6 sindrome H-VII 1x 16mg (tapp off)
terbatas. Nyeri pada TD: 130/90 Inj ceftriaxone 2x 1 gr
punggung (+). N: 90, RR: 20 Inj ranitidin 2x1 amp
Nyeri kepala (-), S: 36 Inj mecobalamin 1x1
rasa baal dan motorik Program:
kesemutan 3 4 BLPL
berkurang(-), 5 5

BAK (+), BAB(-)


sejak 4 hari SMRS
DAFTAR PUSTAKA

1. Hurlbert, RJ. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An Inappropriate


Standart of Care. J Neurosurg (spine). 2000;93 : 1-7
2. Sidharta P, Mardjono M. 1981. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat
3. Adams RD, Victor M. 2001. Disease os Spinal Cord in Principles of Neurology,
7th ed. New york: Mc Graw Hill
4. Alpert, MJ. 2001. Central Cord Syndrome. eMedicine Journal
5. Basuki A, Dian S. 2009. Kegawatdaruratan Neurologi. Bagian Neurologi Universitas
Padjajaran.
6. Dawodu ST, Bechtel KA, Beeson MS, Humphreys SC, Kellam JF, et all. Cauda
equina and conus medullaris syndromes. March 2013. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/1148690-overview#aw2aab6b2b4, 7 Juni
2015.
7. Young W. Spinal Cord Injury Level And Classification. (Last updated: 2000;
accesed:14 April 2012).Available from
:http://www.neurosurgery.ufl.edu/Patients/fracture.shtml
8. Qureshi I, Endres JR. Citicoline: A Novel Therapeutic Agent with Neuroprotective,
Neuromodulatory, and Neuroregenerative Properties. Nat Med J. 2010.
9. Goetz GC. 2003. Headache and Facial Pain. In Textbook of Clinical Neurology.
2ndedition. Elsevier Science. USA: 1187-94

Anda mungkin juga menyukai