Anda di halaman 1dari 16

PEMIKIRAN LUKACS TENTANG HISTORY AND CLASS CONSCIOUSNESS

Oleh : Joko S. Dwi Raharjo

Georg Lukacs merupakan salah satu pemikir Marxis yang pemikirannya menjadi referensi
utama. Ia merupakan pemikir Marxis yang bisa dikatakan sangat berpengaruh di abad 20.
Bukunya yang sering menjadi rujukan adalah History And Class Consciousness (HCC),
buku tersebut telah menjadi teks dasar bagi marxisme barat, teori kritis dan menginspirasi
lahirnya gerakan kiri baru

A. Riwayat Hidup
Lukacs dilahirkan di Budapest, Hungaria, pada tanggal 13 April tahun 1885 dari keluarga
keturunan Yahudi. Ayahnya bernama József Löwinger, seorang direktur bank, dan ibunya
bernama Adele Wertheimer. Pada tahun 1904 ia meniti hidup dengan masuk ke dunia
panggung dengan mementaskan beberapa drama terkenal di Budapest. Pada 1903 ia masuk
universitas Budapest menempa diri dalam bidang hukum, ekonomi nasional, sastra, sejarah
kesenian, dan filsafat. Pada tahun 1906 ia meraih gelar doktoral di dibidang ilmu kenegaraan
dan dibidang filsafat pada tahun 1909. Tahun 1907, Ia menjadi murid pribadi George Simmel
di Berlin dan sejak tahun 1908 ia ikut bekerja pada majalah Nyugat yang berperan dalam
pembaharuan sastra Hongaria. Karya pertama Lukacs adalah tulisannya “Sejarah
Perkembangan Drama Modern” yang mendapat penghargaan hadiah pertama Himpunan
Krisztina.
Sejak 1909 Lukacs tinggal di Berlin, namun sesekali waktu ia juga melancong ke Italia
dan Perancis. Tahun 1911 menerbitkan bukunya “Jiwa dan Bentu-Bentuk”. Lukacs pindah
ke Heidelberg pada 1913, disana ia berkenalan dengan Max Weber, Ernst Boch, dan Karl
Mannhiem, serta mendengarkan kuliah dua tokoh Neokantianisme, Heinrich Rickert dan
Wilhelm Windel kemudian ia menerbitkan buku “Budaya Estetik”. Pada tahun 1914 ia
menikah dengan seorang wanita anggota partai Sosialis-revolusioner Rusia, bernama Jelena
Andrejewna Grabenko. Dan dari situlah ia mulai mempelajari tentang Hegel dan Marx
secara mendalam. Namun pernikahan dengan Jelena tidak berlangsung lama. Karena ia jatuh
cinta lagi kepada seorang wanita bersuami bernama Gertrud Bortstieber, lalu kemudian
memutuskan untuk menikah. Tahun 1916 Lukacs menerbitkan buku lagi yang berjudul “
Teori Roman”. Dan pada akhir tahun 1916 ia memutuskan kembali ke Budapest, kemudian
melamar menjadi guru besar di Heidelberg namun ditolak karena ia orang Hongaria.

1
Kemudian, ia masuk partai komunis Hongaria dan menjadi salah satu redaksi di majalah
internationale. Pemikiran Rosa Luxemburg dan buku Lenin Negara dan Revolusi telah
banyak menginspirasinya dan memberikan benih pemikiran revolusioner dalam dirinya.
Pada tahun 1919 menerbitkan karangan “Tatanan Hukum dan Paksaan”. Ia juga diangkat
sebagai anggota Komite Sentral Partai Komunis Hongaria dan selanjutnya menjadi
Komisaris untuk Pendidikan dan Komisaris Politik dalam tentara merah di bawah
kepemimpinan Bela Kuhn. Ia menerbitkan tulisannya “Taktik dan etika”. Kemudian tahun
1920 menerbitkan “tentang masalah organisasi kaum intelektual” dan “ Tentang masalah
Parlementisme”.
Pada tahun 1922 ia menulis “History and Class Consciousnes” atau Sejarah dan
Kesadaran Kelas, yang menjadi master piece nya. Buku tersebut kemudian menjadi
pemantik perdebatan yang cukup memanas dikalangan Partai Komunis Hongaria dan
Komintern. Tahun 1924 terbit tulisan selanjutnya “ Lenin, Studi tentang Keterkaitan
Pikiran-pikirannya” . Dalam konggres PKH Lukacz menyusun tesis-tesis Blum dan
mengajurkan pembentukan Front Rakyat untuk melawan rezim kanan Hongaria. Pada tahun
1930 di usir dari Wiena dan pindah ke Moskwa dan membantu penerbitan Marx-Engels.
Tahun 1933 bekerja di Lembaga Filsafat Akademi Ilmu Pengetahuan. Ia selanjutnya
menekuni bidang sejarah Ekspresionisme.
Pada tahun 1944 kembali ke Budapest dan diangkat sebagai guru besar untuk estetika
dan filsafat kebudayaan. Kemudian pada tahun 1949 menjadi anggota Dewan Perdamaian
Dunia. Tahun 1949 – 1955 ia menjadi anggota Parlemen Hongaria, Presedium Akademi
Ilmu Pengetahuan Hongaria, Dewan Negara Front Patriotik Rakyat dan organisasi lain.
Tahun 1958 Lukacs menerbitkan “Melawan Realisme yang Disalahpahami” dan 1963
menerbitkan “Kekhasan Dimensi Estetika” . Ia mulai menulis tentang “ Ontologi Realitas
Sosial” hingga ia meninggal pada tahun 1971. Namun pada tahun 1967 sempat menuliskan
kata pengatnar baru untuk “Sejarah dan Kesadaran Kelas”1.

B. Sejarah Dan Kesadaran Kelas (History And Class Consciousness)


1. Pendahuluan
Lukacz menulis History And Class Consciousness (HCC) antara tahun 1919 – 1922
dan diterbitkan pada tahun 1923. Buku ini dianggap sebagai “Kitab Suci” bagi golongan

1
Susesno, Frans Magnis. 2003. Dalam Bayang Bayang Lenin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

2
kiri baru, dengan memahami bahwa Marxisme sebagai perlawanan terhadap paham
kapitalisme dan sekaligus terhadap Marxisme Vulgar2
HCC lahir dipicu oleh kegelisahan Lukacs, dimana Marxisme yang jelas-jelas
bersifat revolusioner justru diperalat oleh para kaum ideologis-dogmatis yang
menyerukan revolusi reaktif dan para borjuis-demokrat yang berbaju Marxisme yang
membawanya pada sekedar teori untuk menjaskan dimensi sosiologis dan ekonomis
tatanan masyarakat kapitalis. Menurut Franz Magnis Suseno buku HCC tersebut
diilhami oleh dua hal: (1) mengembalikan harkat filosofis teori Karl Marx melawan
pendangkalannya oleh "marxisme vulgar". (2) menangkis kritik dari pelbagai kalangan
Marxis, khusunya Rosa Luxemburg, terhadap penghapusan kebebasan-kebebasan
demokratik di Uni Soviet.3
HCC Karya Lukacs ini terdiri dari delapan, yang diawali mulai dari pendahuluan,
marxisme ortodoks, marxisme Rosa Luxemburg, kesadaran kelas , reifikasi dan
kesadaran kelas proletariat , perubahan fungsi materialism hostoris, legalitas dan
ilegalitas , tinjauan kritis atas tulisan Rosa Luxemeburg.
Dalam karyanya ini, Lukacs berusaha mengembalikan dimensi filosofis dari
Marxisme dengan mengkaji kembali dialektika Hegelian sebagai titik tolaknya.
Sebagaimana kata-kata Lukacs yang dikutip Goenawan Mohamad "bagi siapa pun yang
ingin mengembalikan dimensi revolusioner Marxisme, kembali ke tradisi Hegel
merupakan kemestian."4 Hal ini jelas membawa implikasi yang cukup menegangkan
dikalangan Komintern yang mempercayai akan adanya aspek teleologis seiring
kontradiksi kapitalisme yang secara otomatis akan meneguhkan revolusi proletariat
hingga mencapai tatanan ideal komunisme.
Solusi atas pendangkalan Marxisme tersebut, Lukacs kemudian memposisikan
dirinya dalam konstruk materialisme-dialektis-historis sebagai sebuah totalitas. Menurut
Lukacs, Marxisme ortodox mengacu pada metode asal Marxisme yaitu materialisme-
dialektis. Marxisme ortodox bukanlah merupakan thesis ini atau itu bukan pula
semacam tafsir atas buku 'suci', demikian Lukacs. Hal ini membawa konsekuensi logis
terhadap dimensi pembaharuan Marxisme yang dalam rentang sejarah telah ketinggalan
jaman dan tidak sesuai dengan kondisi sosio-historis perkembangan masyarakat.

2
Poespowardojo, Soerjanto dan Seran, Alexander. 2016. Diskurus Teori Teori Kritis : Kritik atas Kapitalisme
Klasik, Modern dan Koontemporer.
3
Susesno, Frans Magnis. 2003. Dalam Bayang Bayang Lenin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
4
Muhammad, Goenawan. 2011. Marxisme Seni Pembebasan. Jakarta : Pustaka Grafiti.

3
Sebagaimana motto favorit Marx: de omnibus dubitandum (ragukan segala-galanya).
Sehingga ortodoksi semata-mata mengacu pada metodenya yang tak lain adalah
materialisme-dialektis.
Lukacs juga membaca ulang Marx dengan penekanan pada kesadaran kelas,
kesatuan teori dan praksis, serta konsep tentang reifikasi. Yang mana ia memperjelas
mengambil posisi yang berlawanan terhadap kecenderungan fatalisme ekonomis dan
sosialisme etis. Baginya, peranan revolusioner Marxisme hanya dapat tercipta dengan
memahami kesatuan antara teori dan praksis serta memahami kenyataan dalam
masyarakat sebagai totalitas. Ia pula menyerukan pembongkaran terhadap konsep
reifikasi yang ada dalam sistem kapitalisme yang tentu menghasilkan alienasi atas
kesadaran proletariat sebagai subyek yang menegakkan revolusi.

2. Pemahaman Terhadap Buku Sejarah dan Kesadaran Kelas


"Para filosof hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, namun yang jadi inti
adalah merubahnya." Demikian sepatah kata Karl Marx yang dengan nada sinis
menyerang para kaum idealis yang sama sekali tak menyentuh realitas nyata. Berangkat
dari asumsi ini kemudian Marx mengonsepsikan filsafat yang lebih bernada revolusiner
dengan titik tolak ontologi materialisme. Emansipasi menjadi kata kunci seiring
terjadinya berbagai macam dehumanisasi yang dibawa oleh sistem kapitalisme yang
dikritik habis-habisan oleh Marx. Dalam proyek revolusionernya, Marx memang
terinspirasi oleh Hegel terutama terkait metode dialeketikanya. Hanya saja Marx
memberikan efek realis pada metode dialektika itu, yang kemudian dinamainyalah
metodenya sebagai Materialisme-dialektis.
Pengertian umum tentang materialime pada awalnya hanya mengacu pada materi
sebagai hakikat realitas. Namun menurut Marx pengertian itu tidak membawa perubahan
yang signifikan ketika dihadapkan dengan kondisi aktual emansipasi. Dalam Tesis
pertamanya tentang Feuerbach, Marx menunjukkan pengertian baru dari materialisme:
"Kekeliruan mendasar dari materialisme yang ada sampai saat ini—termasuk juga
Feuerbach—adalah bahwa benda (Gegenstand), realitas, keindrawian, dimengerti hanya
dalam bentuk obyek (Objekt) atau kontemplasi (Anschauung), tetapi tidak sebagai
aktivitas indrawi manusia, praktik, (atau dengan kata lain) tidak secara subyektif."5

5
Karl Marx, Theses On Feuerbach dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works: Vol II(Moscow, Foreign
Languages Publishing House: 1958), hlm. 403

4
Materialisme sebelum Marx hanya memahami materi sebagai obyek indrawi belaka.
Pengertian ini tak mampu menyadari bahwa obyek-obyek material itu adalah juga hasil
dari aktivitas subyektif manusia. Sentralitas pada obyek ini dibalikkan oleh Marx dengan
menunjukkan peran sentral subyek, manusia, dalam konstitusi materialitas hal-ikhwal.
Dengan pendekatan yang dapat disebut sebagai “materialisme subyektif” inilah Marx
lantas dapat menunjukkan sesuatu, selain obyek material, yang konstitutif terhadap
realitas. Sesuatu itu tak lain adalah laku, kerja, praxis.
Kita tahu bukan Marx yang pertama kali berbicara mengenai dialektika. Sejak
Platon, pemikiran filosofis senantiasa dicirikan dengan sifat dialektis. Sokrates,
junjungan Platon, sendiri berfilsafat dengan dialektika, dengan dialog (ingat: asal kata
Yunani dari dialektika adalah dialegesthai yang artinya “dialog”). Namun, dari Hegel-
lah Marx menimba pelajaran mengenai dialektika. Pengandaian dasar dialektika Hegel
adalah relasionalisme internal, yakni pengertian bahwa keseluruhan kenyataan,
dipahami sebagai manifestasi-diri Roh, senantiasi terhubung satu sama lain dalam jejalin
yang tak putus. Yang didalamnya terdapat proses yang saling bertabrakan antara thesis
dan anti-thesis untuk menghasilkan sintesis.
Tak mengherankan olehnya jika kemudian Lukacs dalam bab pertama HCC-nya
kemudian mengembalikan jantung filsafat Marx pada dimensi materialisme-dialektis itu.
Hal ini berdasarkan asumsi bahwa metode marx tentang materialisme-dialektis tersebut
secara logis dapat menjadi landasan kebenaran obyektif, sebagaimana Lukacs sendiri
berkata:
"Materialisme dialektis adalah jalan menuju kebenaran dan bahwa metode
materialisme dialektis itu dapat dikembangkan, diperluas, dan diperdalam hanya
sepanjang garis-garis yang telah di gariskan oleh para pendirinya." (hlm: 22) Inilah
yang kemudian ia namai sebagai Marxisme ortodox, yang mana ortodoksi hanya berlaku
untuk mengafirmasi pada totalitas obyektif dari materialisme-dialektis. Bahkan,
menurutnya melampaui atau mempernbaiki materialisme-dialektis itu sama saja dengan
over-simplikasi, penyepelean, dan eklektisisme.
Dalam bab pertama Lukacs banyak berbicara terkait materialisme-dialektis sebagai
metode untuk melakukan tahap revolusi yang kemudian diterapkan dalam dimensi
sejarah atau materialisme-historis. Titik tekan kajiannya adalah kritik terhadap kaum
marxis vulgar yang merduksi metode materialisme-dialektis hanya sebagai alat penjelas
realitas dan bukan sebagai alat untuk mengobarkan revolusi. Selain itu, menurut Lukacs

5
dialektika menegaskan sebuah kesatuan konkret antar keseluruhan. Totalitas dalam
memandang fenomena sosial tentunya menjadi kunci untuk mencapai revolusi. Teori
dan praksis karenanya tak dapat dipisahkan secara diametral, sebab dengan pemisahan
atas teori dan praksis adalah sama saja mengungkung Marxisme kedalam ideologi
borjuis yang cenderung menjaga status-quo. Teori ilmu alam yang cenderung
menganggap fakta secara parsial, objektif, bebas-nilai, dan berjarak dengan realitas
tentunya harus ditinggalkan. Maka, kapitalisme sebagai sebuah patologi haruslah dilihat
dalam relasi-relasinya secara holistik.
Lukacs diakui memang terpengaruh oleh pemikiran Rosa Luxemburg dan Lenin. Hal
ini begitu jelas dimana secara eksplisit ia sendiri katakan dalam pengantar HCC-nya.
Sebagaimana uraiannya:

"Rosa Luxemburg adalah satu-satunya murid Marx yang berhasil memanfaatkan


karya Marx yang berisi doktrin-doktrin ekonominya, baik dalam hal isi maupun
metode. Luxemburg-lah yang menemukan jalan untuk menerapkan doktrin-doktrin
itu secara konkret kedalam situasi perkembangan sosial sekarang." (hlm 10).

Dari afirmasinya yang tegas, begitu jelaslah dimana lukacs banyak menemukan
kebenaran pada analisis Rosa Luxemburg. Bahkan, ia menurutnya posisi Marxis dan
Komunis yang benar-benar revolusioner, hanya bisa diperoleh dari pembacaan kritis
atas karya-karya teoritis Rosa Luxemburg. Sementara itu dari Lenin, Lukacs mengambil
keefektifan teori-teori revolusinya yang mencapai tataran esensi praktis, sehingga
Marxisme mencapai kejelasan dan kekonkretan yang sebelumnya tak pernah dicapai.

Dalam bab ke dua, Lukacs berangkat dari posisi teoritik yang telah dikonstruksi
ulang oleh Rosa Luxemburg dari karya-karya Marx. Terutama analisanya terhadap
motif-motif ekonomi dan penjelasan historis yang secara antagonis 'mengejek'
pemikiran borjuis yang parsial. ia menekankan pentingnya sebuah totalitas. Implisit dari
argumen-argumen Lukacs secara tegas menyatakan bahwa ciri normatif pemikiran
borjuis adalah memilah-milah dan memisahkan proses produksi dari produsen,
pembagian proses kerja menjadi bagian-bagian dengan mengorbankan kemanusiaan
individual pekerja. Berbeda dengan Marxisme yang menggunakan metode
dialektikanya untuk mencapai suatu totalitas. Sebagaimana uraiannya:

6
"Kategori totalitas tidak hanya menentukan objek pengetahuan, tetapi juga
subyeknya. Pemikiran borjuis hanya menilai fenomena sosial secara sadar maupun
tak sadar, secara naif atau subtil, dari sudut pandang individual." (hlm 67)

Problematik dasar yang diangkat adalah persoalan bagaimana posisi


subyek/obyek. Kita tahu, dalam perspektif filsafat modern terjadi sebuah pengagungan
terhadap subyek sebagai pusat dari segala sesuatu. tak mengherankan kemudian jika
kemudian individu atau subyek diagungkan dalam relasinya dengan obyek.
Kecenderungan semacam ini pula terdapat dalam pola pikir Hegel yang terombang-
ambing antara "individu yang agung dan ruh masyarakat yang abstrak." Berbeda dengan
Marx yang mengambil posisi lebih obyektif dimana totalitas atas kesatuan unsur dalam
setiap entitas yang berjalin-kelindan dalam masyarakat selalu sudah dalam
keterpaduannya. Maka dialektika sebagai titik tolaknya kemudian merangkaikan sebuah
kesatuan obyek dalam suatu totalitas begitu pula subyek dalam sebuah totalitas. Hal ini
menjadi penting, sebab dengan merampingan salah satunya dalam perpektif individual
dialektika justru akan mandek sebagai metode menuju proses revolusi. Implikasinya
revolusi kemudian bukan menjadi bagian dari sebuah proses, melainkan sebagai
tindakan terisolasi yang terpisah dari pergerakan umum peristiwa-peristiwa.

Dalam bab ketiga, Lukacs berbicara tentang problematika kesadaran kelas


sebagai pemantik terpecahnya revolusi proletariat. Setelah sebelumnya ia mengecam
pemikiran borjuis yang mengeram pada para pengikut marxisme vulgar atau para
pengikut partai sosialis yang bergabung dalam internasionale II. Yang dalam perspektif
lukacs berkubang dalam gerakan reaktif tanpa nada revolusioner sama sekali. Hal ini
dikarenakan terjebaknya mereka dalam riuh rendah fatalisme ekonomistik dan
voluntarisme naif. Sehingga tak dapat dipungkiri jika ingin mengembalikan jiwa
revolusioner Marxisme adalah dengan semangat materialisme historis. Maka peran
penting kesadaran kelas adalah syarat imperatif terciptanya revolusi itu sendiri.
Sebagaimana dikatakan Lukacs:

"Kesadaran ini bukanlah jumlah keseluruhan dan bukan pula jumlah rata-rata dari
apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh individu-individu tunggal yang
membentuk kelas, melainkan aksi yang mempunyai arti penting historis dari kelas
sebagai sebua keseluruhan, pada akhirnya ditentukan oleh kesadaran ini dan

7
bukan oleh pemikiran individual –dan aksi-aksi ini hanya dapat dipahami dengan
mengacu pada kesadaran tersebut." (hlm 105)

Begitu jelas penjelasan Lukacs tersebut yang mengobyektifkan peran kelas proletariat
sebagai subyek sejarah yang sadar diri untuk melakukan emansipasi menuju revolusi.
Sehingga kelas proletariat sebagai totalitas konkret merupakan syarat wajib dalam
prosesnya menuju telos-nya yaitu revolusi proletariat. Pengandaian teleologis atas
sejarah tersebut jelas berangkat dari materialisme-dialektis-historis sebagai kesatuan
metode yang diejawantah dalam membongkar kontradiksi internal sistem kapitalisme.

Analisa kelas yang dibangunnya dalam sebuah lanskap kesadaran kolektif itu
berangkat dari pemisahan yang jelas antara kesadarn-kelas dengan kesadaran yang
terberi secara empiris. Tujuan emansipasi kelas proletar ini kemudian menjadi totalitas
untuk mencapai aras kuasa yang dipegang para kaum borjuis. Sehingga kesadaran ini
mengandaikan suatu nasib bersama yang kemudian membawa implikasi perlawanannya
terhadap status-quo. Semuanya bergantung dari sejauh mana mereka mampu menyadari
aksi-aksi yang akan mereka lakukan untuk meraih dan mengendalikan kekuasaan.
Dalam hal ini proletariat merupakan sebuah kesatuan antara pengertian tentang realitas
sosial dan realitas sosial itu sendiri. Dengan demikian kelas proletariat menyadari akan
sebuah misi sejarah dan kemudian menjadi aktor revolusioner-nya.

Dalam bab ke empat, Lukacs mempertajam konsep tentang reifikasi sebagai


akar alienasi. Berangkat dari persoalan pokok berupa konsep komoditas dan teori nilai-
nya Karl Marx, Lukacs kemudian mentotalisasi persoalan struktur masyarakat kapitalis
dengan segala macam aspeknya. Titik tekannya adalah pada persoalan komoditas yang
seharusnya tidak dipandang sebagai suatu isolasi atau menganggap persoalan inti hanya
pada aspek ekonominya saja, namun sebagai keseluruhan mekanisme yang berjalan
dalam sistem kapitalisme itu sendiri.

Fenomena reifikasi merupakan esensi dari struktur komoditas dalam masyarakat


kapitalis. Konsep ini menjadi sebuah konsep yang sangat penting ketika berbicara
realitas kesadaran kelas untuk melaksanaan panggilan objektifnya untuk
menjungkirbalikkan tatanan masyarakat borjuis serta secara subyektif proletaraiat harus
menjadi agen revolusioner untuk membebaskan diri dari kungkungan ideologi borjuis.
Syarat terciptanya kesadaran kelas tak lain dan tak bukan adalah membongkar

8
mekanisme reifikasi dalam totalitas sistem kapitalisme. Reifikasi sendiri merupakan kata
kunci yang dikonstruksi oleh Lukacs, sebagaimana uraiannya:

"Bahwa relasi antara orang dengan orang mengambil karakter antara benda
dengan benda dan karenannya memperoleh semacam 'obyektifikasi khayali'
(phantom objectivity), yaitu suatu otonomi yang seolah-olah begitu rasional dan
menyeluruh sehingga menutupi setiap jejak hakikat terdasarnya: relasi antara
orang dengan orang." (hlm 158)

Dalam perspektif ini reifikasi menyamarkan pola hubungan manusia sebagai


sekedar hubungan benda-benda, hal ini kemungkinan berangkat atas konsep fethisisme
komoditas yang pernah diutarakan Marx. Fethisisme komoditas merupakan
pemberhalaan atau pemberian efek magis tertentu terhadap sebuah objek yang kemudian
dianggap memiliki kelebihan.
Dalam tatanan masyarakat borjuis, semua hubungan antar manusia dikuasai oleh
hukum pasar. Kapitalisme telah menyamarkan bentuk hubungan kemanusiaan itu
sekedar menjadi hubungan antar komoditi, barang untuk diperjual-belikan. Semuanya
yang layak jual dalam arti memiliki nilai tukar kemudian di lempar ke pasar yang
ditentukan oleh hukum-hukum objektif pasar. Hubungan tersebut seolah terjadi secara
alami dan tanpa sadar manusia telah menjadi objek pembendaan yang tak memiliki
kekuatan sebagai manusia rasional dan bebas sama sekali. Padahal hubungan itu
merupkan hasil konstruksi historis oleh tangan-tangan manusia.
Dibagian selanjutnya Lukacs melaju ke ranah filsafat barat modern secara umum.
Yang didalamnya ia membongkar antinomi pemikiran borjuis yang mengeram dalam
kecenderungan filsafat modern seperti Kant, Descartes, Spinoza, Hobbes, Leibniz, dan
sebagainya. Sebagaimana diketahui filsafat modern merupakan kebangkitan rasionalitas
yang telah lama terkungkung oleh dogma kristiani abad pertengahan. Subyek rasional
merupakan pusat kesadaran yang mengkonstitusi dirinya sendiri dalam dualitasnya
dengan obyek yang harus dikuasai. Subyek adalah tolok ukur segala sesuatu, manusia
menjadi pusat segalanya.
"Filsafat modern menangani persoalan berikut ini: ia tidak mau menerima dunia
sebagai sesuatu yang tercipta (atau misalnya diciptakan oleh Tuhan) secara
independen dari subyek mengetahui, dan lebih memilih memahami dunia sebagai
produk dari subyek yang mengetahui itu sendiri." (hlm 205)

9
Dari sinilah sebenarnya pemikiran borjuis lahir, yang mana kemudian membawa
pandangan dunia yang eksploitatif. Weber mencirikan rasionalitas masyarakat modern
ini sebagai rasio-instrumental. Rasio intrumental adalah rasio yang di dasari atas
kalkulasi untung-rugi, efisiensi, serta penguasaan atas objek yang eksis diluar subyek.
Memang disatu sisi rasio-instrumental ala borjuis ini membawa kulminasi kemajuan
dalam titik tertingginya. Hanya saja terdapat efek dehumanisasi yang membawa manusia
terasing dan mekanistik seperti layaknya benda. Pemikiran borjuis itu memang
cenderung bersifat kontemplatif dalam arti pemikiran yang terkonstitusi dalam lanskap
individual itu sekedar memanfaatkan momen yang menguntungkan serta melihat realitas
sekedar hitam-putih tanpa mau menelaah lebih dalam akan kontradiksi internalnya.
Implikasinya pemikiran ini cenderung pasif dan sekedar menjelaskan realitas ketimbang
merubah secara mendasar konstruksi sosial kapitalisme.
Dalam bab enam, Lukacs kemudian mempertajam fungsi materialisme historis
yang tidak digunakan sebagai senjata yang efektif untuk menggerakkan revolusi.
Berbicara materialisme historis memang tak bisa dilepaskan dari materialisme dialektis,
kedua metode tersebut merupakan inti teori Marxis yang bercorak revolusioner.
Sebagaimana Lukacs sering menyinggungnya di dalam buku ini, totalitas merupakan
syarat imperatif dalam rangka pembacaan kritis proses historis maupun dialektis dalam
perkembangan masyarakat yang tentu dibumbui dengan kesadaran untuk merubah
realitas itu sendiri. Dalam kerangka ini materialisme-historis mendapatkan proporsinya
untuk 'menyadarkan' sebuah perjuangan kelas tentang bagaimana bobroknya sistem
kapitalisme yang seringkali menopengi wajah bopengnya dengan citra yang seolah
berbaik hati kepada kaum proletariat.
Lukacs sendiri dengan nada yang berapi-api menyatakan bahwa materialisme-
hitoris adalah senjata kelas proletariat yang paling ampuh untuk menelanjangi
kontaradiksi internal sistem sosial kapitalisme. Senjata yang embrionya didapati dari
konsep-konsep Marx itu dipersiapkan kembali untuk membangun masyarakat dan
kebudayaaan. Menurutnya, materialisme-historis sudah waktunya untuk dijadikan
metode ilmiah, yang mana seiring itu kelas proletariat kemudian mengontrol kekuatan
fisik dan intelektualnya secara maksimal untuk merebut kekuasaan borjuis dan
menciptakan tatanan masyarakat baru sosialisme. Maka, perjuangan kelas secara niscaya
adalah keluar dari 'bawah' kelas proletariat itu sendiri, dan bukan dari 'atas' yang
cenderung reaktif. Materialisme historis sendiri dalam konsepsi Lukacs merupakan:

10
"Sebuah metode ilmiah untuk memahami peristiwa-peristiwa masa lalu
beserta hakikatnya yang sebenar-benarnya. Berbeda dengan historis kelas
borjuis, materialisme historis memungkinkan kita untuk memandang masa
sekarang secara historis dan oleh karena itu secara ilmiah sehingga kita dapat
campur tangan ke balik permukaan dan lebih jelas menangkap kekuatan-
kekuatan historis yang pada dasarnya mengendalikan setiap peristiwa." (hlm
277)

Implisist dalam uraian Lukacs tersebut mengamini bahwa metode materialisme


historis merupakan metode yang tidak hanya sebagai penjelas artefak-artefak yang sudah
terjadi dalam rentang sejarah. Namun, berusaha menguak silang-sengkarut kuasa yang
mengendalikan formasi sosial yang terbentuk bersamanya. Ini jelas berbeda dengan
metode historis ala borjuis yang menganggap realitas hanya perlu dijelaskan, sehingga
sfat realitas menurut mereka adalah bebas-nilai, berjarak, dan obyektif.

Dalam konteks historis ini, akan lebih jelas apabila proses yang terjadi itu
dieksplisitkan bersama konsep Marx tentang infrastruktur dan superstruktur.
Infrastruktur mengacu pada basis material yang berbasiskan seluruh kegiatan ekonomi
sementara superstruktur merupakan bentukan kesadaran yang tercipta melalui cipta,
rasa, karsa atau bentuk spesifiknya berupa tatanan budaya, agama, ideologi, politik, dsb.
dalam perspektif Marx basis ekonomi-lah yang menjadi faktor primer dalam
menciptakan kesadaran kelas untuk mencapai revolusi. Ada semacam determinasi
ekonomi yang diyakini sebagai daya sentripetal terhadap proses dialektika dalam dunia
material. Tak ayal, perubahan-perubahan sosial yang terjadi dipahami dalam konstruksi
kondisi ekonomi masyarakat sebagai pemantiknya. Konsep tersebut memang agaknya
terlalu reduksionis atau dalam bahasa Lukacs tidak memandangnya dalam lanskap
totalitas. Inilah yang kemudian mengilhami Althusser untuk merekonstrusi pola
perubahan yang terlalu deterministik dan mengesampingkan faktor-faktor lainnya.
Althusser menyebutnya sebagai over-determinasi yang mana dalam konteks dan situasi
tertentu justru wilayah superstruktur itu mengalami pembalikan kearah basis material
yang darinya menjadi daya dorong menuju perubahan.

Selanjutnya dalam bab tujuh, Lukacs membahas tentang legalitas dan


ilegalitas. Legalitas dan ilegalitas merupakan bagian dari gerakan buruh yang sangat
tergantung kepada “kecelakaan-kecelakaan “ sejarah. Dimana sebuah partai yang

11
oportunis sampai pada titik penghianatan total , yang sering terjebak pada ilegalitas .
Namun disisi lain kita dapat membanyangkan bagaimana sebuah partai dapat berfungsi
dan berjalan secara legal. Lukacs menjelaskan bahwa :

“ Legalitas merupakan sikap alami dan instingtif terhadap negara yang tampil
kehadapan aksi manusia sebagai satu-satunya titik yang ajeg ditengah-tengah dunia yang
khaotik”

Dari sedikit uraian diatas setidaknya kita dapat melihat posisi teoritik Georg Lukacs
yang mengembalikan Marxisme kepada dimensinya yang lebih filosofis dan ortodoks
dalam metodenya. Dalam hal ini, Lukacs mencoba melawan kaum Marxis vulgar yang
cenderung terperangkap dalam sikap voluntaristik dan terjebak dalam fatalisme ekonomis.
Mereka cenderung bersikap pasif dalam menghadapi realitas penindasan yang terpampang
oleh mekanisme sistem sosial kapitalisme. Mereka pula cenderung mereduksi marxisme
sekedar sebagai teori sosiologi dan ekonomi yang kehilangan sifat dasar marxisme sebagai
teori revolusioner. Asumsi ini yang kemudian membawanya untuk membaca kembali Hegel
dan yang telah lama termarjinalkan dalam gerakan revolusioner Marxisme. Padahal, Marx
sendiri pernah berteguk wejang dimana jangan sampai menempatkan pemikiran Hegel
sebagai "anjing mati" yang kemudian menjadi sekedar pigura semata.
Hal inilah yang layaknya disadari, dimana ke-revolusioner-an Marxisme sebenarnya
berangkat dari akar pemikiran Hegel tentang dialektika serta totalitasnya dalam memandang
setiap diskursus. Kalau toh ada perbedaan mendasar dalam pola pemikiran Hegel dan Marx
yang memang saling antagonis itu, mungkin sekedar konsepsinya dalam memandang
realitas itu sendiri. Antara idealisme yang terkadang mistis dan materialisme yang lebih
konkrit dan realis. Namun jika ditelususri lebih dalam, konsep dialektika yang dikonstruksi
oleh Hegel itu sebenarnya mengandung benih revolusioner, hanya saja Hegel cenderung
terperangkap dalam pemikirannya sendiri yang terpisah dari realitas. Dari sinilah kemudian
Lukacs mengembalikan dimensi revolusioner dalm konsep materialisme dialektis dan
historis.
Kita tahu bahwa materialisme-dialektis-historis (MDH) merupakan konsep dan
metode kunci marxime dalam membedah dan menciptakan gerakan perubahan revolusioner.
Apapun penafsiran para komentator tentang materialisme dialektis dan historis, ada satu
yang tetap, yakni bahwa semuanya mengakui bahwa materialisme dialektis dan
materialisme historis merupakan ajaran yang internal dalam pemikiran Marx sendiri

12
walaupun Marx tak pernah menggunakan term-term tersebut secara sistematis. Materialisme
dialektis merupakan cara berpikir Marx tentang realitas, yakni pengertian bahwa realitas
tersusun oleh materi yang memiliki relasi langsung dengan subyektivitas dan relasi ini pun
bergerak dalam untaian determinasi resiprokal. Dalam pengertian yang lebih sederhana,
realitas adalah efek dari mekanisme perjuangan kelas. Sedangkan, materialisme historis
merupakan penerapan materialisme dialektis kepada kenyataan yang menyejarah, maka
materialisme historis dapat kita mengerti sebagai gugus pemahaman tentang sejarah sebagai
ikhwal yang tersusun oleh determinasi resiprokal antar subyek dan antara subyek dengan
materi obyektif. Atau dalam arti yang dipermudah, sejarah adalah efek perjuangan kelas—
sebuah efek yang bergerak dalam arah ganda, kepada sejarah dan kepada kelas itu sendiri.
Aspek lain yang memang menjadi ide pokok Lukacs adalah pendalamannya terhadap
reifikasi dan kesadaran kelas sebagai titik tolak menciptakan gerak revolusi. Hal ini yang
membawa perspektif baru dalam menyikapi revolusi, yang mana kesadaran kelas proletariat
harulah menjadi suatu syarat imperatif untuk merebut kekuasaan eksploitatif kelas borjuis.
Ini menjadi penting yang mana kesadaran sejarah akan suatu totalitas merupakan ihwal
gerakan yang secara hati-hati tidak terjebak dalam gerakan yang reaktif dan terpedaya oleh
rayuan manis yang terlembaga secara internal dalam sistem kapitalisme itu sendiri.
Memang konsep-konsep revolusioner dalam mengembalikan harkat filosofis yang
diusahakan oleh Lukacs telah membawa dampak dimana Marxisme semakin menjadi teori
yang ampuh dalam membedah kontradiksi kapitalisme. Namun, ketika dihadapkan dengan
kondisi aktual dimana kapitalisme justru menjadi semakin kuat dan tak terbantahkan, seolah
konsep-konsep itu menjadi utopianya sendiri. Belum lagi jika melihat trajetori pemikiran
filsafat barat yang beberapa dekade terakhir menyuarakan "matinya segala sesuatu."
Posmodernisme dengan lantang melawan setiap klaim kebenaran tunggal dimuka bumi ini.
Kebenaran telah terdiseminasi dalam permainan bahasa dan intertekstualitas wacana, maka
dalam hal ini totalitas pemikiran dalam dimensi revolusioner seperti Marxisme sebagai
'narasi besar'-pun dengan sendirinya diruntuhkan isu yang digemingkan posmodernisme.
Namun, toh kematian narasi besar itu sebenarnya sebatas retorika yang cenderung, lagi-lagi,
membela narasi besar lain yang tak lain adalah kapitalisme.
Emansipasi yang sempat tervakum oleh doxa kematian-kematian semu itu memang
cenderung melegitimasi hegemoni kapitalisme. Kalau toh emansipasi itu ada, yang terjadi
justru terlembaganya politik identitas yang lebih berbau etika tentang yang-lain-lain.
Permasalahan yang mengemuka tidak dilihat dari akar terdasarnya yaitu kesadaran

13
ekonomi-politik sebagai ruh emansipasi. Kemiskinan, represi simbolik, rasisme, krisis
identitas, emansipasi wanita, dan semua isu emansipasi lainnya cenderung dilihat secara
parsial yang menurut Lukacs merupakan ciri dari pola pikir borjuis. Sehingga totalitas
merupakan syarat imperatif dalam mencapai titik nadir emansipasi.
Dari titik ini, materialisme-dialektis-historis menemukan kembali dimensi
teoritisnya untuk menghidupkan lagi emansipasi. Memang terdapat kekurangan, dimana
ketika mentotalisasi entitas ralatif dalam tataran imanen akan terjebak dalam totalitarianisme
yang juga membentuk imperium baru untuk menjadi penindas baru. Maka dari itu,
perlawanan terhadap kapitalisme dengan menggunakan analisis yang menyeluruh dengan
metode materialisme-dialektis-historis adalah niscaya, terutama analisis ekonomi-politiknya
yang membongkar represi laten yang mengeram dalam kapitalisme. Persoalannya
membatasi diri dalam tataran analisis ekonomi-politik saja juga akan menjadi naif, disitulah
etika memainkan nada mayornya untuk menghargai sesama manusia dalam dimensi yang
lebih humanis jangan sampai dihiraukan. Posmodernisme memang terkadang memandulkan
sikap revolusioner, tapi disatu sisi posmodernisme telah berjasa menyadarkan manusia
untuk selalu bersikap menghargai sesama dalam dunia kehidupan untuk mencipta
kedamaian. Inilah problemnya, dimana ketika terlalu terkukung dalam humanisme-etis kita
cenderung lupa pada dehumanisasi atas hegemony kapitalisme yang memandulkan
keberanian untuk berkonfrontasi dan melawan daya represinya. Disatu sisi, ketika terbatas
dalam analisis ekonomi-politik juga akan berimplikasi dalam kehidupan yang serba chaos,
karena hakikat manusia sebagai mahkluk sosial justru tereduksi oleh aspek material semata.
sehingga sifat menghargai sesama terhadap yang-lain merupakan dimensi yang tak dapat
dipungkiri ketika bicara emansipasi.

C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan diatas maka dapat diambil kesimpulan
1. Pemikiran Georg Lukacs yang menempatkan Marxisme dalam keaslian revolusionernya,
dimulai dari mengembalikan fungsi materialisme dialektis sebagai metode untuk
membedah kontradisi internal kapitalisme dan menawarkan perubahan mendasar
terhadapnya. Metode ini tentunya mengacu kembali ke dalam horizon pemikiran Hegel
terutama konsep dialektikanya. Dialektika Hegelian tersebut yang oleh Lukacs
ditempatkan dalam dimensi totalitasnya. Lukacs secara eksplisit menolak determinisme
sosiologis dan ekonomis yang dikembang para marxis vulgar. Selain itu, ia menelanjangi

14
ilmu empiris yang metodenya memakai ilmu alam untuk menjelaskan realias sosial. Ilmu
inilah yang disebutnya ilmu borjuis karena tidak memberi kontribusi terhadap perubahan
sosial dan sekedar menjaga status-quo semata.
2. Konsep kunci yang dibahas sebenarnya tentang agen historis yang melakukan revolusi
untuk menciptakan tatanan masyarakat sosialis-komunis yang dirasa lebih adil daripada
kapitalisme. Hal ini jelas dimana sistem kapitalisme telah melahirkan berbagai macam
alienasi manusia yang membawa pada dehumanisasi. Terpusatnya modal dalam sebuah
titik serta penghisapan tenaga kerja melalui mekanisme reifikasinya telah memudarkan
harkat kemanusiaan seoalah seperti benda-benda mati. Tak ayal, kelas proletariatlah
yang ditunjuk sebagai agen revolusioner untuk mencipta perubahan fundamental itu,
hanya saja diperlukan sebuah kesadaran kolektif atas kondisi subyektif maupun
obyektifnya. Kesadaran kemudian menjadi kata kunci karena tanpa diawali dengan
sebuah kesadaran, perlawanan kelas proletariat hanya akan menjadi gerakan reaktif yang
akan terjatuh pada ekonomisme naif.
3. Peran materialisme-historis sebagai metode untuk membedah artefak-artefak yang telah
terlewatkan dalam sungai sejarah mendapatkan proporsinya. Lukacs memperdalam
konsep materialisme-historis untuk menelaah proses alienasi manusia yang tercipta
melalui mekanisme produksi kapitalisme. Sehingga proses kesadaran kelas pun tak dapat
disangkal ketika kontradiksi kapitalisme itu terkuak. Reifikasi, kemudian menjadi titik
tolak lanskap teoritiknya untuk membedah keterasingan masyarakat kapitalis. Hubungan
manusia antar manusia direduksi menjadi hubungan kebendaan. Ini terjadi karena daya
magis komoditas yang di agungkan oleh manusia padahal sebenarnya hanya semu
belaka. Pula, dengan konsepsi nilai yang dilekatan dalam benda-benda yang sebenrnya
bukan esensi benda itu sendiri namun rekayasa modus produksi kapitalisme. Kesadaran
kelas sebagai sebuah totalitas menurut Lukacs harus berangkat dari fakta-fakta historis
yang dikonstruksi kaum borjuis ini. Disinilah kemudian Lukacs memberi solusi kepada
kelas proletariat agar mencapai tahap kesadarnnya dibutuhkan wadah yang berupa
partai. Tujuannya jelas, yang tak lain agar proletariat tidak melupakan tujuan yang
sebenarnya, yaitu revolusi dan penciptaan masyarakat sosialis. Di sini partai
revolusioner menjadi wadah objektif penampung kesadaran revolusioner proletariat .
4. Partai revolusioner merupakan sarana bagi proletar untuk tidak jatuh pada pikiran-
pikiran borjuasi. Kaum proletar harus disadarkan oleh partai revolusioner yang berkerja
lewat fungsi moral. Mereka tidak begitu saja bisa masuk pada kemenangan kelas dan

15
muncul masyarakat sosialis. Mereka harus diajak untuk berpikir dan menambah
pengetahuan menegenai kemenangan proletariat dan itu hanya bisa dengan kesadaran
murni proletar. Jika kesadaran diyakinkan akan berkembang begitu saja maka bisa
dikatakan ini adalah hal yang utopis. Inilah yang dikritik Lukacs terhadap pandangan
Rosa Luxemburg di mana ia berpandangan bahwa partai revolusioner hanya bertugas
mengangkat ke dalam kesadaran penuh apa yang secara tidak sadar sudah ada dalam
kesadaran proletar. Kesadaran tidak bisa begitu saja tumbuh melainkan harus dijamin
oleh partai itu sendiri.
5. Pemikiran Lukacs merupakan salah satu varian Marxisme yang mencoba
mengembalikan lanskap epistemologisnya pada materialisme-dialektis-historis. Lukacs
telah membuka perspektif baru untuk menempatkan marxisme tidak dalam bentuk
dogmatisnya namun ia tidak keluar dari acuan dasar pemikiran Marx tentang
materialisme dialektika historis. Selain itu marxisme di tangan Lukacs bisa dikatakan
menemukan dimensi revolusionernya.

Referensi :
Franz Magnis –Suseno. 2005. Dalam Bayang-Bayang Lenin : Enam Pemikiran
Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama

George Lukacs. 20011. Dialektika Marxis : Sejarah dan Kesadaran Kelas


( terjemahan oleh Inyiak Ridwan Muzir). Yogyakarta : Ar Ruzz Media.

Goenawan Mohammad. 2011. Marxisme Seni Pembebasan. Jakarta : Pustaka grafiti.

Karl Marx. 1958. Theses On Feuerbach dalam Karl Marx dan Frederick Engels,
Selected Works: Vol II. Moscow : Foreign Languages Publishing House

Soerjanto Poepowardojo dan Alexander Seran. 2016. Diskursus Teori Teori Kritis:
Kritik atas Kapitalisme Klasik, Modern dan Kontemporer. Jakarta : Buku
Kompas.

16

Anda mungkin juga menyukai