Anda di halaman 1dari 19

TUMOR NASOFARING:

TATALAKSANA KARSINOMA NASOFARING

Referat

Oleh:

Aminah Zahra 1718012095


Atikah Landani 1718012175
Ayu Wulandari 1718012176
Elina Rahma 1718012176

Pembimbing:

dr. Fivien Fedriani, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Esa karena atas Rahmat
dan Ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Fivien Fedriani, Sp.THT-KL atas
bimbingan dalam penyusunan referat ini dan kesempatan yang telah diberikan
kepada penulis sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Semoga referat ini dapat
menambah wawasan kita dalam dunia kesehatatan telinga hidung tenggorokan
dan kepala leher, khususnya dalam bahasan ”Tumor Nasofaring”. Penulis
menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak, semoga
bermanfaat.

Bandar lampung, Mei 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Nasofaring merupakan bagian paling atas dari faring yang berada di belakang
hidung. Atap nasofaring berhubungan dengan dasar tengkorak yang dibentuk oleh
lantai sinus sfenoid di medial dan fibrokartilago foramen laserum di lateral.
Nasofaring berhubungan dengan telinga tengah melalui tuba eustachius (Rahman,
2014).

Tumor ini merupakan tumor yang jarang di Amerika dan Eropa, namun
merupakan keganasan yang sering pada ras mongoloid, terutama di Cina selatan
dan Asia tenggara. Pada warga cina yang migrasi ke Amerika utara, angka
kejadian KNF tetap tinggi, sekalipun lebih rendah dibandingkan etnis cina yang
lahir dan besar di Cina selatan, hal ini menunjukkan bahwa etnis, genetik dan
faktor lingkungan memiliki peran sebagai etiologi, meskipun peran dari masing-
masing faktor bervariasi (Evlina et al., 2012).

Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis keganasan yang paling sering pada
daerah ini. World Health Organization (WHO) telah menerbitkan beberpa
klasifikasi yaitu pada tahun 1978, 1991 dan yang terakhir tahun 2005 yang
membagi karsinoma sel skuamosa menjadi basaloid, berkeratin dan tidak
berkeratin, selanjutnya karsinoma tidak berkeratin dibagi menjadi berdiferensiasi
dan tidak berdiferensiasi.i Tipe Tidak berkeratin merupakan tipe yang paling
sering di Cina dan Asia tenggara, tipe ini diduga kuat berhubungan dengan inveksi
virus Epstein-Barr (EBV) (Rahman et al., 2013).

Secara umum pasien KNF lebih muda dibandingkan pasien yang menderita tumor
kepala dan leher lainnya. Median umur penderita KNF saat munculnya tumor
lebih kurang 50 tahun. Gejala KNF berhubungan dengan lokasi anatomi tumor
primer dan metastasis. Gejala yang sering muncul dapat dikelompokkan menjadi
empat kategori, yaitu gejala telinga, gejala hidung, gejala saraf, benjolan yang
tidak nyeri di leher. Lebih dari 50% pasien KNF datang dengan keluhan benjolan
di leher. Pembesaran kelenjer getah bening ini biasanya pada bagian atas leher,
sesuai dengan lokasi tumor (ipsilateral), namun tidak jarang bilateral. Gejala lain
dapat berupa gejala umum adanya keganasan seperti penurunan berat badan dan
anoreksia. Gejala dini KNF sering tidak spesifik dan luput dari perhatian, pasien
sebagian besar datang ketika sudah ada benjolan di leher dan umumnya stadium
lanjut (Rahman, 2014).

Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit untuk dilakukan,
karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di
bawah dasar tengkorak. Oleh karena itu, tidak mudah diperiksa oleh mereka yang
bukan ahli. Sering kali, tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis
ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tumor nasofaring adalah massa yang terdapat di nasofaring. Tumor nasofaring
dibagi menjadi tumor jinak dan tumor ganas. Berbagai jenis tumor jinak dapat
ditemukan di daerah nasofaring seperti papiloma, hemangioma, dan angiofibroma
nasofaring, sedangkan tumor ganas daerah kepala leher yang banyak ditemukan
adalah karsinoma nasofaring. Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan
karsinoma yang muncul pada daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di
belakang hidung), yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa
mikroskopik ringan atau ultrastruktur (Adham et al., 2017).

2.2 Epidemiologi

Tumor jinak nasofaring lebih jarang ditemukan, sedangkan tumor ganas yang
berasal dari epitel permukaan nasofaring (karsinoma nasofaring) relatif lebih
sering dijumpai. Tumor jinak yang relatif sering dijumpai adalah tumor yang
berasal dari soft tissue, yaitu nasopharyngeal angiofibroma. Insidensi tumor ini
kurang dari 1% dari seluruh tumor nasofaring, predileksi pada laki-laki, sering
dijumpai pada dekade kedua kehidupan, namun jarang ditemukan pada penderita
dengan usia di atas 25 tahun. Karsinoma nasofaring dapat dijumpai pada semua
umur, namun sangat jarang terdapat penderita dengan usia di bawah 20 tahun.
Prevalensinya antara usia 45-54 tahun. Perbandingan antara jenis kelamin lakilaki
dan wanita adalah 2-3 berbanding 1. Di Amerika Serikat dilaporkan insidensi
tumor ini kurang dari 1 dalam 100.000 populasi. Karsinoma nasofaring
menempati urutan kelima tumor ganas di Indonesia. Bahkan karsinoma nasofaring
memiliki persentase sebanyak 60% dari keseluruhan tumor ganas pada kepala dan
leher (Adham et al., 2017)..

2.3 Etiologi
Etiologi tumor nasofaring belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor risiko
yang sering diidentifikasi sebagai penyebab karsinoma nasofaring antara lain
adalah infeksi virus Epstein-Barr, faktor genetik, faktor lingkungan dan gaya
hidup. Virus Epstein Barr tergolong virus DNA dari kelompok herpes. Terdapat
reaksi antigen antibodi akibat infestasi virus ini. Dilaporkan adanya peningkatan
antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early antigen complex (EA)
dan dijumpainya genom virus pada sel tumor. Karsinoma nasofaring diakibatkan
oleh proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi virus Epstein
Barr. Protein viral laten (latent membrane protein 1 dan 2) menyebabkan
proliferasi dan pertumbuhan yang invasif pada karsinoma nasofaring (Adham et
al., 2017).
2.4 Macam-Macam Tumor Nasofaring
a. Hairy Polyp
Hairy polyp merupakan kelainan pertumbuhan dengan manifestasi klinis
sebagai polip yang dilapisi oleh kulit dengan rambut dan kelenjar sebasea.
Tumor ini dijumpai pada bayi baru lahir dan bayi, dengan rasio antara
perempuan dan laki-laki 6 : 1. Lokasinya di dinding lateral dari nasofaring,
langit-langit lunak, dan tonsil. Gambaran klinis berupa massa
pedunculated di orofaring atau nasofaring pada bayi baru lahir atau bayi.
Permukaan polip terdiri dari kulit yang mengalami hiperkeratosis dan
pilosebasea. Bagian tengah dibentuk oleh jaringan fibroadiposa, sering
dengan fokus tulang rawan, otot dan tulang. Hairy polyp dapat dibedakan
dengan teratoma dengan kurangnya komponen endodermal.

Gambar 1. Hairy polyp. A. Epitel stratified squamous matur dengan


kelenjar sebasea (H&E 100x). B. Sel-sel lemak matur dan otot (H&E 400x).

b. Schneiderian-type Papilloma
Merupakan tumor jinak yang berasal dari epitel permukaan nasofaring dan
menyerupai Schneiderian papilloma pada traktus sinonasal. Tumor ini
jarang dijumpai, terjadi pada usia tua (usia rata-rata 62 tahun, dengan
kisaran usia 45-79 tahun) dan 2-3 kali lebih sering dijumpai pada laki-laki.
Secara anatomis, koana posterior mewakili batas antara ectodermally-
derived (membran Schneiderian) dan endodermally-derived dari mukosa
pernafasan, masing-masing garis traktus sinonasal dan nasofaring.
Penyimpangan embriologi dari mukosa Schneiderian normal mungkin
merupakan penyebab lesi ini terjadi di nasofaring. Gambaran klinis berupa
lesi dengan diameter tidak lebih dari 2 cm. Biasanya ditemukan secara
insidentil, atau memberikan gejala obstruksi jalan nafas. Pada umumnya,
Schneiderian papilloma traktus sinonasal dengan keterlibatan sekunder
pada nasofaring harus diekslusikan, sebelum ditegakkan sebagai lesi
primer di nasofaring.

Gambaran histopatologinya mirip dengan Schneiderian papilloma di


rongga hidung dan sinus paranasal, dan tipe yang sering dijumpai adalah
inverted type. Schneiderian papilloma pada nasofaring mempunyai tiga
tipe morfologi yang berbeda, yaitu inverted papilloma, oncocytic
papilloma, dan exophytic papilloma.

Pada inverted papilloma, tumor memiliki pola pertumbuhan endofitik yang


dilapisi membran epitel yang proliferatif, tumbuh ke bawah ke dalam
stroma yang mendasarinya. Sel epitel ini terdiri dari sel skuamosa, sel
transisional, dan sel kolumnar (ketiganya mungkin dijumpai dalam satu
lesi), bercampur dengan mucocytes (sel goblet) dan kista musin
intraepitelial. Infiltrasi sel radang kronis menyusup pada semua lapisan
epitel permukaan. Sel-sel epitel pelapis merupakan sel normal dengan inti
yang seragam. Pleomorfisme dan sel-sel atipia dapat dijumpai. Komponen
epitel dapat menunjukkan gambaran clear cell yang luas, mengindikasikan
adanya glikogen yang berlimpah. Gambaran mitosis dapat dilihat pada
lapisan basal dan parabasal, tetapi tidak dijumpai mitosis yang atipik.
Dapat juga dijumpai keratinisasi di permukaan, dan biasanya tidak
ditemukan kelenjar liur minor. Komponen stroma bervariasi dari
miksomatous sampai fibrosa, yang bercampur dengan sel-sel radang
kronis dan vaskularisasi yang bervariasi.
Gambar 2. Inverted papilloma. A. Tampak pola pertumbuhan
inverted yang khas berupa epitel skuamosa yang tumbuh hiperplastik
ke dalam stroma. B. Terdiri dari epitel skuamosa dan epitel repiratori
bersilia

c. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (NKSCC)

Pada sub tipe differentiated, terlihat stratifikasi selular dengan batas antar
sel yang cukup jelas. Sel-sel tampak lebih kecil dibandingkan dengan
subtipe undifferentiated, N/C ratio lebih rendah, inti lebih hiperkromatik
dan nukleoli tidak menonjol. Kadang-kadang dapat dijumpai daerah
nekrosis. Limfosit dan selsel plasma dapat dijumpai dalam jumlah yang
bervariasi atau bahkan sama sekali tidak ada. Apabila jumlah limfosit
cukup banyak maka kondisi ini dikenal sebagai lymphoepithelial
carcinoma. Sel-sel tumor dapat berbentuk bulat maupun spindel. Nukleoli
sering tidak terlihat pada sel-sel spindel. Pada beberapa tempat tampak sel-
sel dengan inti hiperkromatik dan sitoplasma padat.

Gambar 3. Non keratinizing squamous cell carcinoma, differentiated


type. A. Terdapat lapisan-lapisan tumor yang dipisahkan oleh limfosit
dan sel-sel plasma. B. Pulau-pulau tumor dalam stroma yang kaya
limfosit. C. Pola pertumbuhan trabekular.

Non keratinizing squamous cell carcinoma, undifferentiated type lebih


sering dijumpai. Pada pemeriksaan mikroskopis dapat dijumpai sel-sel
tumor yang besar tersusun sinsitial dengan batas antar sel tidak jelas, inti
vesikuler, bulat atau oval disertai dengan nukleoli yang besar di tengah.
Sel-sel sering terlihat padat dan terkadang overlapping, kromatin inti lebih
padat, sitoplasma sedikit dan eosinofilik.

Gambar 4. Non keratinizing squamous cell carcinoma, undifferentiated

type. A. Selsel limfoid yang terbentuk dalam agregat kecil. B. Sel-sel


spindel dengan nukleoli yang tidak jelas.

Pada undifferentiated type, terdapat dua bentuk pola pertumbuhan, yaitu


tipe Regauds dan Schmincke. Tipe Regauds terdiri dari kumpulan sel-sel
epitel dengan batas jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-
sel limfoid. Sedangkan tipe Schmincke berupa sel-sel epitelial neoplastik
yang tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang

Gambar 5. Undifferentiated carcinoma. A. Tipe Regauds, terdiri dari


sel-sel yang membentuk sarang-sarang padat. B. Tipe Schminke, terdiri
sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran syncytial yang difus.

d. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (KSCC)

Keratinizing squamous cell carcinoma adalah suatu karsinoma invasif


dengan keratinisasi, dengan bentuk tumor yang irreguler. Pada
pemeriksaan mikroskopik terdapat stroma desmoplastik yang banyak
diinfiltrasi oleh sel-sel limfosit, sel plasma, netrofil dan eosinofil. Sel-sel
tumor dapat berbentuk poligonal atau stratified dan batas antar sel yang
jelas, inti sel hiperkromatik dengan sitoplasma yang banyak. Pada tumor
ini dijumpai keratin pearl.

Gambar 6. Keratinizing squamous cell carcinoma. A. Invasi tumor


kedalam stroma. B. Pulau-pulau ireguler dengan stroma
desmoplastik

e. Hodgkin Lymphoma
Hodgkin lymphoma sangat jarang menunjukkan keterlibatan primer
nasofaring. Pasien biasanya datang dengan keluhan hidung tersumbat atau
otitis media, dan sering dengan low stage (stadium I/II). Sebagian besar
tumor merupakan subtipe mixed cellularity dan nodular sclerosis.
Kebanyakan kasus yang melibatkan nasofaring berhubungan dengan virus
Epstein-Barr (Wei dan Chua, 2012). Pada Classical Hodgkin lymphoma,
arsitektur nodus limfatik dikaburkan oleh Hodgkin and Reed Sternberg
cells (HRS cells) dalam jumlah yang bervariasi, bercampur dengan latar
belakang yang kaya sel-sel radang. Reed Sternberg cells berukuran besar,
sitoplasma banyak dan sedikit basofilik, dan mempunyai paling sedikit dua
lobus inti. Inti sel besar dan bulat dengan membran inti prominen,
kromatin pucat dan biasanya dengan anak inti eosinofilik. Dalam
mendiagnosa RS cells harus dijumpai sedikitnya dua anak inti dalam dua
lobus inti yang terpisah. Varian mononuclear disebut Hodgkin cells.
Gambar 7. Mixed cellularity classical Hodgkin lymphoma. A. Pada
pembesaran kecil menunjukkan bahwa mixed cellular yang menyusup
tidak mengandung pita fibrotik. B. Binucleated RS cell dalam mixed
cellular yang menyusup dengan limfosit, makrofag dan eosinofil.

2.5 Diagnosis
Berikut ini adalah algoritma diagnosis KNF.
a. Anamnesis
Terdapat empat kelompok gejala KNF, yaitu gejala telinga, gejala hidung,
gejala intracranial, dan gejala leher. Kelompok gejala ini berkaitan dengan
lokasi tumor primer, struktur yang diinfiltrasi, atau metastasis nodus
limfatik servikal. Massa di nasofaring dapat membuat gejala obstruksi
nasal dan hidung beringus. Saat ukuran tumor kecil, ditemukan obstruksi
unilateral namun seiring dengan pertumbuhan tumor akan menjadi
bilateral. Jika tumor berulkus, maka akan timbul epistaksis. Jumlah
perdarahan biasanya tidak banyak dan sering terjadi post-nasal drip.
Sebagian besar tumor di nasofaring dengan atau tanpa ekstensi
posterolateral ruang paranasofaring sering dikaitkan dengan disfungsi tuba
Eustachius, sehingga terjadi tuli konduktif unilateral. Gejala otologi lain
yaitu otalgia dan tinnitus (Wijaya dan Soeseno, 2017).

Tumor primer dapat tumbuh ke superior menginfiltrasi basis kranii


menimbulkan nyeri kepala. Jika tumor mengenai sinus cavernous dan
dinding lateralnya, saraf kranial III, IV, dan VI dapat terlibat dan timbul
diplopia. Ekstensi tumor ke foramen ovale dapat mengenai saraf kranial V
yang menyebabkan nyeri wajah serta baal. Gejala yang paling sering
ditemukan adalah massa tidak nyeri di leher atas. Nasofaring adalah
struktur yang berada di garis tengah, sehingga sering dijumpai pembesaran
nodus limfatikus bilateral. Metastasis jauh relatif jarang, yang tersering
adalah ke vertebra, hepar, dan paru (Wijaya dan Soeseno, 2017).

b. Pemeriksaan Fisik
 Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.
 Pemeriksaan nasofaring: Rinoskopi posterior, nasofaringoskop ( fiber /
rigid ), laringoskopi.
 Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging)
digunakan untuk skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan kanker
nasofaring, panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada kasus-
kasus dengan dugaan residu dan residif (Wei dan Chua, 2012).

c. Pemeriksaan Radiologis
Adapun pemeriksaan radiologis pilihan antara lain:
 CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi
sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial, dan
sagital, tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian kontras dengan
injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT berguna untuk melihat
tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitarnya serta penyebaran
kelenjar getah bening regional (Wei dan Chua, 2012).

 USG abdomen
Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat
keraguan pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT
Scan Abdomen dengan kontras.

 Foto Thoraks
Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai
adanyamkelainan maka dilanjutkan dengan CT Scan Thoraks dengan
kontras.

 Bone Scan
Untuk melihat ada atau tidaknya metastasis tulang. Pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut diatas untuk menentukan TNM. Adapun
klasifikasi TNM dari tumor nasofaring antara lain sebagai berikut:

Tabel 2. Klasifikasi TNM


d. Pemeriksaan Patologi Anatomik
 Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari biopsi nasofaring
BUKAN dari Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH)/FNAB atau biopsi
insisional/eksisional kelenjar getah bening leher. Pemeriksaan
histopatologi biopsi nasofaring sampai saat ini diakui sebagai standar baku
emas untuk diagnosis kanker nasofaring (Adham et al., 2017).
 Dilakukan dengan tang biopsi lewat hidung atau mulut dengan tuntunan
rinoskopi posterior atau tuntunan nasofaringoskopi rigid/fiber (Adham et
al., 2017).

Pelaporan diagnosis karsinoma nasofaring berdasarkan kriteria WHO yaitu:


1. Karsinoma Sel Skuamosa Berkeratin (WHO 1)
2. Karsinoma Tidak Berkeratin:
a. Berdiferensiasi (WHO 2)
b. Tidak Berdiferensiasi (WHO 3)
3. Karsinoma Basaloid Skuamosa (Adham et al., 2017).
Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum jika (Adham et al., 2017):
1. Dari biopsi dengan anestesi lokal tidak didapatkan hasil yang positif
sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri karsinoma
nasofaring.
2. Unknown Primary Cancer
Prosedur ini dapat langsung dikerjakan pada:
a) Penderita anak
b) Penderita dengan keadaan umum kurang baik
c) Keadaan trismus sehingga nasofaring tidak dapat diperiksa.
d) Penderita yang tidak kooperatif
e) Penderita yang laringnya terlampau sensitif
3. Dari CT Scan paska kemoradiasi/ CT ditemukan kecurigaan residu /
rekuren, dengan Nasoendoskopi Nasofaring menonjol.

Biopsi Aspirasi Jarum Halus Kelenjar Leher


Pembesaran kelenjar leher yang diduga keras sebagai metastasis tumor
ganas nasofaring yaitu, internal jugular chain superior, posterior cervical
triangle node, dan supraclavicular node jangan di biopsi terlebih dulu
sebelum ditemukan tumor induknya. Yang mungkin dilakukan adalah Biopsi
Aspirasi Jarum Halus (BAJH)/FNAB.

e. Pemeriksaan Laboratorium
• Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.
• Alkali fosfatase, LDH
• SGPT – SGOT (Adham et al., 2017).

f. Pemeriksaan Serologi
Diagnosis KNF ditunjang beberapa pemeriksaan tambahan yaitu
pemeriksaan serologi, misalnya imunoglobulin A anti-viral kapsid antigen
(Ig anti-VCA), Ig G anti-early antigen (EA), imunohistokimia, dan
polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan serologi dapat dilakukan
sebagai skrining untuk deteksi dini, sering mendahului munculnya kanker
nasofaring dan berfungsi sebagai petanda tumor remisi dan kekambuhan. Ji,
et al, melaporkan window period selama 3 tahun sesudah peningkatan
antibodi dan menetap tinggi sampai muncul gejala klinis (Adham et al.,
2017).
Gambar 8. Algoritma Diagnosis Kanker Nasofaring (Adham et al., 2017).

2.6 Tatalaksana
Berikut ini adalah algoritma tatalaksan KNF.

Gambar 9. Algoritma Tatalaksana Kanker Nasofaring (Adham et al., 2017).

Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung


dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.

Radioterapi
Radioterapi merupakan modalitas utama pada penatalaksanaan KNF yang masih
terbatas lokoregional, karena tumor ini bersifat radiosensitif. Kemajuan yang
sangat penting pada radioterapi adalah IMRT (Intensity-Modulated Radiation
Therapy). Teknologi ini memungkinkan pemberian dosis radiasi konformal
terhadap target melalui optimalisasi intensitas beberapa beam. Kelebihan dari
IMRT ini diantaranya memiliki kemampuan untuk memberikan radioterapi
conformal pada target yang tidak beraturan (irrigular) (Adham et al., 2017)..

Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan


menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak
mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita
kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga
radioterapi tetap merupakan terapi terpenting (Adham et al., 2017)..

Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan
tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang
sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom,
sehingga dapat terjadi :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.

Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah
dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati
dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal. Sel-sel yang masih
tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri.
Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker.
Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker (Adham et al.,
2017).

Kombinasi Kemoradiasi

Kemoradiasi konkuren saat ini menjadi terapi pilihan pada KNF lokoregional
yang advanced. Sebagian besar penelitian kemoterapi pada KNF menggunakan
Cisplatin-based. Berdasarkan waktu pemberian kemoterapi terhadap radioterapi
dibedkan menjadi Induction/ Neoadjuvan (sebelum), concurrent (selama radiasi)
dan adjuvan (setelah radioterapi) (Adham et al., 2017).

Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien


dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparat
platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3
jam sebelum dilakukan radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis penuh dapat
diberikan pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap 3 minggu
sekali, dan dapat juga diberikan pada kasus rekuren/metastatik. Terapi sistemik
pada Karsinoma Nasofaring adalah dengan kemoradiasi dilanjutkan dengan
kemoterapi adjuvant, yaitu Cisplatin + Radioterapi diikuti dengan Cisplatin/5-FU
atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6
kali, setiap seminggu sekali (Adham et al., 2017).

Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring kasus Rekuren/Metastatik:


• Terapi Kombinasi
• Cisplatin or carboplatin + docetaxel or paclitaxel
• Cisplatin/5-FU
• Carboplatin
• Cisplatin/gemcitabine
• Gemcitabine
• Taxans + Patinum +5FU
• Terapi Tunggal
• Cisplatin
• Carboplatin
• Paclitaxel
• Docetaxel
• 5-FU
• Methotrexate
• Gemcitabine
• Capecitabine (Adham et al., 2017).
Brachytherapy
Brachyterapy efektif dan digunakan hanya pada tumor yang dangkal di nasofaring
dan tanpa invasi ke tulang. Brachyterapy merupakan radiasi internal, sebuah
metode penanganan kanker dengan menggunakan material radioaktif yang
ditanamkan kedalam tubuh penderita. Brachytherapy ini mampu menyalurkan
energi radisi yang lebih besar pada area yang lebih spesifik daripada metode
radiasi eksternal (Adham et al., 2017).

Nasofaringektomi
Nasofaringektomi diindikasikan pada tumor persisten atau rekuren yang terlalu
besar untuk brakiterapi dan terdapat perluasan ke parafaring (Adham et al., 2017).

Terapi Target
Cetuximab merupakan terapi target yang diberikan pada KNF yang mengalami
rekuren atau persisten dengan metastasis jauh (Adham et al., 2017).

Terapi Paliatif
Terapi paliatif dilakukan pada kasus residu (tumor tetap ada setelah terapi
lengkap) dan residif serta metastasis jauh (Adham et al., 2017).

DAFTAR PUSTAKA
Adham M, Gondhowiardjo S, Soediro R, Jack Z, Lisnawati, Witjaksono F, et al.
2017. Pelayanan Nasional Pelayanan Kedokteran: Kanker Nasofaring.
Jakarta: Kemenkes RI.

Evlina S, Sirait T, Rahayu PS, Shalmont G, Anwar E, Andalusia R, et al. 2012.


Registri Kanker Berbasis Rumah Sakit Di Rumah Sakit Kanker Dharmais
Pusat kanker nasional 1993-2007. Indonesian J Cancer; 6:181-205

Rahman. 2014. Update Diagnosis dan Tatalaksana Karsinoma Nasofaring.


Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Rahman S, Subroto H, Novianti D. 2013. Clinical Presentation of


Nasopharyngeal Carcinoma in West Sumatra Indonesia. Proceeding of the
20th International Federation of Otorhinolaryngological Societies (IFOS)
World Congress; June 1-5; Seoul, Korea.

Wei WI, Chua DT. 2012. Head and Neck Surgery-Otolaryngology Edisi 5. Bailey
BJ, Johnson JT, Rosen CA, editors. Philadelphia: Lippimcot Williams &
Wilkins.

Wijaya FO, Soeseno B. Deteksi Dini dan Diagnosis Karsinoma Faring. Bandung:
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala
Leher Universitas Padjajaran; 2017.

Anda mungkin juga menyukai