Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang dapat mengenai hampir semua


bagian tubuh namun paling sering menginfeksi paru-paru. Pada awalnya penyakit ini
secara primer menjangkiti paru-paru, dan terbawa ke saluran cerna melalui sputum
yang tertelan. Tuberkulosis yang menginfeksi traktus intestinal dapat disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis ataupun Mycobacterium bovis.
Mycobacterium tuberculosis, menginfeksi sekitar 1/3 populasi dunia dan
membunuh sekitar 3 juta pasien setiap tahunnya dan oleh sebab itu menjadi
penyebab kematian yang paling sering di seluruh dunia. Namun tidak semua individu
yang terinfeksi memperlihatkan gejala klinis. Mycobacterium menyebabkan
timbulnya penyakit apabila sistem imun melemah seperti pada usia lanjut dan orang-
orang dengan HIV positif. Proporsi tuberkulosis ekstrapulmonal lebih tinggi pada
orang-orang dengan AIDS, dibuktikan dengan adanya peningkatan frekuensi
terjadinya tuberkulosis intestinal yang dilaporkan pada individu ini. Orang
dengan AIDS mempunyai penurunan ketahanan respon imun seluler sel T
terhadap invasi M.tuberculosis sehingga perkembangan penyakit ini lebih cepat
dibandingkan dengan orang yang sehat, memiliki lebih banyak penyakit paru-paru
yang berat dan lebih mudah menularkan bakteri M.tuberculosis ke orang lain.
Sebagai tambahan, M.tuberculosis yang resisten terhadap beberapa obat telah
muncul diantara pasien-pasien AIDS, orang-orang yang kontak erat dengan pasien
AIDS dan petugas kesehatan.
Ketika penyakit ini mengenai traktus intestinal, biasanya disebabkan oleh
bakteri yang menginfeksi paru-paru dan lokasi terseringnya adalah regio ileocecal.
Alasan dari distribusi ini dikarenakan keberadaan kelenjar limfe yang berlebih pada
area tersebut, peningkatan stasis fisiologis dan peningkatan rata-rata absorbsi di usus
proksimal. Meskipun kondisi ini paling sering terlihat di colon proksimal dan ileum,
namun biasanya dapat ditemukan pula keterlibatan usus segmental.
Berdasarkan data WHO pada tahun 2014, sebanyak 9,6 juta orang terkena
Tuberkulosis (TB) dan 1,5 juta orang meninggal akibat TB. Secara global, India dan
Indonesia memiliki jumlah kasus tertinggi berturut-turut sebanyak 23% dan 10%
kasus global. Pada tahun 2014, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara
dengan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara setelah Timor Leste.
BAB II
LANDASAN TEORI

Anatomi Usus
Usus halus merupakan tabung kompleks, berlipat-lipat yang membentang dari
pilorus sampai ke sekum. Pada orang hidup panjang usus halus sekitar 12 kaki (22 kaki
pada kadaver akibat relaksasi). Usus ini mengisi bagian tengah dan bawah rongga
abdomen.

Usus halus terdiri dari bagian-bagian berikut ini:


a. Duodenum

Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai jejunum,


bentuknya melengkung seperti kuku kuda. Pada lengkungan ini terdapat
pankreas. Pada bagian kanan duodenum merupakan tempat bermuaranya
saluran empedu ( duktus koledokus) dan saluran pankreas
(duktus pankreatikus), tempat ini dinamakan papilla vateri. Dinding
duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar
brunner untuk memproduksi getah intestinum. Pemisahan duodenum dan
jejunum ditandai oleh ligamentum treitz. Ligamentum ini berperan sebagai
ligamentum suspensorium (penggantung).

b. Jejunum

Jejunum bermula dari duodenojejunal angle, yang dimana didukung oleh


lipatan peritoneal yang dikenal sebagai ligamen Treitz. Panjangnya 2-3 meter
dan berkelok-kelok, terletak di sebelah kiri atas intestinum minor. Tidak ada
garis pemisah yang jelas antara jejunum dan ileum, jejunum menyusun 2/5 dari
usus halus.

Dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas


(mesentrium) memungkinkan keluar masuknya arteri dan vena mesentrika
superior, pembuluh limfe, dan saraf ke ruang antara lapisan peritoneum.
Penampang jejunum lebih lebar, dindingnya lebih tebal, dan banyak
mengandung pembuluh darah.
c. Ileum

Ujung batas antara ileum dan jejunum tidak jelas, panjangnya ± 4-5 m.
Ileum merupakan usus halus yang terletak di sebelah kanan bawah berhubungan
dengan sekum dengan perantaraan lubang orifisium ileosekalis yang diperkuat
sfingter dan katup valvula ceicalis ( valvula bauchini) yang berfungsi mencegah
cairan dalam kolon agar tidak masuk lagi ke dalam ileum. Ileum menyusun 3/5
dari sisanya.

Mukosa jejunum relatif lebih tebal dengan plikae circulares yang


menonjol; pembuluh mesenterika membentuk hanya satu atau dua arcade dengan
vasa recta yang panjang. Diameter ileum lebih kecil dan memiliki dinding yang
tipis; pembuluh mesenterika membentuk beberapa arcade vascular dengan vasa
recta yang pendek.

Usus halus kaya akan pembuluh darah, saraf dan pasokan limfatik.
Semuanya melintasi mesenterium. Dasar mesenterium menempel pada dinding
perut posterior di sebelah kiri vertebra lumbalis kedua dan berjalan oblique ke kanan
dan inferior menuju ke sendi sacroiliac kanan. Vaskularisasi usus halus, seluruhnya
berasal dari arteri mesenterika superior kecuali untuk duodenum proksimal
divaskularisasi oleh percabangan aksis celiac. Arteri mesenterika superior
merupakan rangkaian dari anterior ke prosesus uncinatus pancreas, dan ketiga
porsio duodenum, dimana arteri ini memvaskularisasi pancreas, duodenum bagian
distal, seluruh usus halus, colon asendens dan transversal.
Terdapat banyak vaskularisasi kolateral ke usus halus yang disediakan
oleh arcade vaskular yang mengalir di mesenterium. Drainase vena pada usus halus
sejajar dengan vaskularisasi arteri, darah mengalir ke vena mesenterika superior,
yang bergabung dengan vena lienalis di belakang coulum pancreas untuk
membentuk vena portal.
Persarafan usus halus dipersarafi oleh parasimpatik dan simpatik dari sistem
saraf otonom, yang selanjutnya memberikan saraf eferen ke usus kecil. Saraf
parasimpatis berasal dari vagus, melintasi ganglion celiac yang mempengaruhi
sekresi, motilitas, dan mungkin semua aktivitas usus. Serat vagal aferen ternyata
tidak merangsang impuls nyeri. Serat simpatis berasal dari tiga pasang saraf
splanknik dan memiliki sel ganglion yang biasanya terdapat pada pleksus di
sekitar pangkal arteri mesenterika superior. Rangsangan motorik mempengaruhi
motilitas pembuluh darah dan mungkin juga motilitas dan sekresi usus. Nyeri di
daerah usus secara umum dimediasi melalui serat aferen visceral pada sistem
simpatik. Limfatik dari usus kecil tercatat sebagai simpanan utama jaringan
limfatik, terutama di patch Peyer bagian distal usus halus.
Secara mikroskopik, dinding usus halus dibagi atas empat lapisan yaitu
lapisan serosa, muskularis propria, lapisan submukosa dan lapisan mukosa.
Lapisan serosa merupakan lapisan terluar yang terdiri dari peritoneum visceralis
dan parietal dan ruang yang terletak antara lapisan visceral dan parietal dinamakan
rongga peritoneum. Lapisan muscularis propria terdiri dari dua lapisan otot yaitu
lapisan otot longitudinal yang tipis dan lapisan otot sirkular yang tebal. Ganglion sel
berasal dari pleksus Mesenterica (Auerbach) yang berada di antara lapisan otot dan
mengirimkan rangsangan pada kedua lapisan tersebut. Lapisan submucosa terdiri
dari lapisanjaringan konektif fibroelastis yang berisi pembuluh darah dan saraf.
Lapisan mukosa dibagi menjadi 3 lapisan yaitu mukosa muscularis, lamina propria
dan lapisan epitel. Lapisan mukosa dan submukosa membentuk lapisan sirkular yang
dinamakan valvula koniven tes (Lig.Kerckringi) yang menonjol ke dalam sekitar 3
mm.

Struktur Usus Besar

Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar


5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter
usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci
(sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Lapisan-
lapisan usus besar dari dalam ke luar adalah selaput lendir, lapisan otot yang
memanjang, dan jaringan ikat. Ukurannya lebih besar daripada usus halus,
mukosanya lebih halus daripada usus halus dan tidak memiliki vili.
Serabut otot longitudinal dalam muskulus ekterna membentuk tiga pita,
taenia coli yang menarik kolon menjadi kantong-kantong besar yang disebut dengan
haustra. Dibagian bawah terdapat katup ileosekal yaitu katup antara usus halus dan
usus besar. Katup ini tertutup dan akan terbuka untuk merespon gelombang
peristaltik sehingga memungkinkan kimus mengalir 15 ml masuk dan total aliran
sebanyak 500 ml/hari.
Bagian-bagian usus besar terdiri dari:

a. Sekum adalah kantong tertutup yang menggantung di bawah area katup ileosekal
apendiks. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada
ujung sekum. Apendiks vermiform, suatu tabung buntu yang sempit yang berisi
jaringan limfoit, menonjol dari ujung sekum.
b. Kolon adalah bagian usus besar dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki tiga
divisi diantaranya yaitu:

- Kolon ascenden merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hati di sebelah
kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
- Kolon transversum: merentang menyilang abdomen di bawah hati dan
lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar ke bawah
fleksura splenik.
- Kolon desenden : merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi
kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum.

c. Rektum adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12-13 cm.
Rektum berakhir

pada saluran anal dan membuka ke eksterior di anus.

Gambar 1. Anatomi Saluran Pencernaan


Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang disebabkan


oleh Mycobacterium tuberculosis, ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell
mediated hypersensitivity). Pada awalnya penyakit ini secara primer menyerang
paru-paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (ekstraparu), misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Berdasarkan tingkatan keparah TB ekstra pulmonal terbagi menjadi dua bagian,
diantaranya:

- TB ekstrapulmonal ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis


eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar
adrenal.
- TB ekstrapulmonal berat, meningitis, milier, perikarditis peritonitis,
pleuritis eksudativa

bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran, kemih dan alat kelamin.

Etiopatogenesis dan Transmisi

Infeksi tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis,


morfologi dari bakteri ini adalah memiliki bentuk batang lurus atau melengkung,
bersifat aerobik, tidak berspora, dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar
0,3-0,6 µm dan panjang 1-4 µm. Dinding bakteri ini sangat kompleks, terdiri dari
lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun u tama dinding sel ialah asam mikolat,
lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Unsur lain yang terdapat
pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan
bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam-alkohol.

Infeksi TB umumnya melalui inhalasi dan menyebabkan TB paru


yang merupakan manifestasi klinis tersering dibandingkan organ lain. Bakteri pada
saluran cerna dapat berasal dari bakteri yang tertelan, penyebaran dari organ yang
berdekatan, maupun melalui peredaran darah. Usus dan peritoneum dapat terinfeksi
melalui empat mekanisme, yaitu menelan sputum yang terinfeksi, penyebaran lewat
darah dari TB aktif atau TB milier, konsumsi susu atau makanan yang terkontaminasi
dan penyebaran langsung dari organ yang berdekatan. Reaktivasi setelah
penyebaran infeksi melalui darah mungkin terjadi beberapa tahun setelah infeksi.
Sementara invasi langsung dari dinding usus mungkin terjadi setelah ko nsumsi susu
yang tidak dipasterurisasi yang dapat dari sumber penularan dari TB zoonosis yang
disebabkan oleh mycobacterium bovis. atau konsumsi basil dari kavitas paru.

Epidemiologi
TB sampai dengan saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting di Dunia ini, walaupun upaya pengendalian dengan
strategi DOTS telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995. Data laporan
WHO tahun 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012, dimana
1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75%
dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika.
Satu dari lima pasien TB merupakan pasien TB ekstra paru. Bentuk yang
paling sering ditemukan adalah TB kelenjar, pleura, p erikardial dan meningitis TB.
TB abdominal atau TB usus merupakan TB ekstraparu keenam yang paling sering
terjadi. Prevalensi TB ekstra-paru meningkat pada penderita respon imun yang
rendah (AIDS). TB Abdominal di Afrika Barat dan Turki menyerang pada dewasa
muda dan terutama pada wanita. Pada sebuah penelitian di Zambdia dari 31 pasien
positif HIV dengan tanda-tanda TB abdominal ditemukan sebanyak 22 pasien
wanita dengan usia 18-46 tahun.
TB usus merupakan penyakit yang umumnnya terjadi pada negara-negara
dengan sosial ekonomi yang rendah di Dunia. India merupakan negara dengan
prevalensi kasus TB tertinggi, disusul Cina kemudian Afrika Selatan. Di dunia
terjadi peningkatan prevalensi TB usus sebesar 1,1 % pertahun, laju peningkatan
ini terjadi pada pasien dengan imunokompromised. Di Negara- negara maju seperti
Amerika serikat juga mengalami peningkatan kasus TB terutama pada imigran dan
pasien-pasien mengalami AIDS. Selain itu di Eropa misalnya inggris juga
mengalami peningkatan kasus TB usus selama 20 tahun terahir, khususnya london
dan pada populasi imigran, serta pasien-pasien dengan yang mengalami resistensi
Obat. Berdasarkan data tahun 2012, di Dunia kasus TB MDR sekitar 450.00 kasus dan
terbanyak kasusnya di India, Cina dan Rusia.

Patofisiologi
Ada beberapa cara yang dapat melibatkan tuberkulosis abdome,
diantaranya, pertama adalah basil tuberkulum mungkin masuk ke saluran usus
melalui konsumsi terinfeksi susu atau sputum. Lapisan mukosa saluran pencernaan
bisa terinfeksi basil dengan pembentukan epiteloid tuberkel di jaringan limfoid dari
submukosa. Setelah 2-4 minggu, nekrosis caseous dari tuberkel menyebabkan
ulserasi mukosa di atasnya yang nantinya bisa menyebar lapisan yang lebih dalam
dan ke limfnoda yang berdekatan dan menjadi peritoneum. Jarang, bacilli ini bisa
masuk ke dalam sirkulasi portal atau ke arteri hepatika untuk melibatkan solid organ
seperti hati, pankreas dan limpa.
Jalur kedua adalah penyebaran hematogen dari fokus tuberkular dari di
tempat lain di tubuh ke organ padat perut, ginjal, limfnoda dan peritoneum. Jalur
ketiga termasuk penyebaran langsung ke peritoneum dari berdekatan yang
terinfeksi fokus, termasuk tuba fallopi atau adneksa, atau abses psoas, sekunder
untuk spondilitis tuberkulosis. Akhirnya itu bisa menyebar melalui saluran limfatik
dari nodus yang terinfeksi.

Manisfestasi Klinis

Manisfestasi klinis dan temuan patologi anatomi TB intestinal sangat


bervariasi. Manifestasinya dapat tidak spesifik dan menunjukkan kemiripan dengan
gangguan gastrointestinal lain, seperti penyakit Crohn, colitis ulseratif, limfoma,
enteritis amuba, actinomikosis dan enterokolitis Yersinia sp atau bahkan keganasan
pada kolon. Gejala klinis dapat berupa gejala akut maupun kronik intermiten. Pasien
dengan TB peritoneum biasanya bermanifestasi sebagai TB gastrointestinal,
ditemukan pada individu berusia <40 tahun dan frekuensinya lebih besar
pada perempuan.

Pada umumnya, pasien datang dengan keluhan nyeri perut, diare dan
penurunan berat badan. Keluhan nyeri abdomen dapat ditemukan pada TB intestinal
dan penyakit Crohn’s. Namun, jika pada anamnesis didapatkan data pasien dari
daerah endemis TB, riwayat imunosupresi dan ada keluarga yang terdiagnosis TB
atau ditemukan TB ditempat lain, maka kecurigaan lebih mengarah ke TB.

Gambaran klinis TB intestinal meliputi: 1) gejala konstitusi seperti demam,


anoreksia dan penurunan berat badan; 2) gejala akibat ulserasi mukosa seperti diare,
hematoskezia dan malabsorpsi; 3) Gejala terkait keterlibatan transmural seperti nyeri
perut, tegang dan muntah akibat obstruksi lumen, teraba benjolan, perforasi usus,
fistula perianal dan intestinal; 4) manifestasi ekstraintestinal seperti artritis,
peritoneum dan kelenjar limfe; 5) riwayat kontak dengan TBC. Penelitian oleh
Mukewar, dkk menyebutkan perubahan pola defeksi dapat berupa diare atau diare yang
bergantian dengan konstipasi.

Pada pemeriksaan fisis ditemukan nyeri tekan abdomen (37,3%), doughy


abdomen, massa abdomen (13,4%), limfadenopati (1,5%), hepatomegali dan asites.
Organ yang paling sering terlibat adalah ileum terminal karena prevalensi kelenjar
getah bening di daerah tersebut tinggi dan waktu kontak isi usus halus lebih lama.
Lesi yang paling sering ditemukan adalah ulkus dan penyempitan lumen paling
sering ditemukan di usus halus. Tuberkulosis usus besar jarang ditemukan dan
diagnosisnya mirip dengan tumor kolon, inlammatory bowel disease, kolitis iskemik
atau kolitis infeksi.

Lokasi
Lokasi TB saluran cerna yang paling umum ditemui adalah ileum atau
ileosacecal. Hal ini disebabkan karena tingginya kelenjar limfoid dan kontak yang
lama dengan usus kecil. Mikroorganisme berpenetrasi ke mukosa dan jaringan limfoid
di submukosa dan kemudian terjadi reaksi inflamasi yang diikuti limfangitis,
edarteritis, granuloma, nekrosis perkijuan, ulserasi mukosa dan fibrotik jaringan. Pada
kolon, lesi yang tersering adalah sisi kanan (kolon asenden dan kolon tranversum).
Beberapa studi menemukan bahwa lesi tersering adalah di kolon transversum dengan
lesi dominan striktur, namun penelitian hanya berdasarkan radiologis bukan
endoskopis.
Chong dan Lim menampilkan data prevalensi TB saluran cerna dari
berbagai literatur dan frekuensi kasus dari data lokal dalam kurun waktu 1997- 2004
seperti tampak pada tabel berikut:
Pendekatan Diagnosis
Diagnosis memerlukan kecurigaan yang tinggi. Sebaikn ya ketika suatu lesi
pulmonal dapat diidentifikasi maka perlu dipertimbangkan adanya tuberkulosis
intestinal. Tetapi hanya sekitar 25% TB Abdomen yang disertai dengan TB paru.
Problem diagnostik diakibatkan sulitnya konfirmasi TB saluran cerna melalui
metode bakteriologik. Klinisi yang handal mungkin menegakkan diagnosis yang
tepat pada setengah pasien berdasarkan anamnesis, tanda dan gejala saja. Sementara
itu, pemeriksaan radiologis, endoskopik, histopatologik dan mikrobiologik dapat
mendukung diagnostik sampai 80%.

Diagnosis pasti TB kolon ditegakkan bila dari biopsi ditemukan granuloma dan atau
basil tahan asam. Biopsi dari lesi hanya dapat mendeteksi 60-80% penyakit.
Pemeriksaan diagnostik yang membutuhkan waktu lama seperti pewarnaan basil tahan
asam dari biopsi atau sputum, kultur Mycobacterium tuberculosis, uji Mantoux dan
rontgen toraks sering negatif pada TB ekstraparu. Beberapa kepustakaan mengatakan
bahwa pemeriksaan diagnostik yang direkomen dasikan adalah kolonoskopi dan biopsi.
Ada beberapa kriteria diagnostik klinis untuk TB intestinal yang perlu diperhatikan
adalah Beberapa kriteria tersebut yaitu: 1) kultur positif jaringan atau kelenjar getah
bening 2) istopatologik menunjukkan menunjukkan batang tahan asam M.
tuberculosis di lesi 3) ditemukan tuberkel dan nekrosis perkijuan dari gambaran
histologik 4) gambaran endoskopi dan histologik sesuai dengan infeksi TB dan 5)
respon baik dengan terapi OAT.
Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan non-spesifik pada tuberkulosis abdomen mencakup laju endap darah,


anemia normokrom normositer dan hipoalbumin.Pemeriksaan tuberkulin mempunyai
nilai diagnostik yang terbatas dan memberikan hasil positif yang bervariasi mulai dari
30% sampai 100% dalam rangkaian yang berbeda. Pasien dengan tuberkulosis
abdomen secara umum memiliki hasil tes positif lemah dibandingkan dengan pasien
dengan tuberkulosis paru-paru yang aktif.Soluble Antigen Ab (SAFA) test dan enzyme-
linked immunoabsorbent assay (ELISA) yang biasanya positif pada tuberkulosis paru-
paru juga positif pada 83% dan 94% pada pasien yang diduga dengan tuberkulosis
abdomen.

b. Pemeriksaan histologi

Secara histologi, terdapat perpaduan beberapa granuloma yang terdiri dari sel-sel
epiteloid yang dikelilingi suatui zona fibroblast dan limfosit yang biasanya
mengandung sel Langerhans raksasa. Nekrosis perkejuan biasanya terjadi di pusat
tuberkel. Jumlah tuberkel ini tergantung dari kepekaan pasien dan vitrulensi organisme.

Pada kasus yang dicurigai sebagai tuberkulosis, diagnosis dipastikan melalui


pewarnaan histologi, apusan dan kultur batang tahan asam. Basil tuberkel dapat dilihat
pada fase eksudatif awal dan fase perkejuan dapat akan sulit menemukan basil tuberkel
pada fase fibrokalsifikasi lanjut.

Berdasarkan pemeriksaan patologis, tuberkulosis intestinal diklasifikasikan menjadi :

a. Bentuk tuberkulosis ulseratif, terlihat pada kira-kira 60% pasien. Ulkus superficial
multipel terdapat di permukaan epitel. Hal ini dipertimbangkan sebagai bentuk aktif
penyakit tersebut.

b. Bentuk tuberkulosis hipertropik, yang terlihat pada kira-kira 10% pasien dan terdiri
dari penebalan dinding usus dengan pembentukan jaringan parut, fibrosis dan masa
yang keras menyerupai karsinoma.
Pemeriksaan Imaging

Rontgen toraks mungkin dapat membantu diagnosis TB intestinal, namun


hasil yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan TB intestinal. Hanya 20% TB
paru aktif yang dikaitkan dengan TB saluran cerna. Penggunaan fluorescent untuk
diagnosis TB usus meningkatkan sensitifitas namun spesifisitas masih rendah.
Pemeriksaan Barium enema akan menunjukkan ulkus segmental, ketebalan mukosa,
stenosis dan deformitas katup ileosekal. Terminal ileum akan menyempit
( fleischner sign). Pemeriksaan usus kecil dan barium enema menunjukkan hasil
high riding caecum dengan atau tanpa string like lesion dari ileum terminal.

Pemeriksaan computer tomography scan (CT scan) mungkin menunjukkan


inflitrasi omentum, peritoneum dan mesenteium pada penebalan lapisan
peritoneum dan adanya cairan peritoneum yang berdensitas tinggi. Gambaran
yang paling umum ditemui dari CT scan adalah penebalan dinding sirkumferensial
saekum dan terminal ileum serta asimetris dari ileosaekal.

USG abdomen mungkin menunjukkan penebalan usus yang konsentrik


dan regular. Foto polos abdomen tidak memberikan informasi yang bermakna
karena gambaran obstruksi atau perforasi tidak khas. Selain itu, gambaran
klasifikasi nodus mesenterikus juga tidak memastikan diagnosis jika klinis tidak
mendukung

Endoskopi gastrointestinal ileokolonoskopi, enteroskopi dan


gastroduodenoskopi berperan penting dalam membedakan TB intestinal dengan
penyakit Crohn. Endoskopi memungkinkan visualisasi langsung dan biopsi lesi. Lesi
makroskopik yang paling sering ditemukan disebelah kanan (caecum dan ascending
colon) atau didaerah ileosaekal yang merupakan lokasi tersering terkena infeksi dan
kolonoskopi dengan intubasi ileum retrograd (ileokolonoskopi) adalahpemeriksaan
pilihan. Ileokolonoskopi ini, pada pasien dengan dugaan atau terbukti penyakit
Crohn, dibandingkan dengan video kapsul enteroskopi menunjukkan sensitifitas 67%
vs 83% dan spesifisitas 100% vs 53%.

Ballon assisted dan spiral enteroskopi adalah modalitas pilihan untuk


mengevaluasi usus kecil karena kemampuan biopsi dan terapeutik. Biospi usus kecil
penting karena lesi ulseratif tidak dapat dibedakan hanya dari gambaran endoskopi.
Biopsi dari mukosa kolon atau gastroduodenal mukosa yang tampak normal
mungkin dapat menjadi kunci diagnostik pada pasien yang diduga menderita
penyakit Crohn. Skip lession lebih umum ditemui pada pasien penyakit Crohn
dibanding TB intestinal (66% vs 17%), begitu juga dengan ulserasi aftosa, ulserasi
linier, ulserasi superfisial dan cobblestone mukosa kolon, yaitu masing-masing 54%
vs 13%, 30 % vs 7%, 51% vs 17%) dan 17% vs 0%.

Sementara itu, nodularitas kolon lebih banyak ditemukan pada TB intestinal


(24.5% vs 49%). Penggunaan kapsul endoskopi untuk diagnosis TB intestinal jarang
digunakan karena tidak mampu untuk 17ultip. Namun, beberapa kasus TB intestinal
yang diperiksa melalui kapsul endoskopi menujukkan gambaran 17ultiple ulkus
mukosa yang scattered, pendek, oblik atau tranversal dengan dasar nekrotik pada
jejunum dan ileum. Sulit untuk membedakan TB intestinal dengan penyakit Crohn
hanya dari gambaran kapsul endoskopi saja. Endoskopi juga digunakan untuk
evaluasi lesi TB intestinal pasca terapi.

Pada penyakit Crohn sering ditemukan granuloma di mukosa dengan


keterlibatan kurang dari 4 segmen. Lesi dikelilingi mukosa yang tampak normal dan
tidak tampak ulser aftosa, kecuali pada pasien yang sebelumnya telah didiagnosis
penyakit Crohn. Lesi dapat meliputi lesi anorektal. Ulkus longitudinal, ulkus aftosa,
fistula dan gambaran cobblestone. Ulkus yang dalam, fisura, longitudinal, khas
untuk penyakit Crohn, ulkus longitudinal yang lebih kecil yang dipisahkan oleh
edema atau mukosa yang tidak terlibat dapat membentuk gambaran cobblestone.

Pada TB saluran cerna granuloma sering ditemukan di submukosa.


Gambaran lesi endoskopi dapat berupa liner, fisura, ulkus transversal, sirkumferens
atau massa polipoid. Mukosa sekitar lesi dapat tampak abnormal, eritema, edema,
iregular atau nodul. Tidak seperti pada penyakit Crohn, pada TB saluran cerna
umumnya lesi bersifat multifokal. Lesi makroskopik TB saluran cerna dari
endoskopik dapat berupa ulserasi, nodul, polip dan penyempitan lumen.

Selain itu, dapat juga ditemui gambaran multipel fibrous band


irregular. Beberapa literatur menyebutkan bahwa ulkus kolon berbentuk linear atau
transversal, namun Yusuf, dkk.16 menemukan bentuk ulkus yang bulat sepanjang
kolon. Gambaran ulkus atau kolitis pada TB intestinal pada umumnya segmental,
namun pada kondisi yang jarang dapat ditemui gambaran colitis difus.
Keterlibatan 3 atau lebih segmen intestinal lebih mengarahkan ke diagnosis
penyakit Crohn, sedangkan lesi TB intestinal lebih terlokalisasi. Chong, dkk.5
membagi lesi TB saluran cerna menjadi 3 kategori, yaitu tipe ulseratif (60%),
hipertrofik (10%) dan lesi seperti massa atau hipertrofik menyerupai ulkus (30%).
Ulserasi dan penyempitan lumen adalah lesi yang paling sering ditemui. Lesi ulsratif
banyak ditemukan pada pasien dengan defisiensi sistem imun, sedangkan lesi
hipertropik ditemukan pada pasien dengan sistem imun baik.

Kultur

Waktu yang dibutuhkan untuk kultur M. tuberculosis dengan BACTEC adalah 2-


3 minggu namun sensitifitasnya rendah. Pemeriksaan kultur M. tuberculosis dari
biopsi spesimen mahal dan hasilnya dapat bervariasi. Sebuah studi menunjukkan
bahwa dari 62 pasien tidak ada yang menujukkan kultur positif. Sementara itu, studi
lainnya menunjukkan hanya 3 dari 50 pasien yang menunjukkan hasil kultur positif.
Oleh karena itu, penelitian oleh Mukewar, dkk tidak melakukan pengambilan kultur
spesimen.

Gambar 2. Manajemen Algoritma Tuberkulosis Abdominal.


Tatalaksana

Terapi untuk TB intestinal meliputi terapi farmakologis OAT dan bedah. Pilihan
pertama untuk terapi TB intestinal adalah OAT. Ketika pasien diduga TB intestinal,
maka OAT dapat diberikan dosis penuh. Sementara itu, pembedahan adalah pilihan
kedua untuk mengatasi TB intestinal dengan komplikasi. Sulitnya diagnostik
menimbulkan kesulitan untuk menentukan pada kondisi apa terapi TB dimulai.
Beberapa kepustakaan menyatakan bahwa memulai terapi TB dilakukan jika
kecurigaan klinis sangat mendukung ke arah TB intestinal. Respon terhadap terapi anti
TB digunakan sebagai kriteria untuk konfirmasi TB saluran cerna.

a. Farmakologis

Semua kasus yang didiagnosis sebagai TB gastrointestinal harus menerima


setidaknya 6 bulan terapi antituberkulosis yang mencakup dua bulan awal
dengan isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol tiga kali seminggu.
Meskipun 6 bulan regimen pengobatan dianjurkan sesuai pedoman program TB
nasional yang telah direvisi, tetapi banyak dokter yang memperpanjang
regimen pengobatan selama 9 atau 12 bulan. Namun tidak ada perbedaan yang
terlihat dalam efektivitas antara 6 bulan pengobatan regimen antituberkulosis
dengan rifampisin, isoniazid untuk 2 bulan diikuti oleh rifampisin dengan
isoniazid untuk 4 bulan (seri 6R) dan 12 bulan rejimen standar etambutol yang
dilengkapi dengan streptomisin untuk 2 minggu.Park, dkk. menyebutkan bahwa
terapi 3 bulan anti TB cukup untuk melihat respon terapi dan membedakan TB
kolon dengan penyakit Crohn. Mayoritas pasien menunjukkan perbaikan klinis
setelah terapi 4-6 minggu setelah terapi anti TB. Sementara itu, Lee, dkk.
menyatakan perbaikan tampak setelah terapi minimal 2 bulan dan perbaikan
kolonoskopi ditemukan pada 93% yang dilakukan kolonoskopi ulang setelah
terapi OAT 3 bulan. Oleh karena itu, panduan di Korea merekomendasikan
kolonoskopi dilakukan ulang setelah 2-3 bulan terapi OAT. Park, dkk
memberikan terapi OAT 4 regimen selama 10 bulan dengan hasil yang baik.
Kombinasi isoniazid, pirazinamid, rifampicin, etambutol da n streptomicin
diberikan selama 9-12 bulan dan tidak ditemukan relaps selama pengamatan
425±120 hari pada 94%. Tujuh pasien yang dilakukan kolonoskopi ulang
setelah 2-3 bulan terapi mengelami ulkus sembuh dan perbaikan parameter
laboratorium lain.
Terapi 6 bulan untuk TB intestinal direkomendasikan karena tidak terdapat
perbedaan bermakna antara terapi 6 bulan dibandingkan 9 bulan. Terapi yang
lebih lama mungkin dipertimbangkan pada pasien dengan komplikasi.Kadang
diagnosis TB intestinal sulit ditegakkan dan baru diketahui setelah
pembedahan. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan terapi empirik OAT
walaupun diagnosis pasti belum tegak. Hal ini dilakukan terutama pada pasien
dari daerah endemik. Reaksi paradoksikal dapat terjadi selama pemberian OAT.
Reaksi ini didefinisikan sebagai perburukan klinis atau radiologis pada pasien
dengan lesi TB. Reaksi ini juga dapat berupa terjadinya lesi baru pada pasien
yang awalnya memberikan respon dengan terapi.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, pembedahan merupakan pilihan kedua


untuk mengatasi TB usus dengan komplikasi. Komplikasi serius yang mungkin
terjadi adalah obstruksi usus (15-60%), fistula (25%) dan perforasi (15%)
dengan angka kematian 30- 40%. Komplikasi lainnya yaitu dapat berupa perda
rahan masif meskipun jarang terjadi.

Pasien dengan keluhan perut walaupun telah diberikan terapi OAT harus
dicurigai obstruksi intestinal subakut. Hal ini harus dideteksi dini dan
dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk mengurangi komplikasi akibat
perforasi. Namun demikian, tidak seperti TB paru, definisi sembuh untuk TB
ekstra paru sulit didefinisikan dan belum ada kriteria baku untuk mengakhiri
terapi.
b. Pembedahan
Perawatan bedah dilakukan untuk mengelola komplikasi
seperti obstruksi, perforasi dan perdarahan masif tidak merespons terapi
konservatif. Strictures dikelola oleh stricturoplasty atau resection dari segmen
yang terlibat usus. P erforasi dikelola oleh reseksi dan anastomosis daripada
dengan penutupan sederhana sehingga dapat dihindari formasi fistula. Bypass
surgery seperti enteroenterostomy, Kolostomi ileotransverse tidak dianjurkan
untuk lesi obstruktif karena dapat menyebabkan pembentukan blind loop yang
mengarah ke obstruksi, fistula, malabsorpsi dll.
Tindakan operatif pada TB gastrointestinal terdiri dari tiga jenis, diantaranya
adalah:
1. Tipe pertama adalah operasi yang dilakukan untuk memotong segmen usus yang
terlibat seperti pada kasus enteroenterostomi atau kolostomi ileotransversa.
Operasi ini biasanya dipersulit oleh adanya sindrom blind loop, pembentukan
fistula dan munculnya infeksi yang berulang pada segmen usus yang tersisa oleh
sebab itu tindakan pembedahan ini tidak sering dilakukan.
2. Tipe kedua adalah tindakan pembedahan yang melibatkan reseksi radikal
seperti hemikolektomi dan dapat dilakukan pengobatan bersamaan dengan
pemberian obat antituberkulosis sehingga dapat sepenuhnya mengobati
penyakit ini. Operasi ini juga dipersulit oleh status kurang gizi pasien dari seba
gian besar pasien dengan tuberkulosis gastrointestinal. Selain itu dapat terjadi
lesi secara luas pada tempat pembedahan dan reseksi radikal tidak dapat
dilakukan pada semua kasus.
3. Tipe ketiga biasanya bersifat konservatif seperti strikturplasti pada kasus-kasus
striktur yang menyebabkan lebih dari 50% luminal compromise. Jenis-jenis
operasi konservatif yang biasanya dilakukan saat ini. Perforasi yang
diakibatkan oleh TB usus biasanya diterapi dengan reseksi segmen usus yang
teribat d engan anastomosis primer.
BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis intestinal adalah manifestasi TB ekstrapulmonal terbanyak


keenam. Diagnostik yang akurat penting agar tatalaksana OAT dapat segera
diberikan. Sulitnya diagnosis TB intestinal disebabkan karena gambaran klinis
yang tidak spesifik. Sampai saat ini tidak ada metode tunggal yang dapat mendeteksi
TB intestinal secara tepat dan akurat, sehingga dibutuhkan kombinasi penilaian
klinis dan pemeriksaan berbagai modalitas. Pasien yang telah didiagnosis TB
intestinal, diberikan terapi OAT dan pertimbangan bedah jika mengalami
komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chong, VH & Lim, KS. Gastrointestinal tuberculosis. Singapore: Med J;


2009.
2. Debi U, Ravisankar V, Prasad KK, Sinha SK, Sharma AK. Abdominal
tuberculosis of the gastrointestinal tract: revisited. World Journal of
Gastroenterology; 2014.
3. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tuberkulosis.
Jakarta: 2013.
4. Medscape.https://emedicine.medscape.com/article/376015, diunduh pada
tanggal 23 Maret 2019.
5. Murwaningrum A, Abdullah M, Makmun D. Pendekatan Diagnosis dan
Tatalaksana Tuberkulosis Intestinal. Jakarta: Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia; 2016. Vol. 3. No. 2.
6. Rathi P, Gambhire P. Abdominal Tuberculosis. Journal of the Association
of Physicians of India; 2016.
7. Sharma R. Abdominal Tuberculosis. Imaging Science Today 2009: 146.
Available from: http://www.imagingsciencetoday.com/node/146.
8. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, Prasetyono TOH, Rudiman R, dkk. Buku
Ajar Ilmu Bedah. Edisi IV. Vol.3. Jakarta: EGC; 2014.
9. Williams, Lippincot and Wilkins. Anatomy & Physiology Made
Incredibly Visual! 1 st Edition. Wolters Kluwer Health. 2009.

Anda mungkin juga menyukai