Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HUKUM PERKAWINAN ISLAM

HAK ASUH PASCA PECERAIAN

(HADHANAH)

Disusun oleh :

M Abi Abdillah

Dosen pengampu :

Bahrul fawaid, S.HI., M.HI


Daftar isi

Daftar isi ......................................................................I


Pendahuluan.................................................................II
Pembahasan..................................................................III
A. Pengertian Hadhanah ..............................................1
B. Hakikat Perceraian ...................................................2
C. Hak Asuh Anak Yang Belum Mumayyiz ................3
D. Dasar Hukum dalam Menentukan Hadhanah Anak
yang Belum Mumayyiz kepada Ayah Akibat Perceraian
Orang Tua ....................................................................4
E. Hikmah Hadhanah....................................................5
Penutup .......................................................................6
Daftar isi .....................................................................7
Bab I

Pendahuluan
1. Latar Belakang
Mempelajari bab tentang hadhanah (pemeliharaan anak) merupakan
suatu hal yang sangat penting, oleh sebab itu materi ini sangatlah penting
dibahas dan dipahami secara mendalam. Karena materi tentang hadhanah
(pemeliharaan anak) akan menjadi bekal untuk kehidupan yang akan
mendatang.
Hadhanah hampir sama dengan pendidikan, akan tetapi berbeda
maksudnya. Dalam hadhanah, terkandung pengertian pemeliharaan
jasmani dan rohani disamping terkandung pula pengertian pendidikan,
hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak, kecuali jika
anak tersebut tidak mempunyai keluarga serta ia bukan professional, maka
dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lainnya. Sedangkan
pendidikan, yang diasuh mungkin saja terdiri dari keluarga si anak dan
mungkin pula bukan dari keluarga si anak dan iya (pengasuh) merupakan
pekerjaan professional. Hadhanah merupakan hak dari hadhin, sedangkan
pendidikan belum tentu merupakan hak dari pendidikan.

2. Rumusan Masalah
1. Pengertian hadhanah (pemeliharaan anak)
2. Hakikat perceraian
3. Hak Asuh Anak Yang Belum Mumayyiz
4. Dasar Hukum dalam Menentukan Hadhanah Anak yang Belum
Mumayyiz kepada Ayah Akibat Perceraian Orag Tua
5. Hikmah Hadhanah
Bab II
Pembahasan

A. Pengertian Hadhanah
“Hadhanah” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara
lain: hal memelihara, mendidik, mangatur, mengurus segala kepentingan
atau urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk). Hadanah menurut bahasa, berarti
meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan. Seperti halnya
waktu ibu menyusui anaknya meletakkan anaknya di pangkuannya,
seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya.

Para ulama fiqih mendefinisikan hadhanah sebagai tindakan


pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun
perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyis, menyediakan
sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang
menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar
mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung
jawabnya.
B. Hakikat Perceraian
Perceraian adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri.
Di antara keduanya diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual,
serta lepas dari hak dan kewajiban sebagai suami dan istri.
Sebenarnya perceraian adalah solusi terakhir. Ibarat pintu darurat,
ia hanya dilalui jika bahtera rumah tangga tidak mungkin
diselamatkan. Oleh sebab itu, seharusnya perceraian menjadi “api
pemadam” bukan penambah kobaran perseteruan. Berarti perlu
kejelasan syariat, siapa yang memiliki hak asuh anak (hadhanah).

C. Hak asuh anak yang belum mumayyiz


Apabila mengacu kepada ketentuan Pasal 105 Kompilasi Hukum
Islam yang menyatakan dalam hal terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaan.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Sedangkan menurut fiqih 5 mazhab:
1. Hanafi: 7 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan.
2. Syafi’i: tidak ada batasan tetap tinggal sama ibunya sampai ia bisa
menentukan atau berpikir tentang hal yang baik baginya. Namun
bila ingin bersama ayah dan ibunya, maka dilakukan undian, bila
si anak diam berarti memilih ibunya.
3. Maliki: anak laki-laki hingga baligh dan perempuan hingga
menikah.
4. Hambali: Masa anak laki-laki dan perempuan dan sesudah itu
disuruh memilih ayah atau ibunya.
5. Imamiyyah: Masa asuh anak untuk laki-laki 2 tahun, sedangkan
anak perempuan 7 tahun. Sesudah itu hak ayah hingga mencapai 9
tahun bila dia perempuan dan 15 tahun bila dia laki-laki, untuk
kemudian disuruh memilih dia siapa yang ia pilih.
Karena tiadanya aturan yang jelas, maka pada umumnya secara
baku Hakim mempertimbangkan putusannya berdasarkan fakta-fakta
dan bukti yang terungkap di persidangan mengenai baik buruknya
pola pengasuhan orang tua kepada si anak termasuk dalam hal ini
perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait kepentingan si
anak baik secara psikologis, materi maupun non materi. Dalam Pasal
229 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa “Hakim dalam
menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa
keadilan.
Jadi Hakim harus mempertimbangkan sungguh-sungguh apakah
si ibu layak mendapatkan hak untuk mengasuh anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun. Jadi didasarkan
pengertiannya, maka konsep hak hadhanah dalam Kompilasi Hukum
Islam tidak jauh berbeda dengan konsep perlindungan sebagaimana
diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku umum yakni
tetap harus memperhatikan perilaku dari orang tua tersebut (seperti si
ibu tidak bekerja sampai larut malam, lebih mengutamakan kedekatan
kepada si anak dibandingkan kesibukkan diluar rumah dan
sebagainya) serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara
psikologis, materi maupun non materi. Jadi anak-anak yang masih
dibawah umur/belum mumayyiz yang berhak memegang hadhanah
adalah ibunya (Penggugat) , namun demikian Majelis
mempertimbangkan bahwa karena anak-anak tersebut telah berada
dalam pemeliharaan ayah (tergugat) dan lagi pula anak-anak nomor
dua dan tiga tersebut telah sekolah ditempat ayah (Tergugat), maka
pemeliharaan anak kedua dan ketiga tetap berada pada pihak Tergugat
(B), sedangkan anak ke empat yang berusia ± 2 tahun untuk
kelangsungan dan tidak memutus hubungan silahturrahmi dan
hubungan emosional antara anak anak dengan saudaranya serta
dengan orang tuanya yaitu Penggugat (A) dengan Tergugat (B) lagi
pula Penggugat (A) saat ini belum mempunyai tempat tinggal yang
tetap/pasti maka Majelis perlu menetapkan seorang anak yang ke
empat tersebut menjadi hak dan berada dalam pemeliharaan dan
asuhan ibu (Penggugat)
D. Dasar Hukum Dalam Menentukan Hadhanah Anak Yang
Belum Mumayyiz Kepada Ayah Akibat Perceraian Orang Tua
Dasar hukum dan pertimbangan Majelis Hakim dalam
memutuskan perkara hak asuh anak yang belum mumayyiz sesuai
dengan pendapat Imam Taqiyudin Abi Bakar bin Muhammad al
Husaini ad Dimasyqi dalam Kitab Kifayatun Akhyar menyatakan
bahwa perilaku tidak ifah (menjaga diri dan kehormatan suami) dapat
menggugurkan hak hadhanah bagi ibu.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang akan
melaksanakan tugas hadhanah sesuai dengan dalil dalam Kitab
Kifayatun Akhyar II halaman 94 yang artinya:
“Syarat-syarat bagi orang yang akan melaksanakan tugas
hadhanah ada tujuh macam, yaitu berakal sehat, merdeka, beragama
Islam, sederhana, amanah, tinggal didaerah tertentu dan tidak
bersuami baru. Apabila kurang satu diantara syarat-syarat tersebut,
gugur hak hadhanah dari tangan ibu”.
Apabila ibunya tidak memenuhi syarat hadhanah, maka hak
hadhanah berpindah pada ibunya ibu dalam hal sistem keluarga dalam
arti luas mencakup kakek/nenek dan seterusnya. Namun karena
ibunya ibu berada jauh dari ibu dan anaknya (di Tegal), maka hak
hadhanah berpindah pada ayahnya yaitu Tergugat.
Bahwa hak hadhanah hanya diberikan sampai anak menjadi
mumayyiz atau berumur 12 (dua belas) tahun, dan setelah itu menjadi
haknya anak untuk menentukan pilihannya apakah ikut kepada
ayahnya atau ibunya sepanjang ibunya tidak menikah lagi.
Oleh karena kewajiban kedua orang tua dalam memelihara anak
itu berlaku terus meskipun kedua orang tuanya cerai, maka untuk
melindungi dan menjaga kesehatan dan jiwanya, kepada masing-
masing para pihak diberi hak jenguk terhadap anaknya, sehingga
hubungan darah dan batin antara anak dan orang tuanya tidak
terputus.

E. Hikmah Hadhanah
Adapun hikmah hak memelihara anak menurut Ali Ahmad Al-
Jurjawi dilihat dari 2 segi:
1. Tugas laki-laki dalam urusan penghidupan dan masyarakat
berbeda dengan tugas wanita, perhatian seorang ibu terhadap
anaknya lebih tepat dan cocok karena memelihara anak adalah
keistimewaan seorang ibu.
2. Seorang ibu memiliki rasa kasih sayang yang lebih besar terhadap
anaknya dari pada seorang ayah. Dan curahan hati tercurah lebih
untuk anaknya.
Bab III

Kesimpulan
Perceraian seringkali berakhir menyahitkan bagi pihak-pihak
yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian
juga dapat menimbulkan stress dan trauma untuk memulai hubungan
baru dengan lawan jenis, pada umumnya orang tua bercerai akan lebih
siap menghadapi perceraian tersebut dibandingkan dengan anak-anak
mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya
didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga
sudah ada suatu persiapan baik mental maupun fisik. Anak-anak yang
orang tuanya bercerai dilanda perasaan-perasaan kehilangan (
hilangnya satu anggota keluarga: ayah atau ibunya). Perasaan gagal,
kurang percaya diri, kecewa, marah dan benci yang amat sangat.
Walaupun anak telah belajar untuk menyesuaikan diri dan
melanjutkan kehidupan mereka setelah orang tuanya bercerai. Namun,
perceraian orang tua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan
bagi mereka.
Daftar Pustaka
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam,(Bandung,Pustaka Setia, 2000)
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Juz 8, (Bandung, Al-Ma’ruf, 1984)
Al-Hamdani, H. S. A,Risalah Nikah, (Jakarta Pustaka Amini, 2002)
Abu Bakar Muhammad,Terjemah Subulussalam Juz III,(Surabaya,Al-
Ikhlas, 1995)
Qasim, Ibnu, Tausyiah Ala Ibnu Qasim, (Surabaya, Al-Hidayah, TT)
Kamal Pasha Mustafa, dkk, Fiqih Islam,(Yogyakarta, Citra Karsa Mandiri,
2002)
Jawad Mughniyah Muhammad, Fiqih 5 Mazhab, (Jakarta, Lentera, 2002)
Rahmat, Ghajaly Abdul, Fiqih Munakahat, (Bogor Kencana, 2003)
http://www.e-psikologi.com/keluarga/180402a.htmMartina Rini S.
Tasmin,SPsi.Jakarta,18 April 2002 http://www.e
sikologi.com/keluarga/180402a.htmAhmad, Abu Daud, dan Al-hakim
riwayatAbdullah bin ‘Amr 1(www.keluargasamara.com)
Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Jakarta, 18 April2002 http://www.e
psikologi.com/keluarga/180402a.htm
-------------------------------------------
[1]Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, Pustaka Setia,
2000), h.224
[2]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jus 8, (Bandung, Al-Ma’ruf, 1984), h.179
[3] H. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta, Pustaka Amini, 2002),
h.321-322
[4] Muhammad Abu Bakar, Terjemah Subulussalam juz III (Surabaya, Al-
Ikhlas, 1955), h.819-820
[5] Ibnu Qasim, Tausyih Ala Ibnu Qasim,(Surabaya, Al-Hidayah, TT),h.
234-235
[6] Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fiqih Islam, (Jogyakarta,
Citra Karsa Mandiri, 2002), h. 304
[7] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, (Jakarta, Lentera,
2002), h. 416-417
[8] KHI, Pasal 109
[9]Rahmad Hakim, Hukum Perkawnan Islam, (Bandung, pustaka Setia,
2000), h. 242-243
[10] Abdul Rahmad Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor, Kencana, 2003), h.
189-190
[11] Ibid, 241
[12] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor, Kencana, 2003), h.
189
[13]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, (Jakarta Lentera,
2002), h. 417-418

Anda mungkin juga menyukai