(HADHANAH)
Disusun oleh :
M Abi Abdillah
Dosen pengampu :
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Mempelajari bab tentang hadhanah (pemeliharaan anak) merupakan
suatu hal yang sangat penting, oleh sebab itu materi ini sangatlah penting
dibahas dan dipahami secara mendalam. Karena materi tentang hadhanah
(pemeliharaan anak) akan menjadi bekal untuk kehidupan yang akan
mendatang.
Hadhanah hampir sama dengan pendidikan, akan tetapi berbeda
maksudnya. Dalam hadhanah, terkandung pengertian pemeliharaan
jasmani dan rohani disamping terkandung pula pengertian pendidikan,
hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak, kecuali jika
anak tersebut tidak mempunyai keluarga serta ia bukan professional, maka
dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lainnya. Sedangkan
pendidikan, yang diasuh mungkin saja terdiri dari keluarga si anak dan
mungkin pula bukan dari keluarga si anak dan iya (pengasuh) merupakan
pekerjaan professional. Hadhanah merupakan hak dari hadhin, sedangkan
pendidikan belum tentu merupakan hak dari pendidikan.
2. Rumusan Masalah
1. Pengertian hadhanah (pemeliharaan anak)
2. Hakikat perceraian
3. Hak Asuh Anak Yang Belum Mumayyiz
4. Dasar Hukum dalam Menentukan Hadhanah Anak yang Belum
Mumayyiz kepada Ayah Akibat Perceraian Orag Tua
5. Hikmah Hadhanah
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Hadhanah
“Hadhanah” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara
lain: hal memelihara, mendidik, mangatur, mengurus segala kepentingan
atau urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk). Hadanah menurut bahasa, berarti
meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan. Seperti halnya
waktu ibu menyusui anaknya meletakkan anaknya di pangkuannya,
seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya.
E. Hikmah Hadhanah
Adapun hikmah hak memelihara anak menurut Ali Ahmad Al-
Jurjawi dilihat dari 2 segi:
1. Tugas laki-laki dalam urusan penghidupan dan masyarakat
berbeda dengan tugas wanita, perhatian seorang ibu terhadap
anaknya lebih tepat dan cocok karena memelihara anak adalah
keistimewaan seorang ibu.
2. Seorang ibu memiliki rasa kasih sayang yang lebih besar terhadap
anaknya dari pada seorang ayah. Dan curahan hati tercurah lebih
untuk anaknya.
Bab III
Kesimpulan
Perceraian seringkali berakhir menyahitkan bagi pihak-pihak
yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian
juga dapat menimbulkan stress dan trauma untuk memulai hubungan
baru dengan lawan jenis, pada umumnya orang tua bercerai akan lebih
siap menghadapi perceraian tersebut dibandingkan dengan anak-anak
mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya
didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga
sudah ada suatu persiapan baik mental maupun fisik. Anak-anak yang
orang tuanya bercerai dilanda perasaan-perasaan kehilangan (
hilangnya satu anggota keluarga: ayah atau ibunya). Perasaan gagal,
kurang percaya diri, kecewa, marah dan benci yang amat sangat.
Walaupun anak telah belajar untuk menyesuaikan diri dan
melanjutkan kehidupan mereka setelah orang tuanya bercerai. Namun,
perceraian orang tua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan
bagi mereka.
Daftar Pustaka
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam,(Bandung,Pustaka Setia, 2000)
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Juz 8, (Bandung, Al-Ma’ruf, 1984)
Al-Hamdani, H. S. A,Risalah Nikah, (Jakarta Pustaka Amini, 2002)
Abu Bakar Muhammad,Terjemah Subulussalam Juz III,(Surabaya,Al-
Ikhlas, 1995)
Qasim, Ibnu, Tausyiah Ala Ibnu Qasim, (Surabaya, Al-Hidayah, TT)
Kamal Pasha Mustafa, dkk, Fiqih Islam,(Yogyakarta, Citra Karsa Mandiri,
2002)
Jawad Mughniyah Muhammad, Fiqih 5 Mazhab, (Jakarta, Lentera, 2002)
Rahmat, Ghajaly Abdul, Fiqih Munakahat, (Bogor Kencana, 2003)
http://www.e-psikologi.com/keluarga/180402a.htmMartina Rini S.
Tasmin,SPsi.Jakarta,18 April 2002 http://www.e
sikologi.com/keluarga/180402a.htmAhmad, Abu Daud, dan Al-hakim
riwayatAbdullah bin ‘Amr 1(www.keluargasamara.com)
Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Jakarta, 18 April2002 http://www.e
psikologi.com/keluarga/180402a.htm
-------------------------------------------
[1]Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, Pustaka Setia,
2000), h.224
[2]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jus 8, (Bandung, Al-Ma’ruf, 1984), h.179
[3] H. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta, Pustaka Amini, 2002),
h.321-322
[4] Muhammad Abu Bakar, Terjemah Subulussalam juz III (Surabaya, Al-
Ikhlas, 1955), h.819-820
[5] Ibnu Qasim, Tausyih Ala Ibnu Qasim,(Surabaya, Al-Hidayah, TT),h.
234-235
[6] Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fiqih Islam, (Jogyakarta,
Citra Karsa Mandiri, 2002), h. 304
[7] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, (Jakarta, Lentera,
2002), h. 416-417
[8] KHI, Pasal 109
[9]Rahmad Hakim, Hukum Perkawnan Islam, (Bandung, pustaka Setia,
2000), h. 242-243
[10] Abdul Rahmad Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor, Kencana, 2003), h.
189-190
[11] Ibid, 241
[12] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor, Kencana, 2003), h.
189
[13]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, (Jakarta Lentera,
2002), h. 417-418