Anda di halaman 1dari 7

Hukum Agraria

Pengertian Hukum Agraria


Hukum Agraria merupakan sebuah hukum tanah yang hanya mengatur masalah pertanian, atau
mengenai permukaan tanah dan kulit bumi saja.

Pengertian Hukum agraria dalam arti luas ialah seluruh kaidah hukum baik yang tertulis
ataupun tidak tertulis yang mengatur masalah bumi, air dalam batas-batas tertentu dan ruang
angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung didalam bumi.

Definisi hukum agraria menurut beberapa ahli :

Ada beberapa ahli hukum yang mengemukaakn pendapatnya mengenai hukum agraria, yaitu :

1. Mr. Boedi Harsono

Menurut Mr. Boedi Harsono menyatakan bahwa Hukum agraria ialah suatu kaidah-kaidah
hukum yang mengatur mengenai bumi, air dalam batas tertentu juga ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terdapat di dalam bumi, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis.

2. Drs. E. Utrecht SH

Menurut Drs. E. Utrecht SH menyatakan bahwa Hukum agraria ialah sebagai hukum istimewa
memungkinkan pejabat administrasi bertugas mengurus permasalahan tentang agraria untuk
melakukan tugas mereka.

3. Bachsan Mustafa SH

Menurut Bachsan Mustafa SH menyatakan bahwa Hukum agraria ialah himpunan peraturan
yang mengatur tentang bagaimana para pejabat pemerintah menjalankan tugas mereka
dibidang keagrariaan.

Sumber Hukum Agraria


1. Sumber Hukum Tertulis

• UUD ’45 (Undang-Undang Dasar 1945) yang termuat di Pasal yang ke 33 ayat 3.
• UU (Undang- Undang) Nomer 5 pada Tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok
Agraria. Sumber yang kedua ini juga disingkat sebagai UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria).

• Peraturan tentang pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria.Peraturan bukan


pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria yang telah dikeluarkan pada tanggal 24
September tahun 1960 disebabkan oleh sebuah masalah yang harus diatur. Masalah
tersebut dicontohkan seperti UU 51/Prp/1960 mengenai Larangan Pemakaian Tanah
yang Tak Mendapat Izin Oleh Pemiliknya atau Kuasanya.

• Peraturan Lama yang sementara waktu masih berlaku dan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan pada pasal-pasal peralihan. Mengapa peraturan lama masih diberlakukan?
Tujuan utama dari diberlakukannya peraturan lama adalah guna mengisi kekosongan
peraturan di masa transisi antara peraturan lama dan dibuatnya peraturan yang baru.
Adapun pasal yang mengatur tentang adanya peraturan lama adalah :

1. Pasal 56 UUPA. Pasal ini memberlakukan ketentuan adat masyarkat di sebuah wilayah
tertentu dan juga peraturan lain tentang hak milik atas tanah. Hal ini seperti yang telah
disebutkan pada Pasal 20 UUPA tentang hak milik. Ketentuan tersebut masih berlaku
sebelum adanya UU yang mengatur tentang hak milik.
2. Pasal 57 UUPA. Pasal ini memberlakukan ketentuan tentang hipotik yang terdapat pada
KUH Perdata dan juga Credietverband. Kedua ketentuan itu masih tetap berlaku
sebelum adanya UU yang mengatur tentang hak tanggungan.
3. Pasal 58 UUPA. Pasal ini memberlakukan peraturan lain tentang bumi serta air dan
sumber daya alam yang ada di dalamnya dan juga hak kepemilikan tanah selama tak
bertentangan dengan UUPA. Peraturan tersebut masih tetap berlaku sebelum peraturan
pelaksanaan UUPA belum dibentuk.

2. Sumber Hukum Agraria Yang Tak Tertulis

Hukum adat yang seirama dan sesuai dengan ketentuan yang ada di Pasal 5 UUPA, yakni :

• Tak bertentangan dengan kepentingan negara dan kepentingan nasional

• Berasaskan peraturan bangsa

• Beraraskan sosialisme Indonesia

• Berdasarkan pada peraturan yang telah tercantum dalam UUPA serta peraturan
perundang-undangan yang lain

• Mengindahkan unsur yang bersandar di hukum agama


• Hukum kebiasaan yang muncul setelah berlakunya UUPA yakni praktik
administrasi dan yurisprudensi.

Asas Hukum Agraria


1. Asas nasionalisme

Asas nasionalisme menyatakan hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik
atas tanah dan hubungan antara bumi dan ruang angkasa tanpa membedakan laki-laki atau
perempauan baik warga negara asli ataupun keturunan.

2. Asas dikuasai oleh Negara

Asas dikuasai oleh Negara menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa beserta kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara.

3. Asas hukum adat yang disaneer

Asas hukum adat yang disaneer menyatakan bahwa hukum adat yang sudah bersih dari dari
segi negatif dapat digunakan sebagai hukum agrarian.

4. Asas fungsi sosial

Asas fungsi sosial menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan
norma kesusilaan dan keagamaan dan juga hak-hak orang lain serta kepentingan umum.

5. Asas kebangsaan atau (demokrasi)

Asas kebangsaan menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak milik tanah.

6. Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan)

Asas non diskriminasi merupakan asas yang mendasari hukum agraria.

7. Asas gotong royong

Asas gotong royong menyatakan bahwa segala usaha bersama berdasarkan kepentingan
bersama dalam rangka mewujudkan kepentingan nasional dalam bentuk gotong royong.
8. Asas unifikasi

Menurut Asas unifikasi Hukum agraria disatukan menjadi satu UU yang berlaku bagi seluruh
Warga Negara Indonesia.

9. Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel)

Asas pemisahan horizontal menyatakan ada pemisahan hak kepemilikan antara pemilik tanah
dengan benda dan bangunan yang ada di atasnya.

Ruang Lingkup Hukum Agraria


1. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
tidak memberikan pengertian agraria. Di dalamnya hanya memberikan penjelasan tentang
ruang lingkup agraria sebagaimana yang tercantum dalam konsidera (pasal-pasal maupun
penjelasannya). Bunyinya sebagai berikut:

• Hubungan hukum antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.

• Hubungan hukum antara negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia
dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

2. Ruang lingkup agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya. Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup
sumber daya agraria / sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Ruang lingkup agraria / sumber daya agraria / sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai
berikut:

• Bumi, Pengertian bumi menurut Pasal 1 Ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi,
termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi
menurut Pasal 4 Ayat (1) UUPA adalah tanah.

• Air, Pengertian air menurut Pasal 1 Ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan
pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-
Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengairan air meliputi air
yang terkandung di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas
maupun di bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang ada di laut.
• Ruang Angkasa, Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 Ayat (6) UUPA adalah ruang
di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia. Pengertian ruang
angkasa menurut Pasal 48 UUPA, ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan
unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan
kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang
bersangkutan dengan itu.

• Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya Kekayaan alam yang terkandung di dalam
disebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan,
termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-Undang No.
11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan).

Contoh Kasus hukum Agraria dan analisis penyelesaian


Sengketa tanah meruya selatan (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin H. Geni,
Yahya bin H. Geni, dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra pada tahun 1972 – 1973 dan
pada putusan MA dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi proses eksekusi tanah dilakukan
baru tahun 2007 yang hak atas tanahnya sudah milik warga sekarang tinggal di meruya yang
sudah mempunyai sertifikat tanah asli seperti girik.

Kasus sengketa tanah meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga DPR pun
turun tangan dalam masalah ini. Selama ini warga meruya yang menempati tanah meruya
sekarang tidak merasa punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak juga membeli
tanah dari PT Portanigra, namun tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati hampir 5000 kepala
keluarga atau sekitar 21.000 warga akan dieksekusi berdasarkan putusan MA. Tidak hanya
tanah milik warga, tanah milik negara yang diatasnya terdapat fasilitas umum dan fasilitas
sosialpun masuk dalam rencana eksekusi. Hal ini dikarenakan sengketa yang terjadi 30 tahun
lalu, tetapi baru dilakukan eksekusinya tahun 2007, di mana warga meruya sekarang
mempunyai sertifikat tanah asli yang dikeluarkan pemerintah daerah dan Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Di sini terbukti adanya ketidaksinkronan dan kesemrawutan hukum pertanahan
indonesia yang dengan mudahnya mengeluarkan sertifikat tanah yang masih bersengketa.

Kasus sengketa tanah ini berawal pada kasus penjualan tanah meruya dulu antara PT.
Portanigra dan H Djuhri cs berawal dari jual beli tanah tanah seluas 44 Ha pada 1972 dan 1973.
Ternyata H Djuhri cs ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada pihak lain sehingga
mereka dituntut secara pidana (1984) dan digugat secara perdata (1996).

Sengketa tanah yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau bukanlah kurun
waktu singkat. Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang, baik penghuni,
lingkungan sekitar, institusi terkait yang menangani, pasti personelnya sudah silih berganti.
Warga merasa memiliki hak dan ataupun kewenangan atas tanah meruya tersebut. Mereka
merasa telah menjalankan tugas dengan baik seperti membayar PBB atas kepemilikannya dan
tidak mau disalahkan, tidak ingin kehilangan hak miliknya.

Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya berbeda sama sekali dengan sekarang.
Cara-cara melakukan penilaian dan mengambil langkah-langkah penindakan 30 tahun yang lalu
pada saat ini telah banyak berubah. Paradigma masa lalu bahwa warga banyak yang belum
memiliki sertifikat akan berhadapan dengan program sertifikasi yang memberi kemudahan
dalam memperoleh sertifikat tanah.

Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum pertanahan oleh aparat pemerintah daerah
dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang bisa menerbitkan sertifikat pada tanah yang masih
bersengketa. Selain itu, PT. Portanigra yang tidak serius dalam kasus sengketa tanah ini. PT.
Portanigra yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak langsung mengeksekusi
tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007 baru melaksanakan eksekusi tanahnya
yang lahan sudah di tempati warga meruya sekarang dengan sertifikat tanah asli. Dengan kata
lain di sengketa meruya ada mafia tanah yang terlibat.

PENYELESAIAN KASUS

Pihak PT. Portanigra bernegoisasi dengan warga yang dihasilkan adalah pemilik kuasa
yakni PT. Portanigra mengikhlaskan tanahnya yang sudah di warga sebelum tahun 1997 yang
memiliki sertifikat tanah asli. Warga yang menampati tanahnya tahun 1997 keatas tidak bisa
diukur kecuali mereka mempunyai surat jual-beli tanah dengan pemilik sebelumnya.

Keputusan dari pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra hanya bisa
mengelola lahan kosong sehingga tidak menggangu warga dan kampus Mercu Buana,
sedangkan Meruya Residence lebih tenang karena sudah membeli langsung hak kepemilikan
tanah ke PT. Portanigra.

ANALISIS KASUS

Proses sengketa tanah untuk mencari keadilan yang berlangsung 30 tahun lalu tidak
menghasilkan keadilan yang diharapkan, bahkan justru menimbulkan ketidakadilan baru.
Sehingga tidak ada penanggung jawab tunggal untuk disalahkan kecuali berlarut-larutnya waktu
sehingga problema baru bermunculan.

Putusan pengadilan seharusnya dapat dilaksanakan dengan cara-cara mudah,


sederhana, dan mengikutsertakan institusi terkait. Sistem peradilan Indonesia memiliki asas
yang menyatakan bahwa proses peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan. Putusan yang jelas-jelas sulit atau tidak bisa dilaksanakan dapat mencederai kredibilitas
lembaga peradilan.

Pihak ketiga yakni warga yang menempati tanah tersebut dengan sertifikat tanah yang
asli harus beriktikad baik (apalagi tidak tahu sama sekali mengenai adanya sengketa)
seharusnya memperoleh pertimbangan hukum. Jangan sampai mereka menjadi korban atau
dikorbankan sebab dapat menimbulkan gejolak serta problem kemasyarakatan yang sifatnya
bukan sekedar keperdataan.

Perlu dilakukan penelitian apakah prosedur pembebasan tanah pada saat itu telah
sesuai ketentuan, siapakah yang membayar pajak (PBB) atas tanah sengketa. Juga dilakukan
penyelesaian atas tanah sengketa yang akan dieksekusi apabila ternyata telah menjadi sarana
umum: sekolah, lapangan bola, perkantoran, puskesmas, ataupun kompleks pertokoan.

Pemerintah daerah dan BPN dalam pengeluaran sertifikat Hak Milik terutama
pemberian setifikat dalam jumlah massal seharusnya benar – benar memperhatikan aspek –
aspek apakah orang yang bersangkutan sudah sesuai menerima hak untuk memiliki sertifikat
Hak Milik atau belum. Hal ini berkaitan dengan dampak pemberian sertifikat Hak Milik kepada
orang yang tidak semestinya. Dalam kasus ini, sesusai putusan MA seharusnya sertifikat Hak
Milik jatuh kepada PT. Portanigra. Mengingat pencabutan sertifikat Hak Milik tidak mudah dan
memerlukan waktu yang lama.

KESIMPULAN

Pada kasus sengketa tanah meruya ini antara PT. Portanigra dan warga duduk bersama
melalui musyawarah mufakat untuk mencapai solusi yang dilandasi akal sehat merupakan
penyelesaian yang lebih baik daripada saling menyalahkan secara emosional.

Dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah ada beberapa jalur hukum yang dapat
ditempuh seperti gugatan perlawanan oleh pihak ketiga yang merasa mempunyai hak (telah
dilakukan), mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) oleh para pihak yang
bersengketa seperti antara PT. Portanigra denga hj djuhri cs, mengajukan gugatan baru oleh
para pihak yang merasa dirugikan dalam permasalahan sengketa. Untuk memperjuangkan hak-
haknya seyogianya warga melandasinya dengan surat-surat yang kuat (sertifikat), batas-batas
tanah jelas, asal-usulnya dapat ditelusuri serta tidak terkena sengketa.

Kasus Meruya memberi pembelajaran tentang proses hukum yang tidak boleh berlarut-
larut, pentingnya sertifikat dalam kepemilikan tanah, tentang putusan pengadilan serta
pelaksanaannya yang berkeadilan, dan juga perlunya kerja sama antara pengadilan dan
lembaga negara yang menangani masalah pertanahan.

Anda mungkin juga menyukai