Anda di halaman 1dari 60

BAB III

TEORI DASAR

3.1 Petrologi

Petrologi yaitu ilmu yang mempelajari batuan pembentuk kulit bumi, yang
mencakup cara terjadinya, komposisi batuan, klasifikasi batuan dan sejarah
geologinya. Batuan sebenarnya telah banyak dipergunakan orang dalam
kehidupan sehari-hari hanya saja kebanyakan orang hanya mengetahui cara
mempergunakannya saja, dan sedikit yang mengetahui asal kejadian dan seluk-
beluk mengenai batuan ini. Batuan merupakan bahan pembentuk kerak bumi.
Batuan didefenisikan sebagai kumpulan dari satu atau lebih mineral yang
terbentuk di alam secara alamiah yang merupakan bagian dari kerak bumi. Batuan
adalah materi yang terbentuk secara alamiah, telah terkonsolidasikan, terdiri dari
satu jenis mineral (monominerallic) atau lebih dan umumnya terdiri dari agregat/
kumpulan dari beberapa mineral yang berbeda ( Plummer, dkk, 2001 ).

3.1.1 Pembagian Jenis Batuan

Pada umumnya batuan di alam dapat dikelompokan menjadi 4 (empat)


kelompok yaitu :

1. Batuan beku (igneous rock) : batuan yang terbentuk dari pembekuan dan
kristalisasi magma baik di dalam bumi maupun di permukaan bumi.
2. Batuan piroklastik (pyroclastic rock) : batuan yang disusun oleh material-
material yang dihasilkan oleh letusan gunung api.
3. Batuan sedimen (sedimentary rock) : batuan yang terbentuk dari sedimen
hasil rombakan batuan yang telah ada, akumulasi dari material organik atau
hasil penguapan dari larutan.
4. Batuan metamorf (metamorphic rock) : batuan yang terbentuk akibat proses
perubahan tekanan (P), temperatur (T) atau keduanya dimana batuan
memasuki kesetimbangan baru tanpa adanya perubahan komposisi kimia
(isokimia) dan tanpa melalui fasa cair (dalam keadaan padat), dengan
temperatur berkisar antara 2008000C.

5
Kerak bumi ini bersifat dinamik, dan merupakan tempat berlangsungnya
berbagai proses yang mempengaruhi pembentukan keempat jenis batuan tersebut.
Sepanjang kurun waktu dan akibat dari proses-proses ini, suatu batuan akan
berubah menjadi jenis batuan yang lain, seperti terlihat dalam siklus batuan pada
gambar 3.1.

Gambar 3.1 Siklus batuan

3.2 Batuan Sedimen

Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil dari pemadatan
endapan yang berupa bahan lepas (Pettijohn, 1975). Batuan sedimen adalah
batuan yang terbentuk dari akumulasi material hasil perombakan batuan yang
sudah ada sebelumnya atau hasil aktivitas kimia maupun organisme, yang di
endapkan lapis demi lapis pada permukaan bumi yang kemudia mengalami
pembatuan (Tucker, 1991). Batuan dipermukaan bumi terdiri dari 70% batuan
sedimen. Tetapi batuan tersebut hanya 2% dari volume keseluruhan kerak bumi.

6
Yang dimana batuan sedimen tersebar sangat luas di permukaan bumi, tetapi
ketebalannya relatif tipis.

Volume batuan sedimen dan termasuk batuan metasedimen hanya


mengandung 5% yang diketahui di litosfera dengan ketebalan 10 mil di luar tepian
benua, dimana batuan beku metabeku mengandung 95%. Sementara itu,
kenampakan di permukaan bumi, batuan-batuan sedimen menempati luas bumi
sebesar 75%, sedangkan singkapa dari batuan beku sebesar 25% saja. Batuan
sedimen dimulai dari lapisan yang tipis sekali sampai yang tebal sekali. Ketebalan
batuan sedimen antara 0 sampai 13 kilometer, hanya 2,2 kilometer ketebalan yang
tersingkap dibagian benua. Bentuk yang besar lainnya tidak terlihat, setiap
singkapan memiliki ketebalan yang berbeda dan singkapan umum yang terlihat
ketebalannya hanya 1,8 kilometer. Di dasar lautan dipenuhim oleh sedimen dari
pantai ke pantai. Ketebalan dari lapisan itu selalu tidak pasti karena setiap saat
selalu bertambah ketebalannya. Ketebalan yang dimiliki bervariasi dari yang lebih
tipis dari 0,2 kilometer sampai lebih dari 3 kilometer, sedangkan ketebalan rata-
rata sekitar 1 kilometer (Endarto, 2005 ).

Batuan sedimen banyak sekali jenisnya dan tersebar sangat luas dengan
ketebalan antara beberapa centimetersampai beberapa kilometer. Juga ukuran
butirnya dari sangat halus sampai sangat kasar dan beberapa proses yang penting
lagi yang termasuk kedalam batuan sedimen. Disbanding dengan batuan beku,
batuan sedimen hanya merupakan tutupan kecil dari kerak bumi. Batuan sedimen
hanya 5% dari seluruh batuan-batuan yang terdapat dikerak bumi. Dari jumlah 5%
ini,batu lempung adalah 80%, batupasir 5% dan batu gamping kira-kira 80%
(Pettijohn, 1975).

Sedimen tidak hanya bersumber dari darat saja tetapi dapat juga dari yang
terakumulasi di tepi-tepi cekungan yang melengser kebawah akibat gaya gravitasi.
Meskipun secara teoritis dibawah permukaan air tidak terjadi erosi, namun masih
ada energy air, gelombang dan arus bawah permukaan yang mengikis terumbu-
terumbu karang di laut dan hasil kikisannya terendapkan di sekitarnya. Material
sedimen dapat berupa :

7
1. Fragmen dan mineral-mineral dari batuan yang sudah ada. Misalnya kerikil
di sungai, pasir di pantai dan lumpur di laut atau di danau.
2. Material organik, seperti terumbu koral di laut, sisa-sisa cangkang organism
air dan vegetasi di rawa-rawa.
3. Hasil penguapan dan proses kimia seperti garam di danau payau dankalsim
karbonat di aut dangkal

3.2.1 Proses Pembentukan Batuan Sedimen


Pembentukan batuan sedimen diawali dengan adanya proses pelapukan,
transportasi, deposisi dan kemudian mengalami proses diagenesa yang
meliputi kompaksi, sementasi, rekristalisasi, autigenesis, dan metasomatis (Boggs,
1995).

1. Pelapukan (Weathering)
Pelapukan adalah proses disintegrasi dan dekomposisi material
atau batuan (batuan beku maupun batuan metamorf). Pelapukan dapat juga
diartikan sebagai proses alterasi dan fragsinasi batuan dan material tanah
pada dan/atau dekat permukaan bumi yang disebabkan karena proses
fisik, kimia dan/atau biologi. Hasil dari pelapukan ini merupakan asal
(source) dari batuan sedimen dan tanah. Proses pelapukan akan
menghacurkan batuan atau bahkan melarutkan sebagian dari mineral
untuk kemudian menjadi tanah kemudian diangkut dan diendapkan
sebagai batuan sedimen klastik. Sebagian dari mineral mungkin larut
secara menyeluruh dan membentuk mineral baru. Inilah sebabnya dalam studi
tanah atau batuan klastika mempunyai komposisi yang sangat berbeda
dengan batuan asalnya. Komposisi tanah tidak hanya tergantung pada batuan
induk, tetapi juga dipengaruhi oleh alam, intensitas, dan lama pelapukan
serta proses jenis pembentukan tanah itu sendiri (Boggs, 1995). Pelapukan
disebabkan oleh bebrapa sifat :

8
A. Pelapukan Secara Fisika
Perubahan suhu dari panas ke dingin akan membuat batuan
mengalami perubahan. Hujan pun juga dapat membuat rekahan-rekahan
yang ada di batuan menjadi berkembang sehingga proses-proses
fisika tersebut dapat membuat batuan pecah menjadi bagian yang
lebih kecil lagi.
B. Pelapukan Secara Kimia
Pelapukan kimia membuat komposisi kimia dan mineralogi suatu
batuan dapat berubah. Mineral dalam batuan yang dirusak oleh air
kemudian bereaksi dengan udara (O2 ataupun CO2), menyebabkan
sebagian dari mineral itu menjadi larutan. Selain itu, bagian unsur
mineral yang lain dapat bergabung dengan unsur setempat
membentuk kristal mineral baru. Kecepatan pelapukan kimia
tergantung dari iklim, komposisi mineral dan ukuran butir dari batuan
yang mengalami pelapukan.

Pelapukan akan berjalan cepat pada daerah yang lembab atau


panas dari pada di daerah kering atau sangat dingin. Pelapukan secara
kimia dapat disebabkan oleh :

 Hidrolisis, adalah reaksi antara mineral silikat dan asam (larutan


mengandung ion (H+) dimana memungkinkan pelarut mineral
silikat dan membebaskan kation logam dan silika. Mineral
lempung seperti kaolin, ilit dan smektit besar kemungkinan hasil
dari proses pelapukan kimia jenis ini (Boggs, 1995). Pelapukan
jenis ini memegang peran terpenting dalam pelapukan kimia.

 Hidrasi, adalah proses penambahan air pada suatu mineral sehingga


membentuk mineral baru. Lawan dari hidrasi adalah dehidrasi,
dimana mineral kehilangan air sehingga berbentuk anhydrous. Proses
terakhir ini sangat jarang terjadi pada pelapukan, karena pada
proses pelapukan selalu ada air. Contoh yang umum dari proses ini

9
adalah penambahan air pada mineral hematit sehingga
membentuk gutit.

 Oksidasi, berlangsung pada besi atau mangan yang pada umumnya


terbentuk pada mineral silikat seperti biotit dan piroksen. Elemen lain
yang mudah teroksidasi pada proses pelapukan adalah sulfur,
contohnya pada pirit (Fe2S).

 Reduksi, terjadi dimana kebutuhan oksigen (umumnya oleh jasad


hidup) lebih banyak dari pada oksigen yang tersedia. Kondisi seperti
ini membuat besi menambah elektron dari Fe3+ menjadi Fe2+ yang lebih
mudah larut sehingga lebih mobil, sedangkan Fe3+ mungkin hilang
pada sistem pelapukan dalam pelarutan. e. Pelarutan mineral yang
mudah larut seperti kalsit, dolomit dan gipsum oleh air hujan selama
pelapukan akan cenderung terbentuk komposisi yang baru.

 Pergantian ion adalah proses dalam pelapukan dimana ion dalam


larutan seperti pergantian Na oleh Ca. Umumnya terjadi pada mineral
lempung.

C. Pelapukan Secara Biologis


Selain pelapukan yang terjadi akibat proses fisika dan kimia,
salah satu pelapukan yang dapat terjadi adalah pelapukan secara biologi.
Salah satu contohnya adalah pelapukan yang disebabkan oleh gangguan
dari akar tanaman yang cukup besar. Akar-akar tanaman yang besar
ini mampu membuat rekahan-rekahan di batuan dan akhirnya dapat
memecah batuan menjadi bagian yang lebih kecil lagi.

10
Gambar 3.2 Skema proses pelapukan batua

2. Transportasi (Transportation)

Setelah batuan mengalami pelapukan, batuan-batuan tersebut akan pecah


menjadi bagian yang lebih kecil lagi sehingga mudah untuk
berpindah tempat. Inilah yang disebut dengan proses transportasi.
Transportasi dapat terjadi melalui media air, udara, es, ataupun oleh
pengaruh gravitasi.

A. Akibat Air
Air yang melewati pecahan-pecahan kecil batuan yang ada dapat
mengangkut pecahan tersebut dari satu tempat ke tempat yang lain. Pada
transportasi partikel oleh air, partikel dan air akan bergerak secara bersama-
sama. Sifat fisik fluida yang berpengaruh terutama adalah densitas dan
viskositas atau kekentalan. Transportasi partikel di dalam air sejauh ini
merupakan mekanisme transportasi yang paling signifikan. Air mengalir
di permukaan lahan di dalam channel dan sebagai aliran permukaan
(overland flow). Arus-arus di laut digerakkan oleh angin, tidal dan
sirkulasi samudra. Aliran-aliran ini mungkin cukup kuat untuk membawa
material kasar di sepanjang dasarnya dan material yang lebih halus dalam
suspensi. Material dapat terbawa di dalam air sejauh ratusan atau ribuan

11
kilometer sebelum terendapkan sebagai sedimen.

B. Akibat Udara
Selain air, anginpun dapat mengangkut pecahan-pecahan batuan yang
kecil ukurannya seperti halnya yang saat ini terjadi di daerah gurun. Kapasitas
angin untuk mentransportasikan material dibatasi oleh densitas rendah dari
udara. Mekanisme pengangkutan sedimen oleh air dan angin sangatlah
berbeda. Pertama, karena berat jenis angin relatif lebih kecil dari air maka
angin sangat susah mengangkut sedimen yang ukurannya sangat besar.
Besar maksimum dari ukuran sedimen yang mampu terangkut oleh angin
umumnya sebesar ukuran pasir. Kedua, karena sistem yang ada pada angin
bukanlah sistem yang terbatasi (confined) seperti layaknya channel atau
sungai maka sedimen cenderung tersebar di daerah yang sangat luas bahkan
sampai menuju atmosfer.

C. Akibat Es
Air dan udara adalah media fluida yang jelas, tapi kita juga dapat
mempertimbangkan es sebagai media fluida karena selama periode yang
panjang es bergerak melintasi permukaan bumi, meskipun sangat lambat. Es
adalah fluida berviskositas tinggi yang mampu mentransportasikan sejumlah
besar debris klastik. Pergerakan detritus oleh es penting pada daerah didalam
dan disekitar tudung es kutub dan daerah pegunungan dengan gletser
semipermanen atau permanen. Volume material yang digerakkan es sangat
besar ketika meluasnya es (glaciation).

D. Akibat Gravitasi (Sediment Gravity Flow)


Pada transportasi ini partikel sedimen tertranspor langsung oleh
pengaruh gravitasi, disini material akan bergerak lebih dulu kemudian
medianya. Yang termasuk dalam sistem sedimen gravity flow antara lain
adalah debris flow, grain flow dan arus turbid. Karena pengaruh gravitasi
bumi tersebut maka pecahan batuan yang ada bisa langsung jatuh ke
permukaan tanah atau menggelinding melalui tebing sampai akhirnya

12
terkumpul di permukaan tanah.

Sedimen yang di angkut oleh media di atas dapat diangkut dengan cara
sebagai berikut:

 Suspension, umumnya terjadi pada sedimen-sedimen yang sangat kecil


ukurannya (seperti lempung) sehingga mampu diangkut oleh aliran air atau
angin yang ada.

 Bed load, terjadi pada sedimen yang relatif lebih besar (seperti
pasir, kerikil, kerakal, dan bongkah) sehingga gaya yang ada pada aliran
yang bergerak dapat berfungsi memindahkan pertikel-partikel yang
besar di dasar. Pergerakan dari butiran pasir dimulai pada saat kekuatan
gaya aliran melebihi kekuatan inertia butiran pasir tersebut pada saat diam.
Gerakan-gerakan sedimen tersebut bisa menggelundung, menggeser,
atau bahkan bisa mendorong sedimen yang satu dengan lainnya.

 Saltation, yang dalam bahasa latin artinya meloncat, umumnya


terjadi pada sedimen berukuran pasir dimana aliran fluida yang ada
mampu menghisap dan mengangkut sedimen pasir sampai akhirnya karena
gaya grafitasi yang ada mampu mengembalikan sedimen pasir tersebut ke
dasar.

3. Pengendapan (Deposition)
Pecahan-pecahan batuan tidak dapat tertransportasikan selamanya.
Seperti halnya sungai akan bertemu laut, angin akan berkurang tiupannya, dan
juga glasier akan meleleh. Akibatnya, pecahan batuan yang terbawa akan
terendapkan. Proses ini yang sering disebut proses pengendapan. Selama
proses pengendapan, pecahan batuan akan diendapkan secara berlapis
dimana pecahan yang berat akan diendapkan terlebih dahulu baru kemudian
diikuti pecahan yang lebih ringan dan seterusnya. Proses pengendapan
ini akan membentuk perlapisan pada batuan yang sering kita lihat di batuan

13
sedimen saat ini. Deposisi sedimen oleh gravity flow akan menghasilkan
produk yang berbeda dengan deposisi sedimen oleh fluida flow karena pada
gravity flow transportasi dan deposisi terjadi sangat cepat sekali akibat
gravitasi.

4. Litifikasi (Lithification)
Litifikasi adalah proses perubahan material sediment menjadi
batuan sediment yang kompak. Misalnya, pasir mengalami litifikasi
menjadi batupasir.

5. Diagenesis
Seluruh proses yang menyebabkan perubahan pada sedimen selama
terpendam dan terlitifikasi disebut sebagai diagenesis. Diagenesis terjadi pada
temperatur dan tekanan yang lebih tinggi daripada kondisi selama proses
pelapukan, namun lebih rendah daripada proses metamorfisme. Proses
diagenesis dapat dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan proses yang
mengontrolnya, yaitu prosesfisik, kimia, dan biologi. Proses diagenesis sangat
berperan dalam menentukan bentuk dan karakter akhir batuan sedimen yang
dihasilkannya. Proses diagenesis akan menyebabkan perubahan material
sedimen. Perubahan yang terjadi adalah perubahan fisik, mineralogi dan kimia.
Proses diagenesis dapat terjadi pada suhu 300oC dan tekanan atmosferik 1–2
kilobar, berlangsung mulai sedimen mengalami penguburan hingga terangkat
dan tersingkap kembali di permukaan. Berdasarkan hal tersebut, ada 3 macam
diagenesa yaitu :
A. Diagenesa eogenik, yaitu diagenesa awal pada sedimen di bawah muka
air.
B. Diagenesa mesogenik, yaitu diagenesa pada waktu sedimen
mengalami penguburan semakin dalam.
C. Diagenesa telogenik, yaitu diagenesis pada saat batuan sedimen
tersingkap kembali di permukaan oleh karena pengangkatan dan erosi.

Adapun proses diaganesis terdiri atas 4 tahapan diantaranya :

14
 Kompaksi
Adalah proses termampatnya butiran sedimen yang satu terhadap sedimen
yang lain. Pada waktu material sedimen diendapkan terus menerus pada
suatu cekungan, berat endapan yang berada di atas akan membebani
endapan yang berada di bawahnya. Akibatnya butiran sedimen akan
semakin rapat, dan rongga antara butiran akan semakin kecil. Akibat
pertambahan tekanan ini, air yang ada dalam lapisan-lapisan
batuan akan tertekan sehingga keluar dari lapisan batuan yang ada.
Sebagai contoh lempung yang tertimbun dibawah material sedimen lain
beberapa ribu meter tablanya, volume dari lempung tersebut akan
mengalami penyusutan sebanyak 40%. Karena pasir dan sedimen lain
yang berbutir kasar dapat mengalami pemadatan, maka proses kompaksi
merupakan proses yang signifikan untuk proses litifikasi batuan
sedimen yang berbutir halus seperti shale.

Gambar 3.3 Kompaksi

 Sementasi
Adalah proses pengisian rongga yang semula ditempati oleh
cairan pori oleh kristal-kristal baru. Sementasi dapat juga diartikan
turunnya material-material di ruang antar butir sedimen dan secara
kimiawi mengikat butir-butir sedimen dengan yang lain. Material yang
menjadi semen diangkut sebagai larutan oleh air yang meresap
melalui rongga antar butiran kemudian larutan tersebut akan

15
mengalami presipitasi di dalam rongga antar butir, dan akan mengikat
butiran-butiran sedimen. Material yang umum menjadi semen
adalah kalsit, silika dan oksida besi. Untuk mengetahui macam
semen pada batuan sedimen relatif cukup sederhana. Kalsit dapat
diketahui dengan larutan HCl. Silika merupakan semen yang sangat keras
dan akan menghasilkan batuan sedimen yang sangat keras. Apabila batuan
sedimen berwarna orange atau merah gelap, maka batuan sedimen
tersebut tersemenkan oleh oksida besi. Kadang-kadang semen pada
batuan sedimen dapat memberi nilai ekonomis batuan tersebut.
Sebagai contoh batupasir yang tersemenkan oleh oksida besi dapat
menjadikan batupasir menjadi bijih besi (iron ore). Sementasi makin
efektif bila derajat kelurusan larutan pada ruang butir makin besar

Gambar 3.4 Sementasi

 Rekristalisasi
Adalah proses pengkristalan kembali suatu mineral dari suatu
larutan, contoh rekristalisasi pada batuan karbonat yaitu pengkristalan
kembali kristal-kristal kalsit yang telah ada sebelumnya.

 Autigenesis
Adalah terbentuknya mineral baru di lingkungan diagenetik, dan
mineral tersebut merupakan partikel baru dalam suatu sedimen.

16
 Metasomatisme
Adalah proses pergantian mineral sedimen oleh berbagai mineral autigenik
tanpa pengurangan volume asal.

3.2.2 Klasifikasi Batuan Sedimen


Berbagai penggolongan dan penamaan batuan sedimen telah
dikemukakan oleh para ahli, baik berdasarkan genetis maupun deskriptif.
Secara genetik disimpulkan dua golongan batuan sedimen (Pettjohn, 1975 dan
W.T. Huang, 1962), yaitu:

1. Batuan Sedimen Klastik


Batuan sedimen klastik merupakan batuan sedimen yang terbentuk dari
pengendapan kembali detritus atau pecahan batuan asal. Batuan asal dapat
berupa batuan beku, metamorf dan sedimen itu sendiri. Batuan asal dapat
berupa batuan beku, metamorf dan sedimen itu sendiri. (Pettjohn, 1975).
Batuan sedimen diendapkan dengan proses mekanis, terbagi dalam dua
golongan besar dan pembagian ini berdasarkan ukuran besar butirnya. Cara
terbentuknya batuan tersebut berdasarkan proses pengendapan baik yang
terbentuk dilingkungan darat maupun dilingkungan laut. Batuan yang
ukurannya besar seperti breksi dapat terjadi pengendapan langsung dari
ledakan gunungapi dan di endapkan disekitar gunung tersebut dan dapat juga
diendapkan dilingkungan sungai dan batuan batu pasir bisa terjadi
dilingkungan laut, sungai dan danau. Semua batuan diatas tersebut termasuk
ke dalam golongan detritus kasar. Sementara itu, golongan detritus halus
terdiri dari batuan lanau, serpih dan batua lempung dan napal. Batuan yang
termasuk golongan ini pada umumnya di endapkan di lingkungan laut dari
laut dangkal sampai laut dalam (Pettjohn, 1975). Fragmentasi batuan asal
tersebut dimulaiu darin pelapukan mekanis maupun secara kimiawi,
kemudian tererosi dan tertransportasi menuju suatu cekungan pengendapan
(Pettjohn, 1975).

17
Setelah pengendapan berlangsung sedimen mengalami diagenesa yakni,
proses proses-proses yang berlangsung pada temperatur rendah di dalam
suatu sedimen, selama dan sesudah litifikasi. Hal ini merupakan proses yang
mengubah suatu sedimen menjadi batuan keras ( Pettjohn, 1975).

2. Batuan Sedimen Non-Klastik


Batuan sedimen non-klastik adalah batuan sedimen yang terbentuk dari
hasil reaksi kimia atau bisa juga dari kegiatan organisme. Reaksi kimia yang
dimaksud adalah reaksi kristalisasi langsung atau reaksi organik. Batuan
sedimen non-klastik ini merupakan batuan sedimen yang terbentuk oleh
organisme atau dari suatu proses kimiawi. Dalam pengertian lain, batuan
sedimen non klastik adalah batuan sedimen yang terbentuk dari kegiatan atau
aktifitas organisme dan kimiawi. Dan tidak tertramsportasi seperti halnya
batuan sedimen klastik (Pettijohn, 1975).

Gambar 3.5 Klasifikasi batuan sedimen menurut


(R.P. Koesoemadinata, 1980)

18
Batuan sedimen yang terbentuk dari hasil reaksi kimia atau bisa juga
dari kegiatan organisme. Reaksi kimia yang dimaksud adalah kristalisasi
langsung atau reaksi organik (Pettjohn, 1975).

Menurut R.P. Koesoemadinata, 1981 batuan sedimen dibedakan


menjadi enam golongan yaitu :

1. Golongan Detritus Kasar

Batuan sedimen diendapkan dengan proses mekanis. Termasuk dalam


golongan ini antara lain adalah breksi, konglomerat dan batupasir.
Lingkungan tempat pengendapan batuan ini di lingkungan sungai dan danau
atau laut.

Gambar 3.6 Golongan detritus kasar (R.P. Koesoemadinata, 1980)

2. Golongan Detritus Halus

Batuan yang termasuk kedalam golongan ini diendapkan di


lingkungan laut dangkal sampai laut dalam. Yang termasuk kedalam
golongan ini adalah batu lanau, serpih, batu lempung dan Nepal.

19
Gambar 3.7 Golongan detritus halus (R.P. Koesoemadinata, 1980)

3. Golongan Karbonat

Batuan ini umum sekali terbentuk dari kumpulan cangkang moluska,


algae dan foraminifera. Atau oleh proses pengendapan yang merupakan
rombakan dari batuan yang terbentuk lebih dahulu dan di endpkan disuatu
tempat. Proses pertama biasa terjadi di lingkungan laut litoras sampai
neritik, sedangkan proses kedua di endapkan pada lingkungan laut neritik
sampai bahtial. Jenis batuan karbonat ini banyak sekali macamnya
tergantung pada material penyusunnya.

4. Golongan Silika

Proses terbentuknya batuan ini adalah gabungan antara pross organik


dan kimiawi untuk lebih menyempurnakannya. Termasuk golongan ini
rijang (chert), radiolarian dan tanah diatom. Batuan golongan ini
tersebarnya hanya sedikit dan terbatas sekali.

5. Golongan Evaporit

Batuan sedimen ini terbentuk oleh proses sedimentasi kimiawi.


Batuan ini terbentuk pada suatu lingkungan danau atau laut yang tertutup
dan dengan tingkat penguapan yang tinggi sehingga terbentuk endapan dari
larutan garam yang menguap tersebut. Batuan sedimen evaporit terdiri dari :

20
 Gypsum : garam CaSO4xH2O
 Anhidrit : garam CaSO4
 Halit (batugaram) : garam NaCl

6. Golongan Batubara
Batuan sedimen ini terbentuk dari unsur-unsur organik yaitu dari
tumbuh-tumbuhan yang telah mati. Dimana sewaktu tumbuhan tersebut mati
dengan cepat tertimbun oleh suatu lapisan yang tebal diatasnya sehingga
tidak akan terjadi pelapukan. Lingkungan terbentuknya batubara adalah di
daerah rawa-rawa, ia harus memiliki banyak sekali tumbuhan sehingga
kalau timbunan itu mati tertumpuk menjadi satu di tempat tersebut (Danang
Endarto, 2005).
Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan
batuan organik. Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan yang telah
membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi banyak air,
atau bisa disebut rawa-rawa. Kondisi tersebut yang menghambat penguraian
menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang kemudian mengalami proses
perubahan menjadi batubara.
Dalam penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai polimer
organik yang berasal dari karbohidrat, lignite, protein, resin, tanin,
alkalioda, porphirin, dan hidrkarbon. Namun komposisi dari polimer-
polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari tumbuhan penyusunnya.
Pembentukan batubara pada umumnya dijelaskan dengan asumsi
bahwa material tanaman terkumpul dalam suatu periode waktu yang lama,
mengalami peluruhan sebagian kemudian hasilnya teralterasi oleh berbagai
macam proses kimia dan fisika. Selain itu juga, dinyatakan bahwa proses
pembentukan batubara harus ditandai dengan terbentuknya peat.

21
3.2.3 Tekstur Batuan Sedimen

Tekstur batuan sedimen adalah segala kenampakan yang menyangkut butir


sedimen seperti besar butir, kebundaran, pemilahan dan kemas. Tekstur batuan
sedimen mempunyai arti penting karena mencerminkan proses yang telah dialami
batuan tersebut (terutama proses transportasi dan pengendapanannya) dan dapat
digunakan untuk menginterpretasikan lingkungan pengendapan batuan sedimen.

1. Besar Butir (Grain Size)


Besar Butir adalah ukuran/diameter butiran, yang merupakan unsur utama
dari batuan sedimen klastik, yang berhubungan dengan tingkat energi pada
saat transportasi dan pengendapan. Klasifikasi besar butir menggunakan skala
Wentworth (Tabel 3.1) Besar butir ditentukan oleh :

 Jenis pelapukan : - pelapukan kimiawi (butiran halus)- pelapukan


mekanis (butiran kasar)
 Jenis transportasi
 Waktu/jarak transportasi
 Resistensi

Tabel 3.1 Skala Wentworth

22
2. Pemilahan (sorting)
Pemilahan (sorting) adalah derajat keseragaman besar butir. Istilah yang
dipakai dalam pemilahan adalah terpilah sangat baik, terpilah baik, terpilah
sedang, terpilah buruk dan terpilah sangat buruk (Gambar 3.8).

Gambar 3.8 Pemilahan dan tingkat penamaan keseragaman


butir(Pettijohn, dkk, 1987).

3. Kebundaran (roundness)
Kebundaran (roundness) adalah tingkat kebundaran atau ketajaman
sudut butir, yang mencerminkan tingkat abrasi selama transportasi.
Kebundaran dipengaruhi oleh komposisi butir, besar butir, jenis transportasi,
jarak transportasi dan resistensi butir. Istilah yang dipakai dalam kebundaran
adalah very angular (sangat menyudut), angular (menyudut), sub angular
(menyudut tanggung), sub rounded (membundar tanggung), rounded
(membundar) dan well rounded (sangat membundar) (Gambar 3.9).

Gambar 3.9 Kategori kebundaran dan keruncingan butiran sedimen


(Pettijohn, dkk, 1987)

23
4. Kemas (fabric)
Kemas (fabric) adalah sifat hubungan antar butir di dalam suatu masa
dasar atau diantara semennya, sebagai fungsi orientasi butir dan packing.
Kemas secara umum dapat memberikan gambaran tentang arah aliran dalam
sedimentasi serta keadaan porositas dan permeabilitas batuan. Istilah yang
dipakai adalah kemas terbuka (bila butiran tidak saling bersentuhan) dan
kemas tertutup (bila butiran saling bersentuhan). Jenis-jenis kontak antar butir
(Gambar 3.10).

Gambar 3.10 Jenis-jenis kontak antar butir (Pettijohn, 1987)

5. Porositas
Porositas adalah perbandingan antara volume rongga dengan volume
total batuan (dinyatakan dalam persen). Porositas dapat diuji dengan
meneteskan cairan (air) ke dalam batuan. Istilah yang dipakai adalah porositas
baik (batuan menyerap air), porositas sedang (di antara baik-buruk), dan
porositas buruk (batuan tidak menyerap air). Jenis-jenis porositas :
intergranular, microporosity, dissolution dan fracture (Gambar 3.11).

24
Gambar 3.11 Jenis-jenis porositas

6. Warna
Warna pada batuan sedimen mempunyai arti yang penting karena
mencerminkan komposisi butiran penyusun batuan sedimen dan dapat
digunakan untuk menginterpretasikan lingkungan pengendapan. Warna batuan
merah menunjukan lingkungan oksidasi,sedangkan warna batuan hitam atau
gelap menunjukan lingkungan reduksi. Secara umum warna pada batuan
sedimen dipengaruhi oleh :

 Warna mineral pembentuk batuan sedimen, contoh : bila mineral


pembentuk batuan sedimen didominasi oleh kuarsa maka batuan akan
berwarna putih (misal batupasir quartz arenite).
 Warna matrik atau semen, contoh : bila matriks/semen mengandung
oksida besi, maka batuan akan berwarna coklat kemerahan.
 Warna material yang meyelubungi (coating material), contoh : batupasir
kuarsa yang diselubungi oleh glaukonit akan berwarna hijau
 Derajat kehalusan butir penyusunnya, contoh : pada batuan dengan
komposisi sama jika makin halus ukuran butir maka warnanya akan
cenderung lebih gelap.

25
7. Kekompakan
Kekompakan adalah sifat fisik dari batuan. Beberapa istilah yang dipakai
dalam kekompakan batuan adalah :
 Dense : sangat padat
 Hard : keras dan padat
 Medium hard : agak keras tetapi masih dapat digores dengan jarum baja
 Soft : lunak, mudah tergores dan dipecahkan.
 Friable : keras tetapi dapat diremas dengan tangan
 Spongy : berongga

3.2.4 Struktur Batuan Sedimen

Secara umum menurut Tucker (1975) struktur pada batuan sedimen dapat
dibagi menjadi beberapa macam menurut waktu relatif terbentuknya struktur
tersebut dengan waktu diagenesis batuan. Yaitu struktur yang terbentuk saat
sedimentasi (Syndeposisional structure), struktur yang terbentuk setelah
sedimentasi (Postdeposisional structure), dan struktur yang terbentuk setelah
litifikasi yang disebabkan proses erosi (Erosional structure) serta struktur yang
dihasilkan dari aktivitas organisme (Biogenic structure).

1. Syndeposisional structure
 Gradded Bedding
Gradded bedding atau perlapisan bergradasi adalah suatu struktur
sedimen berupa penyortiran ukuran butiran batuan dari butiran yang
berukuran lebih besar hingga butiran yang berukuran lebih halus. Secara
umum struktur sedimen ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu Normal
Gradation dan Reverse Gradation. Normal Gradation adalah suatu
struktur gradasi yang urutan ukuran butirnya di bagian atas berukuran
lebih halus dibanding ukuran butir di bagian bawah. Sedangkan Reverse
Gradation memiliki urutan penyortiran batuan yang berkebalikan dengan

26
Normal Gradation, yaitu di bagian atas berukuran lebih besar dibanding
butiran yang dibawahnya.

Gambar 3.12 Macam-macam gradasi (Garry Nichol,1999)

Lebih lanjut Nichol (1999) membagi struktur gradasi ini menjadi dua
macam berdasarkan perlapisan pada gradasi batuan. Pertama adalah
gradasi yang berada pada satu lapisan batuan dan kedua adalah gradasi
yang dipisahkan oleh perlapisan. Asing asing dari keduanya dibagi lagi
menjadi gradasi normal dan gradasi terbalik.

 Current Ripple
Current ripples atau riak arus adalah suatu struktur Sadiman yang
terbentuk saat material sedimen diendapkan. Current ripple adalah
bentukan alas berukuran kecil yang terbentuk karena pengaruh pemisahan
lapisan batas pada lapisan pasir (Baas, 1999 dalam Nichol, 1999).
Pembentukan current ripple ini sangat berkaitan dengan arus agen yang
mengendapkan material sedimen tersebut. Oleh karena itu, current ripple

27
dapat dijadikan alat analisis dalam penentuan arah arus yang
mengendapkan sedimen tersebut. Current ripple biasanya berbentuk
asimetris dengan dimensi sentimeter hingga meter. Bentuk asimetris ini
berkaitan dengan arah aliran purba yang mengendapkannya. Kemiringan
current ripple berbeda pada dua lerengnya. Lereng yang landai disebut
stoss side yang menandakan arah datangnya arus, sedang lereng yang
terjal disebut Lee side yang menandakan arah perginya arus.

Gambar 3.13 Macam-macam current ripple (Garry Nichol,1999)

Current ripple ini sangat berkaitan dengan terbentuknya silang siur.


Namun karena dimensi current ripple yang hanya beberapa sentimeter,
maka yang terbentuk bukanlah Crossbedding melainkan Cross-lamination.
Pembentukan Cross lamination ini juga bergantung pada jenis current
ripple yang terbentuk, jika current ripple yang terbentuk cenderung lurus
atau linier, maka silang sirup yang terbentuk pun lurus atau datar.
Sedangkan makin melengkung current ripple yang terbentuk, maka silang
siur yang terbentuk juga melengkung atau berbentuk kurva.

 Dune
Dune atau gunduk adalah bentukan yang sama dengan current ripple
namun dengan dimensi yang jauh lebih besar (biasanya meter hingga
puluhan meter). Sama dengan current ripple, dune juga erat kaitannya
dengan silang siur, dan karena dimensinya yang cukup besar, silang siur
yang dihasilkan adalah Cross-bedding

28
Gambar 3.14 Pola bentukan dune (Garry Nichol,1999)

 Perlapisan (Bedding)
Perlapisan atau bedding adalah suatu struktur sedimen yang berupa
pemisahan material sedimen yang diendapkan pada waktu yang berbeda,
material sedimen yang dimaksud bisa sama satu sama lain atau berbeda.
Perlapisan biasanya dibatasi oleh batas perlapisan yang jelas antara dua
lapisan yang berbeda.

 Laminasi
Struktur laminasi sama dengan struktur perlapisan hanya saja memiliki
dimensi yang lebih kecil. Jika perlapisan bisa memiliki ketebalan hingga
beberapa meter, maka laminasi hanya memiliki ketebalan kurang dari 1
cm. Laminasi juga ada beberapa macam berdasarkan bentuk laminasinya.

29
Gambar 3.15 Pola struktur laminasi (Garry Nichol,1999)

2. Post-deposisional structure
 Mudcrack
Mudcrack adalah bentukan has pada sedimen berukuran lanau hingga
lempung yang mengalami keretakan pada permukaan lapisan yang
berkontak dengan udara saat proses deposisinya. Mudcrack ini dihasilkan
dari proses dedikasi (proses keluarnya air dari tubuh batuan) yang
menyebabkan terjadinya pengerutan volume batuan sehingga batuan
tersebut menjadi pecah pecah. Struktur mudcrack ini sering digunakan
sebagai Key bed untuk menentukan bagian atas dari suatu perlapisan,
karena mudcrack hanya dapat terbentuk pada bagian atas suatu lapisan.

30
Gambar 3.16 Bentukan mudcrack (Garry Nichol,1999)

 Laminasi atau perlapisan konvolut


Perlapisan konvolut adalah jenis perlapisan yang kenampakannya mirip
dengan perlipatan pada struktur geologi akibat tektonik. Bedanya lipatan
adalah gaya yang membentuknya, jika lipatan terbentuk karena gaya
tektonik, perlapisan konvolut terbentuk karena gaya beban atau karena
gaya gravitasi.

3. Erosional Structure
 Sole Marks
Sole Marks adalah struktur berskala kecil pada permukaan lapisan yang
disebabkan oleh proses erosi (Nichols, 1999). Struktur yang disebabkan
erosi ini akan berbentuk cekungan pada permukaan lapisan yang
disebabkan penggerusan oleh agen erosi. Nichols (1999) membagi struktur
ini menjadi dua, yaitu Scour Marks, yaitu struktur yang disebabkan oleh
erosi oleh air yang memiliki arus turbulen, dan yang kedua adalah tool
Marks yaitu struktur yang dihasilkan oleh proses erosi oleh material yang

31
dibawa oleh air. Scour Mark ini oleh Nichol dibagi lagi menjadi dua
berdasarkan faktor yang menyebabkan adanya arus turbulen yaitu flute
Mark dan obstacle scour. Perbedaanya adalah pada flute Mark arus
turbulen tercipta oleh air itu sendiri, namun pada obstacle scour arus
turbulen disebabkan adanya penghalang. Kedua struktur ini memiliki
kesamaan berupa bentuknya yang asimetri. Pada flute Mark, jika ia terisi
oleh material lain yang terendapkan setelahnya, maka bentukan tersebut
disebut flute Cast. Jadi flute Mark adalah struktur yang dimiliki lapisan di
bagian bawah, sedangkan flute cast adalah struktur yang dimiliki oleh
lapisan selanjutnya yang lebih muda. Kekhasan ini menjadikan flute cast
dan flute Mark sering dijadikan sebagai Key Bed penentu urutan batuan.

4. Biogenic structure
Pada umumnya struktur biogenik ini berupa fosil jejak yang dihasilkan
dari aktivitas organisme pada masa lampau.
 Burrowing dan borring
Struktur ini dihasilkan dari aktivitas pengeboran oleh organisme saat
sedimen tersebut masih bersifat lunak atau belum terlitifikasi. Sebaliknya,
borring adalah struktur yang dihasilkan dari pemboran oleh organisme
saat sedimen tersebut telah mengeras atau telah terlitifikasi. Di alam kedua
struktur ini sulit dibedakan. Umumnya burrowing dan borring berbentuk
tabung dengan arah bisa horizontal atau vertikal. Perbedaan arah ini yang
nantinya akan merepresentasikan energi lingkungan sedimen tersebut
diendapkan. Jika yang dominan adalah borring atau burrowing yang
berarah vertikal, maka kita bisa menyimpulkan bahwa energi
lingkungannya tinggi. Sedangkan kebalikannya, jika yang dominan adalah
borring atau burrowing yang berarah horizontal maka kita bisa
menyimpulkan bahwa energi lingkungan pengendapan sedimen tersebut
rendah. Namun kedua hal itu akan berkebalikan jika sedimen diendapkan
di daerah slope.

32
5. Chemical Anorganic Structure
Dalam Widiasmoro, dkk. (2005) juga disebutkan adanya struktur batuan
sedimen yang disebabkan oleh proses kimiawi yang nonorganik. Contohnya
adalah stylolite (akibat pelarutan), nodul dan konkresi yang termasuk struktur
akresi, serta septaria yang merupakan struktur komposit. Selain itu ada juga
struktur ooides dan struktur pisoides yang mana batunya disebut oolites dan
pisolites. Perbedaan keduanya adalah pada ukuran diameter, dimana pisoide
memiliki diameter yang lebih besar. Dalam Demicco & Hardie (1994) juga
disebutkan struktur dendritic pada tufa dan juga spheleoterm serta travertine
pada batugamping.

3.3 Lingkungan Pengendapan

Lingkungan pengendapan adalah bagian dari permukaan bumi dimana proses


fisik, kimia dan biologi berbeda dengan daerah yang berbatasan dengannya
(Selley, 1988). Sedangkan menurut Boggs (1995) lingkungan pengendapan adalah
karakteristik dari suatu tatanan geomorfik dimana proses fisik, kimia dan biologi
berlangsung yang menghasilkan suatu jenis endapan sedimen tertentu. Nichols
(1999) menambahkan yang dimaksud dengan proses tersebut adalah proses yang
berlangsung selama proses pembentukan, transportasi dan pengendapan sedimen.
Sedangkan Gould (1972) berpendapat bahwa lingkungan pengendapan adalah
tempat mengendapnya material sedimen beserta kondisi fisik, kimia, dan biologi
yang mencirikan terjadinya mekanisme pengendapan tertentu. Lingkungan
pengendapan merupakan keseluruhan dari kondisi fisik, kimia dan biologi pada
tempat dimana material sedimen terakumulasi (Krumbein dan Sloss, 1963). Dari
studi lingkungan pengendapan dapat digambarkan atau direkontruksi geografi
purba dimana pengendapan terjadi. Jadi, lingkungan pengendapan merupakan
suatu lingkungan tempat terkumpulnya material sedimen yang dipengaruhi oleh
aspek fisik, kimia dan biologi yang dapat mempengaruhi karakteristik sedimen
yang dihasilkannya.

33
3.3.1 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Lingkungan Pengendapan

Menurut BLATT et al (1972) beberapa faktor yang berpengaruh dalam


Lingkungan Pengendapan adalah:

1. Kedalaman Air

Kedalaman air disini penting, karena beberapa organisme dalam hidupnya


sangat dipengaruhi oleh kedalaman air, seperti : koral, algae. Kedalaman air
kadang-kadang memberikan kenampakan yang khas, dengan melihat
kenampakan dapat diketahui kedalaman dari batuan pada saat diendapkan,
kenampakan tersebut misalnya :

1. "Cut and Fill Structures", dan perlapisan silang siur, yang menunjukkan di
daerah tersebut ada arus dan gelombang.
2. "Mud Crack", yang menunjukkan daerah tersebut tersingkap pada
atmosfer.
3. Beberapa jenis "Trail and Burrow" ternyata berbeda bentuknya karena
disebabkan beberapa perbedaan kedalaman dari air.

2. Kecepatan

Energi kinetis dari air merupakan kontrol bagi pegerakan sedimen.


Sedimen yang berbutir halus tidak bisa terbentuk dalam lingkungan turbulensi
terlalu tinggi.

3. Temperature

Temperatur akan mengontrol kelarutan dari CaCO3 dan kecepatan


pertukaran zat atau unsur dari tumbuh-tumbuhan dan hewan, sebagai contoh :
populasi yang besar dari organisme dan karbonat jarang terdapat di dalam air
dingin.

4. Kegaraman

Merupakan kontrol penting bagi aktifitas biologis. Populasi dari hewan


dan tumbuh-tumbuhan banyak yang dipengaruhi oleh kegaraman dari air.

34
5. Eh (potensial oksidasi) dan pH (konsentrasi ion H)

Eh dan pH merupakan dua aspek kimia yang penting dalam lingkungan


pengendapan, yang akan mengontrol sedimen dan fauna yang hidup di dasar.

6. Bentuk Fisik dari Lingkungan Pengendapan

Bentuk fisik dari lingkungan pengendapan kerap kali mengontrol sedimen


yang ada dalam cekungan. Bentuk fisik dari lingkungan pengendapan dapat
berupa : kemiringan dari permukaan, kedalaman dari daerah deposisi.

3.4 Jenis-jenis Lingkungan Pengendapan

Permukaan bumi mempunyai morfologi yang sangat beragam, mulai dari


pegunungan, lembah sungai, pedataran, padang pasir (desert), delta sampai kelaut.
Menurut Selley (1988) lingkungan pengendapan secara garis besar dapat dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Lingkungan pengendapan darat


2. Lingkungan pengendapan transisi
3. Lingkungan pengendapan laut

Lingkungan pengendapan tidak dapat ditafsirkan secara akurat hanya


berdasarkan suatu aspek fisik dari batuan saja. Maka dari itu untuk menganalisis
lingkungan pengendapan harus ditinjau mengenai struktur sedimen, ukuran butir
(grain size), kandungan fosil (bentuk dan jejaknya), kandungan mineral, runtunan
tegak dan hubungan lateralnya, geometri serta distribusi batuannya.

35
Gambar 3.17 Lingkungan Pengendapan (Selley, 1988)

3.4.1 Lingkungan Pengendapan Darat

1. Kipas Aluvial (Aluvial Fans)

Merupakan endapan menyerupai kipas yang terbentuk di kaki


gunung. Alluvial fans umum berada di daerah kering sampai semi-kering
dimana curah hujan jarang tetapi deras, dan laju erosi besar. Endapan alluvial
fans khas akan kwarsa, pasir dan gravel bersorting buruk.

36
Gambar 3.18 Lingkungan pengendapan alluvial (Pamela Gore, 1986)

2. Lingkungan Fluvial (Fluvial Environment)

Mencakup braided river, sungai bermeander, dan jeram. Saluran-saluran


sungai, ambang sungai, tanggul, dan dataran-dataran banjir adalah bagian dari
lingkungan fluvial. Endapan di saluran-saluran sungai terdiri dari kwarsa,
gravel dengan kebundaran baik, dan pasir. ambang sungai terbentuk dari gravel
atau pasir, tanggul-tanggul terbuat dari pasir berbutir halus ataupun
lanau.Sementara, dataran-dataran banjir ditutupi oleh lempung dan lanau.

Gambar 3.19 Lingkungan pengendapan Fluvial (Pamela Gore, 1985)

37
3. Lacustrine Environment (Danau)

Lacustrin atau danau adalah suatu lingkungan tempat berkumpulnya air


yang tidak berhubungan dengan laut. Lingkungan ini bervariasi dalam
kedalaman, lebar dan salinitas yang berkisar dari air tawar hingga hipersaline.
Pada lingkungan ini juga dijumpai adanya delta , barried island hingga kipas
bawah air yang diendapkan dengan arus turbidit. Danau juga mengendapkan
klastika dan endapan karbonat termasuk oolit dan terumbu dari alga. Pada
daerah beriklim kering dapat terbentuk endapan evaporit. Endapan danau ini
dibedakan dari endapan laut dari kandungan fosil dan aspek geokimianya.

4. Gurun (Aeolian Or Aolian Environment)

Biasanya berupa daerah luas dengan bukit- bukit dari endapan pasir.
Endapan pasir mempunyai sorting yang baik, kebundaran yang baik, cross-
bedded tanpa adanya asosiasi dengan gra el atau lempung.

5. Rawa (Paludal Environment)

Biasanya di tumbuhi tumbuhan hidup didalamnya dengan air yang tenang


dan endapan berupa batubara.

38
3.4.2 Lingkungan Pengendapan Transisi

Lingkungan pengendapan transisi adalah semua lingkungan pengendapan


yang berada atau dekat pada daerah peralihan darat dengan laut.

Gambar 3.20 Lingkungan pengendapan transisi

1. Delta

Delta adalah sebuah lingkungan transisional yang dicirikan oleh adanya


material sedimen yang tertransport lewat aliran sungai (channel), kemudian
terendapkan pada kondisi di bawah air (subaqueous), pada tubuh air tenang
yang diisi oleh aliran sungai tersebut, sebagian lagi berada di darat/subaerial
(Friedman & Sanders, 1978, vide Serra, 1985). Pembentukan delta dikontrol
oleh interaksi yang rumit antara berbagai faktor yang berasal/bersifat fluviatil,
proses di laut dan kondisi lingkungan pengendapan. Faktor-faktor tersebut
meliputi iklim, pelepasan air, muatan sedimen, proses yang terjadi di mulut
sungai, gelombang (wave), pasang surut (tide), arus, angin, luas shelf, dan
lereng (slope), tektonik, dan geometri cekungan penerima (receiving basin)
akan mengontrol distribusi, orientasi, dan geometri internal endapan delta
(Wright et al., 1974, vide Walker, 1984).

39
Gambar 3.21 Fisiografi Delta (Allen dan Coadou, 1982)

Berdasarkan fisiografinya, delta dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian


utama, yaitu:

a. Delta Plain

Delta plain merupakan bagian kearah darat dari suatu delta. Umumnya
terdiri dari endapan marsh dan rawa yang berbutir halus seperti serpih dan
bahanbahan organik (batubara). Delta plain merupakan bagian dari delta yang
karakteristik lingkungannya didominasi oleh proses fluvial dan tidal. Pada
delta plain sangat jarang ditemukan adanya aktivitas dari gelombang yang
sangat besar. Daerah delta plain ini ditoreh (incised) oleh fluvial
distributaries dengan kedalaman berkisar dari 5 – 30 m. Pada distributaries

40
channel ini sering terendapkan endapan batupasir channel-fill yang sangat
baik untuk reservoir (Allen & Coadou,1982).

b. Delta Front

Delta front merupakan daerah dimana endapan sedimen dari sungai


bergerak memasuki cekungan dan berasosiasi dengan proses cekungan
(basinal). Akibat adanya perubahan pada kondisi hidrolik, maka sedimen
dari sungai akan memasuki cekungan dan terjadi penurunan kecepatan
secara tiba-tiba yang menyebabkan diendapkannya material - material dari
sungai tersebut. Kemudian material-material tersebut akan didistribusikan dan
dipengaruhi oleh proses basinal. Umumnya pasir yang diendapkan pada
daerah ini terendapkan pada distributary inlet sebagai bar. Konfigurasi
dan karakteristik dari bar ini umumnya sangat cocok sebagai
reservoir, didukung dengan aktivitas laut yang mempengaruhinya (Allen &
Coadou,1982).

c. Prodelta

Prodelta adalah bagian delta yang paling menjauh kearah laut atau
sering disebut pula sebagai delta front slope. Endapan prodelta biasanya
dicirikan dengan endapan berbutir halus seperti lempung dan lanau. Pada
daerah ini sering ditemukan zona lumpur (mud zone) tanpa kehadiran pasir.
Batupasir umumnya terendapkan pada delta front khususnya pada daerah
distributary inlet, sehingga pada daerah prodelta hanya diendapkan suspensi
halus. Endapan-endapan prodelta merupakan transisi kepada shelf -
muddeposite. Endapan prodelta umumnya sulit dibedakan dengan shelf -
muddeposite. Keduanya hanya dapat dibedakan ketika adanya suatu data
runtutan vertikal dan horisontal yang baik (Reineck & Singh,1975).

41
2. Lagoon

Lagoon adalah suatu kawasan berair dangkal yang masih berhubungan


dengan laut lepas, dibatasi oleh suatu punggungan memanjang (barrier) dan
relatif sejajar dengan pantai. Maka dari itu lagoon umumnya tidak luas dan
dangkal dengan energi rendah. Beberapa lagoon yang dianggap besar, misalnya
Leeward Lagoon di Bahama luasnya hanya 10.000 km dengan kedalaman + 10
m (Jordan, 1978, dalam Bruce W. Sellwood, 1990).

3. Tidal Flats

Tidal flat merupakan lingkungan yang terbentuk pada energi gelombang


laut yang rendah dan umumnya terjadi pada daerah dengan daerah
pantai mesotidal dan makrotidal. Pasang surut dengan amplitudo yang besar
umumnya terjadi pada pantai dengan permukaan air yang sangat besar/luas.
Danau dan cekungan laut kecil yang terpisah dari laut terbuka biasanya hanya
mengalami efek yang kecil dari pasang surut ini, seperti pada laut mediterania
yang ketinggian pasang surutnya hanya berkisar dari 10 – 20 cm. Luas dari
daerah tidal flat ini berkisar antara beberapa kilometer sampai 25km
(Boggs,1995). Berdasarkan pada elevasinya terhadap tinggi rendahnya
pasang surut, lingkungan tidal flat dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu
subtidal, intertidal dan supratidal.

Zona subtidal meliputi daerah dibawah rata-rata level pasang surut yang
rendah dan biasanya selalu digenangi air secara terus menerus. Zona ini sangat
dipengaruhi oleh tidal channel dan pengaruh gelombang laut, sehingga pada
daerah ini sering diendapkan bedload dengan ukuran pasir (sand flat). Pada
zona ini sering terbentuk subtidal bar dan shoal . Pengendapan pada daerah
subtidal utamanya terjadi oleh akresi lateral dari sedimen pasiran pada tidal
channel.

Zona intertidal meliputi daerah dengan level pasang surut rendah sampai
tinggi. Endapannya dapat tersingkap antara satu atau dua kali dalam sehari,
tergantung dari kondisi pasang surut dan angin lokal. Pada daerah ini biasanya
tidak tumbuh vegetasi yang baik, karena adanya aktifitas air laut yang cukup

42
sering (Boggs, 1995). Karena intertidal merupakan daerah perbatasan antara
pasang surut yang tinggi dan rendah, sehinnga merupakan daerah pencampuran
antara akresi lateral dan pengendapan suspensi, maka daerah ini umumnya
tersusun oleh endapan yang berkisar dari lumpur pada daerah batas pasang
surut tinggi sampai pasir pada batas pasang surut rendah (mix flat).

Gambar 3.22 Pembagian serta hubungan antara zona-zona pada lingkungan tidal flat
(Boggs, 1995)

43
3.4.3 Lingkungan Pengendapan Laut

Gambar 3.23 Zona lingkungan pengendapan laut

1. Reff

Tahan terhadap gelombang, strukturnya terbentuk dari kerangka berbahan


calcareous dari organisme seperti koral dan beberapa jenis alga. Kebanyakan
reef zaman resen berada pada laut yang sangat, dangkal, jernih, laut tropis,
dengan koordinat antara garis lintang 300N dan 300S. Cahaya matahari
diperlukan untuk pertumbuhan reef.

2. Continental shelf

Terletak pada tepi kontinen, relative datar (slope < 0.1o), dangkal
(kedalaman kurang dari 200 m), lebarnya mampu mencapai beberapa ratus

44
meter. Continental shelf ditutupi oleh pasir, lumpur, dan lanau. Daerah shelf
merupakan daerah lingkungan pengendapan yang berada diantara daerah laut
dangkal sampai batas shelf break . Heckel (1967) dalam Boggs (1995)
membagi lingkungan shelf ini menjadi dua jenis, perikontinental (marginal)
dan epikontinental (epeiric). Perikontinental shelf adalah lingkungan laut
dangkal yang terutama menempati daerah di sekitar batas kontinen
(transitional crust) shelf dengan laut dalam. Perikontinental seringkali
kehilangan sebagian besar dari endapan sedimennya (pasir dan material
berbutir halus lainnya), karena endapan-endapan tersebut bergerak memasuki
laut dalam dengan proses arus traksi dan pergerakan graviti (gravity mass
movement). Daerah ini biasanya dibentuk jauh dari pusat badai (storm) dan
arus laut, sehingga seringkali terproteksi dengan baik dari kedua pengaruh
tersebut. Jika sebagian dari daerah epeiric ini tertutup, maka ini akan semakin
tidak dipengaruhi oleh gelombang dan arus tidal.

3. Continental slope dan continental rise

Terletak pada dasar laut dari continental shelf. Continental slope adalah
bagian paling curam pada tepi kontinen. Continental slope melewati dasar
laut menuju continental rise, yang punya kemiringan yang lebih landai.
Continental rise adalah pusat pengendapan sedimen yang tebal akibat dari
arus turbidity.

4. Abyssal plain

Merupakan lantai dasar samudera. Pada dasarnya datar dan dilapisi oleh
very fine-grained sediment, tersusun terutama oleh lempung dan selsel
organisme mikroskopis seperti foraminifera, radiolarians, dan diatom.

45
3.4 Kualitas Dan Klasifikasi Batu Bara
3.4.1 Kualitas Batubara
Kualitas batubara yaitu sifat fisika dan kimia dari batubara yang
mempengaruhi potensi kegunaannya. Kualitas batubara ditentukan oleh material
penyusunnya (maceral) dan derajat pembatubaraan (coalification).

Gambar 3.24 Material utama penyusun batubara. (Kentucky Geological Survey. 1997)

Berdasarkan gambar di atas (gambar 3.24) batubara tersusun atas 3


material utama, yaitu :

1. Vitrinite

Kelompok ini berasal dari tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody
tissues) seperti batang, dahan, akar, dan serat-serat daun. Vitrinit adalah bahan
utama penyusun batubara (biasanya lebih dari 50%) kecuali untuk batubara
Gondwana (Ting, 1978 dalam Ofanda. F 2012). Pengamatan dengan mikroskop
sinar langsung (transmitted light microscope) kelompok vitrinit menunjukkan
warna cokelat kemerahan sampai gelap, tergantung dari tingkat ubahan
(metamorfosa) batubara itu. Semakin tinggi tingkatan suatu batubara semakin

46
gelap terlihatnya maseral tersebut di bawah mikroskop dan demikian pula
sebaliknya.

2. Liptinite

Kelompok ini sering juga disebut eksinit berasal dari jenis tanaman yang
relatif rendah tingkatannya seperti spora (spores), ganggang (algae), kulit luar
(cuticles), getah tanaman (resin), dan serbuk sari (pollen). Kelompok eksinit ini
terlihat sebagai maseral yang berwarna terang, kuning sampai kuning tua di
bawah sinar langsung, sedangkan di bawah sinar pantul kelompok eksinit
menunjukkan pantulan berwarna abu-abu sampai gelap. Kelompok eksinit
mengandung unsur hidrogen (H) yang paling banyak di antara maseral lainnya.
Berdasarkan morfologi dan bahan asalnya kelompok eksinit dibedakan menjadi
sporinit, kutinit, alginit, fluorinit, suberinit, exudatinit, bituminit, liptodetrinit,
dan resinit.

3. Intertinite
Kelompok inertinit diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar
(charcoal) dan sebagian lagi diperkirakan berasal dari maseral lainnya yang
telah mengalami proses oksidasi atau proses “decarboxylation” yang
disebabkan oleh jamur dan bakteri (proses biokimia). Dalam proses
karbonisasi, kelompok inertinit sangat lamban bereaksi (inert). Kelompok
inertinit mengandung unsur hidrogen yang terendah di antara dua kelompok
lainnya. Berdasarkan struktur, tingkat pengawetan (preservation), dan
intensitas pembakaran, kelompok inertinit dibedakan menjadi fusinit,
semifusinit, sclerotinit, mikirinit, inertodetrinit, dan macrinit.

3.4.2 Peringkat Batu Bara (Coal Rank)


Coal rank merupakan penggolongan batubara berdasarkan kandungan
kalori yang terdapat dalam suatu batubara, hal ini dipengaruhi oleh metamorfisme
organik yang dimulai setelah organisme mati kemudian mengalami pembusukan
dan berlangsung jutaan tahun, menghasilkan unsurunsur yang berbeda-beda
jenisnya, yaitu jenis petroleum, gas dan batubara.

47
Gambar 3.25 Perubahan dalam peringkat batubara (Setiawan, 2013)

1. Gambut (Peat)
Gambut adalah akumulasi sisa-sisa tanaman dimana sebagian telah
terkarbonisasi. Gambut merupakan sedimen organik dan bahan baku batubara.
Proses burial, pemadatan, dan pembatubaraan (coalification) akan
mengubahnya menjadi batubara. Gambut memiliki kandungan karbon kurang
dari 60%. Nilai kalori gambut 1700-2300 Kcal.

Gambar 3.25 Kenampakan gambut (Flysh Geost, 2017)

48
2. Lignit
Disebut juga batubara cokelat (brown coal), lignit adalah batubara yang
sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya. Lignit merupakan
kelas batubara rendah. Lignit berasal dari kata Lignum dari bahasa latin, yang
artinya kayu, dinamakan begitu karena warnanya yang cokelat. Kandungan
energinya hanya setengah dari Antrasit yaitu 1450019300 kJ/kg.

Gambar 3.25 Kenampakan lignit (Ahmad tarmizi, 2013)

3. Sub-bituminus
Batubara dengan kelas sub-bituminus ini merupakan kelas yang paling
banyak dijumpai di Indonesia. Kelas ini mengandung sedikit karbon dan
banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien
dibandingkan dengan bituminus. Batubara ini yang biasanya jadi bahan bakar
PLTU di Indonesia. Biasanya batubara ini dilumatkan dulu sebelum dibakar.
Kandungan energinya 19300-26750 kJ/kg.

Gambar 3.26 Kenampakan batubara sub-bituminous

49
4. Bituminus
Kelas ini mengandung 46 – 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 20-
40% dari beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
Kelas ini dibagi lagi menjadi 5 subkelas yaitu Low volatile, Medium volatile,
High volatile A, High volatile B dan High volatile C. Kandungan energy dari
kelas ini sekitar 25600-32500 kJ/kg.

Gambar 3.27 Kenampakan batubara bituminous

5. Antrasit
Merupakan kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan
(luster) metalik, mengandung antara 86% – 98% unsur karbon (C) dengan
kadar air kurang dari 8%. Ciri-ciri dari antrasit sangat mencolok yaitu
hitam/metalik mengkilap, keras dan padat dibandingkan kelas yang lain. Dalam
penggunaannya, batubara ini lebih cocok langsung dibakar dalam stocker
daripada dilumatkan dahulu. Di Indonesia, batubara ini ditambang dan
dijadikan komoditas jual ke luar negeri. Kandungan energinya adalah sekitar
32500-34000 kJ/kg.

50
Gambar 3.25 Kenampakan batubara antrasit

6. Grafit
Grafit menurut Rahayu (2009) adalah suatu modifikasi dari karbon dengan
sifat yang mirip logam (penghantar panas dan listrik yang baik). Di samping
tidak cukup padat, grafit tidak terdapat dalam jumlah banyak di alam.
Sedangkan sumber lain mengatakan bahwa grafit adalah batubara yang telah
mengalami proses metamorfisme regional.

3.5 Konsep Dasar Coal Bed Methane (CBM)

Gambar 3.26 Segitiga sumber daya minyak dan gas bumi (after A. Holditch.
2006 dalam Setiawan T. 2013)

51
Berdasarkan segitiga sumber daya Holditch, 2006 (Gambar 3.26), sumber
daya nonkonvensional memiliki jumlah yang lebih besar dari sumber daya
konvensional, sehingga ketika permintaan energi meningkat dan teknologi telah
mumpuni, eksplorasi dan eksploitasinya tidak terhindarkan. Untuk minyak,
cadangan konvensionalnya adalah minyak ringan, sementara cadangan
nonkonvensionalnya adalah minyak berat, minyak ekstra berat, serta oil shale.
Untuk gas, cadangan konvensionalnya adalah gas kualitas tinggi (high quality
gas), sedangkan cadangan nonkonvensionalnya adalah CBM, shale gas, gas mutu
rendah, dan tight gas. Batubara adalah salah satu batuan sedimen organik yang
memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena
permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara
berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di dalamnya banyak
sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala mikron. Kondisi
inilah yang menyebabkan permukaan batubara mampu menyerap gas dalam
jumlah yangbesar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara
untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar.
Gas metana batubara itu sendiri adalah gas yang terbentuk pada saat
proses pembatubaraan (coalification) yang tersusun atas gas metana mencapai
angka lebih besar dari 80%. Gas tersebut tersimpan di dalam matriks batubara
akibat penyerapan dari batubara tersebut. Gas metana batubara terbentuk akibat
dekomposisi dari bahan-bahan kayu pada saat pengendapan gambut di rawa-rawa.

3.5.1 Coal Bed Methane System


Berbeda dengan sistem yang terdapat pada minyak bumi (petroleum
system) yang membutuhkan batuan sumber (source rock), batuan penyimpan
(reservoir) dan batuan penutup (seal) pada litologi dan umur yang berbeda, pada
sistem CBM hanya membutuhkan satu komponen yaitu batubara itu sendiri.
Batubara bertindak sebagai batuan sumber, batuan penyimpan dan batuan penutup
pada saat bersamaan. Hal ini dikarenakan gas metana yang terdapat pada batubara
adalah gas yang terserap dan menempel di permukaan batubara dan berpindah
melalui media bidang belah (cleat) pada batubara, bukan gas bebas yang bisa
bermigrasi seperti yang terdapat dalam sistem minyak bumi.

52
1. Batuan Sumber (SourceRock)

Batuan sumber adalah batuan yang merupakan tempat minyak dan gas
bumi terbentuk. Pada umumnya batuan sumber ini berupa lapisan serpih
(shale) yang tebal dan mengandung material organik. Secara statistik
disimpulkan bahwa prosentasi kandungan hidrokarbon tertinggi terdapat pada
serpih, yaitu 65%, batugamping 21%, napal 12% dan batubara 2% material
organik dalam batuan sedimen secara umum dipengaruhi oleh beberapa faktor
(Koesoemadinata,1980) antara lain lingkungan pengendapan dimana kehidupan
organisme berkembang secara baik, sehingga material organik terkumpul,
pengendapan sedimen yang berlangsung secara cepat, sehingga material
organik tersebut tidak hilang oleh pembusukan dan atau teroksidasi. Faktor lain
yang juga mempengaruhi adalah lingkungan pengendapan yang berada pada
lingkungan reduksi, dimana sirkulasi air yang cepat menyebabkan tidak
terdapatnya oksigen. Dengan demikian material organik akan terawetkan.

Proses selanjutnya yang terjadi dalam batuan sumber ini adalah pematangan.
Dari beberapa hipotesa (Koesoemadinata, 1980) diketahui bahwa pematangan
hidrokarbon dipandang dari perbandingan hidrogen dan karbon yang akan
meningkat sejalan dengan umur dan kedalaman batuan sumber itu sendiri.
Menurut (ASTM,1981, opcitwood et al.,1983), untuk melihat kematangan
batubara yang menghasilkan gas metan berdasarkan kandungan kalori yaitu:

a. Gambut,adalah kelas batubara yang paling rendah nilai kalorinya yaitu


sekitar 3500 kcal/kg dengan kadar air diatas 75% dari beratnya.
b. Lignit atau batubara coklat, adalah batubara yang sangat lunak dengan
nilai kalori sekitar 3500 kcal/kg – 4611 kcal/kg dan mengandung air
35% - 75% dari beratnya.
c. Sub – bituminus, merupakan kelas batubara yang mengandung sedikit
karbon dan banyak air serta kandungan kalori 4611 kcal/kg – 5833
kcal/kg.
d. Bituminus, kelas batubara yang memiliki kandungan kalori antara 5833
kcal/kg–7777 kcal/kg, dengan unsur karbon 68%-86%

53
f. Antrasit, adalah batubara dengan nilai kalori tertinggi dengan warna
hitam berkilauan, mengandung antara 86%-98% unsur karbon dengan
kadar air kurang dari 8%. Antrasit memiliki kalori yang paling tinggi
yaitu diatas 7777 kcal/kg

2. Batuan Penyimpan (Reservoir)

Batuan reservoir merupakan batuan berpori atau retak-retak, yang dapat


menyimpan dan melewatkan fluida. Di alam batuan reservoir umumnya berupa
batupasir atau batuan karbonat. Faktor-faktor yang menyangkut kemampuan
batuan reservoir ini adalah tingkat porositas dan permeabilitas, yang sangat
dipengaruhi oleh tekstur batuan sedimen yang secara langsung dipengaruhi
sejarah sedimentasi dan lingkungan pengendapannya. Dalam CBM batuan
reservoirnya adalah batubara itu sendiri yang menyimpan air dan gas.

3. Batuan Penutup (Cap Rock atau SealRock)

Lapisan penutup merupakan lapisan pelindung yang bersifat tak permeabel


yang dapat berupa lapisan lempung, shale yang tak retak, batugamping pejal
atau lapisan tebal dari batuan garam. Lapisan ini bersifat melindungi minyak
dan gas bumi yang telah terperangkap agar tidak keluar dari sarang
perangkapnya.

3.5.2 Proses Pembatubaraan (Coalification)


Menurut (Sekitan no Hon, 2009. Hal 119 dalam Budiharjo.2010 ).Gas
Metana batubara ini sebagian besar terbentuk akibat adanya perubahan susunan
kimia yang diakibatkan oleh adanya pengaruh suhu di bawah permukaan tanah
(thermogenesis). Sedangkan untuk kelas brown coal (lignit) yaitu batubara yang
terdapat pada kedalaman kurang dari 200m, gas metana ini terbentuk akibat
aktivitas mikroorganisme anaerob.

54
Gambar 3.27 Pproses pembentukan gas metana batubara (Sekitan no Hon,
2009. hal 119 dalam Budiharjo. 2010)

Proses pembentukan batubara memakan waktu hingga puluhan juta tahun,


dimulai dari pembentukan gambut (peat) kemudian menjadi lignite,
subbituminous, bituminous hingga antrasit. Proses pembentukan batubara /
pembatubaraan (coalifikasi) dapat diartikan sebagai proses pengeluaran
berangsur-angsur dari zat pembakar (O2) dalam bentuk karbon dioksida (CO2)
dan air (H2O) hingga akhirnya menyebabkan konsentrasi karbon tetap (fixed
carbon) dalam bahan asal batubara bertambah.

Tahapan dan Proses Pembentukan Batubara dapat digolongkan menjadi


dua kejadian, yaitu pertama tahap/fase diagenesa (perusakan dan penguraian) oleh
organisme, atau sering juga disebut sebagai tahap/fase biokimia. Kedua adalah
tahap metamorfosa, yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara, yang sering
juga disebut sebagai tahap geokimia.

1. Tahap/Fase Diagenesa (Biokimia)

Ekosistem rawa berbeda dengan ekosistem sungai dan danau, demikian


pula kondisi air dan tanahnya. Pada lingkungan rawa, sirkulasi air sangat

55
minim bahkan sering tidak ada sirkulasi air sama sekali, hal ini
mengakibatkan minimnya kandungan oksigen di rawa. Dalam lingkungan
seperti ini, tanaman dan sisa-sisa tanaman rawa yang mati tidak bisa
membusuk secara wajar (untuk pembusukan dibutuhkan oksigen/bakteri –
bakteri aerob/suka oksigen). Pada akhirnya yang dominan adalah bakteri-
bakteri jenis an aerab.

Bakteri anaerob mengurai tanaman yang mati tidak menjadi kompos


(busuk), tetapi menjadi bahan lain yang disebut dengan gel atau jelly.
Penguraian ini terjadi di lingkungan yang bebas (minim) oksigen.
Lingkungan rawa yang selalu basah/berair atau muka air tanah yang sangat
dangkal dan tanpa sirkulasi air yang baik, menghasilkan lingkungan yang
cocok untuk bakteri an aerob berkembang biak dan aktif mengurai tanaman
menjadi gel.

Tahap selanjutnya, gel atau jelly semakin lama semakin tebal, membentuk
sedimen, mampat dan memadat. Pemadatan biasanya diikuti dengan
penurunan kandungan air, hingga akhirnya membentuk endapan/sedimen
yang kaya bahanbahan organik (humin) yang dikenal sebagai gambut (peat).

2. Fase Metamorfosa (Geokimia)

Pada fase ini, terjadi perubahan yang mendasar dari sifat-sifat fisik dan
kimiawi bahan gambut menjadi batubara. Perubahan mendasar ini ditandai
dengan semakin menurunnya kandungan air, hydrogen, oksigen, karbon
dioksida dan bahan-bahan lain yang mudah terbakar (volatile matter). Bakteri
tidak lagi berperan disini, akan tetapi yang berperan adalah perubahan-
perubahan dan aktivitas-aktivitas yang terjadi di dalam bumi, seperti adanya
perubahan tekanan dan temperatur, struktur, intrusi dan lain sebagainya.

3.5.3 Gas Methane Batubara

GMB (Batu Bara) atau CBM (Coalbedmethane) adalah gas bumi


(hidrokarbon) dengan gas metana merupakan komposisi utamanya yang terjadi
secara alamiah dalam proses pembentukan batu bara (coalification) dalam kondisi

56
terperangkap dan terserap pada lapisan batu bara. Proses terbentuknya GMB
berasal dari material organik tumbuhan tinggi, melalui beberapa proses kimia dan
fisika (dalam bentuk panas dan tekanan secara menerus) yang berubah menjadi
gambut dan akhirnya terbentuk batubara.

Selama berlangsungnya proses pemendaman dan pematangan, material


organik akan mengeluarkan air, CO2, gas metana dan gas lainnya. Selain melalui
proses kimia, GMB dapat terbentuk dari aktivitas bakteri metanogenik dalam air
yang terperangkap dalam batu bara khususnya lignit. Kandungan gas pada GMB
sebagian besar berupa gas metana dengan sedikit gas hidrokarbon lainnya dan gas
non-hidrokarbon.

Semakin baik kualitas (rank) suatu batubara, mka semakin tinggi pula gas
metana yang terdapat di dalamnya, sedangkan hal ini berbanding terbalik dengan
permeabilitasnya. Semakin tinggi kualitas suatu batubara maka semakin sedikit
rekahan (cleat) yang bisa dijumpai di dalamnya yang artinya permeabilitas dari
batubara tersebut adalah buruk atau tidak baik sebagai untuk dijadikan media
transportasi gas

Gambar 3.28 Cleat Sebagai Permeabilitas dalam sistem gas metana batubara

(Hanes dkk,1981 dalam Myatkhan, 2013)

57
Sistem cleat adalah jejaring rekahan alami yang terbentuk pada batu bara
yang disebabkan oleh sifat kerapuhan batubara terhadap tekanan. Cleat umumnya
dijumpai pada batubara dengan rank sub-bituminus. Terjadinya cleat
hubungannya dengan pola kekar pada lapisan pembawa batubara,sehingga dapat
digunakan untuk menghubungkan pula cleat dengan struktur geologi suatu daerah.
(Hanes dkk, 1981 dalam Myatkhan, 2013)

Gambar 3.29 Pengaruh peringkat (rank) batubara terhadap jumlah gas dan
permeabilitasnya

Pada gambar 3.29 dapat dilihat kandungan gas dengan warna kuning
kehijauan sampai abu – abu yang menandakan semakin menuju peringkat
antrasit, maka semakin besar jumlah gas yang terdapat pada batubara tersebut.
Sedangkan pada kurva permeabilitas dengan garis berwarna hijau putus – putus
menandakan bahwa semakin tinggi peringkat suatu batubara maka semakin kecil
permeabilitasnya, sehingga batubara yang memiliki potensi terbaik untuk diambil
gas metana di dalamnya adalah batubara dengan peringkat sub-bituminus sampai
bituminus. Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang
banyak, karena permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas.
Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di

58
dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala
mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan
permukaan batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas
dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan
batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar. Gas yang terperangkap
pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas
ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM.

3.5.4 Produksi Coal Bed Methane (CBM)


Sumur CBM mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan sumur
migas maupun geothermal. Karakteristik itu meliputi sumuran dan komplesinya
maupun model produksinya. Kebanyakan sumur-sumur CBM di dunia
mempunyai kedalaman yang dangkal. Perbedaan mendasar sumur CBM hanyalah
pada reservoir saja.

3.30 Prinsip produksi CBM

59
Proses yang terdapat pada produksi CBM sebelum dapat memproduksi gas
terlebih dahulu akan memproduksi air secara besar-besaran, proses ini dinamakan
dewatering yaitu pengambilan air yang terdapat pada lapisan batubara untuk
dikeluarkan terlebih dahulu. Karena seperti yang kita ketahui bahwa batubara
diendapkan pada lingkungan perairan sehingga ketika proses kompaksi dan
litifikasi air tersebut tidak sepenuhnya terbuang namun sebagian terperangkap
dalam tubuh batubara tersebut. Setelah proses dewatering selesai maka gas akan
menyusul keluar dalam kapasitas yang besar. Pada fase inilah gas bisa diambil
dan diolah untuk dijadikan sumber energi.

3.31 Skema Proses Keluarnya Gas Metana dari Batubara

Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk


ketika berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas
mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada batubara yang dikelilingi
oleh rekahan itu disebut matrix (coal matrix) tempat dimana kebanyakan CBM
menempel pada pori-pori yang terdpat di dalamnya. Dengan demikia lapisan
batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan sebagai reservoir, juga
berperan sebagai source rock.

60
Untuk memproduksi CBM diperlukan tekik produksi yang khas dan
persyaratan tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Umumnya mempunyai kandungan gas yang tinggi, yakni dalam kisaran 15 -
30 m3
2. Mempunyai permeabilitas yang bagus, umumnya dalam kisaran 30 - 50 mD
3. Dangkal biasanya mempunyai kedalaman kurang dari 1.000 m atau 4.000 ft.
4. Coal Rank, umumnya proyek pengembangan GMB diproduksi dari batu
bara bituminous, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk
memproduksi gas dari batu bara anthracite.

3.5.5 Potensi Coal Bed Methane ( CBM)


Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication)
ada 11 cekungan batubara (coal basin) di Indonesia yang memiliki CBM, dengan
4 besar urutan cadangan sebagai berikut: 1. Sumsel (183 Tcf), 2. Barito (101.6
Tcf), 3. Kutai (80.4 Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber
daya CBM di Sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh
Indonesia.
Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:
Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir CBM
(coal) pada kedalaman, tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume
CBM bisa mencapai 3 – 6 kali lebih banyak dari conventional gas. Dengan kata
lain, CBM menarik secara kuantitas.
Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal matrix,
sehingga dari segi eksplorasi factor keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa
terdapat pada antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya dapat dikatakan bahwa
ada batubara ada CBM.

3.6 Model Lapisan (Seam) Batubara Akibat Proses Sedimentasi


Endapan batubara sering dijumpai berlapis-lapis atau berselang-seling
dengan batuan sedimen lain (clay stone, sand stone, limestone, dll.). Terkadang
lapisan batubara ini (biasa disebut seam) sangat tebal, tipis-tipis, bercabang dan
terkadang dijumpai pula sisipan-sisipan (lenses) batu lempung atau batu pasir .

61
Pada dasarnya model atau pola (pattern) endapan dan perlapisan pada batubara
dapat digolongkan menjadi dua model, yaitu yang terjadi karena stratigrafinya
(stratigraphic pattern) dan karena pengaruh struktur geologi (structural pattern).

3.6.1 Model Atau Pola Stratigrafi (Stratigraphic Pattern)


Endapan batubara model ini terjadi bilamana tidak ada pengaruh struktur
geologi (patahan, lipatan, dll.) yang berarti, tetapi oleh proses sedimentasi normal
atau adanya erosi dan ketidakselarasan (unconformity). Model-model lapisannya
berupa lapisan yang normal mendatar atau sedikit miring (tebal atau tipis, atau
berselangseling) dan terkadang dijumpai sisipan-sisipan lempung atau batupasir.

1. Lapisan Atau Seam Batubara Dengan Sisipan Sedimen Lain


Model lapisan batubara jenis ini diperkirakan terjadi erosi oleh sungai
yang memotong lapisan-lapisan gambut pada saat pembentukannya.
Perpindahan letak sungai, seperti yang sering dijumpai pada proses
meander, pada daerah rawa tempat pembentukan gambut tersebut
diperkirakan menjadi penyebab utama munculnya sisipan-sisipan
lempung atau pasir pada suatu seam batubara. Pembentukan lapisan
gambut pada suatu rawa gambut (mire/moor), dapat tererosi dan
terpotong oleh aliran sungai, sehingga akan diendapkan sedimen asing
di tempat tersebut. Apabila kemudian sungai ini mati/atau berpindah
(sering dijumpai pada peristiwa meander sungai), sedimen yang
terdapat di bekas sungai itu akan dapat tertutup lagi oleh sedimentasi
gambut. Hasil akhir dari proses ini menghasilkan bentuk-bentuk
perlapisan (seam) batubara yang disisipi oleh sedimen lempung atau
pasir (Gambar 3.32).Selama sedimentasi bahan gambut dan setelah
batubara terbentuk, terjadi interaksi dengan berbagai macam proses
geologi yang dapat menyebabkan adanya variasi distribusi lapisan
batubara. Proses tersebut antara lain menyebabkan terjadinya splitting,
washouts dan floor rolls. Selain itu struktur geologi dapat
menghasilkan perubahan distribusi seam baik secara lateral maupun
vertikal.

62
A Lapisan gambut yang tererosi sungai (washout)

Erosi sungai
Gambut

B Sedimentasi pasir dan lempung di


sungai yang mati

Sedimen pasir/lempung

C Proses sedimentasi gambut menutup


sediment pasir dan lempung

D Erosi sungai terjadi di bagian lain

E Lensa-lensa
Lensa-lensapasir/lempung
pasir/lempungdalam
dalamsuatu
suatuseam
seambatubara
batubara

Gambar 3.32 Tahapan pembentukan lensa-lensa batu pasir atau batu lempung pada
suatu seam batubara.

63
A. Washout
merupakan tubuh lentikuler sedimen, biasanya batupasir, yang
menonjol ke bawah dan menggantikan sebagian atau seluruh
lapisan batubara yang ada. Umumnya memanjang atau berbelok-
belok, dan menggambarkan struktur scour and fill dibentuk oleh
aktivitas channel berasosiasi dengan akumulasi gambut. Sebagian
besar struktur washout diisi oleh batupasir, meskipun kerikil
batubara atau konglomeratt kerikilan dapat juga hadir. Hal ini
mencerminkan meander cut off dan paleochannel. (Kuncoro, p.,
1996). Menurut (Thomas, 2002) bentukan chanelling (washout)
dibagi atas beberapa kriterian.
 Channel yang terisi material sedimen pasir dan membentuk
atap pada lapisan batubara
 Channel yang terisi material sedimen pasir rombakan lain yang
mengerosi lapisan batubara.
 Channel yang terisi material sedimen mudstone dan mengerosi
lapisan batubara.
 Multiple channel yang mengerosi batubara.

Gambar 3.33 Beberapa bentuk channeling (washout) pada


lapisan batubara (Thomas, 2002).

64

Anda mungkin juga menyukai