Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tumor paru adalah tumor pada jaringan paru yang dapat bersifat jinak maupun ganas atau
disebut dengan kanker paru. Tumor paru dapat bersifat primer maupun sekunder. Prevalensi tumor
paru di negara negara maju seperti Amerika Serikat pada tahun 2001 cukup tinggi, diperkirakan
sekitar 13% penyebab kematian disebabkan oleh kanker paru (Fosella et al, 2002).

Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu rongga yang
berada di antara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung, pembuluh darah arteri,
pembuluh darah vena, trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan
salurannya. Rongga mediastinum ini sempit dan tidak dapat diperluas, maka pembesaran tumor
dapat menekan organ di dekatnya dan dapat menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa.
Kebanyakan tumor mediastinum tumbuh lambat sehingga pasien sering datang setelah tumor
cukup besar, disertai keluhan dan tanda akibat penekanan tumor terhadap organ sekitarnya.

Abses paru disebabakan infeksi bakteri yang menyebabkab jaringan paru-paru menjadi
bernanah.Penyakit yang menyerang organ paru-paru ini, kemungkinan dapat mengancam nyawa
anda jika tidak ditangani segera.

1.2 Tujuan Penulisan


Mahasiswa kepaniteraan klinik senior dapat mampu mengetahui, memahami, dan
menjelaskan tentang :
1. Tumor Paru
2. Tumor Mediastinum
3. Abses Paru
1.3 Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari, mengidentifikasi,
dan mengembangkan teori yang telah disampaikan mengenai Tumor Paru, Tumor
Mediastinum, dan Abses Paru.

2. Bagi institute pendidikan


Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi kegiatan yang ada
kaitannya dengan pelayanan kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan Tumor Paru,
Tumor Mediastinum, dan Abses Paru.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumor Paru

2.1.1 Definisi Tumor Paru


Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan
yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis tumor di paru) . Dalam
pedoman penatalaksanaan ini yang dimaksud dengan kanker paru ialah kanker paru primer, yakni
tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus (bronchogenic carcinoma)

2.1.2 Etiologi

a. Asap tembakau (Tobacco smoke).


Asap tembakau merupakan faktor resiko dari kanker Paru. Senyawa yang ada dalam asap
tembakau dapat merusak sel paru. Kejadian kanker paru pada perokok dipengaruhi oleh usia mulai
merokok, jumlah batang rokok yang diisap setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya
berhenti merokok. Makin lama seseorang terpapar asap tembakau makin besar resiko untuk menderita
kanker Paru. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tidak merokok,
tetapi mengisap asap dari orang lain, risiko mendapat kanker paru meningkat dua kali. Diduga ada
3.000 kematian akibat kanker paru tiap tahun di Amerika Serikat terjadi pada perokok pasif.
b. Radon.
Radon adalah gas radio aktif yang terbentuk di batu-batuan dan di tanah tertentu. Orang yang
bekerja di dalam pertambangan lebih sering terpapar gas ini.
c. Asbestos dan bahan kimia
Seperti arsenic, chromium, nickel, soot, tar. Orang yang bekerja di dalam proyek konstruksi atau
yang berhubungan dengan bahan kimia tersebut mempunyai resiko tinggi akan menderita kanker Paru.
Risiko kanker paru di antara pekerja yang menangani asbes kira-kira sepuluh kali lebih besar daripada
masyarakat umum. Risiko kanker paru baik akibat kontak dengan asbes maupun uranium meningkat
kalau orang tersebut juga merokok.

d.
e. Polusi udara.
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi pengaruhnya kecil bila
dibandingkan dengan perokok. Suatu karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan
pada asap rokok) adalah 3,4 benzpiren.
f. Faktor keturunan/ genetik.
g. Penyakit paru.
Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik juga dapat menjadi risiko
kanker paru. Seseorang yang sudah menderita kanker Paru, mempunyai resiko yang tinggi untuk
menderita yang kedua kalinya.
h. Orang dengan umur lebih dari 65 tahun.
i. Diet.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap betakarotene, selenium,
dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena kanker paru.

2.1.3 Klasifikasi

Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung cancer, SCLC) dan kanker
paru sel tidak kecil (non-small lung cancer, NSCLC). Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan
terapi. Termasuk didalam golongan kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid, adenokarsinoma,
tipe-tipe sel besar, atau campuran dari ketiganya.
a. Kanker sel paru kecil, small cell lung cancers (SCLC)
Karsinoma sel kecil biasanya terletak di tengah di sekitar percabangan utama bronki. Karsinoma
sel kecil memiliki waktu pembelahan yang tercepat dan prognosis yang terburuk dibandingkan
dengan semua karsinoma bronkogenik.
Gambaran histologis karsinoma sel kecil yang khas adalah dominasi sel-sel kecil yang hampir
semuanya diisi oleh mucus dengan sebaran kromatin dan sedikit sekali/tanpa nucleoli. Bentuk sel
bervariasi ada fusiform, polygonal dan bentuk seperti limfosit.
Kanker tipe ini berhubungan erat sekali dengan perokok, dan hanya 1% Kanker tipe ini terjadi
pada orang bukan perokok. Kanker ini menyebar (metastasis) ke beberapa bagian dari tubuh, dan
sering didiagnosis setelah penyebaran terjadi. Karena dalam pemeriksaan mikroskop sering nampak
seperti sel oat maka dikenal juga dengan nama oat cell carcinomas.

b. Kanker sel paru yang tidak kecil, non-small cell lung cancers (NSCLC)
NSCLC merupakan tipe Kanker Paru yang sering dijumpai, dan meliputi sekitar 80% dari
Kanker Paru. Ada tiga subtipe, yaitu:
1) Adenocarcinomas
Kanker ini memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung
mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang-kadang
dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi sering
kali meluas ke pembuluh darah dan limfe pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh sebelum
lesi primer menyebabkan gejala-gejala. Kanker tipe ini bisa berhubungan dengan perokok namun
bisa terjadi pada orang yang bukan perokok. Ada pula subtipe dari kanker ini dengan nama
Bronchioloalveolar carcinoma yang secara spontan timbul pada beberapa tempat dari paru dan
menyebar melalui dinding alveolar.

2) Squamous cell carcinomas


Dulu dikenal dengan nama adenokasinoma. Meliputi 30% dari tipe NSCLC, dinamakan juga
epidermoid karsinoma. Kanker tipe ini biasanya tumbuh disekitar dada bagian tengah di daerah
bronchus. Tipe histologik kanker paru yang paling sering ditemukan, berasal dari permukaan epitel
bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang,
secara khas mendahului timbulnya tumor. Karsinoma sel skuamosa biasanya terletak sentral di
sekitar hilus, dan menonjol ke dalam bronki besar. Diameter tumor jarang melampaui beberapa
sentimeter dan cenderung menyebar secara langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada,
dan mediastinum.
Karsinoma ini lebih sering pada laki-laki daripada perempuan. Karsinoma sel skuamosa
seringkali disertai batuk dan hemoptisis akibat iritasi atau ulserasi, pneumonia, dan pembentukan
abses akibat obstuksi dan infeksi sekunder. Karena tumor ini cenderung agak lamban dalam
bermetastatis, maka pengobatan dini dapat memperbaiki prognosis
3) Large cell carcinomas
Sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan
ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat
dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh.
4) Mixtures,
campuran dari ketiga tipe di atas

5) Other types of cancers ( 5- 10% )


Terdiri dari adenoma, sarkoma, dan mesotelioma bronkus. Walaupun jarang, tumor-tumor ini
penting karena dapat menyerupai karsinoma bronkogenik dan mengancam jiwa.
6) Bronchial carcinoids
Meliputi 5% dari kanker Paru. Tumor ini biasanya kecil dengan diameter sekitar 3-4 cm. Pada
waktu didiagnose penderitanya biasanya berumur di bawah empat puluh tahun. Tidak ada
hubungannya dengan perokok. Kanker ini bisa menyebar (metastasis) dan mengeluarkan sejenis
hormon. Tipe Carcinoid tumbuh dan menyebar lebih pelan dibandingkan kanker bronchogenik,
sehingga penanganan dengan operasi lebih berhasil. Tipe ini dimasukkan sebagai subtipe
adenokarsinoma dalam klasifikasi terbaru tumor paru dari WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel ganas
yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti
bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan
penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh
1. Klasifikasi Histologis Kanker Paru Menurut WHO tahun 1999

1. Squamous carcinoma (epidermoid carcinoma), with varians :


Papillary


Clear cell


Small cell


Basaloid

2. Small cell carcinoma, with varians :


Combined small cell carcinoma

3. Adenocarcinoma, with varians :



Acinar


Papillary


Bronchoalveolar carcinoma

* Non-mucinous
* Mucinous
* Mixed mucinous and non-mucinous or intermenate

Solid adenocarcinoma with mucin


Adenocarcinoma with mixed subtypes


Varian dari Adenocarcinoma with mixed subtypes

* Well diffrentiated fetal adenocarcinoma


* Mucinous (colloid) adenocarcinoma
* Mucinous cystadenocarcinoma
* Signet ring adenocarcinoma
* Clear cell adenocarcinoma

4. Large cell carcinoma, with varians :


Large cell neuroendocrine carcinoma

* Combined large cell neuroendocrine carcinoma


Basaloid carcinoma

Lymphoepithelioma-like carcinoma


Clear cell carcinoma


Large cell carcinoma with rhabdoid phenothype

5. Adenosquamous carcinoma

6. Carsinoma with pleomorphic, sarcomatoid atau sarcomatous with elemets


Carcinoma with spindle and/or giant cell

* Pleomorphic carcinoma
* Spindle cell carcinoma
* Giant cell carcinoma


Carcinosarcoma


Pulmonary blastoma


Other types

7. Carcinoid tumours

Typical carcinoid

Atypical carcinoid
8. Salivary gland type carcinoma


Mucoepidermoid carcinoma


Adenoid cystic carcinoma


Other types

9. Unclassified carcinoma

Penderajatan Internasional Kanker Paru Berdasarkan Sistem TNM

TNM

Stage

occult carcinoma :

Tx N0 M0

0 : Tis N0 M0

IA : T1 N0 M0

IB : T2 N0 M0

IIA : T1 N1 M0

IIB : T2 N1 M0

IIIA : T3 N0 M0

T3 N2 M0

IIIB : seberang N3 M0

T
T4 sebarang N M0

IV : sebarangTsebarang N sebarang

Kategori TNM untuk Kanker Paru

T : tumor primer

To : tidak ada bukti ada tumor primer

Tumor primer sulit dinilai,atau tumor primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada sekret
bronkopulmoner tetapi tudak tampak secara radiologis atau bronkospopik

Tx : tumor primer sulit dinilai ,tumor primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada sekret
bronkupulmoner tetapi tidak tampak secara radiologis atau bronkoskopik

Tis :Karsinoma in situ

T1 :Tumor dengan garis tengah terbesar tidak melebihi 3 cm, dikelilingi oleh jaringan paru atau
pleura viseral dan secara bronkoskopik invasi tidak lebih proksimal dari bronkus lobus (belum
sampai ke bronkus lobus (belum sampai ke bronkus utama). Tumor supervisial sebarang ukuran
dengan komponen invasif terbatas pada dinding bronkus yang meluas ke proksimal bronkus
utama

T2 : setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut :

-garis tengah besar terbesar lebih dari 3 cm viseral

-berhubungan dengan atelektasis atau penumonitis obstruksif yang meluas kedaerah hilus,tetapi
belum mengenai seluruh paru

T3 :Tumor sebarang ukuran, dengan perluasan langsung pada dinding dada (termasuk tumor sulkus
superior), diafragma, pleura mediastinum atau tumor dalam bronkus utama yang jaraknya kurang dari
2 cm sebelah distal karina atau tumor yang berhubungan dengan atelektasis atau penumonitis
obstruktif seluruh paru.

T4 :Tumor sebarang ukuran yang mengenai mediastinum atau jantung, pembuluh besar, trakea,
esofagus, korpus vertebra, karina, tumor yang disertai dengan efusi pleura ganas atau satelit tumor
nodul ipsilateral pada lobus yang sama dengan tumor primer.
N : Kelenjar getah bening regional (KGB)

Nx :Kelenjar getah bening tak dapat dinilai

No : Tak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening

N1 : Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial dan/atau hilus ipsilateral, termasuk
perluasan tumor secara langsung

N2: Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum ipsilateral dan/atau KGB subkarina

N3 : Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau KGB skalenus / supraklavila
ipsilateral /kontralateral

M : Metastasis (anak sebar) jauh.

Mx: Metastasis tak dapat dinilai

Mo :Tak ditemukan metastasis jauh

M1:Ditemukan metastasis jauh. “Metastastic tumor nodule”(s) ipsilateral di luar lobus tumor primer
dianggap sebagai M1
2.1.5 Diagnosis
A. Anamnesis

Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya,
terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat keluhan utama dan
perjalanan penyakit, serta faktor–faktor lain yang sering sangat membantu tegaknya diagnosis.
Keluhan utama dapat berupa :

• Batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen)

• Batuk darah

• Sesak napas

• Suara serak

• Sakit dada

• Sulit / sakit menelan

• Benjolan di pangkal leher

• Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri yang
hebat.

Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di luar
paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau
patah tulang kaki.

Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti :

A. Berat badan berkurang

B. Nafsu makan hilang

C. Demam hilang timbul

D. Sindrom paraneoplastik, seperti "Hypertrophic pulmonary osteoartheopathy",


trombosis vena perifer dan neuropatia.
Alur Deteksi Dini Kanker Paru

2.1.6. Pemeriksaan Fisik


a) Inspeksi : Statis : Asimetris, adanya penarikan dinding dada pada yang sakit. ; Dinamis :
pergerakan dinding dada yang sakit tertinggal dibanding yang sehat.
b) Palpasi : Fremitus taktil yang sakit menurun dibandingkan dengan yang sehat.
c) Perkusi : Pekak pada area yang sakit, sonor pada yang sehat.
d) Auskultasi : Suara nafas pada yang sakit melemah /menghilang dibandingkan yang sehat.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Hasil pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang mutlak
dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis, serta penentuan stadium
penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan radiologi paru yaitu Foto toraks PA/lateral, bila
mungkin CT-scan toraks, bone scan, Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan
untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan metastasis.
a) Foto toraks : Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor dengan
ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler,
disertai identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah
invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikar dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan
keterlibatan KGB untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja.

Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang penderita


penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas untuk keganasan penting diingatkan. Seorang
penderita yang tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis penyakit paru,
harus disertai difollow-up yang teliti. Pemberian OAT yang tidak menunjukan perbaikan atau
bahkan memburuk setelah 1 bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker paru, tetapi lain
masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik selama 1
minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor dibalik pneumonia tersebut

Bila foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan
pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau pemasangan WSD dan ulangan foto toraks
agar bila ada tumor primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila cairan bersifat
produktif, dan/atau cairan serohemoragik.

.
b) CT-Scan toraks : Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik
daripada foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara
lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik,
bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura
yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala.
Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan
stage juga lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga
ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.

c) Pemeriksaan radiologik lain : Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak
mampu mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan
radiologik lain, misalnya Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak,
bone scan dan/atau bone survey dapat mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh.
USG abdomen dapat melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain
dalam rongga perut.
Pemeriksaan khusus

1. Bronkoskopi

Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik sekaligus dapat dihandalkan


untuk dapat mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas.
Pemeriksaan ada tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti
terlihat kelainan mukosa tumor misalnya, berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif,
mudah berdarah. Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan biopsi
tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.

2. Biopsi aspirasi jarum

Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya karena amat mudah
berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol, maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi jarum,
karena bilasan dan biopsi bronkus saja sering memberikan hasil negatif.

3. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)

TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada posisi jam 1 bila
tumor ada dikanan, akan memberikan informasi ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi dan
informasi metastasis KGB subkarina atau paratrakeal.

4. Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)

Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk fluoroskopik maka biopsi
paru lewat bronkus (TBLB) harus dilakukan.

5. Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)

Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTB dengan bantuan flouroscopic
angiography. Namun jika lesi lebih kecil dari 2 cm dan terletak di sentral dapat dilakukan TTB
dengan tuntunan CT-scan.

6. Biopsi lain

Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat pembesaran KGB atau teraba masa yang
dapat terlihat superfisial. Biopsi KBG harus dilakukan bila teraba pembesaran KGB
supraklavikula, leher atau aksila, apalagi bila diagnosis sitologi/histologi tumor primer di paru
belum diketahui. Biopsi Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat pembesaran KGB
suparaklavikula dan cara lain tidak menghasilkan informasi tentang jenis sel kanker. Punksi dan
biopsi pleura harus dilakukan jika ada efusi pleura.

7. Torakoskopi medik

Dengan tindakan ini massa tumor di bagaian perifer paru, pleura viseralis, pleura parietal
dan mediastinum dapat dilihat dan dibiopsi.

8. Sitologi sputum

Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan murah. Kekurangan
pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer, penderita batuk kering dan tehnik pengumpulan dan
pengambilan sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk
merangsang pengeluaran sputum dapat ditingkatkan. Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan
tersebut di atas harus dikirim ke laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan
sitologi/histologi. Bahan berupa cairan harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan apus,
lalu difiksasi dengan alkohol absolut atau minimal alkohol 90%. Semua bahan jaringan harus difiksasi
dalamformalin 4%.

Pemeriksaan invasif lain

Pada kasus kasus yang rumit terkadang tindakan invasif seperti Torakoskopi dan tindakan
bedah mediastinoskopi, torakoskopi, torakotomi eksplorasi dan biopsi paru terbuka dibutuhkan
agar diagnosis dapat ditegakkan. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bila dari semua cara
pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis histologis / patologis tidak dapat ditegakkan.

Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat ditentukan :

· Jenis histologis.

· Derajat (staging).

3. Tampilan (tingkat tampil, "performance status").

Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan kondisi penderita.


Pemeriksaan lain

a.Petanda Tumor
Petanda tumor yang telah, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainya tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil pengobatan.

b. Pemeriksaan biologi molekuler

Pemeriksaan biologi molekuler telah semakin berkembang, cara paling sederhana dapat
menilai ekspresi beberapa gen atau produk gen yang terkait dengan kanker paru,seperti protein p53,
bcl2, dan lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan biologi molekuler adalah menentukan prognosis
penyakit.

Jenis histologis

Untuk menentukan jenis histologis, secara lebih rinci dipakai klasifikasi histologis menurut WHO
tahun 1999 (Lampiran 1), tetapi untuk kebutuhan klinis cukup jika hanya dapat diketahui :

A. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)

B. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)

C. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)

4. Karsinoma sel besar (large Cell carcinoma)

Berbagai keterbatasan sering menyebabkan dokter specialis Patologi Anatomi mengalami


kesulitan menetapkan jenis sitologi/histologis yang tepat. Karena itu, untuk kepentingan
pemilihan jenis terapi, minimal harusditetapkan, apakah termasuk kanker paru karsinoma sel
kecil (KPKSK atau small cell lung cancer, SCLC) atau kanker paru jenis karsinoma bukan sel
kecil (KPKBSK, nonsmall cell lung cancer, NSCLC).

2.1.7 Diagnosis Banding


1. Kanker Mediastinum
2. Tuberculosis
2.1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti terapi).
Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan pada jenis histologis,
derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi non-medisseperti fasiliti yang dimilikirumah
sakit dan ekonomi penderita juga merupakan faktor yang amat menentukan.

Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium I dan II.
Pembedahan juga merupakan bagian dari “combine modality therapy”, misalnya kemoterapi
neoadjuvan untuk KPBKSK stadium IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang
memerlukan intervensi bedah, seperti kanker paru dengan sindroma vena kava superiror berat.

Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan KGB
intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji hanya
dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan potong beku
untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB mediastinum diambil dengan
diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi anatomis.

Alur Tindakan Diagnosis Kanker Paru

Hal penting lain yang penting dingat sebelum melakukan tindakan bedah adalah mengetahui
toleransi penderita terhadap jenis tindakan bedah yang akan dilakukan. Toleransi penderita yang
akan dibedah dapat diukur dengan nilai uji faal paru dan jika tidak memungkin dapat dinilai dari
hasil analisis gas darah (AGD) :
Syarat untuk reseksi paru

. Resiko ringan untuk Pneumonektomi, bila

KVP paru kontralateral baik, VEP1>60%

. Risiko sedang pneumonektomi, bila

KVP paru kontralateral > 35%, VEP1 > 60%


Radioterapi

Radioterapi pada kanker paru dapat menjadi terapi kuratif atau paliatif. Pada
terapi kuratif, radioterapi menjadi bagian dari kemoterapi neoadjuvan untuk
KPKBSK stadium IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi saja tidak jarang menjadi
alternatif terapi kuratif.

Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk


meringankan keluhan penderita, seperti sindroma vena kava superiror, nyeri tulang
akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis tumor di tulang atau otak.

Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan beberapa faktor

1. Staging penyakit

2. Status tampilan

3. Fungsi paru

Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan, maka harus diketahui :

1. Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang dikerjakan

- Penilaian batas sayatan oleh ahli Patologi Anatomi (PA)

Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah 5000 – 6000 cGy, dengan cara
pemberian 200 cGy/x, 5 hari perminggu.

Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah :

1. Hb > 10 g%

2. Trombosit > 100.000/mm3

3. Leukosit > 3000/dl

Radiasi paliatif diberikan pada unfavourable group, yakni :

1. PS < 70.
2. Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan.

3. Fungsi paru buruk.

Kemoterapi

Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama
harus ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan (performance status) harus
lebih dan 60 menurut skala Karnosfky atau 2 menurut skala WHO. Kemoterapi
dilakukan dengan menggunakan beberapa obat antikanker dalam kombinasi regimen
kemoterapi. Pada keadaan tertentu, penggunaan 1 jenis obat anti kanker dapat
dilakukan.

Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen


kemoterapi adalah:

1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)

2. Respons obyektif satu obat antikanker s 15%

3. Toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO

4. harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 sikius pada penilaian terjadi
tumor progresif.

Regimen untuk KPKBSK adalah :

1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)

2. PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid)

3. Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin

4. Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin

5. Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin

Imunoterapi
Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada
hasil penelitian di Indonesia yang menyokong manfaatnya.

Hormonoterapi

Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada
hasil penelitian di Indonesia yang menyokong manfaatnya.

Terapi Gen

Tehnik dan manfaat pengobatan ini masih dalam penelitian.

2.1.9 Komplikasi
a. Gagal nafas
b. Efusi pleura
c. Infark vascular
d. Pneumothoraks
e. Emboli paru

2.2 Tumor Mediastinum

2.2.1 Defisini Tumor Mediastinum

Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu


rongga yang berada di antara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung,
pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena, trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan
ikat, kelenjar getah bening dan salurannya.

Rongga mediastinum ini sempit dan tidak dapat diperluas, maka pembesaran
tumor dapat menekan organ di dekatnya dan dapat menimbulkan kegawatan yang
mengancam jiwa.Kebanyakan tumor mediastinum tumbuh lambat sehingga pasien
sering datang setelah tumor cukup besar, disertai keluhan dan tanda akibat penekanan
tumor terhadap organ sekitarnya.

2.2.2 Pembagian Mediastinum

Secara garis besar mediastinum dibagi atas 4 bagian penting :

1. Mediastinum superior, mulai pintu atas rongga dada sampai ke vertebra


torakal ke-5 dan bagian bawah sternum.
2. Mediastinum anterior, dari garis batas mediastinum superior ke
diafargma di depan jantung.
3. Mediastinum posterior, dari garis batas mediastinum superior ke
diafragma dibelakang jantung.
4. Mediastinum medial (tengah), dari garis batas mediastinum superior ke
diafragma di antara mediastinum anterior dan posterior.

2.2.3 Etiologi
Secara umum faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab
a. Penyebab kimia
Diberbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada pekerja pemberssih
cerobong asap.Zat yang mengandung karbon dianggap sebagai penyebabnya.
b. Faktor genetik (biomolekuler)
Perubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam gen normal dan
pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan perkembangan tumor.
c. Faktor fisik
Secara fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang baik
trauma fisik maupun penyinaran.Penyinaran bisa berupa sinar ultravilet yang bersala
dari sinar matahari langsung maupun sinar lain seperti sinar X dan radiasi bom atom.

2.2.4. KLASIFIKASI TUMOR MEDIASTINUM

Klasifikasi tumor mediastinum didasarkan atas organ/jaringan asal tumor


atau jenis histologisnya, seperti dikemukakan oleh Rosenberg (tabel 1).
2.2.5. Diagnosa
a) Anamnesis
Tumor mediastinum sering tidak memberi gejala dan terdeteksi pada
saat dilakukan foto toraks. Untuk tumor jinak, keluhan biasanya mulai timbul bila
terjadi peningkatan ukuran tumor yang menyebabkan terjadinya penekanan struktur
mediastinum, sedangkan tumor ganas dapat menimbulkan gejala akibat penekatan
atau invasikestruktur mediastinum.

Gejala dan tanda yang timbul tergantung pada organ yang terlibat,
a. Batuk
b. sesak atau stridor muncul bila terjadi penekanan atau invasi
padatrakeadan/ataubronkusutama
c. disfagia muncul bila terjadi penekanan atau invasi ke esofagus
d. sindrom vena kava superior (SVKS) lebih sering terjadi pada
tumor mediastinum yang ganas dibandingkan dengan tumor
jinak.
e. suara serak dan batuk kering muncul bila nervus laringel terlibat,
paralisis diafragma timbul apabila penekanan nervus frenikus
f. nyeri dinding dada muncul pada tumor neurogenik atau pada
penekanan sistem syaraf.
b)Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : Statis : Asimetris , adanya penarikan dinding dada
yang sakit. ; Dinamis : Pergerakan dinding dada yang sakit
tertinggal dari yang sehat.
 Palpasi : Fremitus taktil yang sakit melemah dibandingkan yang
sehat
 Perkusi : Pekak dibagian yang sakit, sonor dibagian yang sehat.
 Auskultasi : Suara nafas yang sakit menghilang dibandingkan
yang sehat.

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


2.2.6.1 Prosedur Radiologi
1. Foto toraks

Dari foto toraks PA/ lateral sudah dapat ditentukan lokasi


tumor, anterior, medial atau posterior, tetapi pada kasus dengan ukuran
tumor yang besar sulit ditentukan lokasi yang pasti.

2. Tomografi

Selain dapat menentukan lokasi tumor, juga dapat mendeteksi


klasifikasi pada lesi, yang sering ditemukan pada kista dermoid, tumor
tiroid dan kadang-kadang timoma. Tehnik ini semakin jarang
digunakan.

3. CT-Scan toraks dengan kontras

Selain dapat mendeskripsi lokasi juga dapat mendeskripsi


kelainan tumor secara lebih baik dan dengan kemungkinan untuk
menentukan perkiraan jenis tumor, misalnya teratoma dan timoma. CT-
Scan juga dapat menentukan stage pada kasus timoma dengan cara
mencari apakah telah terjadi invasi atau belum. Perkembangan alat
bantu ini mempermudah pelaksanaan pengambilan bahan untuk
pemeriksaan sitologi. Untuk menentukan luasradiasi beberapa jenis
tumor mediastinum sebaiknya dilakukan CT-Scan toraks dan CT-Scan
abdomen.

4. Flouroskopi

Prosedur ini dilakukan untuk melihat kemungkinan aneurisma aorta.

5. Ekokardiografi

Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang


diduga aneurisma.

6. Angiografi

Teknik ini lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma


dibandingkan flouroskopi dan ekokardiogram.

7. Esofagografi
Pemeriksaan ini dianjurkan bila ada dugaan invasi atau penekanan
ke esofagus.

8. USG, MRI dan Kedokteran Nuklir

Meski jarang dilakukan, pemeriksaan-pemeriksaan terkadang


harus dilakukan untuk beberapa kasus tumor mediastinum.

2.2.6.2 Prosedur Endoskopi


1. Bronkoskopi harus dilakukan bila ada indikasi operasi.

Tindakan bronkoskopi dapat memberikan informasi tentang


pendorongan atau penekanan tumor terhadap saluran napas dan
lokasinya. Di samping itu melalui bronkoskopi juga dapat dilihat
apakah telah terjadi invasi tumor ke saluran napas. Bronkoskopi sering
dapat membedakan tumor mediastinum dari kanker paru primer.

2. Mediastinokopi. TIndakan ini lebih dipilih untuk tumor yang berlokasi


di mediastinum anterior.

3. Esofagoskopi

4. Torakoskopi diagnostik

2.2.6.3 Prosedur Patologi Anatomik


Beberapa tindakan, dari yang sederhana sampai yang kompleks perlu
dilakukan untuk mendapatkan jenis tumor.

1.. Pemeriksaan sitologi

Prosedur diagnostik untuk memperoleh bahan pemeriksaan


untuk pemeriksaan sitologi ialah:

- biopsi, jarum halus (BJH atau fine needle aspiration biopsy,


FNAB), dilakukan bila ditemukan pembesaran KGB atau tumor
supervisial.

- punksi pleura bila ada efusi pleura


- bilasan atau sikatan bronkus pada saat bronkoskopi

- biopsi aspirasi jarum, yaitu pengambilan bahan dengan jarum yang


dilakukan bila terlihat masa intrabronkial pada saat prosedur
bronkoskopi yang amat mudah berdarah, sehingga biopsi amat
berbahaya

-
biopsi transtorakal atau transthoracal biopsy (TTB) dilakukan bila
massa dapat dicapai dengan jarum yang ditusukkan di dinding dada
dan lokasi tumor tidak dekat pembuluh darah atau tidak ada
kecurigaan aneurisma. Untuk tumor yang kecil (<3cm>, memiliki
banyak pembuluh darah dan dekat organ yang berisiko dapat
dilakukan TTB dengan tuntunan flouroskopi atau USG atau CT
Scan.

2. Pemeriksaan histologi

Bila BJH tidak berhasil menetapkan jenis histologis, perlu dilakukan


prosedur di bawah ini:

biopsi KGB yang teraba di leher atau supraklavikula. Bila tidak ada
KGB yang teraba, dapat dilakukan pengangkatan jaringan KGB yang
mungkin ada di sana. Prosedur inidisebut biopsi Daniels.

- biopsi mediastinal, dilakukan bila dengan tindakan di atas hasil


belum didapat.

- biopsi eksisional pada massa tumor yang besar

- torakoskopi diagnostik

- Video-assisted thoracic surgery (VATS), dilakukan untuk tumor di


semua lokasi, terutama tumor di bagian posterior.

2.2.6.4 Pemeriksaan Laboratorium


·
Hasil pemeriksaan laboratorium rutin sering tidak memberikan
informasi yang berkaitan dengan tumor. LED kadang meningkatkan
pada limfoma dan TB mediastinum.

· Uji tuberkulin dibutuhkan bila ada kecurigaan limfadenitis TB

· Pemeriksaan kadar T3 dan T4 dibutuhkan untuk tumor tiroid.

·
Pemeriksaan a-fetoprotein dan b-HCG dilakukan untuk tumor
mediastinum yang termasuk kelompok tumor sel germinal, yakni jika
ada keraguan antara seminoma atau non-seminoma. Kadar a-
fetoprotein dan b-HCG tinggi pada golongan nonseminoma.

2.2.6.5 Tindakan Bedah

Torakotomi eksplorasi untuk diagnostik bila semua upaya


diagnostik tidak berhasil memberikan diagnosis histologis.

2.2.6.6. Pemeriksaan Lain

EMG adalah pemeriksaan penunjang untuk tumor mediastinum


jenis timoma atau tumor-tumor lainnya. Kegunaan pemeriksaan ini
adalah mencari kemungkinan miestenia gravis atau myesthenic
reaction.

2.2.7 Penatalaksaan
Penatalaksanaan untuk tumor mediastinum yang jinak adalah pembedahan
sedangkan untuk tumor ganas, tindakan berdasarkan jenis sel kanker. Tumor
mediastinum jenis limfoma Hodgkin's maupun non Hondgkin's diobati sesuai
dengan protokol untuk limfoma dengan memperhatikan masalah respirasi selama
dan setelah pengobatan.

Penatalaksanaan tumor mediastinum nonlimfoma secara umu adalah


multimodality meski sebagian besar membutuhkan tindakan bedah saja, karena
resisten terhadap radiasi dan kemoterapi tetapi banyak tumor jenis lain
membutuhkan tindakan bedah, radiasi dan kemoterapi, sebagai terapi adjuvant atau
neoadjuvan.
Syarat untuk tindakan bedah elektif adalah syarat umum, yaitu pengukuran
toleransi berdasarkan fungsi paru, yang diukur dengan spirometri dan jika mungkin
dengan body box. Bila nilai spirometri tidak sesuai dengan klinis maka harus
dikonfirmasi dengan analis gas darah. Tekanan O2 arteri dan Saturasi O2 darah arteri
harus >90%.

Syarat untuk radioterapi dan kemoterapi adalah:


· Hb > 10 gr%
· leukosit > 4.000/dl
· trombosit > 100.000/dl
· Tampilan (perfomance status )> 70 karnofsky

Jika digunakan obat antikanker yang bersifat radiosensitaizer maka radio


kemoterapi dapat diberikan secara berbarengan (konkuren). Jika keadaan tidak
mengizinkan, maka kombinasi radiasi dan kemoterapi diberikan secara bergantian
(alternating: radiasi diberikan di antara siklus kemoterapi) atau sekuensial
(kemoterapi > 2 siklus, lalu dilanjutkan dengan radiasi, atau radiasi lalu dilanjutkan
dengan kemoterapi). Selama pemberian kemoterapi atau radiasi perlu diawasi
terjadinya melosupresi dan efek samping obat atau toksisiti akibat tindakan lainnya.

D. Tumor Tinus

1. Klasifikasi histologis

a.Timoma (klasifikasi Muller Hermelink)

· Tipe medular

· Tipe campuran

· Tipe kortikal predominan

· Tipe kortikal

Karsinoma timik

· Derajat rendah (Low grade)


· Derajat tinggi (High grade)

2. Staging berdasarkan sistem Masanoka


Stage 1 : Makroskopik berkapsul, secara Mikroskopik tidak tampak invasi ke kapsul
Stage II : Invasi secara makroskopik ke jaringan lemak sekitar pleura mediastinal atau
invasi ke kapsul secara mikroskopik
Stage III : Invasi secara makroskopik ke organ sekitarnya
Stage IV.A : Penyebaran ke pleura atau perikard
Stage IV.B : Metastasis limfogen atau hematogen

3. Penatalaksanaan Timoma
Stage 1 : Extended thymo thymecthomy (ETT) saja
Stage II : ETT, dilanjutkan dengan radiasi, untuk radiasi harus diperhatikan batas-
batas tumor
seperti terlihat pada CT sebelum pembedahan
Stage III : ETT dan extended resection dilanjutkan radioterapi dan kemoterapi
Stage IV.A : Debulking dilanjutkan dengan kemoterapi dan radioterapi
Stage IV.B : kemoterapi dan radioterapi dilanjutkan dengan debulking

Penatalaksanaan timoma tipe medular stage IV.A dapat diberikan


kemoradioterapi adjuvant 2 siklus dilanjutkan radiasi 4000 cGy, diikuti debulking dan
kemoterapi siklus berikutnya.
Penatalaksanaan timoma tipe medular stage IV.B bersifat paliatif, yaitu
kemoterapi dan radioterapi paliatif.
Penatalaksanaan timoma tipe medular stage I - II lebih dahulu dibedah,
selanjutnya kemoterapi. Pada stage III diberikan kemo/radioterapi neoadjuvant.
Pada timoma tipe campuran, penatalaksanaan disesuaikan dengan tipe
histologik yang dominan
.
4. Penatalaksanaan karsinoma timik
Penatalaksanaan untuk tumor ini adalah multi-modaliti sama dengan
penatalaksanaan untuk kanker di paru.
5.Penatalaksanaan karsinoid timik dan oat cell carcinoma

Penatalaksaan untuk tumor ini adalah pembedahan dan karena sering invasif
maka direkomendasikan radiasi pascabedah untuk kontrol lokal, tetapi karena
tingginya kekerapan metastasis maka kemoterapi diharapkan dapat meningkatkan
angka ketahanan hidup. Kemoterapi yang diberikan hampir sama dengan kemoterapi
untuk kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK), yakni antara lain sisplatin +
etoposid sebanyak 6 siklus.Oat cell carcinoma di mediastinum mempunyai prognosis
lebih baik dibandingkan dengan oat cell carcinoma di paru.

Pada setiap kasus timoma, sebelum bedah harus terlebih dahulu dicari tanda
miestenia gravis atau myestenic reaction. Apabila sebelum tindakan bedah ditemukan
maka dilakukan terlebih dahulu plasmaferesis dengan tujuan mencuci antibody pada
plasma darah penderita, paling cepat seminggu sebelum operasi. Kesan yang
menampakkan myesthenic reaction sebelum pembedahan harus terlebih dahulu
diobati sebagai miestenia gravis.

B.Tumor Sel Germinal


1. Klasifikasi histologi

 Seminoma
 Nonseminoma
- Karsinoma embrional
- Koriokarsinoma
- Yolk sac carcinoma
 Teratoma
- Jinak (benign)
- Ganas (malignant)
* Dengan unsur sel germinal
* Dengan unsur nongerminal
* Imatur
2. Penatalaksanaan seminoma
Seminoma adalah tumor yang sensitif terhadap radiasi dan kemoterapi.
Tidak ada indikasi bedah untuk tumor jenis ini. Kemoterapi diberikan setelah
radiasi selesai tetapi respons terapi akan lebih baik dengan cara kombinasi radio-
kemoterapi. Bila ada kegawatan napas, radiasi diberikan secara cito, dilanjutkan
dengan kemoterapi sisplatin based.

3. Penatalaksanaan Tumor Medistinum Nonseminoma

Tumor-tumor yang termasuk kedalam kelompok nonseminoma bersifat


radioresisten, sehingga tidak direkomendasikan untuk radiasi. Pilihan terapi adalah
kemoterapi 6 siklus. Evaluasi dilakukan setelah 3 - 4 siklus menggunakan petanda
tumor b-HCG dan a-fetoprotein serta foto toraks PA dan lateral, selanjutnya
menurut algoritma

4. Penatalaksanaan Teratoma jinak

Penatalaksanaan teratoma jinak adalah pembedahan, tanpa adjuvant.


Pemeriksaan batas reseksi harus menyeluruh, agar tidak ada tumor yang tertinggal
dan kemungkinan akan berkembang menjadi ganas.

5. Penatalaksanaan Teratoma Ganas

Karena teratoma ganas terkadang mengandung unsur lain maka terapi


multimodaliti (bedah + kemoterapi + radioterapi) memberikan hasil yang lebih
baik. Pemilihan terapi didasarkan pada unsur yang terkandung di dalamnya dan
kondisi penderita. Penatalaksanaan teratoma ganas dengan unsur germinal sama
dengan penatalaksanaan seminoma.

Pada teratoma, perlu diingat beberapa hal penting:

1. Teratoma matur pada orang tua tidak selalu berarti jinak

2. Teratoma immatur pada anak-anak tidak selalu ganas

3. Teratoma matur pada anak-anak sudah pasti jinak

4. Teratoma imatur pada orang tua sudah pasti ganas


Penatalaksanaan Tumor Sel Germinal Nonseminoma Mediastinum

C.Tumor Neurogenik

1. Klasifikasi Histologik

Berasal dari saraf tepi (peripheral nerves)

· Neurofibroma

· Neurilemoma (Schwannoma)

· Neurosarkoma

Berasal dari ganglion simpatik (symphatetic ganglia)

· Ganglioneuroma

· Ganglioneuroblastoma

· Neuroblastoma

Berasal dari jaringan paraganglionik


· Fakreomasitoma

· Kemodektoma (paraganglioma)

2. Penatalaksanaan untuk semua tumor neurogenik adalah pembedahan, kecuali


neuroblastoma.Tumor ini radisensitif sehingga pemberian kombinasi radio kemoterapi
akan memberikan hasil yang baik. Pada neurilemona (Schwannoma), mungkin perlu
diberikan kemoterapi adjuvan, untuk mencegah rekurensi.

D. Tumor Mesensimal dan Tumor Endokrin

Tumor jenis ini jarang ditemukan sehingga penatalaksanaannya sangat


spesifik.

Catatan

Pada semua tindakan debulking, tumor mediastinum harus disiapkan pemasangan


stent trakeobronkial, untuk mencegah terjadinya kolaps bronkus setelah pembedah
selesai.

2.2.9.Komplikasi
Kompilkasi terberta dari penyakit mediastinum adalah :
a. Obstruksi trachea
b. Sindroma vena cava superior
c. Invasi vascular dan castropic hemorrhage
d. Ruptur esophagus

2.3 Abses Paru


2.3.1 Definisi Abses Paru
Abses paru disebabkan infeksi bakteri yang menyebabkan jaringan paru-paru
menjadi bernanah. Penyakit yang menyerang organ paru-paru ini, kemungkinan dapat
mengancam nyawa Anda jika tidak ditangani dengan segera.

2.3.2 Faktor Resiko


 Penyakit periodontal
 Kebersihan mulut yang buruk
 Pneumonia akut
 Imunosupresi
 Bronkiektasis
 Kanker paru
 Infeksi saluran nafas atas dan bawah yang belum teratasi.pasien HIV yang
terkena abses parupada umumnya mempunyai status immunocompromised
yang sangat jelek ( kadar CD4<50/mm3), dan kebanyakan didahului oleh
infeksi terutama infeksi paru.
2.3.3. Etiologi

Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme yaitu :

1. Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi


yaitu bacteriodes melaninogenus, peptostreptococcus spesies, basillus
intermedius, fusobacterium nucleatum, microaerrophilic streptococcus.
Bakteri anaerobic meliputi 89% penyebab abses paru dan 85-100% dari
specimen yang didapat melalui aspirasi transtrakheal.
2. Kelompok bakteri aerob (gram positif: sekunder sebab selain aspirasi) yaitu
Staphylococcus aureus, Streptococcus microaerophili, Streptococcus
pyogenes, Streptococcus pneumonia. Kelompok bakteri aerob(gram negatif:
biasanya merupakan sebab nosokomial) yaitu Klebsiella pneumonia,
Pseudomonas aeruginosa, E. Coli, H. Influenza, Nocardia spesies, Gram
negative bacilli
3. Kelompok :
- Jamur : mucoraceae, aspergillus spesies
- Parasite, amuba
- Micobacteria
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan
hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses bronkogenik yang
termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor, dan striktur bronkial.

2.3.4 Gejala Klinis

Gejala penyakit biasanya berupa:


a. Malaise
Malaise merupakan gejala awal disertai tidak nafsu makan yang lama
kelamaan menyebabkan penurunan berat badan.
b. Demam
Demam berupa demam intermitten bisa disertai menggigil bahkan
‘rigor’ dengan suhu tubuh mencapai 39.40C atau lebih. Tidak ada
demam tidak menyingkirkan adanya abses paru
c. Batuk
Batuk pada pasiean abses paru merupakan batuk berdahak yang
setelah beberapa dapat berubah menjadi purulen dan bisa
mengandung darah. Sputum yang berbau amis dan berwarna anchovy
menunjukkan penyebabnya bakteri anaeraob dan disebut dengan
putrid abscesses, tetapi tidak didapatkannya sputum dengan ciri di
atas tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Batuk dara
bisa dijumpai, biasanya ringan tetapi ada yang masif.
d. Nyeri pleuritik
Nyeri pleuritik atau nyeri yang dirasakan dalam dada menunjukkan
adanya keterlibatan pleura.
e. Sesak
Sesak disebabkan oleh adanya pus yang menumpuk menutupi jalan
napas
f. Anemia
Anemia yang terjadi dapat berupa anemia defisiensi yang disebabkan
oleh kurangnya asupan akibat penurunan nafsu makan, namun lebih
sering disebabkan oleh perdarahan pada saluran nafas khususnya
pada hemoptisis masif.1,3,4,5
2.3.5. Pemeriksaan Fisik

 Inspeksi: asimetris, pada paru yang sakit lebih cembung pada keadaan
statis Pergerakan dinding dada tertinggal pada tempat lesi
 Palpasi: fremitus meningkat pada daerah yang sakit
 Perkusi: redup/ pekak pada daerah yang sakit
 Auskultasi: suara nafas bronkial atau amforik bila kavitasnya besar, ronki,
suara nafas melemah sampai menghilang pada daerah yang sakit
2.3.6 Pemeriksaan Penunjang

Hitung leukosit umumnya tinggi berkisar 10.000-30.000/mm3 dengan


hitung jenis bergeser ke kiri dan sel polimorfinuklear yang banyak terutama
neutrofilyang immatur. Pada abses lama dapat ditemukan anemia. Dapat
dilakukan pemeriksaan dahak untuk mengetahui miukroorganisme
penyebab, namun dahak sebaiknya diaperoleh dari aspirasi transtrakheal,
transtorakal atau bilasan/sikatan bronkus untukmenghindari kontaminasi
dari organisme anaerobik normal pada mulut dan saluran napas atas.1

1. GAMBARAN RADIOLOGIS
a. Foto Thorax
Pada gambaran radiologik dapat ditemukan gambaran satu atau lebih
kavitas yang disertai dengan adanya air fluid level. Khas pada abses paru
anaerobik kavitasnya singel (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi
paru primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nososkomial atau
hematogen) lesinya biasanya multipel.1,2,7

Gambar 4. Foto X-Ray ini ditemukan kavitas pada hilum kanan. Foto X-
ray posisi lateral memperlihatkan kavitas memiliki dinding yang tipis dan
terletak pada segmen apikal dari lobus paru kanan bawah.
Dikutip dari kepustakaan 13

Ukuran dari abses bervariasi namun secara umum memiliki bentuk


yang bulat. Dinding abses umumnya tebal dan permukaan dalamnya
irreguler. Pembuluh darah bronkus dan bronkus sendiri dapat menjadi
dinding dari abses.5,6
Abses dapat berisi cairan saja maupun cairan yang bercampur dengan
udara sehingga memberikan gambaran air-fluid level. Bila abses
mengalami ruptur akan terjadi drainase abses yang tidak sempurna ke
dalam bronkus, yang akan memberikan gambaran kavitas dengan batas
udara dan cairan di dalamnya (air fluid level). Secara umum terdapat
perselubungan di sekitar kavitas, meskipun begitu pada terapi kavitas akan
menetap lebih lama dibanding perselubungan di sekitarnya. 1,6,14,15,16

Gambar 5. Abses Paru – posisi AP dan lateral. Kavitas dengan air fluid
level pada lapangan paru kiri atas.
Dikutip dari kepustakaan 16
b. CT-Scan
CT-Scan adalah modalitas pencitraan yang paling sensitif dalam
menegakkan diagnosis abses paru. Kontras yang diberikan adalah kontras
yang dapat bercampur dengan perselubungan disekitar lesi sehingga batas
margin dapat diidentifikasi.2,3,6
Gambaran khas CT scan abses paru adalah berupa lesi dens bundar
dengn kavitas berdinding tebal, tidak teratur, dan terletak di daerah jaringan
paru yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara
mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak.17
Gambar 6.Gambaran abses paru dengan CT-scan. CT memperlihatkan
kavitasi pada lobus atas paru kiri dengan jelas (kiri). Gambaran abses paru
dengan pemeriksaan CT kontras (kanan)
Dikutip dari kepustakaan 14 dan 2

c. Ultrasound
Ultrasound tidak memiliki peran yang signifikan dalam menegakkan diagnosis
abses paru dikarenakan banyak daerah dari paru yang berisi udara yang akan
menghalangi visualisasi menggunakan ultrasound. Meskipun begitu, tepi abses yang
berbatasan dengan pleura atau berbatasan dengan daerah paru yang mengalami
penekanan ataupun perselubungan dapat tervisualisasi. Hal ini harus dibedakan dengan
empiema.

2.3.7 Penatalaksanaan

a. Terapi antibiotik
Penisilin merupakan pilihan dengan dosis satu juta unit, 2-3 kali sehari
intramuskular. Bila diperkirakan terdapat kuman gram negatif dapat ditambahkan
kloramfenikol 500 mg empat kali sehari. Respons terapi yang baik akan terjadi
dalam 2-4 minggu, dan selanjutnya bisa dilanjutkan dengan terapi antibiotik
peroral. Pada terapi peroral diberikan:
Penisilin oral 750 mg empat kali sehari.
Apabila hasil terapi kurang memuaskan, terapi dapat dirubah dengan:
Klindamisin 600 mg tiap 8 jam,
Metronidazol 4x500 mg, atau
Gentamisin 5 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis tiap hari.4

b. Drainase postural
Selalu dilakukan bersama dengan pemberian terapi antibiotik. Tubuh
diposisikan sedemikian rupa sehingga drainase pun menjadi lancar. Pada
kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus, dengan
produksi sputum purulen.4

c. Bronkoskopi
Penting untuk membersihkan jalan napas sehingga drainase pun menjadi
lancar.3,4 Di samping itu, dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan
pengosongan abses yang tidak mengalam drainase yang adekuat, serta dapat
diberikannya larutan antibiotik melewati bronkus langsung ke lokasi abses.1
d. Bedah
Pembedahan dilakukan bila terapi antibiotik gagal, yaitu bila :
- Abses menjadi menahun
- Kavitas, produksi dahak, dan gejala klinik masih tetap ada setelah terapi
intensif selama 6 minggu, atau
- Abses yang sudah sembuh tapi meninggalkan sisa jaringan parut yang
cukup luas dan mengganggu faal paru.4
Lobektomi merupakan prosedur yang paling sering, sedangkan reseksi
segmental biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi
diperlukan terhadap abses multipel atau gangren paruyang refrakter
terhadap penanganan dengan obat-obatan.1

2.3.8 Komplikasi

Komplikasi lokalmeliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus


atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang rupture ke
rongga pleura menjadi piotoraks ( empiema ). Komplikasi lainya berupa abses otak,
hemoptisis masif, rupture pleura visceralis sehingga terjadi piopneumotoraks dan
fistula bronkopleura.
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunana Dokter Paru Indonesia. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana


Kegawatdaruratan Paru Dalam Praktek Sehari-Hari.. Jakarta : Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia Cabang Banten
2. Lynn S.Bickle. BATES buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi
8 .EGC
3. Loscalzo, Joseph .Harrison Pulmonologi dan penyakit kritis. Edisi 2. EGC
4. Setiati,siti dan dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II EdisiI IV. 2014.
Jakarta : interna publishing.
5. Collins J, Stern E; Atelectasis in Chest Radiology The Essentials Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins .1999 p. 169-177.
6. Fraser R, Pare; Atelectasis in Diagnosis of Diseases of the Chest. 4th Edition.
Philadelphia.WB Saunders Company. 1999. p. 513-562
7. Fraser R, Pare; Atelectasis in Synopsis of Diseases of the Chest. 3th Edition.
Philadelphia .Elsevier Saunders. 2005. p. 134-149
8. Fishman A, Elias J, Fishman J, et all rounded atelectasis in Fishman’s Manual
of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd Edition. North America . 452. The
McGraw-Hill Companies. 2002 .p.220-221
9. Muller N, Fraser R, Collman N , et all; Atelectasis in Radiologic Diagnosis
Diseases of the Chest . Philadelphia. WB Saunders Company . 2001 .p. 94-107
10. Pearson G, Cooper J, Deslauriers J, et all; Atelectasis in Thoracic Surgery . 2nd
Edition. Philadelphia. Churchill Livingstone.2002 . p.446 –
11. Reed J ; Atelectasis in Chest Radiology Plain Film Patterns and Differential
Diagnosis . 5th Edition. Philadelphia. Mosby. 2003 .p.193 – 218
12. Stoller J, Bakow E, Longworth D; Atelectasis in Critical Diagnosis Thingking
in Respiratory Care. Philadelphia . W.B Saunders Company. 2002 p. 273 – 78

Anda mungkin juga menyukai