Anda di halaman 1dari 18

TRANSFORMASI HUKUM ISLAM DALAM

BENTUK QANUN AL-QADHA’


Oleh: Rizal Darwis

Abstrak
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi (ditaati) oleh mayoritas
penduduk Islam pada umumnya dan rakyat Indonesia pada khususnya adalah hukum
yang telah hidup di dalam masyarakat. Sebagai bagian dari ajaran dan keyakinan
Islam, hukum Islam ada dalam kehidupan hukum nasional serta merupakan bahan
dalam pembinaan dan pengembangannya.
Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum
dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum Islam untuk lingkungan tertentu dan
subyek hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu
unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Prinsip unifikasi dan transformasi
hukum memang harus jadi pedoman, dan haruslah diterima sebagai bagian dari
tatanan hukum nasional. Untuk memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang
yang diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan kewenangan yang ada padanya
dapat mengakui atau mempertahankan hukum yang hidup dalam masyarakat, seperti
hukum Islam yang bersumber dari ajaran agama.
Kata Kunci: Hukum Islam, Qanun al-Qadha, Peradilan

A. Pendahuluan

Peradilan telah lama dikenal sejak zaman purba dan dia merupakan suatu
kebutuhan hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan berdiri tanpa
adanya peradilan, karena peradilan itu adalah untuk menyelesaikan segala sengketa di
antara para penduduk.1 Peradilan adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh
bangsa, baik mereka tergolong bangsa-bangsa yang telah maju maupun yang belum.
Di dalam peradilan itu terkandung menyeluruh ma’ruf dan mencegah mungkar,
menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi orang yang
zalim dari berbuat aniaya, serta mewujudkan kemaslahatan umum. Dengan peradilan,
jiwa, harta dan kehormatan akan dilindungi. Olehnya itu, tanpa adanya suatu
lembaga peradilan, maka masyarakat akan menjadi kacau balau. Suatu lembaga
peradilan perlu disusun berbagai macam undang-undang untuk mengatur proses

1
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Ed. 2 (Cet.
1; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 3.

1
2

peradilan tersebut. Kekuasaan peradilan adalah suatu kekuasaan yang mempunyai


undang-undang dan aturan-aturan yang wajib dipatuhi oleh para hakim, para pencari
keadilan dan sebagainya.
Dalam mencermati hukum Islam terdapat cara pandang dan interpretasi yang
berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum
Islam dan telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya.2 Olehnya itu M. Atho Mudzhar
misalnya menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum
Islam menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-
keputusan pengadilan agama, peraturan perundang-undangan di negeri-negeri muslim
dan fatwa-fatwa ulama.3
Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam
proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam
sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana
stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan
hukum Barat. Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam
yang berlaku secara yuridis formal, artinya telab dikodifikasikan dalam struktur
hukuin nasionaI. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif, yakni hukum
Islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim
untuk melaksanakannya.
Berbicara tentang hukum Islam dalam sistem peradilan di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari proses historis keberadaan Peradilan Agama di Indonesia. Hal
tersebut mengingat bahwa lembaga Peradilan Agama merupakan lembaga yang baik
secara personal dari para pihak yang berperkara maupun hukum material yang

2
Keanekaragaman yang dimaksud adalah perbedaan pemahaman orang Islam di dalam
memahami hukum Islam yang memiliki dua kecenderungan, yakni hukum Islam identik dengan
syari’ah dan identik dengan fiqh. Ini banyak terjadi bukan hanya di kalangan ulama fiqh, tetapi juga di
kalangan akademisi dan praktisi hukum Islam.
3
M. Atho Mudzhar, “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum
Islam,” dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 Tahun II (Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam,
1991), h. 21-30.
3

digunakan tidak dapat dilepaskan dari ajaran (hukum) Islam di dalamnya. Hukum
Islam merupakan kewenangan absolut dari Pengadilan Agama. Di samping perkara-
perkara yang ditanganinya pun hanya berkaitan dengan hukum perdata tertentu,
artinya hukum yang mengatur hubungan antar orang yang beragama Islam, terutama
dari aspek perkawinan, perceraian, kewarisan, wakaf, hibah dan ekonomi syari’ah.4
Seluruh umat Islam sepakat bahwa sebagai agama, Islam mengatur seluruh
aspek kehidupan sosial dengan seperangkat norma, termasuk norma hukum. Alquran
banyak memuat ketentuan umum. Dan sejak awalnya, Nabi saw. telah membentuk
struktur hukum dalam mengatur kehidupan masyarakatnya.5 Dengan demikian,
penerimaan Islam sebagai agama, termasuk makna di dalamnya adalah penerimaan
terhadap hukum Islam, dan dalam mengatur segala hubungan masyarakat diperlukan
adanya suatu lembaga peradilan yang dapat memberikan rasa keadilan bagi para
pencari keadilan yang berperkara.

B. Transformasi Hukum Islam dalam Bentuk Qanun al-Qadha’

Dalam formulasi yang sederhana dapat dinyatakan bahwa pada hakikatnya


hukum Islam di Indonesia adalah norma-norma hukum yang bersumber dari syari’at
Islam yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sepanjang
bentangan sejarah Indonesia. Bentuk hukum Islam di Indonesia lahir dari hasil
perkawinan antara hukum Islam normatif (syari’ah) dengan muatan-muatan lokal
Indonesia. Oleh karenanya, untuk melihat hukum Islam di Indonesia secara utuh,
penggunaan perspektif historis sangatlah penting.
Seluruh umat Islam sepakat bahwa sebagai agama, Islam mengatur seluruh
aspek kehidupan sosial dengan seperangkat norma, termasuk norma hukum. Alquran

4
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 49, http//welcome.to/ RGS_Mitra;
rgs@cbn.net.id;pengacara_rgs@yahoo.com (20 Juli 2009).
5
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), h. 7.
4

banyak memuat ketentuan umum. Dan sejak awalnya, Nabi saw telah membentuk
struktur hukum dalam mengatur kehidupan masyarakatnya.6
Berdasarkan teori tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa keberadaan
hukum Islam di Indonesia adalah bersamaan dengan keberadaan Islam di Indonesia.
Oleh karena ketika masyarakat Indonesia menyatakan Islam (mengucapkan dua
kalimah syahadat), secara otomatis berarti mengakui otoritas hukum Islam atas
dirinya. Inilah yang disebut dengan teori syahadat.
Keberadaan lembaga-lembaga peradilan seperti lembaga “tahkim” dan
“tauliyah” dari “ahl al-halli wa al-aqdi” semakin mengokohkan teori ini. Di samping
itu, sistem hukum yang berlaku dalam kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti
Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Banjar, Kerajaan Mataram Islam dan lainnya juga
menunjukkan bahwa hukum Islam menempati posisi penting dalam penyelesaian
perkara hukum.7
Oleh karenanya tidaklah berlebihan jika pada masa-masa awal VOC berkuasa,
teori reception in complexu yang diintrodusir Van Den Berg menjadi acuan bagi
pemerintah dalam penataan hukum bagi umat Islam. Dalam periode ini, hukum Islam
diberlakukan secara penuh terhadap orang Islam. Dasarnya adalah Pasal 75
Regeerings Reglement (RR) tahun 1855 yang antara lain menyatakan “oleh hakim
Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstiege
wetten).”8 Pada perkembangan selanjutnya, teori reception in complexu tergeser oleh
teori receptie.9 Secara historis mengenai kedudukan hukum Islam di Indonesia
terbagi menjadi dua periode, yaitu Pertama, periode penerimaan hukum Islam
sepenuhnya, yang disebut reception in complexu, yaitu periode berlakunya hukum

6
Ibid.
7
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman
yang Terus Berkembang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 69.
8
Ibid.
9
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), h. xiii.
5

Islam sepenuhnya bagi orang Islam karena mereka memeluk agama Islam. Apa yang
telah berlaku sejak adanya kerajaan Islam di Nusantara hingga zaman VOC, hukum
kekeluargaan Islam khususnya hukum perkawiinan dan waris tetap diakui oleh
Belanda. Bahkan VOC mengakuinya dalam bentuk peraturan Resolutio der Indische
Regeering tanggal 25 Mei 1760 yang kemudian oleh Belanda diberi dasar hukum
dalam Regeering Reglement (RR) tahun 1885. Kedua, periode penerimaan hukum
Islam oleh hukum adat yang kemudian disebut teori receptie. Teori ini mengandung
pengertian bahwa hukum Islam itu berlaku apabila diterima atau dikehendaki oleh
hukum adat.
Teori ini diberi dasar hukum dalam undang-undang dasar Hindia Belanda
yang menjadi pengganti RR, yaitu Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie
(IS). Oleh karena itu, tahun 1929 melalui IS yang diundangkan dalam Stbl. No. 212
hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Belanda ingin
menguatkan kekuasaannya di bumi Nusantara serta berusaha menjauhkan hukum
Islam dari masyarakat Islam dengan dasar teori tersebut. Usaha-usaha kaum muslimin
Indonesia untuk memasukkan kembali hukum Islam ke dalam tata hukum Indonesia
terbuka luas setelah terbentuknya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) dan bersidang pada zaman penjajahan Jepang. Para
pemimpin Islam memperjuangkan kembali hukum Islam dengan kekuatan hukum
Islam itu sendiri tanpa hubungannya dengan hukum adat. Akan tetapi, para anggota
BPUPKI bukanlah orang Islam semuanya. Para anggotanya ada yang termasuk
kategori “nasionalis Islami” dan adapula yang masuk kategori “nasionalis sekuler.”
Oleh karena itu, sebagai jalan komprominya terbentuklah Piagam Jakarta.
Pada zaman kemerdekaan hukum Islam pun melewati dua periode: Pertama,
periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif; Kedua periode
penerimaan hukum Islam sebagai sumber outoritatif. Sumber persuasif (persuasive
source) dalam hukum konstitusi ialah sumber hukum yang baru diterima orang
apabila ia telah diyakini. Dalam konteks hukum Islam, Piagam Jakarta sebagai salah
satu hasil sidang BPUPKI merupakan persuasive soure bagi grond wet-interpretatie
6

dari UUD 1945 selama empat belas tahun (sejak tanggal 22 Juni 1945 ketika
ditandatangani gentlement agreement antara pemimpin nasionalis Islami dengan
nasionalis sekuler sampai 5 Juli 1959 sebelum Dekrit Presiden RI diundangkan).10
Hukum Islam baru menjadi autoritatif source (sumber hukum yang telah
mempunyai kekuatan hukum ) dalam hukum tata Negara ketika ditempatkannya
Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959 sebagaimana dapat
disimak dalam konsideran Dekrit tersebut ini: “Bahwa kami (Presiden RI)
berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945
dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.”
Kata “menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat aturan
perundangan dalam Negara RI yang bertentangan dengan syari’at Islam bagi para
pemeluknya. Secara positif berarti bahwa pemeluk Islam diwajibkan menjalankan
syari’at Islam. Oleh karena itu, harus dibuat undang-undang yang akan
memberlakukan hukum Islam dalam hukum nasional. Pendapat ini sesuai dengan
keterangan Perdana Menteri Juanda tahun 1959 yang berbunyi pengakuan adanya
Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi pemerintah berarti pengakuan pula
akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. Jadi pengakuan tersebut tidak mengenai
Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945, pasal mana
selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.
Politik hukum Negara RI barulah memberlakukan hukum Islam bagi
pemeluknya oleh pemerintah Orba sebagaimana dibuktikan dengan diundangkannya
UU No. 1 tahun 1974. Pasal 2 UU tersebut menyatakan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya, sementara Pasal 63
menyatakan bahwa yang dimaksud pengadilan dalam UU tersebut adalah Pengadilan
Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum yang lainnya. UU
No. 1 tahun 1974 ini kemudian dilengkapi dengan UU No. 7 tahun 1989 tentang

10
Moh. Mahfud, ed. “Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia,” dalam Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum di Indonesia (Cet. 1; Yogyakarta:
UII Press, 1993), h. 19.
7

Peradilan Agama sehingga kedudukan, status, dan kompetensi Peradilan Agama


menjadi kokoh serta setara kedudukan hukumnya dengan lembaga lainnya. Walaupun
Negara RI tidak dapat disebut sebagai Negara Islam dan pengakuan terhadap Piagam
Jakarta pun tidak berarti telah terbentuk negara Islam, pengakuan terhadap Piagam
Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tahun 1959 dapat diartikan bahwa Hukum Islam
berlaku bagi para pemeluknya sebagai politik hukum Hindia Belanda tahun 1929.
Teori penataan kepada hukum bagi orang Islam terkandung dalam sumber
ajaran dan sumber hukum yakni Alquran dan sunnah. Teori penerimaan autoritas
hukum adalah teori yang telah dianut oleh semua Imam Mazhab hukum Islam yang
menyatakan bahwa siapa pun yang telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslim
dengan mengucapkan dua kalimah syahadat, ia terikat untuk patuh dan taat kepada
hukum dan ajaran Islam. Teori reception in complexu dan teori receptie yang
dijelaskan di atas. Kematian teori receptie telah diawali ketika lahirnya UUD 1945
yang dipertegas oleh Dekrit Presiden tahun 1959 dan terkubur oleh diundangkannya
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yang selanjutnya telah direvisi dalam UU No. 3 tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pengembangan lembaga-lembaga yang dapat berfungsi sebagaimana
diharapkan mempunyai landasan pemikiran politik Islam yang kuat, terutama
peradilan agama dan yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu, salah satu bidang
kehidupan yang jelas terjangkau hukum Islam adalah bidang peradilan ini dengan
kompetensinya yang jelas menurut peraturan-perundangan yang telah berlaku.
Hukum Islam merupakan hukum yang sumbernya berupa ajaran dasar atau
pokok-pokok dalam Alquran dan hadis Nabi, sementara wujud riilnya dalam praktek
lebih banyak didominasi oleh hasil ijtihad para ulama (fuqaha’ atau mujtahidin).
Hasil ijtihad ulama tersebut kemudian dijadikan sumber untuk tersusunnya atau
ditransformasikan dalam suatu undang-undang (qanun). Salah satu transformasi
hukum Islam tersebut dalam bentuk qanun al-qadha’ (undang-undang peradilan).
8

Dalam Alquran dan hadis Rasulullah terdapat dalil-dalil yang menunjukkan


keharusan adanya lembaga peradilan, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Shad/38:
26.

ِ ‫اس بِ ْال َح‬


)٦٢( ... ‫ق‬ ِ ‫يَادَ ُاودُ إِنَّا َجعَ ْلنَاكَ َخ ِليفَةً فِي ْاْل َ ْر‬
ِ َّ‫ض فَاحْ ُك ْم بَيْنَ الن‬
“Hai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau khalifah di bumi.
Maka hukumlah manusia-manusia dengan hukum yang benar ...”11

Firman-Nya yang lain dalam Q.S. al-Nisa’/4: 65.


َ ‫فَ ََل َو َربِكَ ََل يُؤْ ِمنُونَ َحتَّى يُ َح ِك ُموكَ فِي َما‬
)٢۵( ... ‫ش َج َر بَ ْينَ ُه ْم‬
“Maka demi Tuhan engkau, mereka tidak beriman, sehingga mereka
mentahkimkan diri kepada engkau dalam hal-hal yang mereka persengketakan di
antara mereka ....”12

Dalam Q.S. al-Maidah/5: 49.


َّ ‫َوأ َ ِن احْ ُك ْم َب ْينَ ُه ْم ِب َما أ َ ْنزَ َل‬
)٤۹( ... ُ‫اّلل‬
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan yang Allah
telah turunkan ....”13

Hadis Nabi saw.:


‫سلَّ َم َيقُو ُل ِإذَا َح َك َم ْال َحا ِك ُم فَاجْ ت َ َهدَ ث ُ َّم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫اّلل‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫اّلل‬ ُ ‫س ِم َع َر‬ َ ُ‫اص أَنَّه‬ ِ ‫ع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬ َ ‫ع ْن‬
َ
14
)‫طأ َ فَلَهُ أَجْ ٌر (رواه البخاري‬ َ ‫ان َو ِإذَا َح َك َم فَاجْ ت َ َهدَ ث ُ َّم أ َ ْخ‬
ِ َ‫ر‬ ْ‫ج‬َ ‫أ‬ ُ ‫ه‬ َ ‫ل‬َ ‫ف‬ َ َ َ‫أ‬
‫اب‬ ‫ص‬
“Dari Amr bin al-Ash bahwasanya mendengar Rasulullah saw. berkata: Apabila
seseorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka dia memperoleh dua
pahala. Dan apabila dia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka dia
memperoleh satu pahala.”

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
11

Suci Al-Qur’an, 1995), h. 736.


12
Ibid., h. 129.
13
Ibid., h. 168.
14
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardzbah al-Bukhariy
al-Ja‘afiy, Shahih al-Bukhariy, al-Kitab al-I‘tisham bi al-Kitab wa al-Sunnah, al-Bab Ajru al-Hakim
Idza Ijtihada Faashaba aw Akhta’, No. Hadis: 6805 dalam Mausu’ah al-Hadits al-Syarif ver. 2 [CD
ROM]. Jami‘ al-Huquq Mahfudzah li Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah, 1991-1997.
9

Demikianlah gambaran dalil nash tentang keharusan adanya lembaga al-


qadha’ untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang-orang yang teraniaya dan
untuk menghilangkan sengketa-sengketa yang timbul dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi, maka ada seseorang
yang diangkat menjadi hakam. Hukum Islam membenarkan tindakan penguasa
mengangkat beberapa orang hakim untuk memeriksa sesuatu perkara yang sudah
tertentu. Hakim adalah wakil dari penguasa tinggi.
Penguasa (waliyul amri) di waktu mengangkat seseorang menjadi hakim
dapat menentukan jenis-jenis perkara yang diputuskan oleh hakim, umpamanya
dalam bidang ahwal al-syakhsyiah atau perkara perdata/pidana yang lain. Selain itu
hakim dapat memutuskan perkara pada suatu tempat, suatu negeri atau sesuatu daerah
yang masuk dalam kewenangannya. Dalam hal ini tergantung pada ketetapan
penguasa (pemerintah).15 Dalam menentukan syarat menjadi hakim, maka ulama
berbeda pendapat. Namun yang disepakati syarat hakim sebagai berikut:16

1. Lelaki yang merdeka


Anak kecil tidak sah untuk menjadi hakim, demikian pula wanita menurut
pendapat Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad. Ulama Hanafiyah membolehkan wanita
menjadi hakim dalam masalah-masalah selain pidana dan qi¡a¡. Mereka
mengecualikan yang dua ini karena persaksian wanita tidak dapat diterima dalam dua
bidang ini.
Pendapat ulama Hanafiyah ini dapat dilihat dalam Kitab al-Hidayah, Fathul
Qadir dan al-Inayah. Menurut mereka, hukum menjadi qadhi sama dengan hukum
menjadi saksi, maka dalam perkara-perkara wanita menjadi saksi, dapat pula menjadi
hakim. Sejalan dengan itu, al-Kasyani menerangkan bahwa laki-laki bukanlah syarat
yang diperlukan untuk diangkat menjadi hakim. Hanya saja hakim wanita itu tidak
boleh memutuskan perkara dalam bidang pidana dan qishash. Ibn Jarir al-Thabari

15
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 54.
16
Ibid., h. 42-47.
10

membolehkan wanita menjadi hakim dalam segala rupa. Wanita dapat menjadi mufti
dalam segala rupa. Olehnya itu dapat pula menjadi hakim dalam segala rupa masalah.

2. Berakal (mempunyai kecerdasan)


Syarat ini disepakati oleh seluruh ulama. Hakim haruslah orang yang cerdas,
bijaksana, yang dengan ketajaman otaknya dia dapat memperoleh penjelasan dan
menanggapi sesuatu yang musykil.

3. Beragama Islam
Menurut jumhur ulama, keislaman adalah syarat bolehnya untuk menjadi
saksi atas seseorang muslim. Olehnya itu, hakim yang bukan muslim tidak boleh
memutuskan perkara orang-orang muslim. Golongan Hanafiyah membolehkan
mengangkat orang yang bukan muslim untuk memutuskan perkara orang yang bukan
muslim, karena orang yang dipandang cakap untuk menjadi saksi harus pula
dipandang cakap untuk menjadi hakim, tetapi tak dapat orang dzimmi (warganegara
nonmuslim) memutuskan perkara orang muslim, seperti halnya orang dzimmi tidak
bisa menjadi saksi bagi seorang muslim.
Golongan Hanbaliyah, Syuraikh, al-Nakhdiy, al-Auza’iy, Ibn Mas‘ud, Abu
Musa, golongan Zahiriyah dan Imamiyah menerima saksi orang yang bukan muslim
terhadap wasiat si muslim di dalam safar (perjalanan). Ahmad bin Hanbal
membolehkan orang yang tidak muslim menjadi saksi atas muslim dalam masalah
pusaka.
Imam Malik membolehkan dokter-dokter yang bukan beragama Islam
menjadi saksi bagi orang Islam di waktu tidak diperoleh orang Islam sendiri. Ibn
Taimiyah mengatakan bahwa pendapat Imam Ahmad dalam menerima saksi yang
bukan muslim di dalam safar memberi pengertian bahwa boleh menerima kesaksian
orang yang bukan muslim bila darurat, baik safar atau pun bukan. Bahkan tidak ada
salahnya menerima persaksian orang yang bukan muslim dengan disumpah dalam
segala perkara yang tidak dapat dicari saksi yang muslim.
11

Dengan memperhatikan Q.S. al-Baqarah/2: 282, al-Nisa’/4: 6 dan al-


Maidah/5: 106 tentang saksi dalam soal jual beli dan soal mengembalikan harta anak
yatim tidak disyaratkan saksi itu seorang muslim. Sedangkan dalam Q.S. al-
Thalaq/65: 2 tentang saksi dalam soal iddah disyaratkan saksi harus adil di antara
orang Islam. Jadi dapat disimpulkan bahwa dapatlah dibenarkan non muslim jadi
saksi dari aspek siyasah syar’iyah, sedangkan dari aspek ahwal al-syakhsyiah tidak
dibenarkan. Begitu pula persoalan mengangkat hakim non-muslim dibenarkan dalam
persoalan yang bukan aspek ahwal al-syakhsyiah.

4. Adil
Hakim itu hendaklah orang yang terpelihara dari perbuatan-perbuatan yang
haram, orang yang dapat dipercayai kejujurannya. Oleh karena itu, tidaklah boleh
mengangkat orang fasik menjadi hakim. Al-Syafi’i berpendapat tidak boleh
mengangkat orang fasik menjadi hakim, karena orang fasik tidak dapat diterima
menjadi saksi. Sedangkan golongan Hanafiyah berpendapat bahwa putusan hakim
fasik adalah sah, asal saja putusan itu sesuai dengan hukum syara’ dan undang-
undang yang berlaku, walaupun ada yang lebih pantas daripadanya. Al-Kasyani
berkata: keadilan tidaklah menjadi syarat untuk mengangkat seseorang menjadi
hakim, karena keadilan itu hanyalah syarat pelengkap saja, bukan syarat pokok.

5. Mengetahui segala pokok-pokok hukum dan cabang-cabangnya


Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang hukum agar dia
memperoleh jalan mengetahui hukum-hukum yang harus diberikan bagi perkara-
perkara yang diajukan kepadanya dan dapat membedakan antara yang benar dengan
yang tidak.
Pendapat yang dipandang kuat oleh golongan Hanafiyah ialah boleh
mengangkat orang muqallid untuk menjadi hakim. Pendapat ini sesuai dengan
pendapat al-Gazali bahwa mencari orang-orang yang adil dan yang ahli ijtihad dalam
masa sekarang ini sudah sangat sulitnya. Oleh karena itu, dapatlah dibenarkan segala
12

putusan hakim-hakim yang telah diangkat oleh penguasa walaupun hakim itu bukan
orang yang pandai dan adil.

6. Sempurna pendengaran, penglihatan dan tidak bisu


Orang yang bisu tidak dapat menyebut putusan yang dijatuhkannya dan
isyarat-isyaratnya pun tidak dapat diketahui orang. Orang tuli tidak dapat mendengar
keterangan yang diberikan oleh para pihak, sedang orang buta tidak dapat melihat
orang-orang yang berperkara. Dalam pada itu, sebagian pengikut al-Syafi’i
membolehkan mengangkat orang buta untuk menjadi hakim. Mengenai
kesempurnaan indera yang lain tidaklah menjadi syarat dalam hal ini, walaupun
diakui orang yang tegap, sehat dan tidak ada cacat lebih utama diangkat jadi hakim.
Dalam peradilan Islam tidak memonopoli segala urusan penyelesaian
sengketa. Di samping al-qadha’, ada lagi lembaga seperti:

1. Lembaga Tahkim
Tahkim dalam pengertian bahasa Arab ialah menyerahkan putusan pada
seseorang dan menerima putusan itu. Di dalam pengertian istilah ialah dua orang atau
lebih men-tahkim-kan kepada seseorang di antara mereka untuk diselesaikan sengketa
dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa mereka itu.17
Dasar hukum bagi tahkim ini di dalam syariat Islam termaktub dalam Q.S. al-
Nisa’/4: 35. Adapun bidang-bidang tahkim menurut Ibn Qudamah dalam al-Mugni
bahwa hukum yang ditetapkan oleh Hakam berlaku dalam segala rupa perkara,
terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qashaf dan qishash. Dalam hal-hal ini penguasa
saja yang dapat memutuskan.
Orang-orang yang dapat dijadikan muhakkam menurut ahli fiqh, bahwa
Hakam itu hendaklah orang yang mempunyai sifat hakim, yaitu dapat dijadikan saksi
baik lelaki ataupun perempuan, dan benar-benar mempunyai keahlian di waktu dia
bertindak sebagai Hakam hingga sampai pada waktu dia menjatuhkan hukum.

17
Ibid., h. 81.
13

Adapun putusan yang diberikan Hakam menurut Ahmad dan Abu Hanifah, putusan
itu harus dilaksanakan. Tetapi menurut riwayat lain, hukum yang diberikan oleh
Hakam itu tidak harus dituruti oleh yang bersangkutan. Putusan seorang ¥akam itu
tidak sama dengan putusan qadhi (hakim).

2. Mahkamah Mazalim
Kata ‫ محكمة‬berasal dari ‫( حكم – يحكم – حكما‬memerintah, menghukum). Kata
mahkamah merupakan bentuk isim makan dari kata tersebut. Dengan demikian,
mahkamah berarti gedung pengadilan. Adapun ‫ مظالم‬adalah bentuk jamak dari kata
‫ مظلمة‬yang merupakan isim masdar dari ‫( ظام – يظلم‬meletakkan sesuati tidak pada
tempatnya).18 Juga dapat dimaknai dengan suatu tindakan penganiayaan.
Secara istilah mahkamah mazalim adalah sesuatu kekuasaan dalam bidang
pengadilan yang lebih tinggi daripada kekuasaan qadhi dan muhtasib.19 Lembaga ini
memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang qadha biasa.
Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh
penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang
berkuasa.20
Al-Mawardiy dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah menerangkan bahwa perkara-
perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam, yaitu:
a. Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan maupun terhadap
golongan.
b. Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan
harta-harta kekayaan negara yang lain.
c. Mengontrol/mengawasi keadaan para pejabat.
d. Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka dikurangi
ataupun dilambatkan pembayarannya.

Abd Na’im, Kamus al-Parisi (Cet. 1; Qahirah: Dar al-Kitab, 1982), h. 521.
18

19
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 96.
20
Ibid., h. 92.
14

e. Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa-


penguasa yang zalim.
f. Memperhatikan harta-harta wakaf.
g. Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh
hakim-hakim sendiri, lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalah
orang-orang yang tinggi derajatnya.
h. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang
tak dapat dilaksanakan oleh petugas-petugas hisbah.
i. Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadat-ibadat yang nyata seperti jum’at, hari
raya, haji dan jihad.
j. Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa di antara pihak-
pihak yang bersangkutan.21

3. Wilayah al-Hisbah
Secara bahasa hisbah berarti al-ajru (upah, pahala dan ganjaran). Adapun
secara istilah ialah memerintahkan yang ma’ruf apabila nyata-nyata ia
meninggalkannya dan melarang yang mungkar apabila nyata-nyata ia
mengerjakannya.22 Jadi dapat dipahami hisbah ialah suatu tugas suci yang diemban
oleh seorang muslimin dan muslimat untuk menyeru berbuat ma’ruf dan mencegah
berbuat mungkar.
Tugas lembaga ini terbagi atas dua hal, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar.
Amar ma’ruf terbagi dalam tiga hal, yaitu:
a. Hak Allah secara khusus, misalnya keharusan shalat Jum’at apabila syarat-
syaratnya sudah mencukupi.
b. Hak-hak manusia secara khusus, terbagi atas: hak umum, misalnya perbaikan
mesjid dan hak khusus, yaitu hak yang diabaikan seperti malas membayar utang.

21
Al-Mawardiy, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Diniyah (Kairo: Mathba’ah Musthafa al-
Bab al-Halabi wa Awlad, 1960), h. 237.
22
Ibid., h. 240.
15

c. Hak manusia dan kaitannya dengan Tuhan, misalnya mentaatkan wanita untuk
tunduk kepada syarat-syarat iddah apabila dilanggar.23
Sedangkan nahi munkar terbagi pula atas tiga bagian, yaitu:
a. Hak Allah secara khusus meliputi yang berkaitan dengan ibadah, misalnya
sengaja meninggalkan rukun-rukun tertentu ibadah.
b. Hak manusia yang berkaitan dengan kemungkaran, misalnya menganggu
tetangga.
c. Hak Allah yang berkaitan dengan hak manusia, misalnya larangan mencaci maki
orang yang berutang karena keterlambatan membayar utangnya.24

Jadi wilayah al-hisbah yang ditetapkan oleh hukum Islam di dalam garis
besarnya menyerupai Jawatan Penuntut Hukum, sedangkan muhtasib dapat
disamakan dengan Penuntut Umum, karena mereka adalah orang-orang yang bertugas
memelihara hak-hak umum dan tata tertib manusia.25 Dari tugas-tugas tersebut dapat
dipahami bahwa tugas muhtasib tiada lain hanyalah untuk menjaga dan memelihara
kemaslahatan umat, baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri, keluarganya dan
hubungan dengan Allah swt.
Kalau kita melihat sistem peradilan di Indonesia, maka dalam UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian diubah menjadi UU No. 3
Tahun 2006 diatur tentang kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi
relatifnya adalah kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa
sesuai daerah/tempat diajukannya permohonan. Sedangkan kompetensi absolutnya
berkaitan dengan wewenang pengadilan agama dalam menyelesaian perkara sesuai
bidangnya (hukum perdata).

23
Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al-Islamiyyah wa Adillatuhu (Cet. 2; Beirut: Dar al-Fikr,
1996), h. 766.
24
Ibid., h. 767.
25
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 101.
16

Dalam memeriksa suatu perkara, maka dalam Islam ada prinsip-prinsip yang
harus diperhatikan, sebagai berikut:
1. Keutamaan keadilan dalam hukum: 4:58, 4:135, 5:42
2. Etika peradilan: 4:58, 4:135, 6:152, 38:22, 42:15, 2:188, 27:36, 7:150, 49:6,
12:79, 20:93, 2:213, 3:23, 4:60, 4:105, 5:43, 5:44, 5:45, 5:47, 5:48, 5:49, 5:50,
5:68, 7:142, 45:18
3. Mahkamah-pengadilan: 7:150, 12:52, 27:22, 27:23
4. Cara hakim mengambil keputusan: 24:7, 24:9, 24:7, 24:9, 5:107
5. Keputusan hukum dengan bersandar pada pengakuan: 12:52, 42:41
6. Saksi dan bukti: 4:135, 5:106, 65:2, 4:135, 5:8, 4:135, 6:152, 2:282, 25:72, 4:15,
65:2, 2:282, 4:6, 5:106
7. Keputusan hukum dengan bersandar pada kesaksian: 2:282, 2:282, 70:33, 2:282,
4:15, 5:106, 24:4, 24:13, 65:2, 2:282, 21:61, 49:6, 2:140, 2:282, 2:283, 4:135,
5:106, 70:33, 4:135, 5:8, 5:108, 5:107, 5:108, 2:282, 3:44, 37:141
Demikianlah beberapa aturan Alquran dalam kaitannya dengan penyelesaian
sengketa yang ada diajukan dalam sebuah lembaga al-qadha’.
Di Indonesia, transformasi hukum Islam dalam kaitannya dengan qanun al-
qadha’ dapat dilihat dari beberapa produk hukum yang dihasilkan seperti:
1. UU No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan
2. UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU No. 3/2006)
3. UU No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini UU No. 10/1998)
4. UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
5. UU No. 38/2000 tentang Pangelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZTS)
6. UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh
Darussalam
7. UU No. 41/2004 tentang Wakaf
Di samping tingkatannya yang berupa undang-undang, juga terdapat
peraturan-peraturan lain yang berada di bawah undang-undang, antara lain:
1. PP No. 9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
17

2. PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik


3. PP No. 72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
4. Inpres No. 1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Dari sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum
Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang
Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal
sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai
Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980
dapat disahkan sebagai undang-undang. Padahal UU No. 14/1970 dalam pasal 10-12
dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan
kewenangannya.

C. Penutup

Al-Qadha adalah suatu lembaga hukum yang diadakan oleh pemerintah


dengan tujuan untuk menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat dalam
menyelesaikan perselisihan yang terjadi dalam interaksi antara anggota masyarakat.
Transformasi hukum Islam dalam bentuk qanun al-qadha’ dapat dilihat dari
pengangkatan seorang qadhi (hakim) dengan beberapa syarat tertentu. Begitu pula
dalam pembagian kekuasaan peradilan dikenal lembaga tahkim, wilayah al-mazalim,
dan wilayah al-hisbah, serta dalam memeriksa suatu perkara, maka seorang qadhi
memegang prinsip-prinsip yang diatur dalam Alquran dan sunnah Rasul saw.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.
Barkatullah, Abdul Halim, dan Teguh Prasetyo. Hukum Islam Menjawab Tantangan
Zaman yang Terus Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Qur’an, 1995.
Al-Ja‘afiy, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah bin
Bardzbah al-Bukhariy. Shahih al-Bukhariy, al-Kitab al-I‘tisham bi al-Kitab
wa al-Sunnah, al-Bab Ajru al-Hakim Idza Ijtihada Faashaba aw Akhta’, No.
Hadis: 6805 dalam Mausu’ah al-Hadits al-Syarif ver. 2 [CD ROM]. Jami‘ al-
Huquq Mahfudzah li Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah, 1991-
1997.
Mahfud, Moh. (ed). “Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia,” dalam Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum di
Indonesia. Cet. 1; Yogyakarta: UII Press, 1993.
Al-Mawardiy. Al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Diniyah. Kairo: Mathba’ah Musthafa
al-Bab al-Halabi wa Awlad, 1960.
Mudzhar, M. Atho. “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran
Hukum Islam,” dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 Tahun II. Jakarta: AI-
Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991.
Na’im, Abd. Kamus al-Parisi. Cet. 1; Qahirah: Dar al-Kitab, 1982.
Praja, Juhaya S. Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 49,
http//welcome.to/ RGS_Mitra; rgs@cbn.net.id;pengacara_rgs@yahoo.com
(20 Juli 2009).
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Ed.
2. Cet. 1; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Sumitro, Warkum. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik
di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing, 2005.
Al-Zuhailiy, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamiyyah wa Adillatuhu. Cet. 2; Beirut: Dar al-
Fikr, 1996.

Anda mungkin juga menyukai