Abstrak
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi (ditaati) oleh mayoritas
penduduk Islam pada umumnya dan rakyat Indonesia pada khususnya adalah hukum
yang telah hidup di dalam masyarakat. Sebagai bagian dari ajaran dan keyakinan
Islam, hukum Islam ada dalam kehidupan hukum nasional serta merupakan bahan
dalam pembinaan dan pengembangannya.
Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum
dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum Islam untuk lingkungan tertentu dan
subyek hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu
unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Prinsip unifikasi dan transformasi
hukum memang harus jadi pedoman, dan haruslah diterima sebagai bagian dari
tatanan hukum nasional. Untuk memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang
yang diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan kewenangan yang ada padanya
dapat mengakui atau mempertahankan hukum yang hidup dalam masyarakat, seperti
hukum Islam yang bersumber dari ajaran agama.
Kata Kunci: Hukum Islam, Qanun al-Qadha, Peradilan
A. Pendahuluan
Peradilan telah lama dikenal sejak zaman purba dan dia merupakan suatu
kebutuhan hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan berdiri tanpa
adanya peradilan, karena peradilan itu adalah untuk menyelesaikan segala sengketa di
antara para penduduk.1 Peradilan adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh
bangsa, baik mereka tergolong bangsa-bangsa yang telah maju maupun yang belum.
Di dalam peradilan itu terkandung menyeluruh ma’ruf dan mencegah mungkar,
menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi orang yang
zalim dari berbuat aniaya, serta mewujudkan kemaslahatan umum. Dengan peradilan,
jiwa, harta dan kehormatan akan dilindungi. Olehnya itu, tanpa adanya suatu
lembaga peradilan, maka masyarakat akan menjadi kacau balau. Suatu lembaga
peradilan perlu disusun berbagai macam undang-undang untuk mengatur proses
1
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Ed. 2 (Cet.
1; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 3.
1
2
2
Keanekaragaman yang dimaksud adalah perbedaan pemahaman orang Islam di dalam
memahami hukum Islam yang memiliki dua kecenderungan, yakni hukum Islam identik dengan
syari’ah dan identik dengan fiqh. Ini banyak terjadi bukan hanya di kalangan ulama fiqh, tetapi juga di
kalangan akademisi dan praktisi hukum Islam.
3
M. Atho Mudzhar, “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum
Islam,” dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 Tahun II (Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam,
1991), h. 21-30.
3
digunakan tidak dapat dilepaskan dari ajaran (hukum) Islam di dalamnya. Hukum
Islam merupakan kewenangan absolut dari Pengadilan Agama. Di samping perkara-
perkara yang ditanganinya pun hanya berkaitan dengan hukum perdata tertentu,
artinya hukum yang mengatur hubungan antar orang yang beragama Islam, terutama
dari aspek perkawinan, perceraian, kewarisan, wakaf, hibah dan ekonomi syari’ah.4
Seluruh umat Islam sepakat bahwa sebagai agama, Islam mengatur seluruh
aspek kehidupan sosial dengan seperangkat norma, termasuk norma hukum. Alquran
banyak memuat ketentuan umum. Dan sejak awalnya, Nabi saw. telah membentuk
struktur hukum dalam mengatur kehidupan masyarakatnya.5 Dengan demikian,
penerimaan Islam sebagai agama, termasuk makna di dalamnya adalah penerimaan
terhadap hukum Islam, dan dalam mengatur segala hubungan masyarakat diperlukan
adanya suatu lembaga peradilan yang dapat memberikan rasa keadilan bagi para
pencari keadilan yang berperkara.
4
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 49, http//welcome.to/ RGS_Mitra;
rgs@cbn.net.id;pengacara_rgs@yahoo.com (20 Juli 2009).
5
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), h. 7.
4
banyak memuat ketentuan umum. Dan sejak awalnya, Nabi saw telah membentuk
struktur hukum dalam mengatur kehidupan masyarakatnya.6
Berdasarkan teori tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa keberadaan
hukum Islam di Indonesia adalah bersamaan dengan keberadaan Islam di Indonesia.
Oleh karena ketika masyarakat Indonesia menyatakan Islam (mengucapkan dua
kalimah syahadat), secara otomatis berarti mengakui otoritas hukum Islam atas
dirinya. Inilah yang disebut dengan teori syahadat.
Keberadaan lembaga-lembaga peradilan seperti lembaga “tahkim” dan
“tauliyah” dari “ahl al-halli wa al-aqdi” semakin mengokohkan teori ini. Di samping
itu, sistem hukum yang berlaku dalam kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti
Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Banjar, Kerajaan Mataram Islam dan lainnya juga
menunjukkan bahwa hukum Islam menempati posisi penting dalam penyelesaian
perkara hukum.7
Oleh karenanya tidaklah berlebihan jika pada masa-masa awal VOC berkuasa,
teori reception in complexu yang diintrodusir Van Den Berg menjadi acuan bagi
pemerintah dalam penataan hukum bagi umat Islam. Dalam periode ini, hukum Islam
diberlakukan secara penuh terhadap orang Islam. Dasarnya adalah Pasal 75
Regeerings Reglement (RR) tahun 1855 yang antara lain menyatakan “oleh hakim
Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstiege
wetten).”8 Pada perkembangan selanjutnya, teori reception in complexu tergeser oleh
teori receptie.9 Secara historis mengenai kedudukan hukum Islam di Indonesia
terbagi menjadi dua periode, yaitu Pertama, periode penerimaan hukum Islam
sepenuhnya, yang disebut reception in complexu, yaitu periode berlakunya hukum
6
Ibid.
7
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman
yang Terus Berkembang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 69.
8
Ibid.
9
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), h. xiii.
5
Islam sepenuhnya bagi orang Islam karena mereka memeluk agama Islam. Apa yang
telah berlaku sejak adanya kerajaan Islam di Nusantara hingga zaman VOC, hukum
kekeluargaan Islam khususnya hukum perkawiinan dan waris tetap diakui oleh
Belanda. Bahkan VOC mengakuinya dalam bentuk peraturan Resolutio der Indische
Regeering tanggal 25 Mei 1760 yang kemudian oleh Belanda diberi dasar hukum
dalam Regeering Reglement (RR) tahun 1885. Kedua, periode penerimaan hukum
Islam oleh hukum adat yang kemudian disebut teori receptie. Teori ini mengandung
pengertian bahwa hukum Islam itu berlaku apabila diterima atau dikehendaki oleh
hukum adat.
Teori ini diberi dasar hukum dalam undang-undang dasar Hindia Belanda
yang menjadi pengganti RR, yaitu Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie
(IS). Oleh karena itu, tahun 1929 melalui IS yang diundangkan dalam Stbl. No. 212
hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Belanda ingin
menguatkan kekuasaannya di bumi Nusantara serta berusaha menjauhkan hukum
Islam dari masyarakat Islam dengan dasar teori tersebut. Usaha-usaha kaum muslimin
Indonesia untuk memasukkan kembali hukum Islam ke dalam tata hukum Indonesia
terbuka luas setelah terbentuknya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) dan bersidang pada zaman penjajahan Jepang. Para
pemimpin Islam memperjuangkan kembali hukum Islam dengan kekuatan hukum
Islam itu sendiri tanpa hubungannya dengan hukum adat. Akan tetapi, para anggota
BPUPKI bukanlah orang Islam semuanya. Para anggotanya ada yang termasuk
kategori “nasionalis Islami” dan adapula yang masuk kategori “nasionalis sekuler.”
Oleh karena itu, sebagai jalan komprominya terbentuklah Piagam Jakarta.
Pada zaman kemerdekaan hukum Islam pun melewati dua periode: Pertama,
periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif; Kedua periode
penerimaan hukum Islam sebagai sumber outoritatif. Sumber persuasif (persuasive
source) dalam hukum konstitusi ialah sumber hukum yang baru diterima orang
apabila ia telah diyakini. Dalam konteks hukum Islam, Piagam Jakarta sebagai salah
satu hasil sidang BPUPKI merupakan persuasive soure bagi grond wet-interpretatie
6
dari UUD 1945 selama empat belas tahun (sejak tanggal 22 Juni 1945 ketika
ditandatangani gentlement agreement antara pemimpin nasionalis Islami dengan
nasionalis sekuler sampai 5 Juli 1959 sebelum Dekrit Presiden RI diundangkan).10
Hukum Islam baru menjadi autoritatif source (sumber hukum yang telah
mempunyai kekuatan hukum ) dalam hukum tata Negara ketika ditempatkannya
Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959 sebagaimana dapat
disimak dalam konsideran Dekrit tersebut ini: “Bahwa kami (Presiden RI)
berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945
dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.”
Kata “menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat aturan
perundangan dalam Negara RI yang bertentangan dengan syari’at Islam bagi para
pemeluknya. Secara positif berarti bahwa pemeluk Islam diwajibkan menjalankan
syari’at Islam. Oleh karena itu, harus dibuat undang-undang yang akan
memberlakukan hukum Islam dalam hukum nasional. Pendapat ini sesuai dengan
keterangan Perdana Menteri Juanda tahun 1959 yang berbunyi pengakuan adanya
Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi pemerintah berarti pengakuan pula
akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. Jadi pengakuan tersebut tidak mengenai
Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945, pasal mana
selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.
Politik hukum Negara RI barulah memberlakukan hukum Islam bagi
pemeluknya oleh pemerintah Orba sebagaimana dibuktikan dengan diundangkannya
UU No. 1 tahun 1974. Pasal 2 UU tersebut menyatakan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya, sementara Pasal 63
menyatakan bahwa yang dimaksud pengadilan dalam UU tersebut adalah Pengadilan
Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum yang lainnya. UU
No. 1 tahun 1974 ini kemudian dilengkapi dengan UU No. 7 tahun 1989 tentang
10
Moh. Mahfud, ed. “Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia,” dalam Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum di Indonesia (Cet. 1; Yogyakarta:
UII Press, 1993), h. 19.
7
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
11
15
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 54.
16
Ibid., h. 42-47.
10
membolehkan wanita menjadi hakim dalam segala rupa. Wanita dapat menjadi mufti
dalam segala rupa. Olehnya itu dapat pula menjadi hakim dalam segala rupa masalah.
3. Beragama Islam
Menurut jumhur ulama, keislaman adalah syarat bolehnya untuk menjadi
saksi atas seseorang muslim. Olehnya itu, hakim yang bukan muslim tidak boleh
memutuskan perkara orang-orang muslim. Golongan Hanafiyah membolehkan
mengangkat orang yang bukan muslim untuk memutuskan perkara orang yang bukan
muslim, karena orang yang dipandang cakap untuk menjadi saksi harus pula
dipandang cakap untuk menjadi hakim, tetapi tak dapat orang dzimmi (warganegara
nonmuslim) memutuskan perkara orang muslim, seperti halnya orang dzimmi tidak
bisa menjadi saksi bagi seorang muslim.
Golongan Hanbaliyah, Syuraikh, al-Nakhdiy, al-Auza’iy, Ibn Mas‘ud, Abu
Musa, golongan Zahiriyah dan Imamiyah menerima saksi orang yang bukan muslim
terhadap wasiat si muslim di dalam safar (perjalanan). Ahmad bin Hanbal
membolehkan orang yang tidak muslim menjadi saksi atas muslim dalam masalah
pusaka.
Imam Malik membolehkan dokter-dokter yang bukan beragama Islam
menjadi saksi bagi orang Islam di waktu tidak diperoleh orang Islam sendiri. Ibn
Taimiyah mengatakan bahwa pendapat Imam Ahmad dalam menerima saksi yang
bukan muslim di dalam safar memberi pengertian bahwa boleh menerima kesaksian
orang yang bukan muslim bila darurat, baik safar atau pun bukan. Bahkan tidak ada
salahnya menerima persaksian orang yang bukan muslim dengan disumpah dalam
segala perkara yang tidak dapat dicari saksi yang muslim.
11
4. Adil
Hakim itu hendaklah orang yang terpelihara dari perbuatan-perbuatan yang
haram, orang yang dapat dipercayai kejujurannya. Oleh karena itu, tidaklah boleh
mengangkat orang fasik menjadi hakim. Al-Syafi’i berpendapat tidak boleh
mengangkat orang fasik menjadi hakim, karena orang fasik tidak dapat diterima
menjadi saksi. Sedangkan golongan Hanafiyah berpendapat bahwa putusan hakim
fasik adalah sah, asal saja putusan itu sesuai dengan hukum syara’ dan undang-
undang yang berlaku, walaupun ada yang lebih pantas daripadanya. Al-Kasyani
berkata: keadilan tidaklah menjadi syarat untuk mengangkat seseorang menjadi
hakim, karena keadilan itu hanyalah syarat pelengkap saja, bukan syarat pokok.
putusan hakim-hakim yang telah diangkat oleh penguasa walaupun hakim itu bukan
orang yang pandai dan adil.
1. Lembaga Tahkim
Tahkim dalam pengertian bahasa Arab ialah menyerahkan putusan pada
seseorang dan menerima putusan itu. Di dalam pengertian istilah ialah dua orang atau
lebih men-tahkim-kan kepada seseorang di antara mereka untuk diselesaikan sengketa
dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa mereka itu.17
Dasar hukum bagi tahkim ini di dalam syariat Islam termaktub dalam Q.S. al-
Nisa’/4: 35. Adapun bidang-bidang tahkim menurut Ibn Qudamah dalam al-Mugni
bahwa hukum yang ditetapkan oleh Hakam berlaku dalam segala rupa perkara,
terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qashaf dan qishash. Dalam hal-hal ini penguasa
saja yang dapat memutuskan.
Orang-orang yang dapat dijadikan muhakkam menurut ahli fiqh, bahwa
Hakam itu hendaklah orang yang mempunyai sifat hakim, yaitu dapat dijadikan saksi
baik lelaki ataupun perempuan, dan benar-benar mempunyai keahlian di waktu dia
bertindak sebagai Hakam hingga sampai pada waktu dia menjatuhkan hukum.
17
Ibid., h. 81.
13
Adapun putusan yang diberikan Hakam menurut Ahmad dan Abu Hanifah, putusan
itu harus dilaksanakan. Tetapi menurut riwayat lain, hukum yang diberikan oleh
Hakam itu tidak harus dituruti oleh yang bersangkutan. Putusan seorang ¥akam itu
tidak sama dengan putusan qadhi (hakim).
2. Mahkamah Mazalim
Kata محكمةberasal dari ( حكم – يحكم – حكماmemerintah, menghukum). Kata
mahkamah merupakan bentuk isim makan dari kata tersebut. Dengan demikian,
mahkamah berarti gedung pengadilan. Adapun مظالمadalah bentuk jamak dari kata
مظلمةyang merupakan isim masdar dari ( ظام – يظلمmeletakkan sesuati tidak pada
tempatnya).18 Juga dapat dimaknai dengan suatu tindakan penganiayaan.
Secara istilah mahkamah mazalim adalah sesuatu kekuasaan dalam bidang
pengadilan yang lebih tinggi daripada kekuasaan qadhi dan muhtasib.19 Lembaga ini
memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang qadha biasa.
Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh
penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang
berkuasa.20
Al-Mawardiy dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah menerangkan bahwa perkara-
perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam, yaitu:
a. Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan maupun terhadap
golongan.
b. Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan
harta-harta kekayaan negara yang lain.
c. Mengontrol/mengawasi keadaan para pejabat.
d. Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka dikurangi
ataupun dilambatkan pembayarannya.
Abd Na’im, Kamus al-Parisi (Cet. 1; Qahirah: Dar al-Kitab, 1982), h. 521.
18
19
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 96.
20
Ibid., h. 92.
14
3. Wilayah al-Hisbah
Secara bahasa hisbah berarti al-ajru (upah, pahala dan ganjaran). Adapun
secara istilah ialah memerintahkan yang ma’ruf apabila nyata-nyata ia
meninggalkannya dan melarang yang mungkar apabila nyata-nyata ia
mengerjakannya.22 Jadi dapat dipahami hisbah ialah suatu tugas suci yang diemban
oleh seorang muslimin dan muslimat untuk menyeru berbuat ma’ruf dan mencegah
berbuat mungkar.
Tugas lembaga ini terbagi atas dua hal, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar.
Amar ma’ruf terbagi dalam tiga hal, yaitu:
a. Hak Allah secara khusus, misalnya keharusan shalat Jum’at apabila syarat-
syaratnya sudah mencukupi.
b. Hak-hak manusia secara khusus, terbagi atas: hak umum, misalnya perbaikan
mesjid dan hak khusus, yaitu hak yang diabaikan seperti malas membayar utang.
21
Al-Mawardiy, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Diniyah (Kairo: Mathba’ah Musthafa al-
Bab al-Halabi wa Awlad, 1960), h. 237.
22
Ibid., h. 240.
15
c. Hak manusia dan kaitannya dengan Tuhan, misalnya mentaatkan wanita untuk
tunduk kepada syarat-syarat iddah apabila dilanggar.23
Sedangkan nahi munkar terbagi pula atas tiga bagian, yaitu:
a. Hak Allah secara khusus meliputi yang berkaitan dengan ibadah, misalnya
sengaja meninggalkan rukun-rukun tertentu ibadah.
b. Hak manusia yang berkaitan dengan kemungkaran, misalnya menganggu
tetangga.
c. Hak Allah yang berkaitan dengan hak manusia, misalnya larangan mencaci maki
orang yang berutang karena keterlambatan membayar utangnya.24
Jadi wilayah al-hisbah yang ditetapkan oleh hukum Islam di dalam garis
besarnya menyerupai Jawatan Penuntut Hukum, sedangkan muhtasib dapat
disamakan dengan Penuntut Umum, karena mereka adalah orang-orang yang bertugas
memelihara hak-hak umum dan tata tertib manusia.25 Dari tugas-tugas tersebut dapat
dipahami bahwa tugas muhtasib tiada lain hanyalah untuk menjaga dan memelihara
kemaslahatan umat, baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri, keluarganya dan
hubungan dengan Allah swt.
Kalau kita melihat sistem peradilan di Indonesia, maka dalam UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian diubah menjadi UU No. 3
Tahun 2006 diatur tentang kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi
relatifnya adalah kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa
sesuai daerah/tempat diajukannya permohonan. Sedangkan kompetensi absolutnya
berkaitan dengan wewenang pengadilan agama dalam menyelesaian perkara sesuai
bidangnya (hukum perdata).
23
Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al-Islamiyyah wa Adillatuhu (Cet. 2; Beirut: Dar al-Fikr,
1996), h. 766.
24
Ibid., h. 767.
25
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 101.
16
Dalam memeriksa suatu perkara, maka dalam Islam ada prinsip-prinsip yang
harus diperhatikan, sebagai berikut:
1. Keutamaan keadilan dalam hukum: 4:58, 4:135, 5:42
2. Etika peradilan: 4:58, 4:135, 6:152, 38:22, 42:15, 2:188, 27:36, 7:150, 49:6,
12:79, 20:93, 2:213, 3:23, 4:60, 4:105, 5:43, 5:44, 5:45, 5:47, 5:48, 5:49, 5:50,
5:68, 7:142, 45:18
3. Mahkamah-pengadilan: 7:150, 12:52, 27:22, 27:23
4. Cara hakim mengambil keputusan: 24:7, 24:9, 24:7, 24:9, 5:107
5. Keputusan hukum dengan bersandar pada pengakuan: 12:52, 42:41
6. Saksi dan bukti: 4:135, 5:106, 65:2, 4:135, 5:8, 4:135, 6:152, 2:282, 25:72, 4:15,
65:2, 2:282, 4:6, 5:106
7. Keputusan hukum dengan bersandar pada kesaksian: 2:282, 2:282, 70:33, 2:282,
4:15, 5:106, 24:4, 24:13, 65:2, 2:282, 21:61, 49:6, 2:140, 2:282, 2:283, 4:135,
5:106, 70:33, 4:135, 5:8, 5:108, 5:107, 5:108, 2:282, 3:44, 37:141
Demikianlah beberapa aturan Alquran dalam kaitannya dengan penyelesaian
sengketa yang ada diajukan dalam sebuah lembaga al-qadha’.
Di Indonesia, transformasi hukum Islam dalam kaitannya dengan qanun al-
qadha’ dapat dilihat dari beberapa produk hukum yang dihasilkan seperti:
1. UU No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan
2. UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU No. 3/2006)
3. UU No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini UU No. 10/1998)
4. UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
5. UU No. 38/2000 tentang Pangelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZTS)
6. UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh
Darussalam
7. UU No. 41/2004 tentang Wakaf
Di samping tingkatannya yang berupa undang-undang, juga terdapat
peraturan-peraturan lain yang berada di bawah undang-undang, antara lain:
1. PP No. 9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
17
C. Penutup
Al-Qur’an al-Karim.
Barkatullah, Abdul Halim, dan Teguh Prasetyo. Hukum Islam Menjawab Tantangan
Zaman yang Terus Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Qur’an, 1995.
Al-Ja‘afiy, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah bin
Bardzbah al-Bukhariy. Shahih al-Bukhariy, al-Kitab al-I‘tisham bi al-Kitab
wa al-Sunnah, al-Bab Ajru al-Hakim Idza Ijtihada Faashaba aw Akhta’, No.
Hadis: 6805 dalam Mausu’ah al-Hadits al-Syarif ver. 2 [CD ROM]. Jami‘ al-
Huquq Mahfudzah li Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah, 1991-
1997.
Mahfud, Moh. (ed). “Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia,” dalam Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum di
Indonesia. Cet. 1; Yogyakarta: UII Press, 1993.
Al-Mawardiy. Al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Diniyah. Kairo: Mathba’ah Musthafa
al-Bab al-Halabi wa Awlad, 1960.
Mudzhar, M. Atho. “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran
Hukum Islam,” dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 Tahun II. Jakarta: AI-
Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991.
Na’im, Abd. Kamus al-Parisi. Cet. 1; Qahirah: Dar al-Kitab, 1982.
Praja, Juhaya S. Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 49,
http//welcome.to/ RGS_Mitra; rgs@cbn.net.id;pengacara_rgs@yahoo.com
(20 Juli 2009).
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Ed.
2. Cet. 1; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Sumitro, Warkum. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik
di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing, 2005.
Al-Zuhailiy, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamiyyah wa Adillatuhu. Cet. 2; Beirut: Dar al-
Fikr, 1996.