Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

Human Immunodeficiency Virus

DISUSUN OLEH:

Noli Rahmi Karlina

13174044

PEMBIMBING:

dr. Junaidi.M Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
RSUD DATU BERU TAKENGON
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat


limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh,
menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-
helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam
famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus.Selama infeksi
berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih
rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi
tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS
(Acquired Imunnodeficiency Syndrome).

AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh


menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sebagian besar orang yang
terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda
AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi
tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada stadium penyakit
HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS.
Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita
oleh orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati.

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia


dan banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang
terbebas dari HIV (Djoerban Z dkk, 2006).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau


penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya
infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili
retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk,
2006)

2.2 EPIDEMIOLOGI

Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari


25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009,
jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar
penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5
juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa.
Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anak-
anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.
(WHO,2010 )

Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada


tahun 1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat
ini, jumlahnya sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67%
diantaranya disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO,
2010).

3
2.3 ETIOLOGI

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi
melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah
melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang
terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan
adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.

Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh


.
Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama
ditentukan tidak terkontaminasi
darah
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan Muntah
Sputum serebrospinal Feses
Sekresi vagina Cairan pleura Saliva
Cairan peritoneal Keringat
Cairan perikardial Air mata
Cairan synovial Urin
Sumber : Djauzi S, 2002

Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan


cairan darah sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat
tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar
0,3% sedangkan risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV
pada mukosa sebesar 0,09%. (Djauzi S dkk, 2002)

4
2.4 PATOGENESIS

Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T


helper yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel
utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi
fungsi imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi
karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem
kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri
pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya
kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk
RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic
Acid) sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan
genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung
seumur hidup.

Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel
yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan
masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang
terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus
HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan
sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa “window periode”. Setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita
sebagai dampak dari infeksi virus HIV tersebut. Pada sebagian penderita gejala
tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi.

5
Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

6
Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat
defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio
CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus
HIV dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul
virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan
bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut
tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.
Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T
sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas
sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.
(Djoerban Z dkk, 2006)

2.5 GEJALA KLINIS dan DIAGNOSA

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan


meliputi penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang
berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait
dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan
terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang
sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S dkk,2002)

a. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
b. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens

7
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

Tabel 6 : Pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2007

8
Tabel 9. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan


Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang


Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)


Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Sumber : Depkes RI, 2007

9
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan


pemeriksaan laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain
dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus
HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan
PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan
untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (Tabel 7) . ( Depkes RI,
2007)

Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha

Tes antibodi terhadap HIV (AI);


Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan
kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma
gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko
penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi
terapi (AIII);

Sumber : Yayasan Spiritia 2006.

10
2.8 PENATALAKSANAAN

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan
bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV
bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. .
(Djoerban Z dkk,2006

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat


antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka
kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.

11
Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa
Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
Terapi ARV tidak
1
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 diberikan
<200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3,
pertimbangkan terapi sebelum CD4
<200/mm3.
Pada kehamilan atau TB: Terapi ARV dimulai
3  Mulai terapi ARV pada semua ibu tanpa memandang jumlah
hamil dengan CD4 350 limfosit total
 Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru
atau infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang
4
jumlah CD4
Sumber : Depkes RI, 2007

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi.


Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan
kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV
(misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai
belum dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila
pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan
dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada
ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA
asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada
petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV


yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral
Therapy atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi
HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT
dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti
oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)

12
Tabel 11 : Terapi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007

13
2.9 KOMPLIKASI

Komplikasi HIV berupa risiko infeksi oportunistik dan keganasan yang


diakibatkan oleh penurunan CD4. Infeksi oportunistik yang dapat terjadi di
antaranya adalah:

 Tuberkulosis paru

 Tuberkulosis ekstra paru

 Sarkoma kaposi

 Herpes rekuren

 Limfadenopati

 Candidiasis orofaring

 Wasting-syndrome

2.10 PROGNOSIS

Penderita HIV yang tidak mendapatkan penanganan, memiliki prognosis


yang buruk, dengan tingkat mortalitas > 90%. Rata-rata jangka waktu sejak
infeksi hingga kematian adalah 8-10 tahun (tanpa intervensi ARV).

14
BAB III

KESIMPULAN

 AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena


penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
 Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia
dan banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia
ini yang terbebas dari HIV.
 Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang,
dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta
penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan
epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
 Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi
melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke
peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui
komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke
janin.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan


dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill

4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S,


Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 2005.

5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10].


Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id

6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006

7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib


AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV
infection in infants and children in Indonesia: current challenges in
management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
2009

8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis


Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan 2007

9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010:


executive summary. Geneva. 2010.

10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8];
Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

16

Anda mungkin juga menyukai