Anda di halaman 1dari 3

Pengaturan masalah perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“PP 9/1975”) dan khusus yang beragama Islam mengacu kepada Kompilasi Hukum
Islam (“KHI”).

Menggugat Cerai Suami Berdasarkan UU Perkawinan


Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan (Pengadilan
Negeri untuk yang beragama selain Islam dan Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam)
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan (mediasi) kedua belah pihak.

Berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, untuk dapat melakukan perceraian harus ada
cukup alasan bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Sedangkan, mengenai apa saja yang merupakan alasan-alasan perceraian, dapat dilihat
pada Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 19 PP 9/1975, yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.

Mengenai prosedur gugatan perceraian menurut Pasal 40 UU Perkawinan diatur sebagai


berikut:

1. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.


2. Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.

Lebih lanjut mengenai gugatan perceraian diatur dalam Pasal 20 PP 9/1975:

1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai
tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat
kediaman penggugat.
3. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan ditempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan
tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Gugatan dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab
perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang
dekat dengan suami-istri itu.

Berdasarkan UU Perkawinan dan PP 9/1975, gugatan perceraian dapat diajukan oleh suami atau
juga istri atau dapat diwakili kuasanya. Itu artinya istri berhak untuk mengajukan gugatan cerai
terhadap suami.

Menggugat Cerai Suami Berdasarkan KHI


Dalam hukum Islam, perceraian dibedakan menjadi dua, yaitu karena talak (dijatuhkan oleh
suami) dan karena gugatan perceraian (diajukan istri).Yang membedakan adalah subjek yang
mengajukan cerai. Yang melakukan cerai talak adalah suami terhadap istri, sedangkan gugatan
perceraian dilakukan istri terhadap suami.

Selain itu perlu diketaui bahwa menurut Pasal 115 KHI perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan (mediasi) kedua belah pihak.

Pasal 132 ayat (1) KHI mengatur mengenai gugatan perceraian (diajukan istri):

Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah
hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami.

Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap
tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Sedangkan, cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHIyang berbunyi:

Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian”

Talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 129 KHI yang
berbunyi:

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan
maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan
alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Selengkapnya mengenai cerai gugat dan cerai talak Anda dapat simak dalam artikel Cerai Karena
Gugatan dan Cerai Karena Talak.

Menjawab pertanyaan, bolehkah istri mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan secara


diam-diam?

Sepanjang penelusuran kami, menurut peraturan perundang-undangan yang mengatur


mengenai perkawinan tidak aturan yang mewajibkan istri untuk memberitahukan kepada suami
terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan perceraian. Sehingga gugatan perceraian yang
dilakukan istri tanpa sepengetahuan suami boleh menurut hukum.

Tetapi menurut hemat kami, sebelum mengajukan gugatan cerai hendaknya istri
memberitahukan suami terlebih dahulu. Agar kedua belah pihak dapat bermusyawarah dan
mencari jalan keluar lain sebelum akhirnya benar-benar memutuskan untuk bercerai. Hendaknya
perceraian menjadi upaya terakhir bagi suami dan istri.

Berkaitan dengan gugatan cerai yang diajukan oleh istri Anda, kami menyarankan Anda dan istri
untuk mengupayakan perdamaian terlebih dahulu sebelum memutuskan bercerai. Selain itu
dalam sidang perceraian hakim yang memeriksa gugatan perceraian biasanya berusaha
mendamaikan kedua pihak yang dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan selama perkara
belum diutuskan.

Anda mungkin juga menyukai