Anda di halaman 1dari 91

LAPORAN KASUS

SEORANG PENDERITA ANEMIA PENYAKIT KRONIS DD DEFISIENSI


BESI DENGAN COLITIS ULSURATIF
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian di SMF Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum dok II jayapura

Oleh:
Marike kegiye
0100840180

Pembimbing:
Pembimbing: dr. Silvester Salombe ,Sp.PD

SMF PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABE JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
PAPUA
2018

LEMBAR PENGESAHAN

2
Telah disetujui dan diterima oleh Penguji laporan kasus dengan judul :
“ANEMIA PENYAKIT KRONIS DD DEFISIENSI BESI DENGAN COLITIS

Sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Madya pada SMF Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum daerah abepura Jayapura
Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura

yang dilaksanakan pada :

Hari/Tanggal :
Tempat :

Mengesahkan
Penguji laporan kasus Bagian SMF Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih

Pembimbing: dr. Silvester Salombe ,Sp.PD

3
LEMBAR PENILAIAN JOURNAL READING

Hari : 9 Mei 2019

Pembimbing : Dr. SILVESTER .Salombe .SP.PD

Judul : SEORANG PENDERITA ANEMIA

PENYAKIT KRONIS DD DEFISIENSI BESI DENGAN COLITIS

NO NAMA NILAI
1.

Pembimbing

( dr. Silvester Salombe, Sp.PD)

4
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan kasus yang berjudul
“Seorang Penderita Anemia defisiensi besi DD Anemia penyakit Kronis dengan Colitis
ulsuratif ” ini tepat pada waktunya. Pengalaman belajar lapangan ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK
UNIVERSITAS CENDERAWSIH .

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan bimbingan maupun
bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Pembimbing : dr .Silvester Salombe,Sp.PD .
6. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan kasus ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa pengalaman belajar dalam penyusunan Laporan kasus masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis
mengharapkan semoga pengalaman belajar penyusunan Laporan kasus ini dapat bermanfaat
di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.

Jayapura , Mei 10 – 2017

Penulis

5
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik

di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30%

jumlah penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia. Kelainan ini

mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta

kesehatan fisik.

Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan

gejala dari berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu penentuan penyakit

dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui

penyebab yang mendasari, anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas.

Anemia penyakit kronis merupakan anemia sering dijumpai pada pasien

dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan .Anemia ini umun nya

ringan atau sedang ,disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan yang

disebut anemia penyakit kronis .pada umunnya ,anemia pada penyakit kronis di

tandai oleh kadar Hb berkisar 7-11 g/dl ,kadar fe yang tinggi di jaringan serta

produksi sel darah merah berkurang ,sedangkan Anemia defisiensi besi

merupakan Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat

berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi

kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan

pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi ditandai

oleh anemia hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang

menunjukan cadangan besi kosong.


Besi merupakan bagian dari molekul Hemoglobin, dengan

berkurangnya besi maka sintesa hemoglobin akan berkurang dan

mengakibatkan kadar hemoglobin akan turun. Hemoglobin

merupakan unsur yang sangat vital bagi tubuh manusia, karena

kadar hemoglobin yang rendah mempengaruhi kemampuan

menghantarkan O2 yang sangat dibutuhkan oleh seluruh jaringan

tubuh.

Kebutuhan besi yang dibutuhkan setiap harinya untuk

menggantikan zat besi yang hilang dari tubuh dan untuk

pertumbuhan ini bervariasi, tergantung dari umur, jenis kelamin.

Kebutuhan meningkat pada bayi, remaja, wanita hamil, menyusui

serta wanita menstruasi. Oleh karena itu kelompok tersebut

sangat mungkin menderita defisiensi besi jika terdapat kehilangan

besi yang disebabkan hal lain maupun kurangnya intake besi

dalam jangka panjang.

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling

sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau negara

dunia ketiga. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk

dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan

serta dampak sosial yang cukup seriu


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defini

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa


eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.

2.2 Kriteria Anemia

Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa


eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit.
Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologis tergantung jenis
kelamin, usia, kehamilan dan ketinggian tempat tinggal

Kriteria anemia menurut WHO adalah:

NO KELOMPOK KRITERIA ANEMIA

1. Laki-laki dewasa < 13 g/dl

2. Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl

3. Wanita hamil < 11 g/dl

2.3 Prevalensi Anemia

Tabel 2. Gambaran prevalensi anemia di dunia (dikutip dari De Maeyer EM


,et al,1989

Lokasi Anak 0-4 Anak 5- Laki Wanita Wanita


tahun 12 tahun dewasa 15-49 hamil
tahun
Negara maju 12 % 7% 3% 14% 11%
Negara 51% 46% 26% 59% 47%
berkembang
Dunia 43% 37% 18% 51% 35%
2.4 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA

Anemia adalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacan


penyakit Pada dasarnya anemia di sebabkan oleh karena 1) .gangguan
pembentukan eritrosit oleh sumsung tulang,2) kehilangan darah keluar
tubuh(perdarahan ); 3) prosese penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya (hemolisis) .

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran


morfologis dengan melihat indek eritrosit atau hapusan darah tepi .Dalam
klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan 1) . anemia hipokromik
mikrositer ,bila MCV <80 fl ,dan MCH < 27 pg ; 2.) anemia normokromik
normositer ,bila MCV 80-90 fl ,dan MCH 27 -34 Pg ;3) anemia makrositer ,bila
MCV > 95 fl .

Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan (table 4 ) akan


sangat menolong dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis
morfologi anemia .
Tabel 3 . Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesis
A Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum
tulang belakang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan vitamin B12
a) Anemia akibat penyakit kronis
b) Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia aplastic
b) Anemia mieloptisik
c) Anemia pada keganasan hematologi
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik
f) Anemia akibat kekurangan eritropoietin
g) Anemia pada gagal ginjal kronik

B Anemia akibat hemoragi


1. anemia pasca perdarahan akut
2. anemia akibat perdarahan kronik
C Anemia hemolitik
1. anemia hemolitik intrakorpuskular
 gangguan membrane eritrosit (membranopati )
 gangguan enzim eritrosit (enzimopati ) anemia
akibat defisiensi G6PD
 gangguan hemoglobin (hemoglobinopati )
 thalassemia
 hemoglobinopati structural : HbS ,HbE ,dll
2. anemia hemolitik intrakorpuskular
 anemia hemolitik autoimun
 anemia hemolotik mikroangiopatik
 lain-lain .

D Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis


yang kompleks .

Table 4 Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi


1 Anemia hipokromik mikrositer
A. anemia defisiensi besi
B. thalassemia minor
C. anemia akibat penyakit kronis
D. anemia sideroblastik
II Anemia normokromik normositer
A. anemia pasca perdarahan akut
B. anemia hemolitik didapat .
C. aniemia akibat penyakit kronik
D. anemia pada gagal ginjal kronik
E. anemia pada syndrome mielodisplastik
F. anemia pada kegagasan hematologic

III Anemia makrositer


A. bentuk megaloblastik
 anemia defisiensi asam folat
 anemia defisiensi B12 ,termasuk anemia
pernisiosa
B. bentuk non megaloblastik
 Anemia pada penayakit hati kronik
 Anemia pada hipotiroidisme
 Anemia pada syndrome mielodisplastik
2.5 Anemia penyakit kronis

Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) sering


dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun
keganasan.2 Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa
lemah dan penurunan berat badan dan disebut sebagai anemia pada
penyakit kronis. Pada umumnya anemia pada penyakit kronis ditandai
oleh kadar Hb berkisar 7-11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC
(Total Iron Bin sedangkan pada anemia defisensi besi adalah anemia yang
timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoietsis , karena
cadangan besi kosong, sehingga pembentukan hemoglobin berkurang. Berbeda
dengan , ADB pada anemia akibat penyakit kronik, berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoietik terjadi akibat pelepasan besi dari system
retikuloendotelial yang berkurang, sementara cadangan besi normal. Namun,
kedua jenis anemia ini merupakan anemia dengan gangguan metabolisme besi.

ding Capacity) yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan


serta produksi sel darah merah berkurang.5
Tabel : Diagnosis Diferensial Anemia Penyakit Kronis
Anemia Anemia Thalasemia Anemia
Penyakit Defisiensi Sideroblastik
Kronik Besi
Derajat Ringan Ringan Ringan Ringan sampai
anemia sampai berat berat
MCV Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N
MCH Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N
Besi serum Menurun <0 Menurun <30 Normal/ Normal/
TIBC Menurun <300 Meningkat Normal/ Normal/
>360
Saturasi Menurun/N 10- Menurun Meningkat Meningkat
transferin 20% <15% >20% >20%
Besi sumsum Positif Negatif Positif kuat Positif dengan
tulang ring sideroblast
Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal
eritrosit
Feritin serum Normal 20-200 Menurun <20 Meningkat >50 Meningkat >50
µg/l µg/l µg/l µg/l
Elektrofoesis N N HbA2 N
Hb meningkat

2.6 Epidemiologi
Anemia penyakit kronis merupakan anemia terbanyak ke dua
setelah anemia defisiensi besi. Tidak ada data epidemiologi yang secara
rinci menjelaskan setiap jenis anemia, termasuk anemia penyakit kronis.
Dari hasil penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang, didapatkan
prevalensi anemia pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis reguler adalah 86%. Jenis anemia berdasarkan kemungkinan
etiologi yang paling sering ditemukan adalah anemia penyakit kronik.1

2.7 Etiologi
Laporan/data akibat penyakit TB, abses paru, endocarditis bakteri
subakut, osteomyelitis dan infeksi jamur kronik serta HIV membuktikan
bahwa hampir semua infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia.
Derajat anemia sebanding dengan berat ringanyya gejala, seperti demam,
penurunan berat badan, dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia
memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah
terjadi keseimbangan antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb
menjadi stabil.5
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti
infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit.
Penyakit kolagen dan artritis rheumatoid merupakan penyebab terbanyak.
Enteritis regional, colitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga
dapat disertai anemia pada penyakit kronik.5
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walupun
masih dalam stadium dini dan asimptomatik, seperti pada sarkoma dan
limfoma. Anemia ini biasanya disebut anemia pada kanker (cancer releted
anemia). Penyebab anemia karena penyakit kronik dapat dilihat pada tabel
dibawah ini2,3,5 :

2.8 Patogenesis

Etiologi dari ACD adalah multifaktorial dan ditandai oleh aktivitas


sel imun dan respon sitokin inflamasi yang mengurangi produksi eritrosit,
mengganggu eritropoiesis, mengurangi masa hidup eritrosit, dan
disregulasi homeostasis besi.8 Berbeda dengan anemia defisiensi besi,
tanpa inflamasi. ACD biasanya merupakan anemia normokromik
normositik, mikrositik biasanya tidak terlihat, kecuali bersamaan dengan
kekurangan zat besi. Pathogenesis ACD dapat dilihat dari uraian dibawah
ini4,5,8 :
a. Pemendekan masa hidup eritrosit
Diduga anemia terjadi merupakan bagian dari sindrom stress
hematologic, dimana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena
kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin
tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mangikat
lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa,
menekan produksi eritropoetin oleh ginjal, serta menyebakan
perangsangan yang inadekuat pada eritropoesis di sumsum tulang.
Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan
transformasi T4 (tetra iodothyronine) manjadi T3 (tri-iodothyronine),
menyebabkan hipotirod fungsional dimana terjadi penurunan
kebutuhan Hb yang mengangkut O2 sehingga sintesis eritropoetin-pun
akhirnya berkurang.
Pengikatan lebih banyak zat besi menyebabkan konsentrasi
rendah serum besi, TIBC rendah atau normal, dan saturasi transferin
serta retikulosit redah. Yang terpenting atau kunci dari ACD adalah
akumulasi besi dalam retikuloendotelial makrofag meskipun
mengurangi kada zat besi dalam sirkulasi. Sehingga sedikit zat besi
dalam sirkulasi yang tersedia untuk sintesis hemoglobin. Ada
kemungkinan manusia menggunakan meknisme ini untuk menyerap
zat besi sebagai pertahanan dari patogen tertentu yang menyerang.
Namun, pengalihan zat besi dari sirkulasi ke makrofag sangat efektif
untuk menyebabkan defisiensi fungsional besi dan besi terbatas untuk
eritropoiesis, akhirnya jika tidak ditangani menyebabkan anemia.
Penting untuk diingat bahwa pada anemia defisiensi besi, zat besi
kosong baik di sirkulasi maupun dan makrofag.
Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi
pemendakan masa hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoetin
oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit kronik, kompensasi yang
terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya pelepasan
atau menurunya respon terhadap eritropoetin.
b. Peningkatan kadar hepcidin serum
Dalam sebuah penelitian, ditemukan hepcidin yang merupakan
hormon regulasi besi. Inflamasi akibat infeksi, penyakit autoimun,
atau kanker yang merangsang sintesis banyak sitokin seperti
interferon-γ, interleukin-1 (IL-1), dan interleukin-6 (IL-6)
menginduksi produksi kelebihan hepcidin. Produksi hepcidin jangka
panjang, karena kemampuannya yang dapat menghambat fungsi
ferroportin pada enterosit duodenum dan makrofag, menyebabkan
penyerapan zat besi yang buruk dari usus dan retensi besi meningkat
yang merupakan ciri dari ACD.
Sebuah mekanisme molekuler ditandai dengan inflamasi, sbagai
mediator utamanya disini adalah IL-6/ Jalur Kinase 2 (JAK2)- signal
tranducer dan jalur aktivator transkripsi 3 (STAT3). Ligan mengikat
reseptor IL-6 mengaktifkan JAK2, terjadi fosforilasi transkripsi faktor
STAT3. Translokasi STAT3 terfosforilasi ke dalam inti dan
pengikatan STAT3 ke promotor hepsidin menghasilkan peningkatan
regulasi ekspresi gen hepcidin (Figure 1).
c. Penghancuran eritrosit
Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit
memendek pada sekitar 20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada
ekstrakorpuskuler, karena bila eritrosit pasien ditransfusikan ke
resipien normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh
sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut
dan sebagai bagian dari filter limpa (compulsive screening), menjadi
kurang toleran terhadap perubahan atau kerusakan minor dari eritrosit.
d. Produksi eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah
meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguan
metabolisme zat besi pada penyakit kronik. Hal ini memberikan
konsep bahwa anemia dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan
Fe dalam sintesis Hb.
2.9 Produksi Eritrosit
Gangguan metabolism zat besi .Kadar besi yang rendah
meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguan
metabolisme zat besi pada penyakit kronik .hal ini memberikan
konsep bahwa anemia disebabkan oleh penurunan kemampuan fe
dalam sintesis Hb .Penelitiaan akhir menunjukkan parameter Fe yang
terganggu mungkin lebih penting untuk diagnosis daripada untuk
pathogenesis anemia tersebut .
Table 1. perbedaan parameter Fe pada orang normal ,anemia
defisiensi besi dan anemia penyakit kronik .
Table Normal Anemia Anemia penyakit
Defisiensi FE kronis
FE plasma (mg/L ) 70-90 30 30
TIBC 250-400 >450 <200
Persen saturasi 30 7 15
Kandungan FE di ++ - +++
makrofag
Ferritin serum 20-200 10 150
Reseptor tranferin 8-28 >28 8-28
serum
TIBC Total –total iron binding capacity

Secara ringkas ,mekanisme anemia penyakit kronis atau anemia


inflamasi dapat dilihat pada gambar 1.
Adanya infeksi ,inlamasi ,atau keganasan meyebabkan
aktivitasi makrofag sehingga merangsang pengeluaran IL-6
,selanjutnya IL -6 akan mengaktivasi sel-sel retikulo –endoteial diahti
untuk menghasilkan hepsidin .hepsidin akan berinteraksi dengan
feropontin ,yakni protein membrane yang akan menghambat absorbs
besi oleh usus halus ,,disamping itu hepsidin juga akan menurunkan
pelepasan besi oleh makrofag .akibat kedua efek hepsidin tersebut
,maka kadar besi dalam plasma akan menurun (hipoferemia ) yang
menjadi karakteristik anemia penyakit kronik
Fungsi sumsung tulang .Meskipun sumsung tulang yang
normal dapat mengkompensasi pemendekan masa hidup eritosit
,diperlukan stimulus eritropoietin oleh hipoksia akibat anemia
.pada penyakit kronis ,kompensasi yang terjadi kurang dari yang
diharapkan akibat berkurangnya penglepasan atau menurunnya
respon terhadap eritropoitin .Penitilitian mengenai penglepasan
eritropoetin menunjukkan hasil yang berbeda-beda ; pada beberapa
penelitian kadar eritropoetin tidak berbeda bermakna pada pasien
anemia tanpa kelainan kronis ,sedangkan penelitian lain
menunjukkan penurunan produksi ertropoetin sebagai respon
terhadap anemia sedang-berat .Agaknya hal ini disebabkan oleh
sitokin ,seperti IL-1,dan TNF @ yang dikeluarkan oleh sel-sel
yang cedera.penilitian in vitro pada sel hepatoma menunjukkan
bahwa sitokin-sitokin ini mengurangi sintesis eritropoietin .
Terdapat 3 jenis sitokin yakni TNF –a,IL -1 ,IFN –g yang
ditemukan dalam plasma pasien dengan penyakit inflamasi atau
kanker ,dan terdapat hubungan secara lansung Antara kadar sitokin
ini dengan beratnya anemia .TNF –a dihasilkan oleh makrofag
aktif dan bila disuntikkan pada tikus menyebabkan anemia ringan
dengan gambaran khas seperti anemia penyakit kronis .Pada kultur
sumsung tulang manusia ia akan menekan ertropoiesis pada
pembentukan BFU-E dan CFU-E .Penelitian terkini menunjukkan
bahwa efek TNF –a ini melalui IFN –g yang diinduksi oleh
TNFdari sel stroma .
IL -1 berperan dalam berbagai manifestasi inflamasi ,juga
terdapat dalam dalam serum penderita penyakit kronis .IL -1
,Seperti hal nya TNF ,akan menginduksi anemia pada tikus dan
menekan pembentukan CFU –E Pada kultur sumsum tulang
manusia .
Kedua Inferon tadi diduga dapat langsung menghambat
CFU –E tanpa melalui efek TNF –a, serta serta dapat menekan
progenitor non-eritroid .walaupun demikin bagaimana peranannya
dalam pathogenesis anemia secara pasti belum dapat dijelaskan
,karena masih banyak factor-faktor lain yang tak terduga yang
mungkin berperan penting dalam pathogenesis anemia jenis ini .

2.10 Manifestasi Klinis


Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan
sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit
dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 gr/dl umumnya
asimptomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas
fisik meningkat, pengurangan kapasitas transpor O2 jaringan akan
memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan
sebelumnya.5

3. Pemeriksaan Laboratorium
Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun
banyak pasien mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC (Mean
Corpuscular Hemoglobin Capacity) <31 g/dl dan beberapa mempunyai sel
mikrositer dengan MCV (Mean Corpuscular Volume) <80 fL. Nilai
retikulosit absolut dalam batas normal dan trombosit tidak konsisten,
tergantung dari penyakit dasarnya.5
Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua
non untuk diagnosa penyakit anemia karena penyakit kronis. Keadaan ini
timbul segera setelah timbul onset suatu infeksi atau inflamasi dan
mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe
(transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe lebih tinggi dari pada
anemia defisiensi besi. Produksi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan
meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan yang kurang dari Fe dalam
sirkulasi kepada sel eritroid imatur.5
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat
dari pada penurunan Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin
lebih lama (8-12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena
fungsi metabolik yang berbeda.5

2.9 Diagnosis
Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronis ,inflamasi dan
keganasan menderita anemia ,anemia tersebut disebut anemia pada
penyakit kronis hanya jika anemia nya anemia sedang selularitas sumsum
tulanng normal,kadar besi serum nya dan TIBC rendah ,kadar besi dalam
makrofag dalam sumsung normal atau meningkat ,serta feritin serum yang
meningkat

2.10 Pengobatan
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati
penyakit dasarnya. Terdapat beberapa cara dalam mengobati anemia jenis
ini, antara lain5 :
a. Transfusi
Merupakan pilihan kasus-kasus yang disertai gangguan
hemodinamika. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar Hb berapa
kita harus memberi transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa
pasien anemia penyakit kronik yang terkena infak miokard,
transfusi dapat menurunkan angka kematian secara bermakna.
Demikian juga dengan pasien anemia akibat kanker, sebaiknya
kadar Hb dipertahankan 10-11 g/dl.
b. Preparat besi
Pemberian preparat besi pada anemia panyakit kronik masih dalam
perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi
dengan alasan besi adapat mencegah pembentukan TNF-a. Alasan
lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat
terbukti dapat meningkatkan kadar Hb. Terlepas dari adanya pro
dan kontra, sampai saat ini pemberian preparat besi belum
direkomendsikan untuk diberikan pada pasien anemia penyakit
kronik.
c. Eritropoietin
Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoetin
bermanfaat dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien
anemia akibat kanker, gagal ginjal, myeloma multiple, artritis
reumathoid dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi
beserta efeknya, pemberian eritropoetin memberikan keuntungan
yaitu : mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan
produksi TNF-a dan interferon gamma. Dilain pihak pemberian
eritropoetin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta
meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.

Anemia defisiensi besi


2.11 . Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoietik , karena cadangan besi
kosong, sehingga pembentukan hemoglobin berkurang. Berbeda dengan
anemia akibat penyakit kronik, berkurangnya penyediaan besi untuk
eritropoietik terjadi akibat pelepasan besi dari system retikuloendotelial
yang berkurang, sementara cadangan besi normal. Namun, kedua jenis
anemia ini merupakan anemia dengan gangguan metabolisme besi.

2.12 Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan
besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan kronik :

1. Faktor nutrisi
 kurangnya jumlah besi atau bioavailabilitas ( kualitas ) besi
dalam asupan makanan misalnya ; makanan banyak serta, rendah
daging, rendah vitamin C.

2. Kebutuhan besi meningkat


 prematuritas, anak dalam masa petumbuhan dan kehamilan

3. Gangguan absorbsi besi


 gastrektomi, colitis kronik

4. Perdarahan kronik
 saluran cerna ; tukak peptic, konsumsi NSAID, salisilat, kanker
kolon, kanker lambung, divertikulosis, infeksi cacing tambang,
hemoroid

 saluran genitalia wanita ; menoraghia, mtroraghia

 saluran kemih ; hematuria

 saluran nafas ; hemoptoe

2.13 KLASIFIKASI

Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka

defisiensi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan :

1. Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun tetapi

penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu.

2. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoesis) :

cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis

terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.

3. Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai anemia.


2.13 Manifestasi Klinik :

 Gejala umum anemia

o Gejala ini baru akan timbul apabila terjadi penurunan kadar


hemoglobin hingga 7-8 gr/dl
o Lemah, lesu, lelah, mata berkunang-kunang dan telinga
berdenging
o Anemia bersifat simptomatik jika hemoglobin < 7 gr/dl
,maka gejala-gejala dan tanda akan jelas
o Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat,

terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.

 Gejala khas defisiensi besi


o Koilonichya (spoon nail) yaitu kuku yang cekung seperti sendok,
memiliki garis-garis vertikal dan rapuh
o Atrofi papil lidah sehingga permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap
o Stomatitis angularis (cheilosis) yaitu adanya radang pada sudut
mulut berupa bercak keputihan
o Disfagia
o Atrofi mukosa gaster
o Pica ; keinginan makan makanan yang tidak lazim seperti tanah
liat, lem dll
 Gejala penyakit dasar
o Gejala tergantung penyebab dasar yang menimbulkan anemia
o Pada infeksi cacing tambang terdapat gejala dispepsia, parotis
yang membengkak dan kulit telapak tangan berwarna kuning
seperti jerami
o Anemia akibat kanker kolon dapat disertai oleh gangguan BAB

2.14 Pemeriksaan laboratorium


Pada pemeriksaan laboratorium pada kasus anemia defisiensi

besi yang dapat dijumpai adalah :

1. Pengukuran kadar hemoglobin dan indeks eritrosit didapatkan

anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar

hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH

menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada anemia

defisiensi besi dan thalasemia major. MCHC menurun pada

defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. RDW (red

cell distribution witdh) meningkat yang menandakan adanya

anisositosis. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi.

Kadar hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa

menimbulkan gejala anemia yang menyolok karena anemia

timbul perlahan-lahan.

Hapusan darah mennunjukan anemia hipokromik

mikrositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel target dan

sel pensil. Leukosit dan trombosit normal. Pada kasus

ankilostomiasis sering disertai eosinofilia.

2. Kadar besi serum menurun < 50 g/dl, TIBC meningkat > 350

g/dl, dan saturasi transferin < 15 %


3. Kadar serum feritinin < 20 g/dl.

4. Protoforfirin eritrosit meningkat ( > 100 g/dl)

5. Sumsum tulang menunjukan hiperplasia normoblastik dengan

normoblast kecil-kecil (micronormoblast) dominan.

6. Pada laboratorium yang maju dapat diperiksa reseptor

transferin kadar reseptor transferin meningkat.

7. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (perl’s

stain) menunjukan cadangan besi yang negatif (butir

hemosiderin negatif).

8. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia

defisiensi besi antara lain :

- Pemeriksaan feses untuk cacing tambang,

sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif

(Kato Katz)

- Pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi,

barium intake dan barium inloop.

215 Penegakan Diagnosis

2.6.1 Diagnosis kerja


Anemia defisiensi besi (ADB) yaitu anemia yang timbul
akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoeisis,
karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada
akhirnya mengakibatkan pembentukan haemoglobin
berkurang.ADB ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer
dan hasil laboratorium menunjukkan cadangan besi kosong.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering
dijumpai terutama di daerah tropik atau negara dunia ketiga,
oleh karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi.
Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang
memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan dan
dampak sosial yang sangat serius.1

Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus


dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai
pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap
diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya
anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit.
Cutt off point anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah
kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah
memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga
adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.1
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia
defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat dipakai kriteria
diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin
et al) sebagai berikut:

Anemia hipokrom mikrositer pada sediaan hapus darah tepi,


atau MCV<80fl dan MCH<31% dengan salah satu dari a,b,c,
atau d:
a. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
 Besi serum <50mg/dl
 TIBC >350mg/dl
 Saturasi transferin: <15%, atau
b. Feritin serum <20mg/I, atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan Biru Perusia
(Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir
hemosiderin) negatif, atau
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari (atau
preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu
disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2g/dl

Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi


penyebab defisiensi besi. Tahap ini sering merupakan proses
yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tapi
merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah
kekambuhan defisiensi besi serta kemungkinan untuk dapat
menemukan sumber perdarahan yang membahayakan.
Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus
ADB tidak diketahui penyebabnya.1

Untuk pasien dewasa, fokus utama adalah mencari sumber


perdarahan. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang
teliti. Pada perempuan masa reproduksi, anamnesis tengtang
menstruasi sangat penting. Kalau perlu dilakukan pemeriksaan
genekologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia dilakukan
pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang. Tidak
cukup hanya dilakkan pemeriksaan hapusan langsung (direct
smear dengan eosin), tapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan
semikuantitatif seperti misalnya teknik Kato-Katz untuk
menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan
tidaklah serta merta dapat dianggap sebagai penyebab utama
ADB, harus dicari penyebab lainnya. Titik kritis cacing
tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur pergram
feses (TPG) atau egg pe rgram faces (EPG) >2000 pada
perempuan dan > 4000 pada laki-laki. Dalam satu penilitian
lapangan ditemukan hubungn yang nyata antara derajat infeksi
cacing tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi
hubungan ini lebih lemah pada prempuan.1
Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah
anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing
tambang berat. Anemia akibat cacing tambang sering disertai
pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan.
Pada pemeriksaan laboratorium disamping tanda-tanda
defisiensi besi juga disertai eosinofilia

Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia


hipokrom mikrositer1

2.16 Penatalaksaan
Setelah diagnosis maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi

terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa :

1. Terapi kausal : tergantung penyebab, misalnya ; pengobatan

cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan

menoragia. Terapi kausal harus dilakukan kalau tidak maka

anemia akan kambuh kembali.

2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi

dalam tubuh (iron replacemen theraphy).


a. Terapi besi per oral : merupakan obat piliham pertama

(efektif, murah, dan aman). Preparat yang tersedia :

ferrosus sulphat (sulfas fenosus). Dosis anjuran 3 x 200

mg. Setiap 200 mg sulfas fenosus mengandung 66 mg besi

elemental. Pemberian sulfas fenosus 3 x 200 mg

mengakibatkan absorpsi besi 50 mg/hari dapat

meningkatkan eritropoesis 2-3 kali normal. Preparat

yang lain : ferrosus gluconate, ferrosus fumarat,

ferrosus lactate, dan ferrosus succinate. Sediaan ini

harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek

samping hampir sama dengan sulfas fenosus.

b. Terapi besi parenteral

Terapi ini sangat efektif tetapi efek samping lebih

berbahaya, dan lebih mahal. Indikasi :

. intoleransi terhadap pemberian oral

. kepatuhan terhadap berobat rendah

. gangguan pencernaan kolitis ulseratif yang dapat

kambuh jika diberikan besi

. penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada

gastrektomi

. keadaan dimana kehilangan darah yang banyak

sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian

besi oral.
. Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek,

seperti pada kehamilan trisemester tiga atau sebelum

operasi.

. Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian

eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau

anemia akibat penyakit kronik.

Preparat yang tersedia : iron dextran complex

(mengandung 50 mg besi/ml) iron sorbitol citric acid

complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan

iron sucrose yang lebih aman. Besi parental dapat

diberikan secara intrauskular dalam atau intravena. Efek

samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis,

flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut

dan sinkop.

Terapi besi parental bertujuan untuk

mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi

sebesar 500 sampai 1000 mg.

Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus

berikut :

Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg

Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam

beberapa kali pemberian.

c. Pengobatan lain
. Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan

tinggi protein terutama yang berasal dari protein

hewani.

. Vitamin c : vitamin c diberikan 3 x 100 mg/hari untuk

meningkatkan absorpsi besi.

. Transfusi darah : anemia defisiensi besi jarang

memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian

transfusi darah pada anemia defisiensi besi adalah :

- Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman

payah jantung.

- Anemia yang sangat simpomatik, misalnya anemia

dengan gejala pusing yang sangat menyolok.

- Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin

yang cepat seperti pada kehamilan trisemester akhir

atau preoperasi.

Respon terhadap terapi Dalam pengobatan dengan preparat besi,

seorang penderita dinyatakan memberikan respon baik bila

Retikulosit naik pada minggu pertama, menjadi normal setelah hari

10-14 diikuti kenaikan Hb 0,15 g/hari. Hemoglobin menjadi

normal setelah 4-10 minggu.

Jika respon terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan :

1. Dosis besi kurang

2. Masih ada pendarahan cukup banyak

3. Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum


4. Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik,

peradangan menahun, atau pada saat yang sama ada defisiensi

asam folat.

5. Diagnosis defisiensi besi salah

Jika dijumpai keadaan diatas maka, lakukan evaluasi kembali dan

ambil tindakan yang tepat.

2.17 . PENCEGAHAN

Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di

masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan yang

terpadu. Tindakan pencegahan tersebut berupa :

1. Pendidikan kesehatan :

a. kesehatan lingkungan (misalnya tentang pemakaian

jamban), lingkungan kerja ( misalnya pemakaian alas

kaki)

b. penyuluhan gizi : untuk mendorong konsumsi makanan

yang membantu absorpsi besi

2. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber

pendarahan kronik paling sering pada di daerah tropik.

Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan

pengobatan massal dengan antelhemik dan perbaikan sanitasi.

3. Suplementasi besi, yaitu pemberian besi profilaksis terutama

untuk segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan

anak. Di indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak

balita memakai pil besi dan folat.


4. Forfolitas bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan

besi pada bahan makanan. Di negara barat dilakukan dengan

mencampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi.

DIAGNOSIS BANDING

Anemia akibat penyakit kronik.


Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan anemia. Sebagian
besar disebabkan oleh inflamasi kronik, kanker , gagal ginjal dan penyakit hati.
Anemia penyakit kronis ini ditandai dengan pemendekan masa hidup eritrosit,
gangguan metabolisme besi, dan gangguan produksi eritrosit akibat tidak
efektifnya rangsangan eritropoeitin. Pada umunya anemia derajat sedang dengan
mekanismenya yang belum jelas.

Tabel 2

Anemia defisiensi besi Anemia penyakit kronik

Derajat anemia Ringan sampai berat Ringan

MCV Menurun Menurun/normal

MCH Menurun Menurun/normal

Besi serum Menurun Menurun < 50

TIBC Meningkat > 360 Menurun <300

Saturasi Menurun < 15% Menurun / normal 10-20%


transferin

Besi sumsum Negatif Positif


tulang

Protoporfirin Meningkat Meningkat


eritrosit

Feritin serum Menurun < 20𝜇g/l Normal 20-200 μg/l

Elektrofoesis Hb Normal Normal


Perbandingan anemia defisiensi besi dan anemia penyakit kronik

2.18 Definisi
Kolitis ulseratif adalah penyakit kronis dimana usus besar atau
kolon mengalami inflamasi dan ulserasi menghasilkan keadaan
diare berdarah, nyeri perut, dan demam.
Kolitis ulseratif dikarakteristikkan dengan eksaserbasi dan remisi
yang intermiten dari gejala.

3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena colitis ulseratif.
Insidennya10-12 kasus per 100.000 orang per tahunnya. Rata-rata
prevalensinya antara 35-1 0 0 k a s u s p e r 1 0 0 . 0 0 0 o r a n g .
S e m e n t a r a i t u , p u n c a k k e j a d i a n penyakit tersebut adalah
antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi
pada setiap dekade kehidupan. Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih
sering daripada Crohn disease. Colitis ulseratif terjadi lebih sering
pada orang kulit putih daripada orang African American atau
Hispanic.

Penyakit KU lebih sering mengenai ras kaukasoid, terutama suku


bangsa Yahudi, dibandingkan dengan ras Afrika dan oriental
dengan peningkatan angka kejadian 3-6 kali lipat. Angka kejadian
pada pria dan wanita sama. Di negara Eropa barat dan USA, angka
kejadian KU 6-8 kasus per 100.000 penduduk dan 70-150 kasus
per 100.000 penduduk sebagai faktor risiko terkena KU. KU
biasanya mengenai penderita berusia 15-35 tahun dan ditandai
dengan diare terus menerus yang disertai darah. Pasien dengan KU
meningkatkan risiko terkena kanker kolon 0,5% - 1% per tahun.

4 Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit ini masih belum juga diketahui. Teori
tentang apa penyebab kolitis ulseratif sangat banyak, tetapi tidak
satupun dapat membuktikan secara pas. Penelitian-penelitian telah
dilakukan dan membuktikan adanya kemungkinan lebih dari satu
penyebab dan efek akumulasi dari penyebab tersebut adalah akar
dari keadaan patologis. Penyebabnya meliputi herediter, faktor
genetik, faktor lingkungan, atau gangguan sistem imun. Secara
garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor
ekstrinsik dan faktor intrinsik.
1) Faktor ekstrinsik
a) Diet: asupan makanan cepat saji dan gula telah
dihubungkan pada banyak penelitian dengan kemungkinan
menderita kolitis ulseratif.
b) Infeksi: beberapa peneliti menyatakan bahwa kolitis
ulseratif dapat berhubungan dengan beberapa infeksi
saluran cerna yang disebabkan oleh mikroorganisme E.
Coli. Satu teori menjelaskan bahwa virus measles yang
belum dibersihkan dari tubuh dengan tuntas dapat
menyebabkan inflamasi kronik ringan dari mukosa usus.
c) Obat-obatan: penelitian juga menunjukkan hubungan antara
asupan oral pil kontrasepsi dan kolitis ulseratif dapat
menyebabkan pasien menderita serangan apalagi jika
mengkonsumsi antibiotik dan NSAID.

Hal yang terpenting adalah meskipun banyak dari orang


yang memakan diet buruk atau mempunyai infeksi E. Coli
belum pasti akan menderita kolitis ulseratif sehingga dapat
disimpulkan bahwa masih ada sesuatu yang membuat
seseorang menjadi lebih rentan.
2) Faktor intrinsik
a) Gangguan sistem imun: beberapa ahli percaya bahwa
adanya defek pada sistem imun seseorang berperan dalam
terjadinya inflamasi dinding usus. Gangguan ini ada 2
jenis:
- Alergi: beberapa penelitian menunjukan bahwa kolitis
ulseratif adalah bentuk respon alergi terhadap makanan
atau adanya mikroorganisme di usus.
- Autoimun: penelitian terbaru menunjukkan bahwa
kolitis ulseratif dapat merupakan suatu bentuk penyakit
autoimun dimana sistem pertahanan tubuh menyerang
organ dan jaringan tubuh sendiri. Diantaranya adalah
usus besar.
b) Genetik: penelitian terbaru menujukkan bahwa faktor
genetik dapat meningkatkan kecenderungan untuk
menderita kolitis ulseratif.
c) Faktor herediter: adanya anggota keluarga yang menderita
kolitis ulseratif akan meningkatkan risiko anggota keluarga
lain untuk menderita penyakit serupa.
d) Psikosomatik: pikiran berperan penting dalam menjaga
kondisi sehat atau sakit dari tubuh. Setiap stres emosional
mempunyai efek yang merugikan sistem imun sehingga
dapat menyebabkan penyakit kronik seperti kolitis ulseratif.
Terdapat fakta bahwa banyak pasien kolitis ulseratif
mengalami situasi stres berat di kehidupannya.

5 Patofisiologi

Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada


kolon, yang merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada
rektum yang menyebar kebagian kolon yang lain dengan gambaran
mukosa yang normal tidak dijumpai. Kelainan ini akan berhenti
pada daerah ileosekal, namun pada keadaan yang berat kelainan
dapat tejadi pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah
ileosekal akan terjadi kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi.
Panjang kolon akan menjadi 2/3 normal, pemendekan ini
disebabkan terjadinya kelainan muskuler terutama pada kolon
distal dan rektum. Terjadinya striktur tidak selalu didapatkan pada
penyakit ini, melainkan dapat terjadi hipertrofi lokal lapisan
muskularis yang akan berakibat stenosis yang reversibel.

Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa


pembentukan abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi
pada penyakit crohn yang menyerang seluruh tebal dinding usus.
Pada permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa.
Edema dapat menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi
perdarahan pada trauma yang hanya ringan, seperti gesekan ringan
pada permukaan.
Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah
menembus dinding kriptus dan menyebar dalam lapisan
submukosa, menimbulkan terowongan dalam mukosa. Mukosa
kemudian terlepas menyisakan daerah yang tidak bermukosa
(tukak). Tukak mula- mula tersebar dan dangkal, tetapi pada
stadium yang lebih lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi
lebih luas sekali sehingga menyebabkan banyak kehilangan
jaringan,proteindandarah.

6 Diagnosa
a. Gejala Klinik:
Gejala utama colitis ulseratif adalah diare
berdarah dan n yeri a b d o m e n , seringkali dengan
demam dan penurunan berat badan pada kasus berat.
Pada penyakit ringan, bisa terdapat satu atau dua feses
yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah
dan tanpa manifestasi sistemik. Derajat klinik colitis
ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan
ringan,berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya
demam, derajat beratnya anemia yang terjadi dan laju endap
darah (klasifikasi
Truelove).

Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai dengan


serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan
yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat
ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon
yang terlibat. Pada colitis ulseratif, terdapat reaksi radang
yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara
makroskopik, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan
biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah
bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah
tersisa mukosa yang normal. Perjalanan klinis colitis ulseratif
bervariasi. Mayoritas pasien akan menderita relaps dalam
waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat
rekuren dari penyakit. Namun demikian, bisa terdapat periode
remisi yang berkepanjangan hanya dengan gejala minimal.
Pada umumnya, beratnya gejala mencerminkan
luasnya keterlibatan kolon dan intensitas radang.
Truelove and Witts classification of severity of ulcerative
colitis

Activity Mild Moderate Severe

Number of
bloody stools <4 4-6 >6

per day
Temperature
Afebrile Intermediate >37,8
(⁰C)
Heart rate Normal Intermediate >90

Haemoglobin <10,5
>11 10,5-11
(g/dl)
Erythrocyte
sedimentation <20 20-30 >30

rate (mm/h)

Terdapat tiga tipe klinis kolitis ulseratif yang sering terjadi, yang
dikaitkan dengan seringnya gejala. Kolitis ulseratif akut fulminan
ditandai dengan awitan mendadak dan disertai pembentukan
terowongan dan pengelupasan mukosa, menyebabkan kehilangan
banyak darah dan mukus. Jenis kolitis ini terjadi pada sekitar 10%
penderita. Prognosisnya jelek dan sering terjadi komplikasi
megakolon toksik.

Sebagian besar penderita kolitis ulseratif merupakan jenis yang


intermiten (rekuren). Timbulnya kecenderungan selama berbulan-
bulan sampai bertahun- tahun. Bentuk ringan penyakit ditandai
oleh serangan singkat yang terjadi dengan interval berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun dan berlangsung selama 1-3 bulan.
Mungkin hanya terdapat sedikit atau tidak ada demam atau gejala-
gejala konstitusional, dan biasanya hanya kolon bagian distal yang
terkena. Demam atau gejala sistemik dapat timbul pada bentuk
yang lebih berat dan serangan dapat berlangsung selama 3-4 bulan,
kadang- kadang digolongkan sebagai tipe kronik kontinyu,
penderita dibandingkan dengan tipe intermiten, kolon yang terkena
cenderung lebih luas dan lebih sering terjadi komplikasi terus
menerus diare setelah serangan permulaan.

Pada kolitis ulseratif ringan, diare mungkin ringan dengan


perdarahan ringan dan intermitten. Pada penyakit yang berat
defekasi dapat lebih dari 6 kali sehari disertai banyak darah dan
mukus. Kehilangan banyak darah dan mukus yang kronik dapat
mengakibatkan anemia dan hipoproteinemia. Nyeri kolik hebat
ditemukan pada abdomen bagian bawah dan sedikit mereda setelah
defekasi. Sangat sedikit kematian yang disebabkan penyakit ini
tapi dapat menimbulkan cacat ringan atau berat.
Pada kolitis ulseratif juga terdapat berbagai manifestasi diluar
kolon. Manifestasi kolitis diluar kolon:
1.Sistemik
- laju endap darah tinggi
- anemia feripriva
- gangguan gizi: malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan
penurunanberatbadan
2.Kulit dan mukosa (agak jarang)
- eritema nodusum
- eritema multiforme
- pioderma gangrenosa
- dermatitis pustulosa
- stomatistis aftosa
3.Uveitis dan iritis
4. Kelainan orthopedik
- arthralgia
- arthritis
- spondilitis ankilopoetika
5. Kelainan hepato-pankreato-bilier
- perikolangitis
- sirosis hati
- kolangitis sklerosans intrahepatik
- kolelitiasis
- karsinoma saluran empedu
- insufisiensi pancreas
b. Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik pada colitis ulseratif biasanya nonspesifik, bisa
terdapat distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan
kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan f i s i k u m u m a k a n
normal. Demam, takikardia dan hipotensi
p o s t u r a l b i a s a n y a berhubungan dengan penyakit yang
lebih berat.

c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan
mencerminkan derajat dan beratnya perdarahan dan
inflamasi.Bisa terdapat anemia yang mencerminkan
penyakit kronik serta defisiensi besi akibat
kehilangan darah kronik. Leukositosis dengan
pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah
seringkali terlihat pada p a s i e n d e m a m y a n g s a k i t
berat. Kelainan elektrolit, terutama
h i p o k a l e m i a , mencerminkan derajat diare.
Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang
ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein
lumen melalui mukosa yang ulserasi.
Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat
menunjukkan penyakit hepatobiliaris yang
berhubungan. Pemeriksaan kultur feses (pathogen usus
dan bila diperlukan, Escherichia coli), ova, parasit dan
toksin Clostridium difficile negative. P e m e r i k s a a n
antibody p-ANCA dan ASCA (antibody
S a c c h a r o m y c e s cerevisae mannan) berguna
untuk membedakan penyakit colitis ulseratif
dengan penyakit Crohn.

2) Pemeriksaan radiologis
 Foto polos abdomen
Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita
cenderung terfokus pada kolon. Tetapi kelainan lain
yang sering menyertai penyakit ini adalah batu
ginjal,sakroilitis, spondilitis ankilosing dan
nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon
sendiri terlihat memendek dan struktur haustra
menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak
ada, sehingga apabila seluruh kolon terkena
maka materi feses tidak akan terlihat di dalam
abdomen yang disebut dengan empty abdomen.
Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi yang berat
(toxic megacolon) yang sering menyebabkan kematian
apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila
terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat
dideteksi adanya pneumoperitoneum, terutama pada foto
abdomen posisi tegak atau left lateral decubitus (LLD)
maupun pada foto toraks tegak. Foto polos abdomen
juga merupakan pemeriksaan awal untuk
melakukan pemeriksaan barium enema.
Apabila pada pemeriksaan foto polos
a b d o m e n ditemukan tanda-tanda perforasi maka
pemeriksaan barium enema merupakan
kontraindikasi.
 Barium enema
Barium enema merupakan pemeriksaan rutin
yang dilakukan apabila ada k e l a i n a n pada
kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan
barium enema m a k a persiapan saluran cerna
merupakan pendahuluan yang sangat penting. Persiapan
dilakukan selama 2 hari berturut-tururt dengan memakan makanan
rendah serat atau rendah residu, tetapi minum air putih yang
banyak. Apabila diperlukan maka dapat diberikan
laksatif peroral. Pemeriksaan barium enema dapat
dilakukan dengan teknik kontras tunggal (single
contrast ) maupun dengan kontras ganda (double contrast )
yaitu barium sulfat d a n u d a r a . T e k n i k double
contrast s a n g a t b a i k u n t u k m e n i l a i m u k o s a
k o l o n dibandingkan dengan teknik single contrast ,
walaupun prosedur pelaksanaan teknik double
contrast c u k u p sulit. Barium enema
juga merupakan k e l e n g k a p a n pemeriksaan
endoskopi atas dugaan pasien dengan colitis ulseratif .
Gambaran foto barium enema pada kasu s dengan
colitis ulseratif adalah mukosa kolon yang granuler
dan menghilangnya kontur haustra serta kolon tampak
menjadi kaku seperti tabung. Perubahan mukosa
terjadi secara difus dan simetris p a d a s e l u r u h
kolon. Lumen kol on menjadi lebih sempit
akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan
seluruh kolon. Tetapi apabila ditemukan lesi yang
segmental maka rectum dan kolon kiri
(desendens) selalu terlibat, karena awalnya
colitis ulseratif ini mulai terjadi di rectum dan
menyebar ke arah proksimal secara kontinu. Jadi rectum
selalu terlibat, walaupun rectum dapat mengalami
inflamasi lebih ringan dari bagian proksimalnya. Pada
keadaan dimana terjadi pan-ulseratif colitis kronis maka
perubahan juga dapat terjadi di ileum terminal.
Mukosa ileum terminal menjadi gran uler difus
dan dilatasi, sekum berbentuk kerucut
( cone-shaped caecum) d a n k a t u p i l e o s e k a l
terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut backwash
ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas
yaitu collar-button ulcers. Pasien dengan colitis
ulseratif juga menanggung resiko tinggi menjadi
adenokarsinoma kolon.
 Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini
belum merupakan modalitas pemeriksaan yang
diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali merupakan
pemeriksaan alternatif untuk evaluasi keadaan
intralumen dan ekstralumen. Sebelum dilakukan pemeriksaan
USG sebaiknya pasien dipersiapkan saluran cernanya dengan
menyarankan pasien untuk makan makanan
rendah residu dan banyak minum air putih. Persiapan
dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan. Sesaat
sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air. Pada
pemeriksaan USG, kasus dengan colitis ulseratif
didapatkan penebalan dinding usus yang simetris dengan
kandungan lumen kolon yang berkurang. Mukosakolon
yang terlibat tampak menebal dan berstruktur
hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku,
berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra
kolon. Dapat ditemukan target sign atau pseudo-kidney sign
pada potongan transversal atau cross-sectional. Dengan
USG Doppler, pada colitis ulseratif selain dapat
dievaluasi penebalan dindng usus dapat pula dilihat
adanya hypervascular pada dinding usus tersebut.
 CT Scan dan MRI
Kelebihan CT Scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi
langsung keadaan intralumen dan ekstralumen.
Serta mengevaluasi sampai sejauh mana
komplikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi.
Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT Scan adalah
mengevaluasi jaringan lunak karena terdapat perbedaan
intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara jaringan
lunak satu dengan yang lain. G a m b a r a n C T S c a n
pada colitis ulseratif, terlihat dinding usus
m e n e b a l secara simetris dan kalau terpotong secara
cross-sectional maka terlihat gambaran target sign.
Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan
baik, seperti adanya abses atau fistula atau
keadaan abnormalitas yang melibatkan
mesenterium. MRIdapat dengan jelas memperlihatkan fistula
dan sinus tract-nya.
3) Endoskopi
Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang
melibatkan mukosa kolon secara difus dan kontinu,
dimulai dari rectum dan menyebar / progresif ke
proksimal. Pada colitis ulseratif, ditemukan
hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus,
kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas
mucus, darah dan nanah. Kerapuhan mukosa dan
keterlibatan yang seragam adalah karakteristik.
Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di rectum),
tidak ada daerah mukosa normal yang menyela
sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi
landai, bisa kecil atau konfluen namun selalu
terjadi pada segmen dengan colitis aktif.
Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon pada colitis
ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut.
Biposi rectal bisa memastikan radang mukosa. Pada
penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan
penampilan granuler dan bisa terdapat pseudopolip.
Berikut ini adalah perbedaan gambaran lesi
endoskopik IBD pada colitis ulseratif dengan Crohn’s
Disease.

Gambaran Colitis Ulseratif Crohn’s disease


Lesi inflamasi
(hiperemia, ulserasi, +++ +
dll)
Adanya skip area
(adanya mukosa 0 +++
normal di antara lesi)
Keterlibatan rektum +++ +
Lesi mudah berdarah +++ +
Cobblestone
appearance/ + +++
pseudopolip
Sifat ulkus :
Terdapat pada
mukosa yang +++ +
inflamasi
Keterlibatan ileum 0 ++++
Lesi ulkus bersifat
+ +++
diskrit
Bentuk ulkus:
Diameter >1cm + +++
Dalam + +++
Bentuk linier + +++
Aphtoid 0 ++++
Keterangan: 0= tidak ada, ++++= sangat diagnostik (karakteristik)

4) Pemeriksaan histopatologis
Yang termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan
arsitektur mukosa, perubahan epitel dan perubahan
lamina propria. Perubahan arsitektur mukosa,
perubahan permukaan, berkurangnya densitas kripta,
gambaran abnormal arsitektur kripta (distorsi, bercabang,
memendek). Pada kolon normal, permukaan datar, kripta
tegak, sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama, dan
dasar dekat muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi,
p
r
e
d
o
m
i
n
a
n

t
e
rletak di bagian atas lamina propria. Perubahan epitel
seperti berkurangnya musin dan metaplasia sel
Paneth serta permukaan viliform juga diperhatikan.
Perubahan lamina propria meliputi penambahan
dan perubahan distribusi sel radang. Granuloma
dan sel-sel berinti b a n y a k b i a s a n y a d i t e m u k a n .
Gambaran mikroskopik ini berhubungan
d e n g a n stadium penyakit, apakah stadium akut,
resolving atau kronik/menyembuh. Gambaran khas untuk
colitis ulseratif adalah adanya abses kripti, distorsi
kripti, infiltrasi sel mononuclear dan polimorfonuklear di
lamina propria. Gambaran histologik penyakit
colitisulseratif dibagi menjadi kriteria mayor dan minor.
Sekurang-kurangnya dua kriteria mayor harus dipenuhi
untuk diagnosis colitis ulseratif.
Kriteria mayor colitis ulseratif :
•Infiltrasi sel radang yang difus pada mukosa
•Basal plasmositosis
•Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa
• Abses kripta
•Kriptitis
•Distorsi kripta
•Permukaan viliformis

Kriteria minor colitis ulseratif :


•Jumlah sel goblet berkurang
•Metaplasia sel Paneth
Tetapi pada colitis ulseratif stadium dini, gambarannya
tidak dapat dibedakan d a r i colitis infektif.
Colitis ulseratif mempunyai tiga
stadium yang g a m b a r a n mikroskopiknya
berbeda-beda. Perlu diingat bahwa pada seorang
penderita dapat ditemukan gambaran ketiga stadium
dalam satu sediaan.
7 Komplikasi

Komplikasi kolitis ulseratif dapat bersifat lokal ataupun sistemik.


Fistula, fisura dan abses rektal tidak sering seperti pada colitis
granulomatosa. Kadang- kadang terbentuk fistula rektovagina, dan
beberapa penderita dapat mengalami penyempitan lumen usus akibat
fibrosis yang umumnya lebih ringan.
Salah satu komplikasi yang lebih berat adalah dilatasi toksik atau
megakolon, dimana terjadi paralisis fungsi motorik kolon tranversum
disertai dilatasi cepat segmen usus tersebut. Megakolon toksik paling
sering menyertai pankolitis, mortalitas sekitar 30% dan perforasi usus
sering terjadi. Pengobatan untuk komplikasi ini adalahkolektomidarurat.

Komplikasi lain yang cukup bermakna adalah karsinoma kolon,


dimana frekuensinya semakin meningkat pada penderita yang telah
menderita lebih dari 10 tahun pertama penyakit, mungkin hal ini
mencerminkan tingginya angka pankolitik pada anak.
Perkembangan karsinoma kolon yang terdapat dalam pola penyakit radang
usus menunjukkan perbedaan penting jika dibandingkan dengan
karsinoma yang berkembang pada populasi nonkolitik. Secara klinis
banyak tanda peringatan dini dari neoplasma yaitu perdarahan rektum,
perubahan pola buang air besar akan menyulitkan interpretasi pola kolitis.
Pada pasien kolitis distribusi pada kolon lebih besar dari pada pasien non
kolitis. Pada pasien non kolitis sebagian besar karsinoma pada bagian
rekosigmoid, yang dapat dicapai dengan sigmoidoskopi. Pada pasien
kolitis, tumor seringkali multiple, datar dan menginfiltrasi dan tampaknya
memilki tingkat keganasan yang lebih tinggi.

Komplikasi sistemik yang terjadi sangat beragam, dan sukar


dihubungkan secara kausal terhadap penyakit kolon. Komplikasi ini
berupa pioderma gangrenosa, episkleritis, uveitis, skleritis, dan spondilitis
anilosa. Gangguan fungsi hati sering terjadi pada kolitis ulseratif dan
sirosis hati merupakan komplikasi yang sudah dapat diterima. Adanya
komplikasi sistemik berat dapat menjadi indikasi pembedahan pada kolitis
ulseratif, bahkan bila gejala- gejala kolon adalah ringan sekalipun.
Megakolon
8 Tatalaksana

Ada dua tujuan dari terapi yaitu :

1) Menghentikan serangan akut dan simptomatik

a) Asam 5- aminosalisilat

Asam 5- aminosalisilat atau yang dikenal sebagai


sulfasalazine menjadi obat pilihan utama dalam pengobatan
kolitis ulseratif yang ringan sampai sedang. Sedikit
penelitian yang menerangkan adanya obat baru yang lebih
baik dari sulfasalazine dalam mengontrol inflamasi. 20 dari
30% pasien mengalami intoleransi terhadap sulafasalazine
atau dapat dikatakan alergi terhadap obat ini. Preparat 5-
asam aminosalisilat (5-ASA) atau mesalazine saat ini lebih
disukai dari preparat sulfasalazin karena efek sampingnya
lebih kecil meski efektivitasnya relatif sama. Di Indonesia,
sulfasalazin dipasarkan dalam bentuk sediaan tablet 250 mg
dan 500 mg, enema 4 g/60 mL, serta supositoria 500 mg.
Dosis rerata untuk mencapai remisi adalah 2 – 4 gram per
hari meski ada kepustakaan yang menyebutkan penggunaan
5-ASA ini minimal 3 gram per hari. Umumnya remisi
tercapai dalam 16 – 24 minggu yang kemudian diikuti
dengan dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan 1,5 – 3
gram per hari. Untuk kasus-kasus usus bagian kiri atau
distal, dapat diberikan mesalazin supositoria atau enema,
sedangkan untuk kasus berat, biasanya tidak cukup hanya
dengan menggunakan preparat 5-ASA.
b) Kortikosteroid

Prednison dengan dosis 40- 60 mg/hari secara oral terbukti


dapat menyembuhkan 75- 90% pasien dengan kolitis
ulseratif. Seperti pada penyakit crohn, pengunaan
kortikosteroid jangka panjang tidak dianjurkan. Pasien yang
diterapi dengan kortikosteroid harus diterapi berbarengan
dengan asam 5-aminosalisilat untuk mendapatkan
keuntungan obat tersebut yaitu ”steroid sparing effect”.
Setelah terlihat adanya perbaikan, maka kortikosteroid di
turunkan dengan cara ”tappering off” dalam jangka waktu
6-8 minggu.
Pasien yang tidak responsif terhadap asam 5-aminosalisilat,
kemudian diterapi dengan hidrocortisone enema (100mg)
satu sampai dua kali sehari. Kortikosteroid foam dan
suppositoria dapat digunakan untuk pengobatan ulseratif
proktitis. Tetapi absorbsi sistemik yang signifikan preparat
tersebut dapat menyebabkan Cushing’s sindrome yang
cepat.

c) Obat imunosupresant

Azatioprin dan 6-merkaptopurin, siklosporin,dan


metotreksat merupakan beberapa jenis obat kelompok
imunomodulator. Dosis inisial azatrioprin 50 mg diberikan
hingga tercapaiefek substitusi lalu dinaikkan bertahap 2.5
mg per kgBB. Umumnya, efek terapeutik barutercapai
dalam 2 – 3 bulan. Efek samping yang sering dilaporkan
adalah nausea, dispepsia,leukopeni, limfoma, hepatitis
hingga pankreatitis.
Siklosporin intravena diketahui dapat bermanfaat untuk
kasus akut KU refrakter steroid dengan angka keberhasilan
50 – 80%. Efek samping yang sering dilaporkan meliputi
gangguan ginjal dan infeksi oportunistik. Sedangkan
metotreksat dikenal sebagai preparat yang efektif untuk
kasus PC steroid dependent sekaligus untuk
mempertahankan remisi pada KU. Dosis induksi 25 mg
intramuskular atau subkutan per minggu hingga selesai
tapering off steroid.

Ada bukti yang mendukung keuntungan penggunaan


analog purin, 6-mercaptopurine dan azathioprine untuk
terapi kolitis ulseratif. Penggunaan imunosupresant
diindikasikan jika pasien tidak respon atau ketergantungan
terhadap kortikosteroid. Masih dimungkinkan untuk
penggunaan 6-mercaptopurin dalam tahap awal penyakit
pada beberapa pasien, tetapi penggunaannya jangan
menunda kesempatan untuk operasi pada kolitis yang
ekstensif yang juga berisiko untuk menderita kanker.
Penggunaan cyclosporin pada terapi kolitis ulseratif yang
refrakter terhadap kortikosteroid intravena dapat dicoba.
Pada kelompok pasien ini cyclosporin intravena tampaknya
menginduksi remisi cepat pada lebih 80% pasien.
Toksisitas berkaitan dengan cyclosporin berupa kejang,
hipertensi, nefrotoksik, dan juga risiko infeksi.

Adanya efek samping tersebut harus dipertimbangkan


untuk penggunaan jangka lama pada pasien yang gagal
dengan terapi 6-mercaptopurin. Penggunaan methotrexate
pada terapi kolitis ulseratif yang refrakter juga dapat
dicoba. Hal yang terpenting adalah penggunaan obat
imunosupresant harus dipikirkan kemanjuran dan
toksisitasnya dibandingkan dengan outcome operasi.
d) Pembedahan

Secara umum indikasi terapi pembedahan adalah kolitis


ulseratif disertai perforasi, perdarahan hebat, displasia atau
kanker, dan tidak respon terhadap 7-10 hari terapi
kortikosteroid ataupun cyclosporin. Peran proktokolektomi
pada pasien dengan penyakit ekstensif yang lama masih
kontroversial. Di masa lalu operasi standar untuk kolitis
ulseratif adalah proctokolectomy baik disertai dengan
ileostomy (Brooke) atau teknik yang lebih sulit continent
ileostomy (Koch). Pada 15 tahun terakhir ilmu pembedahan
modern telah menggantikan prosedur proctokolectomy
sebelumnya. Prosedur ini adalah abdominal colectomi yang
dilakukan dengan membuat anastomosis antara kantong
(pouch) distal ileum dengan rektum distal (cuff). Biasanya
diverting ileostomy dilakukan juga untuk memungkinkan
pouch dan anastomosis menyembuh dalam beberapa bulan.
Operasi ini disebut ileoanal pullthrough atau ileal pouch-
anal anastomosis. Modifikasi terbaru dari operasi ini
dilakukan dengan rectal mucosectomy dimana anastomosis
dari ileal pouch ke rectum distal mendekati bagian atas
linea dentate (1-4 cm). Anastomosis ileal pouch-distal
rectum ini lebih mudah dikerjakan terkadang tanpa harus
dilakukan lagi diverting ileostomy. Komplikasi yang sering
terjadi pasca operasi adalah pouchitis yang ditandai dengan
frekuensi defekasi yang meningkat, urgensi, kram, dan
malaise. Hal tersebut berhubungan dengan adanya stasis
dalam pouch. Gejala berespon baik terhadap metronidazol.
2) Mencegah serangan kambuhan
Pasien yang gagal mencapai remisi harus diprogramkan untuk
terapi rumatan dengan 5-asam aminosalisilat (Asacol, 800 mg-
2.4 g/hari). Untuk penyakit yang ekstensif, sulfasalazine (1 g
oral 2x1) atau olsalazine (500 mg atau 1 g 2x1) dapat
digunakan. Pasien dengan lesi terbatas dapat diterapi dengan
preparat rektal setiap 3 hari sekali. Dosis optimal untuk semua
pasien harus diindividualisasikan.
BAB III
LAPORAN KASUS

3. Identitas
Nama : ny.fitria ansaka
Umur : 24 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : doyo baru
Pekerjaan : mahasiswa
Suku : sentani papua
Pendidikan : SMA
No. DM : 49 11 73
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama : nyeri perut hebat
3.2.1.R.Penyakit Sekarang :
Pasien datang diantar oleh keluarganya ,Pasien merupakan pasien
rujukan dari RS DIAN HARAPAN dengan anemia colitis ,datang
dengan keluhan nyeri perut yang di rasakan sejak ± 3 minggu yang
lalu namun memberat ketika pasien tidak bisa bangung dari tempat
tidur pasien susah berdiri ,terasa nyeri sekali , badan terasa lemas
,loyoh dan pasien tampak pucat nyeri kepala ,nyeri perut yang
dirasakan hilang timbul, nyeri terasa seperti tertusuk-tertusuk dan
awalnya nyeri dibagian perut kanan menjalar ke perut bagian kiri
sampai ke tulang belakang hingga menjalar diseluruh perut ,pasien
juga mengatakan nyeri muncul setelah makan dan pada saat istrahat ,
pasien merasakan keenakan ketika duduk tegak , ,makan/minum
kurang (+/+) pasien juga mengeluh rasa mual (+) buang air besar
/buang air kecil (+/+) pusing berkunang –berkunang (-) nyeri pada
saat buang air kecil (-). Keluarga pasien mengaku bahwa pasien
sering mengalami gusi berdarah (-) dan mimisan (-) .

3.2 .2 Riwayat Penyakit Dahulu


Riw. Gastritis (-)
Riwayat apendisitis (-)
Riwayat cholelitiasis (-)
Riwayat enterokolitis (-)
Riw. Asma (disangkal )

3.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga


Menurut pengakuan pasien tidak ada yang memiliki sakit seperti ini
3.3.4 Riwayat pekerjaan dan kebiasaan
Pasien adalah seoarang mahasiwa Kebiasaan pasien ,pasien sering
mengkomsumsi pinang (+) Pasien sering mengkomsumsi rokok (-)
,alcohol (-) ,pasien kurang mengkomsumsi makan yang kurang zat besi
(+) .vitamin c kurang (+)
3.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda – tanda vital :
 Tekanan Darah : 100/70 mmHg
 Nadi : 100 x/ menit, kuat angkat
 Respirasi : 22x/ menit
 Suhu badan : 36,7 ⁰C
 SpO2` : 97%

Kepala dan Leher

 Kepala : deformitas (-) ,


 Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera Ikterik (-
/-), Pupil bulat isokor Ø3cm.
 Telinga : Deformitas (-), Lesi (-)
 Hidung : Deformitas (-), Lesi (-), Pernafasan cuping
hidung (-).
o Mulut : Oral Candidiasi (-),mukosa bibir tampak
pucat (+) terdapat atropi papil lidah (+)
 Tenggorokan : Uvula ditengah (+), Tonsil T0-T0 tenang
(+), faring hiperemis (-)
 Leher : KGB tidak teraba, Peningkatan JVP (-)

Thorax

a. Pulmo
 Inspeksi : Simetris (+) ikuti gerak nafas, retraksi
suprasternal (-)
 Palpasi : Vokal Fremitus Dextra = Sinistra,
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+), rhonki -/-,
wheezing -/-
b. Cor
 Insperksi : Ictus Cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba
 Perkusi : Pekak
 Auskultasi : Bunyi Jantung I-II Reguler, mur-mur (-),
Gallop (-)
c. Abdomen
 Inspeksi : Cembung
 Auskultasi : Bising Usus (+) 3-4 kali/menit
 Palpasi : Nyeri tekan (+), Hepar (Tidak teraba), Lien
(Tidak teraba)
 Perkusi :Tympani (+)
 Extremitas: Akral hangat (+), Edema ektremitas bawah (-),
Edema ektremitas atas (-) pada kaki terdapat koilonikia (+)
 Vegetatif: Makan kurang (-), Minum kurang , BAB (Baik), BAK
(Baik).

3.4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 13/3/2019 sampai tanggal 19 /3/2019


di rumah sakit abe
Parameter Nilai Unit Remarks Nilai
Normal
WBC 7,5 103/μL Normal 3,5 -10,00

#Ne 75 103/μL Tinggi 2,50 -7.50

#Lym 17 103/μL Tinggi 1,00-4,00

#Mo 10,9 103/μL Tinggi 0,10-1,25

#Eo 3,8 103/Μl Tinggi 0,00 – 0,50

#Ba 0.13 103/μL Tinggi 0,00 – 0,10

RBC 3,69 103/μL Rendah 4,0 – 5,2

HGB 6,6 g/dl Rendah 12,00 –


16,00
HCT 23,4 % Rendah 36,00 –
46,00
MCV 63,4 Fl Rendah 80,00 –
100,00
MCH 17,9 Pg Rendah 26,00 –
34,00
MCHC 28.2 g/dl Rendah 31,00 –
36,00
PLT 362 103/μL Normal 150 – 450

DDR NEGATIF

Imonologi HbsAg Non reaktif


TANGGAL 14/3/2019

Parameter Nilai Unit Remarks Nilai


Normal
WBC 5,63 103/μL Normal 4,8-10,8

#Ne 68,1 103/μL Tinggi 2,50 -7.50

#Lym 14,7 103/μL Tinggi 1,00-4,00

#Mo 11,7 103/μL Tinggi 0,10-1,25

#Eo 5,3 103/μL Tinggi 0,00 – 0,50

#Ba 0.2 103/μL Normal 0,00 – 0,10

RBC 3,25 103/μL Rendah 4,0 – 5,2

HGB 5,6 g/dl Rendah 12,00 –


16,00
HCT 20,1 % Rendah 36,00 –
46,00
MCV 61,8 Fl Rendah 80,00 –
100,00
MCH 17,2 Pg Rendah 26,00 –
34,00
MCHC 27.9 g/dl Rendah 31,00 –
36,00
PLT 345 103/μL Normal 150 – 450

RDW –SD 43,4 FL NORMAL 37-47

RDW –CV 20,2 % TINGGI 10,0-15,0

TANGGAL 14/3/2019
(PEMERIKSAAN ADT (APUSAN DARAH TEPIH )
No ADT KETERANGAN
1. ERTROSIT Anisopoikilositosi dominasi
mikrositik sedikit makrositik ,sel
segar ,sel pensil ,tear drop ,sel target
,fragmentosit ,hipokrom
2. Leukosit Jumlah kesan cukup
,hipersegmentasi netrofil
3. Trombosit Jumlah kesan cukup ,penyebaran
tidak merata trombositnya besar
4. Kesan Gambaran anemia defisiensi besi
Saran Retikulosit

PEMERIKSAAN MAKROKOSKOPIS
No Makroskopis Hasil Keterangan
1. Warna Kuning jernih Kuning jernih
2. Berat jenis 1,015 1,000-3,050
3. Derajat keasaam ph 6,0 5,0-9,0
4. Protein Negative Negative
5. Reduksi Negative Negative
6. Keton +1 Negative
7 Urobilinogen Negative Posifif
8. Bilirubin Negative Negative
9. Eritrosit /haemoglobin Negative Negative
10 Lekosit Negative Negative
11. Nitrit Negative Negative
12 TES KEHAMILAN Negative

Tanggal 14/4/2019 feses


No Makroskopis Hasil NILAI RUJUKAN
1. Warna Hitam Coklat kuning
2. Konsistensi Keras -
3. Bau Khas Khas
4. Lender Negative Negative
MIKROSKOPIS HASIL NILAI RUJUKAN
1 Epithel 0-1/lp Negative
2 Makrofag Negative Negative
3 Lekosit 1-2 /Lp Negative
4 Eritrosit 1-2 /lp Negative
5 Kristal Ca oxalate ;+ Negative
11. Sel ragi Negative Negative
12 Kista amoeba Negative Negative
13 Larva Negative Negative
14 Bakteri Negative Negative
15 Telur cacing Negative Negative
16 Sisa makanan Positif Positive
17 Lain –lain - -

3.4 RESUME
Pasien datang diantar oleh keluarganya ,Pasien merupakan pasien
rujukan dari RS DIAN HARAPAN dengan anemia enterocolitis ,datang
dengan keluhan nyeri perut yang di rasakan sejak ± 3 minggu yang lalu ,
badan terasa lemas(+) ,loyoh (+) dan pasien tampak pucat (+) ,nyeri kepala
(+) , Riwayat pekerjaan dan kebiasaan ,sering mengkonsumsi pinang (+) ,
pasien kurang mengkomsumsi makanan yang kurang mengandung zat besi
(+) .vitamin c yang kurang (+).pemeriksaan status generalis yang didapatkan
konjuntiva anemis (+),mukosa bibir tampak pucat (+) terdapat atropi papil
lidah (+) , pemeriksaan Abdomen : Nyeri tekan (+),Extremitas : pada kaki
terdapat koilonikia (+) pada pemeriksaan laboratorium yang didapatkan :
HGB :6,0 ,HCT : 22,3,Monosit 10,9 ,limfosit 16,8 MCV : 64,3 ,MCH : 17,3,
MCHC : 26,9 ,RDW –SD : 47,2,RDW-CV : 21,2 Hasil apusan darah tepi :
gambaran anemia defisiensi besi (+) dan hasil pemeriksaan feses dengan
diagnose anemia penyakit kronis ec anemia defisiensi besi ,pengobatan
waktu masuk : Infus Ns 0,9 % /20 tpm ,Ranitidine 2x1 amp Sucralfat syr 3
xc1 ,Sf 3x1 tab (po), Vitamin c 1x1 tab (po) ,pengobatan waktu pulang
:ferrous sulfat 3x 300 mg (po ) ,vit c 1x1 (po) ,omeprazole 1x20 mg (po)
3.5 DIAGNOSIS
Anemia penyakit kronis ec anemia defisiensi besi + colitis

3.6 Terapi
1. Infus Ns 0,9 % 500 cc /20 tpm
2. Ranitidine 2x1 amp
3. Sucralfat syr 3 xc1
4. Ferrous sulfat 3x100 mg (po)
5. Vitamin c 1x100 mg

LEMBAR FOLLOW UP

Tanggal S O A P

13/03/201 Pasien KU: TTS ,Kes :Cm ,GCS Anemia penyakit


1 . P.diagnostik :
9 mengeluh lemas 15,TD :90 /70 ,N: 88,R : kronis ec anemia DL,DDR,GDS
2 . Planning terapy
(+) ,nyeri 21 ,SPO2 : 98 % defisiensi besi dengan  Infus NS
 0,9 /20 tpm
kepala (+) ,dan  K/L : enterocolitis  Ranitin 2x1
nyeri perut Deformital (-) ,Ca (+/+) amp (iv )
 Sucralfat syr
,pupil ishokor ,repleks 3xc1
 Ferrous
pupil (+/+),Si (-/-) ,OC (-) sulfat
3x100 mg
,P>KGB (-) ,P > JPV (-) (P0)
 Vit c 1x100
 Thorak mg tab (po)
simetrix ikut gerak napas
,v/f D:S, Sonor,Sn Ves (+)
rho (-) ,whez(-) ,IC (-)
,Thrill (-),Bj 1-2 reguler
,murmur (-) ,gallop (-) .
 Abdomen
: datar ,Bu (+) normal
,supel H/L Ttd ,NT (+)
,Timpany (+) .
 Extremitas:
akral hangat,udema (-)
,ulkus (-) ,CRT <2 dtk .
 Vegetative
: Ma/mi baik (+/+) ,Bab
/Bak baik (+/+).

14/3/2019 Pasien KU: TTS ,Kes :Cm Anemia penyakit kronis P.diagnostik
Apusan darah tepih
mengeluh nyeri GCS 15,TD :100/70 ,N: ec anemia defisiensi P.terapi :
perut 88,R : 21 ,SPO2 : 98 % besi+enterocolitis
 Infus Ns 0,9
,lemas,nyerikep  K/L : % /14 tpm
 Tranfusi
ala Deformital (-) ,Ca (+/+) PRC 1 kolf
 Premed
Gusi berdarah ,pupil ishokor ,repleks lasik
 Ranitin 2x1
(+) pupil (+/+),Si (-/-) ,OC (-) gram
,P>KGB (-) ,P > JPV (-)  Asam
traneksamat
 Thorak tab 3x1
 Pct 3x
simetrix ikut gerak napas 500mg (P0 )
bila sakit
,v/f D:S, Sonor,Sn Ves (+) kepala
rho (-) ,whez(-) ,IC (-)
,Thrill (-),Bj 1-2 reguler
,murmur (-) ,gallop (-) .
 Abdomen
: datar ,Bu (+) normal
,supel H/L Ttd ,NT (+)
,Timpany (+) .
 Extremitas:
akral hangat,udema (-)
,ulkus (-) ,CRT <2 dtk .
 Vegetative
: Ma/mi baik (+/+) ,Bab
/Bak baik (+/+).

15 Pasien KU: TTS ,Kes :Cm Anemia penyakit kronis P.terapi


1. Transfusi PRC
/3/2019 mnegeluh sakit GCS 15,TD :100/80 ,N: ec anemia defisiensi 2 INFUS NS 0,9 %
kepala 88,R : 21 ,SPO2 : 98 % besi+eneterokolitis /14 tpm

menurun gusi  K/L : 3. RANITIN 2X1

berdarah,pusing Deformital (-) ,Ca (+/+) AMP (amp)


4.asam tranesamat
(-) ,pupil ishokor ,repleks
tab 3x1 (po)
pupil (+/+),Si (-/-) ,OC (-)
5 Paracetamol 3x500
,P>KGB (-) ,P > JPV (-)
mg (po) jika nyeri
 Thorak kepala .
simetrix ikut gerak napas
,v/f D:S, Sonor,Sn Ves (+)
rho (-) ,whez(-) ,IC (-)
,Thrill (-),Bj 1-2 reguler
,murmur (-) ,gallop (-) .
 Abdomen
: datar ,Bu (+) normal
,supel H/L Ttd ,NT (+)
,Timpany (+) .
 Extremitas:
akral hangat,udema (-)
,ulkus (-) ,CRT <2 dtk .
 Vegetative
: Ma/mi baik (+/+) ,Bab
/Bak baik (+/+).
16-3-2019 Pasien KU: TTS ,Kes :Cm Anemia penyaki kronis .terapi
1. Transfusi 1 kolf
mengeluh nyeri GCS 15,TD :100/80 ,N: Ec anemia defisisensi PRC
2 INFUS NS 0,9 %
kepala menurun 88,R : 21 ,SPO2 : 98 % zat besi dengan
/14 tpm
mual (+),munta  K/L : enterokolitis
3. RANITIN 2X1
(+) ,pusing (-) Deformital (-) ,Ca (+/+)
AMP (amp)
nyeri perut ,pupil ishokor ,repleks 4) ketorolac 3x 1
pupil (+/+),Si (-/-) ,OC (-) amp
,P>KGB (-) ,P > JPV (-) Cefixime 2x 100 mg

 Thorak (po)

simetrix ikut gerak napas Sukralfat syr 3 x 1C


5 Paracetamol 3x500
,v/f D:S, Sonor,Sn Ves (+)
mg (po) jika nyeri
rho (-) ,whez(-) ,IC (-)
kepala .
,Thrill (-),Bj 1-2 reguler
,murmur (-) ,gallop (-) .
 Abdomen
: datar ,Bu (+) normal
,supel H/L Ttd ,NT (+)
,Timpany (+) .
 Extremitas:
akral hangat,udema (-)
,ulkus (-) ,CRT <2 dtk .
 Vegetative
: Ma/mi baik (+/+) ,Bab
/Bak baik (+/+).
17 Pasien KU: TTS ,Kes :Cm Anemia penyakit kronis terapi
1. Transfusi 1 kolf
/03/20`9 menyeruh nyeri GCS 15,TD :110/77 ,N: ec anemia defisiensi besi PRC
2 INFUS NS 0,9 %
kepala sudah 88,R : 21 ,SPO2 : 98 %
/14 tpm
berkurang  K/L :
3. RANITIN 2X1
,nyeri perut (-) Deformital (-) ,Ca (+/+)
AMP (amp)
,mual munta (-) ,pupil ishokor ,repleks 4) ketorolac 3x 1
pupil (+/+),Si (-/-) ,OC (-) amp
,P>KGB (-) ,P > JPV (-) Cefixime 2x 100 mg

 Thorak (po)

simetrix ikut gerak napas Sukralfat syr 3 x 1C


3 Paracetamol
,v/f D:S, Sonor,Sn Ves (+)
3x500 mg (po)
rho (-) ,whez(-) ,IC (-)
jika nyeri
,Thrill (-),Bj 1-2 reguler kepala .
,murmur (-) ,gallop (-) .
 Abdomen
: datar ,Bu (+) normal
,supel H/L Ttd ,NT (+)
,Timpany (+) .
 Extremitas:
akral hangat,udema (-)
,ulkus (-) ,CRT <2 dtk .
 Vegetative
: Ma/mi baik (+/+) ,Bab
/Bak baik (+/+).
18 /3/ Nyeri perut KU: TTS ,Kes :Cm Anemia penyakit kronis
terapi
2019 berkurang ,mual GCS 15,TD :11/80 ,N: ec anemia defisiensi besi  Cek HB
post
munta tidak 88,R : 21 ,SPO2 : 98 % transfuse
ada ,nyeri  K/L :  PITC

kepala (-) Deformital (-) ,Ca (-/-)  INFUS NS


0,9 % /14
,pupil ishokor ,repleks
tpm
pupil (+/+),Si (-/-) ,OC (-)
 RANITIN
,P>KGB (-) ,P > JPV (-) 2X1 AMP
 Thorak (amp)
simetrix ikut gerak napas  ketorolac
3x 1 amp
,v/f D:S, Sonor,Sn Ves (+)
 Cefixime 2x
rho (-) ,whez(-) ,IC (-)
100 mg (po)
,Thrill (-),Bj 1-2 reguler  Sukralfat
,murmur (-) ,gallop (-) . syr 3 x 1C
 Abdomen  Paracetamo
l 3x500 mg
: datar ,Bu (+) normal
(po) jika
,supel H/L Ttd ,NT (+)
nyeri
,Timpany (+) . kepala .
 Extremitas:
akral hangat,udema (-)
,ulkus (-) ,CRT <2 dtk .
 Vegetative
: Ma/mi baik (+/+) ,Bab
/Bak baik (+/+).
19 Pasien KU: TTS ,Kes :Cm Anemia penyakit kronis p. terapi
 Aff infus
/3/2019 mengeluh nyeri GCS 15 ,TD :120/80 ,N: ec anemia defisiensi besi  Ferrous
sulfat
perut (-) ,nyeri 88,R : 21 ,SPO2 : 98 % 3x100 mg
tab (po )
kepala (-) ,mual  K/L :  Vit c 3 x100
munta (-) Deformital (-) ,Ca (-/-) mg tab (po
)
,pupil ishokor ,repleks  Omeprazol
e 1x 20 mg
pupil (+/+),Si (-/-) ,OC (-) (po)
,P>KGB (-) ,P > JPV (-)
Hasil POS
 Thorak HB
simetrix ikut gerak napas TRANSFU
SI 8,4 g/dl
,v/f D:S, Sonor,Sn Ves (+) Hasil PITC
(non reaktif
rho (-) ,whez(-) ,IC (-) )
BPL .
,Thrill (-),Bj 1-2 reguler
,murmur (-) ,gallop (-) .
 Abdomen
: datar ,Bu (+) normal
,supel H/L Ttd ,NT (+)
,Timpany (+) .
 Extremitas:
akral hangat,udema (-)
,ulkus (-) ,CRT <2 dtk .
 Vegetative
: Ma/mi baik (+/+) ,Bab
/Bak baik (+/+).
BAB III

PEMBAHASAN

 anemia penyakit kronis dengan diagnosis banding anemia


defisiensi besi :

Pada anamnesa didapatkan,Pasien merupakan pasien rujukan dari RS


DIAN HARAPAN dengan anemia colitis (+) , badan terasa lemas ,loyoh ,letih
dan pasien tampak pucat nyeri kepala (+) ,pada pemeriksaan fisik yang didapat :
konjungtiva anemis (+) , mukosa bibir tampak pucat (+) terdapat atropi papil
lidah (+) , Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi
rapuh dan bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip
dengan sendok (+)Angular cheilitis (-) , Disfagia (-) ,pada pemerilksaan
laboratorium yang didapatkan : Ne 75000 μL (tinggi ), lymposit : 14,7000
μL (tinggi), monosit 10,9000 /μL (tinggi) ,Ba 0,1300 μL (tinggi ) ,Ba
:0,13000 (tinggi ) ,RBC : 3,69 000 rendah ,HGB : 6,6 G/DL (Rendah
),Hct : 23,4 % rendah ,MCV : 63,4 Fl (rendah ),MCH : 17,9 Pg
(rendah ) ,MCHC: 28,2 g/dl (Rendah ) .RDW-CV : 20,2 (tinggi ) . Pada
pemeriksaan apusan darah tepi pada pemeriksaan eritrosit didapatkan
anisopoikilositosi ,dominasi mikrositik sedikit makrositik ,sel segar ,sel
pensil ,tear drop ,sel target ,fragmentosit ,hipokrom :kesan : gambaran
anemia defisiensi besi .Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan feses
yang didapatkan pada pasien adalah : warna hitam ,konsistensi keras .

1 . Bagaimana anamnesa pada pasien ini sudah repat berdasarkan teory ???

Dilihat berdasarkan teori, : pada anemia defisiensi besi memiliki


gejala klinis seperti :

 Gejala umum anemia:


o Gejala ini baru akan timbul apabila terjadi penurunan kadar
hemoglobin hingga 7-8 gr/dl
o Lemah, lesu, lelah, mata berkunang-kunang dan telinga
berdenging
o Anemia bersifat simptomatik jika hemoglobin < 7 gr/dl
,maka gejala-gejala dan tanda akan jelas
o Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat,

terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.

 Gejala khas defisiensi besi


o Koilonichya (spoon nail) yaitu kuku yang cekung seperti sendok,
memiliki garis-garis vertikal dan rapuh
o Atrofi papil lidah sehingga permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap
o Stomatitis angularis (cheilosis) yaitu adanya radang pada sudut
mulut berupa bercak keputihan
o Disfagia
o Atrofi mukosa gaster
o Pica ; keinginan makan makanan yang tidak lazim seperti tanah
liat, lem dll
 Gejala penyakit dasar
o Gejala tergantung penyebab dasar yang menimbulkan anemia
o Pada infeksi cacing tambang terdapat gejala dispepsia, parotis
yang membengkak dan kulit telapak tangan berwarna kuning
seperti jerami
o Anemia akibat kanker kolon dapat disertai oleh gangguan BAB

Sedangkan pada anemia penyakit kronis gejala yang sering di temukan


Manifestasi Klinis :

Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan


sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit
dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 gr/dl umumnya
asimptomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas
fisik meningkat, pengurangan kapasitas transpor O2 jaringan akan
memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan
sebelumnya.5
Namun, kedua jenis anemia ini merupakan anemia dengan
gangguan metabolisme besi.
Dilihat dari kasus pasien gejala yang Nampak adalah : sebagai
berikut
badan terasa lemas ,loyoh ,letih dan pasien tampak pucat nyeri
kepala (+) ,pada pemeriksaan fisik yang didapat : konjungtiva anemis (+)
, mukosa bibir tampak pucat (+) terdapat atropi papil lidah (+) ,
Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh
dan bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan
sendok (+)Angular cheilitis (-) , Disfagia (-).
Sehingga pada kasus yang terdapat pasien ini lebih menjurus
kepada anemia defisiensi besi karna terdapat pengelompokan anemia
defisiensi besi yaitu gejala umun anemia dan terdapat gejela khas pada
anemia defisiensi besi sudah di jelaskan berdasarkan teori yang ada
Bagaimana dengan pemeriksaan laboratorium yang terdapat
pada kasus ini ????

Berdarkan teori pada perbandingan anemia defisiensi besi dengan diagnosis


banding anemia penyakit kronis pada kasus pasien ini adalah

Pada pemeriksaan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang

dapat dijumpai adalah :

Pengukuran kadar hemoglobin dan indeks eritrosit didapatkan anemia

hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan

sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada

anemia defisiensi besi dan thalasemia major. MCHC menurun pada defisiensi

yang lebih berat dan berlangsung lama. RDW (red cell distribution witdh)

meningkat yang menandakan adanya anisositosis. Anisositosis merupakan tanda

awal defisiensi besi. Kadar hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa

menimbulkan gejala anemia yang menyolok karena anemia timbul perlahan-

lahan.
Hapusan darah mennunjukan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,

poikilositosis, anulosit, sel target dan sel pensil. Leukosit dan trombosit normal.

Pada kasus ankilostomiasis sering disertai eosinofilia.

Kadar besi serum menurun < 50 g/dl, TIBC meningkat > 350 g/dl, dan saturasi

transferin < 15 %

9. Kadar serum feritinin < 20 g/dl.

10. Protoforfirin eritrosit meningkat ( > 100 g/dl)

11. Sumsum tulang menunjukan hiperplasia normoblastik dengan

normoblast kecil-kecil (micronormoblast) dominan.

12. Pada laboratorium yang maju dapat diperiksa reseptor

transferin kadar reseptor transferin meningkat.

13. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (perl’s

stain) menunjukan cadangan besi yang negatif (butir

hemosiderin negatif).

14. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia

defisiensi besi antara lain :

- Pemeriksaan feses untuk cacing tambang,

sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif

(Kato Katz)

- Pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi,

barium intake dan barium inloop.

Pada anemia defiiensi besi apabilah kadar HBnya turun dibawah 7-8 g/dl ,anemia

bersifat asimtomatik apabila Hb nya dibawah 7 g/dl .

Sedangkan pada anemia penyakit kronis dengan pemeriksaan

laboratorium adalah :
Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun
banyak pasien mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC (Mean
Corpuscular Hemoglobin Capacity) <31 g/dl dan beberapa mempunyai sel
mikrositer dengan MCV (Mean Corpuscular Volume) <80 fL. Nilai
retikulosit absolut dalam batas normal dan trombosit tidak konsisten,
tergantung dari penyakit dasarnya.5
Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua
non untuk diagnosa penyakit anemia karena penyakit kronis. Keadaan ini
timbul segera setelah timbul onset suatu infeksi atau inflamasi dan
mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe
(transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe lebih tinggi dari pada
anemia defisiensi besi. Produksi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan
meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan yang kurang dari Fe dalam
sirkulasi kepada sel eritroid imatur.5
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat
dari pada penurunan Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin
lebih lama (8-12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena
fungsi metabolik yang berbeda.5

Tabel : Diagnosis Diferensial Anemia Penyakit Kronis


Anemia Anemia Thalasemia Anemia
Penyakit Defisiensi Sideroblastik
Kronik Besi
Derajat Ringan Ringan Ringan Ringan sampai
anemia sampai berat berat
MCV Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N
MCH Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N
Besi serum Menurun <0 Menurun <30 Normal/ Normal/
TIBC Menurun <300 Meningkat Normal/ Normal/
>360
Saturasi Menurun/N 10- Menurun Meningkat Meningkat
transferrin 20% <15% >20% >20%
Besi sumsum Positif Negatif Positif kuat Positif dengan
tulang ring sideroblast
Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal
eritrosit
Feritin serum Normal 20-200 Menurun <20 Meningkat >50 Meningkat >50
µg/l µg/l µg/l µg/l
Elektrofoesis N N HbA2 N
Hb meningkat

Pada kasus di temukan masalah pada pasien ini adalah

pada pemerilksaan laboratorium yang didapatkan : Ne 75000 μL


(tinggi ), lymposit : 14,7000 μL (tinggi), monosit 10,9000 /μL (tinggi) ,Ba
0,1300 μL (tinggi ) ,Ba :0,13000 (tinggi ) ,RBC : 3,69 000 rendah ,HGB
: 6,6 G/DL (Rendah ),Hct : 23,4 % rendah ,MCV : 63,4 Fl (rendah
),MCH : 17,9 Pg (rendah ) ,MCHC: 28,2 g/dl (Rendah ) .RDW-CV :
20,2 (tinggi ) . Pada pemeriksaan apusan darah tepi pada pemeriksaan
eritrosit didapatkan anisopoikilositosi ,dominasi mikrositik sedikit
makrositik ,sel segar ,sel pensil ,tear drop ,sel target ,fragmentosit
,hipokrom :kesan : gambaran anemia defisiensi besi .Pemeriksaan
penunjang yaitu pemeriksaan feses yang didapatkan pada pasien adalah :
warna hitam ,konsistensi keras.

Sehingga pada kasus pasien masalah yang ditemukan adalah


berdasarkan anemia defisiensi karna Pengukuran kadar hemoglobin
dan indeks eritrosit didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan
penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat yaitu pada
kasus 6,6 g/dl . MCV dan MCH menurun yaitu pada kasus : MCV :
63,4 Fl (rendah ),MCH : 17,9 Pg (rendah ). Yaitu 000 .MCV <80
fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalasemia major.
MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama ,
dan MCHC < 31 % yaitu pada kasus MCHC: 28,2 g/dl (Rendah ).
RDW (red cell distribution witdh) meningkat yang menandakan adanya
anisositosis. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi pada
kasus adalah .RDW-CV : 20,2 (tinggi ). Hapusan darah tepi
mennunjukan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis,
anulosit, sel target dan sel pensil. Leukosit dan trombosit normal. Secara
laboratorium, untuk menegakan diagnosis defisiensi besi (
modifikasi kriteri Kerlin, et al ) yaitu :

Anemia hipokrom mikrositik pada apusan darah tepi yaitu


anemia defisiensi besi (pada kasus dilakukan pemeriksaan apusan
darah tepi ditemukan kesan anemia defisiensi besi , atau MCV
<80 fl dan MCH < 31 % dengan salah satu dari criteria berikut :

 2 dari 3 parameter berikut :


 Besi serum < 50 mg/dl
 TIBC > 350 mg/dl
 Saturasi transferin < 15 %
 Feritin serum < 20 mg/l
 Pengecatan besi sumsum tulang negative
 Pemberian SF 3 x 200 mg/hari selama 4 minggu dapat
meningkatkan kadar Hb > 2 gr.dl
Namun pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan feritin
.namus berdasarkan kriteria kerlin et al dapat mendiagnosis bahwa
pada pemeriksaan apusan darah tepi ditemukan anemia hipokromik
mikrositer sehinggat pada kasus ini tepat karna dilakukan pemeriksaan
apapusan darah tepi dengan kesan anemia defisiensi besi .

Bagaimana diagnosis colitis pada kasus ini sudah tepat


berdasarkan teori ??
Pasien datang diantar oleh keluarganya ,Pasien merupakan pasien
rujukan dari RS DIAN HARAPAN dengan anemia anemia colitis
,datang dengan keluhan nyeri perut yang di rasakan sejak ± 3 minggu
yang lalu namun memberat ketika pasien tidak bisa bangung dari tempat
tidur pasien susah berdiri ,terasa nyeri sekali.
Pada teory yang Kolitis ulseratif adalah penyakit kronis dimana
usus besar atau kolon mengalami inflamasi dan ulserasi
menghasilkan keadaan diare berdarah, nyeri perut, dan demam.
Kolitis ulseratif dikarakteristikkan dengan eksaserbasi dan remisi
yang intermiten dari gejala.
Untuk mendiagnosa colitis ulsuratif
Gejala Klinik: G e j a l a u t a m a c o l i t i s u l s e r a t i f a d a l a h d i a r e
berdarah dan nyeri a b d o m e n , seringkali dengan demam dan
penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit ringan, bisa
terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang
mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik. Derajat klinik
colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan
ringan,berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat
beratnya anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove).
Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan
pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat
secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai
dengan panjangnya kolon yang terlibat. Pada colitis ulseratif, terdapat
reaksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon.
Secara makroskopik, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan
biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa
sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang
normal. Perjalanan klinis colitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan
menderita relaps dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama,
mencerminkan sifat rekuren dari penyakit. Namun demikian, bisa terdapat
periode remisi yang berkepanjangan hanya dengan gejala minimal.
Pada umumnya, beratnya gejala mencerminkan luasnya
keterlibatan kolon dan intensitas radang.
Terdapat tiga tipe klinis kolitis ulseratif yang sering terjadi,
yangdikaitkan dengan seringnya gejala. Kolitis ulseratif akut fulminan
ditandai dengan awitan mendadak dan disertai pembentukan terowongan
dan pengelupasan mukosa, menyebabkan kehilangan banyak darah dan
mukus. Jenis kolitis ini terjadi pada sekitar 10% penderita. Prognosisnya
jelek dan sering terjadi komplikasi megakolontoksik.
Sebagian besar penderita kolitis ulseratif merupakan jenis yang
intermiten (rekuren). Timbulnya kecenderungan selama berbulan- bulan
sampai bertahun- tahun. Bentuk ringan penyakit ditandai oleh serangan
singkat yang terjadi dengan interval berbulan-bulan sampai bertahun-
tahun dan berlangsung selama 1-3 bulan. Mungkin hanya terdapat sedikit
atau tidak ada demam atau gejala- gejala konstitusional, dan biasanya
hanya kolon bagian distal yang terkena. Demam atau gejala sistemik dapat
timbul pada bentuk yang lebih berat dan serangan dapat berlangsung
selama 3-4 bulan, kadang- kadang digolongkan sebagai tipe kronik
kontinyu, penderita dibandingkan dengan tipe intermiten, kolon yang
terkena cenderung lebih luas dan lebih sering terjadi komplikasi terus
menerus diare setelah serangan permulaan.

Pada kolitis ulseratif ringan, diare mungkin ringan dengan


perdarahan ringan dan intermitten. Pada penyakit yang berat defekasi
dapat lebih dari 6 kali sehari disertai banyak darah dan mukus. Kehilangan
banyak darah dan mukus yang kronik dapat mengakibatkan anemia dan
hipoproteinemia. Nyeri kolik hebat ditemukan pada abdomen bagian
bawah dan sedikit mereda setelah defekasi. Sangat sedikit kematian yang
disebabkan penyakit ini tapi dapat menimbulkan cacat ringan atau berat.
Pada kolitis ulseratif juga terdapat berbagai manifestasi diluar kolon.
Manifestasi kolitis diluar kolon:
1.Sistemik
- laju endap darah tinggi
- anemia feripriva
- gangguan gizi: malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan penurunan
berat badan
2.Kulit dan mukosa (agak jarang)
- eritema nodusum
- eritema multiforme
- pioderma gangrenosa
- dermatitis pustulosa
- stomatistis aftosa
3.Uveitis dan iritis
4. Kelainan orthopedik
- arthralgia
- arthritis
- spondilitis ankilopoetika
5. Kelainan hepato-pankreato-bilier
- perikolangitis
- sirosis hati
- kolangitis sklerosans intrahepatik
- kolelitiasis
- karsinoma saluran empedu
- insufisiensi pancreas

d. Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik pada colitis ulseratif biasanya nonspesifik, bisa
terdapat distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada
kasus ringan, pemeriksaan f i s i k u m u m a k a n n o r m a l . D e m a m ,
t a k i k a r d i a d a n h i p o t e n s i p o s t u r a l b i a s a n y a berhubungan
dengan penyakit yang lebih berat.

e. Pemeriksaan Penunjang
5) Pemeriksaan laboratorium
Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan
derajat dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat
anemia yang mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi
besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis dengan
pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah seringkali terlihat
pada p a s i e n demam yang sakit berat. Kelainan
elektrolit, terutama h i p o k a l e m i a , mencerminkan derajat
diare. Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif
dan biasanya mewakili hilangnya protei n lumen melalui mukosa
yang u l s e r a s i . P e n i n g k a t a n k a d a r a l k a l i f o s f a t a s e
dapat menunjukkan penyakit hepatobiliaris yang berhubungan.
Pemeriksaan kultur feses (pathogen usus dan bila diperlukan,
Escherichia coli), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile negative.
Pemeriksaan antibody p-ANCA dan ASCA
(antibody S a c c h a r o m y c e s cerevisae mannan) berguna
untuk membedakan penyakit colitis ulseratif dengan penyakit
Crohn.
6) Pemeriksaan radiologis
 Foto polos abdomen
Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung
terfokus pada kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai
penyakit ini adalah batu ginjal,sakroilitis, spondilitis ankilosing
dan nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri
terlihat memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada
daerah inflamasi tidak ada, sehingga apabila seluruh kolon
terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam abdomen yang
disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat mengalami
dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan kematian
apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila terjadi perforasi usus
maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya pneumoperitoneum,
terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral decubitus (LLD)
maupun pada foto toraks tegak. Foto polos abdomen juga merupakan
pemeriksaan awal untuk melakukan p e m e r i k s a a n barium
enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen
ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium
enema merupakan kontraindikasi.
 Barium enema
Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang
dilakukan apabila ada k e l a i n a n p a d a k o l o n . S e b e l u m
d i l a k u k a n p e m e r i k s a a n b a r i u m e n e m a m a k a persiapan
saluran cerna merupakan pendahuluan yang sangat penting. Persiapan
dilakukan selama 2 hari berturut-tururt dengan memakan makanan rendah serat atau
rendah residu, tetapi minum air putih yang banyak. Apabila diperlukan
maka dapat diberikan laksatif peroral. Pemeriksaan barium enema
dapat dilakukan dengan teknik kontras tunggal (single contrast )
maupun dengan kontras ganda (double contrast ) yaitu barium sulfat d a n
u d a r a . T e k n i k double contrast s a n g a t b a i k u n t u k m e n i l a i
m u k o s a k o l o n dibandingkan dengan teknik single contrast , walaupun
prosedur pelaksanaan teknik d o u b l e contrast c u k u p sulit.
B a r i u m e n e m a j u g a m e r u p a k a n k e l e n g k a p a n pemeriksaan
endoskopi atas dugaan pasien dengan colitis ulseratif . Gambaran foto barium
enema pada kasus dengan colitis ulseratif adalah mukosa kolon
yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta kolon tampak
menjadi kaku seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara
difus dan simetris p a d a seluruh kolon. Lumen kolon
menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan
keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila ditemukan lesi yang segmental
maka rectum dan kolon kiri (desendens) selalu terlibat,
k a r e n a a w a l n y a c o l i t i s ulseratif ini mulai terjadi di rectum dan
menyebar ke arah proksimal secara kontinu. Jadi rectum selalu terlibat,
walaupun rectum dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian
proksimalnya. Pada keadaan dimana terjadi pan-ulseratif colitis kronis maka
perubahan juga dapat terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum
terminal menjadi granuler difus dan dilatasi, sekum
berbentuk kerucut ( cone-shaped caecum) dan katup
i l e o s e k a l terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut backwash
ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-button
ulcers. Pasien dengan colitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi
menjadi adenokarsinoma kolon.
sehingga pasien ini masalah yang terdapat adalah nyeri perut (+)
,mual munta (+) ,dari pemeriksaan fisik di lihat perut distensi (+)
.sehingga bias diagnosis colitis derajat ringan .
BAB V

KESIPULAN

 Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat


berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoeisis, karena
cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan haemoglobin berkurang.ADB
ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer Lewat pemeriksaan
apusan darah tepi dan hasil laboratorium menunjukkan cadangan
besi kosong.
 Namun pada pasien ini diagnosi sebagai anemia defisiensi besi
lewat pemeriksaan apusan darah tepi berasarkan kriteria kerlin et al
.namun pada pemeriksaan laboratorium yang lain belum sempat
dilakukan seperti pemeriksaan ferritin dan lain-lain .jadi
perbandingan antara anemi penyakit kronis dan anemia defisiensi
besi bedasar gejala ,pemeriksaan fisik ,pemeriksaan penunjang
lebih menjurus ke anemia defisensi besi .

 Kolitis ulseratif adalah penyakit kronis dimana usus besar atau


kolon mengalami inflamasi dan ulserasi menghasilkan keadaan
diare berdarah, nyeri perut, dan demam.
Kolitis ulseratif dikarakteristikkan dengan eksaserbasi dan remisi
yang intermiten dari gejala.
 Temuan fisik pada colitis ulseratif biasanya nonspesifik, bisa
terdapat distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon.
Pada kasus ringan, pemeriksaan f i s i k u m u m a k a n n o r m a l .
Demam, takikardia dan hipotensi postural biasanya
berhubungan dengan penyakit yang lebih berat.sehingga pada
kasus ini didapat colitis ulseratif nonspesifik karna adanya
distensi abdomen ,nyeri tekan sepanjan kolon .
Daftar Pustaka

1. Patel P R. 2006. Lecture Notes Radiologi. Edisi kedua.


Jakarta: Erlangga.
2. revalensi Dan Jenis Anemia Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik
Yang Menjalani Hemodialisis Reguler. Thesis. [pdf] Available at:
<http://eprints.undip.ac.id/44532/1/Dhanny_Candra_A_220101101
20112_Bab0KTI.pdf> [Accessed April, 10th 201]; 2014.
3. Hoffbrand, A.V. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 6. Jakarta:
EGC; 2013.
4. Lichtin, A. E. Anemia of Chronic Disease. Available at:
<http://www.merckmanuals.com/professional/hematology_and
_oncology/anemias_caused_by_deficient_erythropoiesis/anemi
a_of_chronic_disease.html> [Accessed April, 10th 2015]; 2013.
5. Pardede, D. K. B. Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan
Implikasinya terhadap Tata Laksana Anemia pada Penyakit
Ginjal Kronis. [pdf] Vol. 40, No. 5. Available at:
<http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_204Hepsidin-
Peranannya%20dalam%20Patogenesis%20dan%20Implikasi
nya.pdf> [Accessed April, 10th 2015]; 2013.
6. Setiati, S. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 1.
Jakarta: Interna Publishing; 2014.
7. Shiraishi, J. et al. Prognostic Impact of Chronic Kidney Disease
and Anemia at Admission on In-Hospital Outcomes After
Primary Percutaneous Coronary Intervention for Acute
Myocardial Infarction. International Heart Journal [pdf], Vol.
55, No. 4. Available at:
<https://www.jstage.jst.go.jp/article/ihj/55/4/55_13-367/_pdf>
[Accessed April, 7th 2015]; 2014.
8. Sudoyo, A. W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jilid 2. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
9. Sun, C. C. et al. Targeting the hepcidin–ferroportin axis to
develop new treatment strategies for anemia of chronic disease
and anemia of inflammation. American Journal of Hematology
[pdf]. Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3653431/>
[Accessed April, 9th 2015]; 2012.

Anda mungkin juga menyukai